Lompat ke isi

Petisi Soetardjo: Perbedaan antara revisi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Konten dihapus Konten ditambahkan
k Di Den Hagg
Tag: VisualEditor Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler Suntingan seluler lanjutan
 
(39 revisi perantara oleh 30 pengguna tidak ditampilkan)
Baris 1: Baris 1:
{{unreferenced}}
'''Petisi Soetardjo''' adalah sebutan untuk petisi yang diajukan oleh [[Soetardjo Kartohadikoesoemo]], pada [[15 Juli]] [[1936]], kepada Ratu [[Wilhelmina]] serta ''Staten Generaal'' (parlemen) di negeri Belanda.
'''Petisi Soetardjo''' ialah sebutan untuk petisi yang diajukan oleh [[Soetardjo Kartohadikoesoemo]], pada [[15 Juli]] [[1936]], kepada Ratu [[Wilhelmina]] serta ''Staten Generaal'' (parlemen) di Den Haag, negeri Belanda.


Petisi ini diajukan karena makin meningkatnya perasaan tidak puas di kalangan rakyat terhadap pemerintahan akibat kebijaksanaan politik yang dijalankan Gubernur Jenderal [[de Jonge]]. Petisi ini ditandatangani juga oleh [[I.J. Kasimo]], [[G.S.S.J. Ratulangi]], Datuk Tumenggung, dan [[Ko Kwat Tiong]].
Petisi ini diajukan karena makin meningkatnya perasaan tidak puas di kalangan rakyat terhadap pemerintahan akibat kebijakan politik yang dijalankan Gubernur Jenderal [[de Jonge]]. Petisi ini ditandatangani juga oleh [[Ismail Alatas|Sayyid Ismail Alatas]], [[I.J. Kasimo]], [[Ko Kwat Tiong]], [[G.S.S.J. Ratulangi]] dan [[Khailan Syamsu|Datoek Toemenggoeng]].


== Isi ==
== Isi ==
Pada Juli 1936, Soetardjo merancang petisinya bermula secara tidak sengaja tatkala ia membaca Konstitusi Belanda dalam buku himpunan undang-undang yang diterbitkan bekas anggota Dewan Hindia Belanda, [[Meester in de rechten|Mr.]] [[Willem Anthony Engelbrecht]], cetakan 1928. Dalam pasal 1 undang-undang tersebut berbunyi,<ref>{{Cite web|url=https://www.denederlandsegrondwet.nl/id/vi7ilzlwwyyx/eerste_hoofdstuk_van_het_rijk_en_zijn|title=Eerste Hoofdstuk. Van het Rijk en zijn inwoners. - Nederlandse Grondwet|website=www.denederlandsegrondwet.nl|access-date=2019-07-28}}</ref>
Isi petisi '''Pitasari Devi Soetardjo'''.
{{quote|Het Koninkrijk der Nederlanden omvat het grondgebied van Nederland, Nederlandsch-Indië, Suriname en Curaçao.}}Yang berarti;{{quote|Kerajaan Belanda mencakup wilayah [[Belanda]], [[Hindia Belanda]], [[Suriname]] dan [[Curaçao]].}}
Menurut Soetardjo, Hindia-Belanda memiliki tempat yang sejajar dengan Negeri Belanda karena bersama dengan dua wilayah lainnya membentuk Kerajaan Belanda.<ref name=":0">{{cite book|last1=Evita|first1=Andi Lili|First2=Helen|Last3=Johari|First3=Hendi|Last4=Ayu Ratih|First4=I Gusti Agung|Last5=Sunarti|First5=Linda|Last6=Sitompul|First6=Martin|Last7=Kamila|First7=Raisa|Last8=Ahmad|First8=Taufik|editor1-first=Mukhlis|editor1-last=Paeni|editor2-first=Kasijanto|editor2-last=Sastrodinomo|title=Gubernur Pertama Di Indonesia|publisher=Direktorat Sejarah, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan|isbn=978-602-1289-72-3|last=|year=2017|location=Jakarta|pages=53}}</ref>


Isi petisi adalah permohonan supaya diselenggarakan suatu musyawarah antara wakil-wakil Indonesia dan negeri Belanda dengan kedudukan dan hak yang sama. Tujuannya adalah untuk menyusun suatu rencana pemberian kepada [[Indonesia]] suatu pemerintahan yang berdiri sendiri (otonom) dalam batas Undang-undang Dasar [[Kerajaan Belanda]]. Pelaksanaannya akan berangsur-angsur dijalankan dalam waktu sepuluh tahun untuk menyiapkan kemerdekaan Hindia Belanda yang akan tetap dalam kesatuan dengan Kerajaan Belanda sebagaimana negeri persemakmuran.<ref name=":0" />


== Reaksi ==
== Reaksi ==
Usul yang dianggap menyimpang dari cita-cita kalangan [[pergerakan nasional]] ini mendapat reaksi, baik dari pihak Indonesia maupun pihak Belanda.
Usul yang dianggap menyimpang dari cita-cita kalangan [[pergerakan nasional]] ini mendapat reaksi, baik dari pihak Indonesia maupun pihak Belanda.


Pers Belanda, seperti ''Preanger Bode'', ''Java Bode'', ''Bataviaasch Nieuwsblad'', menuduh usul petisi sebagai suatu: "permainan yang berbahaya", [[revolusioner]], belum waktunya dan tidak sesuai dengan keadaan.
Pers Belanda, seperti ''Preanger Bode'', ''Java Bode'', ''Bataviaasch Nieuwsblad'', menuduh usul petisi sebagai suatu: "permainan yang berbahaya", [[revolusioner]], belum waktunya dan tidak sesuai dengan keadaan.


Golongan reaksioner Belanda, seperti ''Vaderlandsche Club'' berpendapat Indonesia belum matang untuk berdiri sendiri. Tetapi ada juga orang-orang Belanda dari kalangan pemerintah yang menyetujui petisi, dengan mengirim surat kepada Soetardjo. Pihak pemerintah [[Hindia Belanda]] sendiri menyatakan bahwa pemerintah memang mempunyai maksud untuk selalu meningkatkan peranan rakyat dalam mengendalikan pemerintahan sampai rakyat Indonesia sanggup untuk mengurus segala sesuatunya. Dari pihak Indonesia baik di dalam maupun di luar [[Volksraad]] reaksi terhadap usul petisi juga bermacam-macam.
Golongan reaksioner Belanda, seperti ''Vaderlandsche Club'' berpendapat Indonesia belum matang untuk berdiri sendiri. Tetapi ada juga orang-orang Belanda dari kalangan pemerintah yang menyetujui petisi, dengan mengirim surat kepada Soetardjo. Pihak pemerintah [[Hindia Belanda]] sendiri menyatakan bahwa pemerintah memang mempunyai maksud untuk selalu meningkatkan peranan rakyat dalam mengendalikan pemerintahan sampai rakyat Indonesia sanggup untuk mengurus segala sesuatunya. Dari pihak Indonesia baik di dalam maupun di luar [[Volksraad]] reaksi terhadap usul petisi juga bermacam-macam.


Beberapa anggota Volksraad berpendapat bahwa usul petisi kurang jelas, kurang lengkap dan tidak mempunyai kekuatan. Pers Indonesia seperti surat kabar ''Pemandangan'', ''Tjahaja Timoer'', ''Pelita Andalas'', ''Pewarta Deli'', Majalah ''Soeara Katholiek'' menyokong usul petisi. Oleh karena itu usul petisi dengari cepat tersebar luas di kalangan rakyat dan sebelum sidang Volksraad membicarakan secara khusus, kebanyakan pers Indonesia menyokong usul ini.
Beberapa anggota Volksraad berpendapat bahwa usul petisi kurang jelas, kurang lengkap dan tidak mempunyai kekuatan. Pers Indonesia seperti surat kabar ''Pemandangan'', ''Tjahaja Timoer'', ''Pelita Andalas'', ''Pewarta Deli'', Majalah ''Soeara Katholiek'' menyokong usul petisi. Oleh karena itu usul petisi dengan cepat tersebar luas di kalangan rakyat dan sebelum sidang Volksraad membicarakan secara khusus, kebanyakan pers Indonesia menyokong usul ini.


Menurut harian ''Pemandangan'' saat usul ini dimajukan sangat terlambat, yaitu saat akan digantikannya Gubernur Jenderal De Jonge oleh Gubernur Jenderal [[Tjarda]].
Menurut harian ''Pemandangan'' saat usul ini dimajukan sangat terlambat, yaitu saat akan digantikannya Gubernur Jenderal De Jonge oleh Gubernur Jenderal [[Tjarda]].
Baris 20: Baris 26:
Kemudian diputuskan untuk membicarakan usul petisi tersebut dalam sidang khusus tanggal [[17 September]] [[1936]].
Kemudian diputuskan untuk membicarakan usul petisi tersebut dalam sidang khusus tanggal [[17 September]] [[1936]].


Pada tanggal [[29 September]] 1936 selesai sidang perdebatan, diadakanlah pemungutan suara dimana petisi disetujui oleh Volksraad dengan perbandingan suara 26 suara setuju lawan 20 suara menolak.
Pada tanggal [[29 September]] 1936 selesai sidang perdebatan, diadakanlah pemungutan suara dimana petisi disetujui oleh Volksraad dengan perbandingan suara 26 suara setuju lawan 20 suara menolak.


Dan pada tanggal [[1 Oktober]] 1936 petisi yang telah menjadi petisi Volksraad itu dikirim kepada Ratu, Staten-Generaal, dan Menteri Koloni di negeri Belanda.
Dan pada tanggal [[1 Oktober]] 1936 petisi yang telah menjadi petisi Volksraad itu dikirim kepada Ratu, Staten-Generaal, dan Menteri Koloni di negeri Belanda.


== Usulan baru ==
== Usulan baru ==
Sementara menunggu keputusan diterima atau tidak usul petisi tersebut maka untuk memperkuat dan memperjelas maksud petisi, pada persidangan Volksraad Juli [[1937]] Soetardjo kembali mengajukan usul rencana Indonesia menuju "Indonesia berdiri sendiri".
Sementara menunggu keputusan diterima atau tidak usul petisi tersebut maka untuk memperkuat dan memperjelas maksud petisi, pada persidangan Volksraad Juli [[1937]] Soetardjo kembali mengajukan usul rencana Indonesia menuju "Indonesia berdiri sendiri".


Rencana tersebut dibagi dalam dua tahap, masing-masing untuk lima tahun. Atas usul tersebut wakil pemerintah Hindia Belanda dalam sidang Volksraad menjawab bahwa pemerintah juga mempunyai perhatian ke arah perbaikan pemerintahan Indonesia, tetapi karena usul itu amat luas sekali maka penyelesaiannya berada di tangan pemerintah di negeri Belanda dan Staten General.
Rencana tersebut dibagi dalam dua tahap, masing-masing untuk lima tahun. Atas usul tersebut wakil pemerintah Hindia Belanda dalam sidang Volksraad menjawab bahwa pemerintah juga mempunyai perhatian ke arah perbaikan pemerintahan Indonesia, tetapi karena usul itu amat luas sekali maka penyelesaiannya berada di tangan pemerintah di negeri Belanda dan Staten General.


Petisi ini kembali banyak menimbulkan tanggapan dari organisasi-organisasi gerakan rakyat seperti: [[Perhimpunan Indonesia]] (PI), [[Roekoen Peladjar Indonesia]] (Roepi), [[Gerakan Rakjat Indonesia]] (GERINDO), [[Perkumpulan Katholik di Indonesia]] (PPKI), [[Partai Serikat Islam Indonesia]] (PSII), [[PNI]], dan sebagainya.
Petisi ini kembali banyak menimbulkan tanggapan dari organisasi-organisasi gerakan rakyat seperti: [[Perhimpunan Indonesia]] (PI), [[Roekoen Peladjar Indonesia]] (Roepi), [[Gerakan Rakjat Indonesia]] (GERINDO), [[Perkumpulan Katholik di Indonesia]] (PPKI), [[Partai Serikat Islam Indonesia]] (PSII), [[PNI]], dan sebagainya.


== Petisi ditolak ==
== Petisi ditolak ==
Pada persidangan Volksraad bulan Juli [[1938]], Gubernur Jenderal [[Tjarda]] secara samar-samar telah membayangkan bahwa petisi akan ditolak. Laporan Gubernur Jenderal kepada menteri jajahan (berdasarkan laporan-laporan antara lain dari ''Raad van Nederland-Indie'', ''Adviseur voor Inlahdse Zaken'', ''Directeur van Onderwijs en Eredienst''), telah menyarankan supaya petisi ditolak dengan alasan isi kurang jelas.
Pada persidangan Volksraad bulan Juli [[1938]], Gubernur Jenderal [[Tjarda]] secara samar-samar telah membayangkan bahwa petisi akan ditolak. Laporan Gubernur Jenderal kepada menteri jajahan (berdasarkan laporan-laporan antara lain dari ''Raad van Nederland-Indie'', ''Adviseur voor Inlandse Zaken'', ''Directeur van Onderwijs en Eredienst''), telah menyarankan supaya petisi ditolak dengan alasan isi kurang jelas.


Juga mengingat ketidakpastian akan kejadian-kejadian di masa yang akan datang ini, maka tidak dapatlah disetujui keinginan untuk mengadakan konfrensi untuk menyusun rencana bagi masa yang akan datang. Akhirnya ia menyarankan bahwa biar bagaimanapun petisi harus ditolak sehingga perubahan secara prinsip bagi kadudukan Indonesia dan mengadakan konfrensi itu tidak perlu diadakan.
Juga mengingat ketidakpastian akan kejadian-kejadian pada masa yang akan datang ini, maka tidak dapatlah disetujui keinginan untuk mengadakan konfrensi untuk menyusun rencana bagi masa yang akan datang. Akhirnya ia menyarankan bahwa biar bagaimanapun petisi harus ditolak sehingga perubahan secara prinsip bagi kadudukan Indonesia dan mengadakan konfrensi itu tidak perlu diadakan.


Akhirnya dengan keputusan Kerajaan Belanda No. 40 tanggal [[14 November]] [[1938]], petisi yang diajukan atas nama Volksraad ditolak oleh Ratu [[Wilhelmina]]. Alasan penolakannya antara lain ialah: "Bahwa bangsa Indonesia belum matang untuk memikul tanggung jawab memerintah diri sendiri".
Akhirnya dengan keputusan Kerajaan Belanda No. 40 tanggal [[14 November]] [[1938]], petisi yang diajukan atas nama Volksraad ditolak oleh Ratu [[Wilhelmina]]. Alasan penolakannya antara lain ialah: "Bahwa bangsa Indonesia belum matang untuk memikul tanggung jawab memerintah diri sendiri".


== Referensi ==
<References/>
== Pranala luar ==
== Pranala luar ==
* {{en}} [http://e-publishing.library.cornell.edu/Dienst/Repository/1.0/Disseminate/seap.indo/1107128619/body/pdf?userid=&password=/ The Soetardjo Petition oleh Susan Abeyasekere dalam "Indonesia" 15 (April 1973), 81-107]
* {{en}} [http://e-publishing.library.cornell.edu/Dienst/Repository/1.0/Disseminate/seap.indo/1107128619/body/pdf?userid=&password=/ The Soetardjo Petition oleh Susan Abeyasekere dalam "Indonesia" 15 (April 1973), 81-107]


[[Kategori:Sejarah Indonesia]]
[[Kategori:Sejarah Indonesia]]

[[jv:Petisi Soetardjo]]
[[nl:Petitie-Soetardjo]]

Revisi terkini sejak 9 Februari 2022 03.27

Petisi Soetardjo ialah sebutan untuk petisi yang diajukan oleh Soetardjo Kartohadikoesoemo, pada 15 Juli 1936, kepada Ratu Wilhelmina serta Staten Generaal (parlemen) di Den Haag, negeri Belanda.

Petisi ini diajukan karena makin meningkatnya perasaan tidak puas di kalangan rakyat terhadap pemerintahan akibat kebijakan politik yang dijalankan Gubernur Jenderal de Jonge. Petisi ini ditandatangani juga oleh Sayyid Ismail Alatas, I.J. Kasimo, Ko Kwat Tiong, G.S.S.J. Ratulangi dan Datoek Toemenggoeng.

Pada Juli 1936, Soetardjo merancang petisinya bermula secara tidak sengaja tatkala ia membaca Konstitusi Belanda dalam buku himpunan undang-undang yang diterbitkan bekas anggota Dewan Hindia Belanda, Mr. Willem Anthony Engelbrecht, cetakan 1928. Dalam pasal 1 undang-undang tersebut berbunyi,[1]

Het Koninkrijk der Nederlanden omvat het grondgebied van Nederland, Nederlandsch-Indië, Suriname en Curaçao.

Yang berarti;

Kerajaan Belanda mencakup wilayah Belanda, Hindia Belanda, Suriname dan Curaçao.

Menurut Soetardjo, Hindia-Belanda memiliki tempat yang sejajar dengan Negeri Belanda karena bersama dengan dua wilayah lainnya membentuk Kerajaan Belanda.[2]


Isi petisi adalah permohonan supaya diselenggarakan suatu musyawarah antara wakil-wakil Indonesia dan negeri Belanda dengan kedudukan dan hak yang sama. Tujuannya adalah untuk menyusun suatu rencana pemberian kepada Indonesia suatu pemerintahan yang berdiri sendiri (otonom) dalam batas Undang-undang Dasar Kerajaan Belanda. Pelaksanaannya akan berangsur-angsur dijalankan dalam waktu sepuluh tahun untuk menyiapkan kemerdekaan Hindia Belanda yang akan tetap dalam kesatuan dengan Kerajaan Belanda sebagaimana negeri persemakmuran.[2]

Usul yang dianggap menyimpang dari cita-cita kalangan pergerakan nasional ini mendapat reaksi, baik dari pihak Indonesia maupun pihak Belanda.

Pers Belanda, seperti Preanger Bode, Java Bode, Bataviaasch Nieuwsblad, menuduh usul petisi sebagai suatu: "permainan yang berbahaya", revolusioner, belum waktunya dan tidak sesuai dengan keadaan.

Golongan reaksioner Belanda, seperti Vaderlandsche Club berpendapat Indonesia belum matang untuk berdiri sendiri. Tetapi ada juga orang-orang Belanda dari kalangan pemerintah yang menyetujui petisi, dengan mengirim surat kepada Soetardjo. Pihak pemerintah Hindia Belanda sendiri menyatakan bahwa pemerintah memang mempunyai maksud untuk selalu meningkatkan peranan rakyat dalam mengendalikan pemerintahan sampai rakyat Indonesia sanggup untuk mengurus segala sesuatunya. Dari pihak Indonesia baik di dalam maupun di luar Volksraad reaksi terhadap usul petisi juga bermacam-macam.

Beberapa anggota Volksraad berpendapat bahwa usul petisi kurang jelas, kurang lengkap dan tidak mempunyai kekuatan. Pers Indonesia seperti surat kabar Pemandangan, Tjahaja Timoer, Pelita Andalas, Pewarta Deli, Majalah Soeara Katholiek menyokong usul petisi. Oleh karena itu usul petisi dengan cepat tersebar luas di kalangan rakyat dan sebelum sidang Volksraad membicarakan secara khusus, kebanyakan pers Indonesia menyokong usul ini.

Menurut harian Pemandangan saat usul ini dimajukan sangat terlambat, yaitu saat akan digantikannya Gubernur Jenderal De Jonge oleh Gubernur Jenderal Tjarda.

Kemudian diputuskan untuk membicarakan usul petisi tersebut dalam sidang khusus tanggal 17 September 1936.

Pada tanggal 29 September 1936 selesai sidang perdebatan, diadakanlah pemungutan suara dimana petisi disetujui oleh Volksraad dengan perbandingan suara 26 suara setuju lawan 20 suara menolak.

Dan pada tanggal 1 Oktober 1936 petisi yang telah menjadi petisi Volksraad itu dikirim kepada Ratu, Staten-Generaal, dan Menteri Koloni di negeri Belanda.

Usulan baru

[sunting | sunting sumber]

Sementara menunggu keputusan diterima atau tidak usul petisi tersebut maka untuk memperkuat dan memperjelas maksud petisi, pada persidangan Volksraad Juli 1937 Soetardjo kembali mengajukan usul rencana Indonesia menuju "Indonesia berdiri sendiri".

Rencana tersebut dibagi dalam dua tahap, masing-masing untuk lima tahun. Atas usul tersebut wakil pemerintah Hindia Belanda dalam sidang Volksraad menjawab bahwa pemerintah juga mempunyai perhatian ke arah perbaikan pemerintahan Indonesia, tetapi karena usul itu amat luas sekali maka penyelesaiannya berada di tangan pemerintah di negeri Belanda dan Staten General.

Petisi ini kembali banyak menimbulkan tanggapan dari organisasi-organisasi gerakan rakyat seperti: Perhimpunan Indonesia (PI), Roekoen Peladjar Indonesia (Roepi), Gerakan Rakjat Indonesia (GERINDO), Perkumpulan Katholik di Indonesia (PPKI), Partai Serikat Islam Indonesia (PSII), PNI, dan sebagainya.

Petisi ditolak

[sunting | sunting sumber]

Pada persidangan Volksraad bulan Juli 1938, Gubernur Jenderal Tjarda secara samar-samar telah membayangkan bahwa petisi akan ditolak. Laporan Gubernur Jenderal kepada menteri jajahan (berdasarkan laporan-laporan antara lain dari Raad van Nederland-Indie, Adviseur voor Inlandse Zaken, Directeur van Onderwijs en Eredienst), telah menyarankan supaya petisi ditolak dengan alasan isi kurang jelas.

Juga mengingat ketidakpastian akan kejadian-kejadian pada masa yang akan datang ini, maka tidak dapatlah disetujui keinginan untuk mengadakan konfrensi untuk menyusun rencana bagi masa yang akan datang. Akhirnya ia menyarankan bahwa biar bagaimanapun petisi harus ditolak sehingga perubahan secara prinsip bagi kadudukan Indonesia dan mengadakan konfrensi itu tidak perlu diadakan.

Akhirnya dengan keputusan Kerajaan Belanda No. 40 tanggal 14 November 1938, petisi yang diajukan atas nama Volksraad ditolak oleh Ratu Wilhelmina. Alasan penolakannya antara lain ialah: "Bahwa bangsa Indonesia belum matang untuk memikul tanggung jawab memerintah diri sendiri".

Referensi

[sunting | sunting sumber]
  1. ^ "Eerste Hoofdstuk. Van het Rijk en zijn inwoners. - Nederlandse Grondwet". www.denederlandsegrondwet.nl. Diakses tanggal 2019-07-28. 
  2. ^ a b Evita, Andi Lili (2017). Paeni, Mukhlis; Sastrodinomo, Kasijanto, ed. Gubernur Pertama Di Indonesia. Jakarta: Direktorat Sejarah, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. hlm. 53. ISBN 978-602-1289-72-3. 

Pranala luar

[sunting | sunting sumber]