Lompat ke isi

Kertajaya: Perbedaan antara revisi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Konten dihapus Konten ditambahkan
Tidak ada ringkasan suntingan
Tag: Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler
Tidak ada ringkasan suntingan
 
(86 revisi perantara oleh 19 pengguna tidak ditampilkan)
Baris 1: Baris 1:
{{tentang|raja Kediri yang terkenal|Kertajaya (disambiguasi)}}
{{no footnotes}}
{{tentang|raja Kediri yang terkenal|kereta api milik [[PT Kereta Api Indonesia]]|kereta api Kertajaya|Kertajaya (disambiguasi)}}
'''Sri Maharaja Kertajaya''' adalah raja terakhir [[Kadiri]] yang memerintah sekitar tahun 1194 - 1222. Pada akhir pemerintahannya ia menyatakan ingin disembah sebagai dewa. Ia dikalahkan oleh [[Ken Arok]] dari [[Tumapel]] atau [[Singhasari]], yang menandai berakhirnya masa [[Kerajaan Kadiri]].

{{infobox royalty
{{infobox royalty
|name = Kertajaya
|name = Kertajaya
|image =
|image = [[Berkas:Airlangga.jpg|jmpl|200px|lurus|Sri Maharaja Kertajaya Kadiri <br/> Prabu Dandhang Gendis]]
|title = Sri Maharaja Sri Sarweswara Triwikramawatara Anindita Srenggalancana Digjaya Uttunggadewa
|title = Paduka Sri Maharaja Sri Sarweswara Triwikramawatara Anindita Srengga Lancana Digjaya Uttunggadewa
|birth_date = [[Daha]] [[Kerajaan Kadiri]]
|birth_date = [[Daha]]
|birth_place = [[Jawa Timur]]
|birth_place = [[Jawa Timur]]
|death_date = [[1222]]
|death_date = [[1222]]
|death_place = [[Gugur]] [[Ganter]]
|death_place = [[Pertempuran Ganter]], [[Ngantang, Malang|Ngantang]], [[Kabupaten Malang]], [[Jawa Timur]]
|place of burial = [[Pertempuran Ganter]]
|place of burial =
[[Kediri Timur]], [[Kabupaten Kediri]], [[Jawa Timur]]
|royal house = [[Wangsa Isyana|Isyana]]
|royal house = [[Wangsa Isyana|Isyana]]
|issue = *[[Jayasabha]]
|issue = Jayasabha (menurut kitab [[Nagarakretagama]]
| succession = Raja [[Kerajaan Kadiri]]
| succession = [[Panjalu|Raja Panjalu]] terakhir
| reign = 1194 - 1222
| reign = [[1194]]–[[1222]] M
| father = [[butuh rujukan]]
| predecessor = [[Kameswara]]
| mother = [[butuh rujukan]]
| religion = [[Hindu]]
| wife = [[butuh rujukan]]
|religion = [[Hindu]]
}}
}}

'''Sri Maharaja Srengga''' atau dikenal sebagai '''Kertajaya''' dalam [[kitab Pararaton]] disebut juga dengan '''Dhandhang Gendhis''' meninggal pada tahun [[1222]], adalah raja terakhir dari [[Kerajaan Panjalu]] yang memerintah sekitar tahun (1188–1222). Di akhir pemerintahannya ia menyatakan ingin disembah sebagai [[dewa]]. Kertajaya dikalahkan oleh [[Ken Arok]] atau Sri Ranggah Rajasa dari [[Tumapel]], yang menandai berakhirnya masa kerajaan Panjalu.<ref>https://www.britannica.com/biography/Kertajaya</ref>


== Sejarah ==
== Sejarah ==
[[Image:Sapu_Angin_Inscription.jpg|180px|thumb|Gambar bentuk ''lanchana'' Kertajaya pada prasasti [[prasasti Sapu Angin|Sapu Angin]] dikeluarkan saat masih menjadi putra mahkota]]
Nama Kertajaya terdapat dalam Kitab ''[[Nagarakretagama]]'' ''(1365)'' karya ''[[Mpu Prapanca]]'' yang dibuat pada masa ''[[Majapahit]]'' ratusan tahun setelah zaman ''[[Kadiri]]''.


Dalam [[bahasa Sanskerta]], Kṛtajaya berarti कृत krta (kemakmuran) dan जय jaya (kemenangan). Dari prasasti-prasasti yang dikeluarkan pada masa pemerintahannya dapat diketahui nama gelar ''abhiseka'' Kertajaya yang digunakan ialah '''Paduka Sri Maharaja Sri Sarweswara Triwikramawatara Anindita Srengga Lancana Digjaya Uttunggadewa'''.
Bukti sejarah keberadaan tokoh Kertajaya adalah dengan ditemukannya [[Prasasti Galunggung]] (1194), [[Prasasti Kamulan]] (1194), [[Prasasti Palah]] (1197), [[Prasasti Biri]], dan [[Prasasti Lawadan]] (1205).


Bukti kesejarahan keberadaan raja Kertajaya antara lain ditemukan dalam [[prasasti Sapu Angin]] (1190), [[prasasti Kamulan]] (1194), [[prasasti Palah]] (1197), [[prasasti Mleri II]] (1198), [[Prasasti Galunggung]] (1201), [[prasasti Biri]] (1202), [[prasasti Tuliskriyo]] (1202), [[prasasti Sumberingin Kidul|prasasti Sumberingin]] (1204), [[prasasti Lawadan]] (1205), [[prasasti Cemandi]] (1205) dan [[prasasti Merjosari]] (1216).
Dari prasasti-prasasti tersebut dapat diketahui nama gelar ''abhiseka'' Kertajaya adalah '''Sri Maharaja Sri Sarweswara Triwikramawatara Anindita Srenggalancana Digjaya Uttunggadewa'''.


Kertajaya merupakan tokoh nyata selain namanya termuat di dalam prasasti juga disebutkan di [[kakawin]] [[Nagarakretagama]] karya pujangga masa [[Majapahit]] bernama [[Mpu Prapanca]], yang dibuat ratusan tahun setelah zaman [[Kadiri]].
== Pertempuran Ganter ==

== Pemberontakan Ken Arok ==
{{Main|Pemberontakan Ken Arok}}
{{Main|Pemberontakan Ken Arok}}
Dalam [[Kitab Pararaton]] Maharaja Kertajaya disebut juga dengan nama '''Prabu Dhandhang Gendhis''', dikisahkan di akhir masa pemerintahannya kondisi kestabilan sosial [[kerajaan Kadiri]] mulai menurun. Kondisi ini disebabkan kese-wenang-wenangan dari sang raja Kertajaya terhadap golongan [[pendeta]], kese-wenang-wenangan Kertajaya yang berlaku [[otoriter]] terhadap para pendeta tersebut dikisahkan dalam [[Tantu Panggelaran|Kitab Tantu Panggelaran]], di dalam Tantu Panggelaran raja Kṛtajaya disebut dengan ''Śrī Mahārāja Taki''.
Dalam ''[[Pararaton]]'' Maharaja Kertajaya disebut dengan nama '''Prabu Dandhang Gendis'''. Dikisahkan di akhir pemerintahannya Kestabilan [[Kerajaan Kadiri]] pada pemerintahan raja Kertajaya mulai menurun. Kondisi ini karena raja bermaksud mengurangi hak-hak kaum Brahmana. Sang prabu menyatakan ingin disembah sebagai dewa. Kaum Brahmana menentang keputusan tersebut. Kertajaya ingin disembah para pendeta [[Hindu]] dan [[Buddha]]. Keinginan tersebut tentu ditolak, meskipun '''Prabu Dandhang Gendis''' pamer kesaktian dengan cara duduk bersila di atas sebatang tombak yang berdiri. Kaum Brahmana dan para pendeta yang ketakutan mereka memilih melarikan diri dan meminta bantuan dari Tumapel ([[Malang]]) dibawah kepemimpinan Ken Arok. Para pendeta memilih berlindung kepada [[Ken Arok]], bawahan Dandhang Gendis yang menjadi ''akuwu'' saat ini gelar setingkat ''camat'' di [[Tumapel]]. [[Ken Arok]] lalu mengangkat dirinya menjadi raja dan menyatakan wilayah [[Tumapel]] sebagai kerajaan merdeka, lepas dari [[Kadiri]].
{{cquote|"Ana ta sira ratu siniwing Daha, anak atuhā de haji Bhathati, Śrī Mahārāja Taki ngaranira. Sira ta siniwi ring Daha"...}} (Pigeaud, 1924:112)
Terjemahan: (Adalah raja dihormati di Daha, anak tertua raja Bhathati, Śrī Mahārāja Taki namanya. Dia dihormati di Daha"...)


Dalam bagian ke VII dalam kitab [[Tantu Panggelaran]] dikisahkan bahwa Sri Maharaja Taki hendak berkeinginan untuk membunuh pendeta sakti yang bernama Pu Bharang.
Mengetahui hal ini, '''Raja Kertajaya''' lalu mempersiapkan pasukan untuk menyerang Tumapel. Dandhang Gendis sama sekali tidak takut. Ia mengaku hanya bisa dikalahkan oleh [[Siwa]]. Mendengar hal itu, [[Ken Arok]] pun memakai gelar [[Batara Guru|Bhatara Guru]] (nama lain [[Siwa]]) dan bergerak memimpin pasukan untuk menyerang [[Kadiri]]. Ken Arok dengan dukungan kaum Brahmana melakukan serangan ke Kerajaan Kediri. Kedua pasukan itu telah bertemu di dekat Ganter
{{cquote|"Ya ta matus ri sang sogata kalih sanak, mangaran sirā Pu Tapa-Wangkeng mwang Pu Tapa-palet. Kalih pada kinon de sang prabhu hamkahana sirā Pu Bharang"...}} (Pigeaud, 1924:112)
Terjemahan: (Maka diutuslah dua orang pendeta Buddha bersaudara
bernama Pu Tapa-Wangkeng dan Pu Tapa-Palet. Keduanya disuruh oleh
sang Prabhu supaya membunuh Pu Bharang"...)


Turut diceritakan dalam teks naskah ''[[Pararaton]]'' bahwa sang raja bermaksud mengurangi hak-hak kaum [[Brahmana]]. Sang prabu menyatakan keinginannya untuk disembah selayaknya [[dewa]]. Permintaan Prabu Dhandhang Gendhis ini tentunya menimbulkan pertentangan juga perlawanan dari para pendeta maupun kaum Brahmana [[Hindu]] dan [[Buddha]]. Meskipun Prabu Dhandhang Gendhis unjuk kesaktian dengan duduk bersila di atas sebatang tombak tajam yang berdiri. Beberapa orang yang tak mau mengakui kedewaan Kertajaya lantas terpaksa harus disiksa dengan kejam. Sementara bagi yang mengakui kedewaannya akan dibebaskan dari segala hukuman dan diberikan kedudukan terhormat.
Perang antara [[Tumapel]] dan [[Kadiri]] terjadi begitu sengit di dekat desa [[Ganter]]. Para panglima [[Kadiri]] yaitu Mahisa Walungan (adik Dandhang Gendis) dan Gubar Baleman mati di tangan [[Ken Arok]]. Dandhang Gendis sendiri melarikan diri dan bersembunyi naik Menuju kahyangan.
{{cquote|[15]... Katuwon panduluring widhi sang ratu ring Daha siraji Ḍangḍang gěṇḍis angan dika ring parabhujangga sahaneng Daha, lingira: E, ki para bhujangga çewa-sogata, paran sangkanira nora aněmbah ring ingsun, apan ingsun sakṣat bhaṭâra Guru.” Sumahur parabhujangga sakapasuking naga-reng Kaḍiri: Pukulun tan wontěn ing kinakina bhujangga aněm-


[20]... bahi ratu.”Mangkana lingira bhujangga kabeh. Lingiraji Ḍangḍang
''[[Nagarakretagama]]'' juga mengisahkan secara singkat berita kekalahan Kertajaya tersebut. Disebutkan bahwa Kertajaya melarikan diri dan bersembunyi dalam ''dewalaya'' (alam tempat dewa).
gěṇḍis: Lah manawa kang ring kuna nora aněmbah, kang mangko
sunwehi pangawyakti.” Mangke ta siraji Ḍangḍang gěṇḍis
angaděgakěn tumbak, laṇḍeyanipun tinañcěbakěn ring lěmah, sira
ta alinggih, ring pucuking tumbak, tur angandika: ,, Lah pa-


[10]... rabhujangga dělěngěn kaçaktiningsun.”Sira ta katon acaturbhuja,
Kedua naskah tersebut memberitakan tempat pelarian Kertajaya adalah alam dewata. Kiranya yang dimaksud adalah Kertajaya bersembunyi di dalam sebuah candi pemujaan, atau mungkin Kertajaya tewas dan menjadi penghuni alam halus [[akhirat]]
atrinayana, sakṣat bhaṭâra Guru rupanira, winidhi aněmbaha
parabhujangga sakapasuking Daha, sama tan harěp aněmbaha tur
měrsah paḍa angungsi maring Tumapěl asewaka ring ken Angrok...}} (Brandes, 1920:18; Padmapuspita, 1966:21-21; dan Kasdi, 2008:54).
Terjemahan:
(Kebetulan dengan kehendak Dewata sang prabu Dhandhang Gendhis,
raja di Daha bertanya kepada para pendeta yang menghadap di Daha:
“Hai, para pendeta Śiwa-Buddha, mengapa kalian tidak menyembah
kepadaku, karena aku adalah (bagai) Bhaṭāra Guru”. Menjawablah semua
pendeta-pendeta semua (seluruh) pendeta yang berdiam di Kaḍiri:
“Tuanku, dari (zaman) dulu tak ada pendeta menyembah (kepada) raja”.
Demikianlah kata para pendeta semua. Berkatalah Dhandhang Gendhis:
“Kalau zaman dahulu tak ada yang menyembah, sekarang kalian harus
menyembah kepadaku, kalau kalian tidak tahu akan kesaktianku, maka
sekarang aku berikan buktinya”. Maka raja Dhandhang Gendhis
memasang sebuah tombak dengan tangkainya (hulu) ditancapkan
kedalam tanah, dia duduk diatas ujung tombak dan berkata: “Hai, para
pendeta, lihat kesaktianku!”. Maka dia tampak bertangan 4, bermata 3,
rupanya seperti Bhaṭāra Guru. Para pendeta di seluruh Daha dipaksa
menyembahnya, mereka tidak mau menyembah mereka mengungsi ke
Tumapěl dan menghadap (menghamba) kepada Ken Angrok"...)<br>(Hardjowardojo, 1965:29-30; Komandoko, 2008b:33; Kriswanto, 2009:51-53).


Kaum Brahmana dan para pendeta yang ketakutan mereka memilih menyingkir dan melarikan diri dari ibu kota [[Daha]]napura, dan karena kelaliman serta perilakunya itu membuat Kertajaya terus mendapat penolakan dari para kaum Brahmana. kaum Brahmana dan pendeta memilih meninggalkan ibu kota kerajaan sambil menceritakan tentang kesesatan maharaja Kertajaya kepada seluruh rakyat kerajaan yang ditemuinya. Kaum Brahmana dan para pendeta meminta perlindungan dari wilayah Tumapel ([[Malang]]) yang saat itu dibawah kepemimpinan Ken Arok. mereka memilih berlindung kepada [[Ken Angrok]], bawahan Dhandhang Gendhis yang menjadi ''akuwu'' (saat ini jabatan setingkat ''camat'') di wilayah Tumapel. Atas dukungan para Brahmana, Ken Arok lalu mengangkat dirinya menjadi raja dan menyatakan wilayah [[Tumapel]] sebagai kerajaan merdeka, lepas dari [[Panjalu]].
== Keturunan Kertajaya ==
Sejak tahun 1222 [[Kadiri]] menjadi daerah bawahan [[Tumapel]]. Menurut ''[[Nagarakretagama]]'', putra Kertajaya yang bernama Jayasabha diangkat [[Ken Arok]] sebagai bupati [[Kadiri]]. Tahun 1258 Jayasabha digantikan putranya, yang bernama Sastrajaya. Kemudian tahun 1271 Sastrajaya digantikan putranya yang bernama [[Jayakatwang]]. Pada tahun 1292 [[Jayakatwang]] memberontak dan mengakhiri riwayat [[Tumapel]].


Mengetahui hal ini, Kertajaya lalu mempersiapkan pasukan untuk menyerang Tumapel. Dhandhang Gendhis sama sekali tidak takut. Ia mengaku hanya bisa dikalahkan oleh [[Siwa]]. Mendengar hal itu, [[Ken Arok]] pun memakai gelar [[Batara Guru|Bhatara Guru]] (nama lain dewa Siwa) dan bergerak memimpin pasukan untuk menyerang Panjalu.
Berita tersebut tidak sesuai dengan naskah [[Prasasti Mula Malurung]] (1255), yang mengatakan kalau penguasa [[Kadiri]] setelah Kertajaya adalah Bhatara Parameswara putra Bhatara Siwa (alias [[Ken Arok]]). Adapun [[Jayakatwang]] menurut [[Prasasti Penanggungan]] adalah bupati [[Gelanggelang|Gelang-Gelang]], yang kemudian menjadi raja [[Kadiri]] setelah menghancurkan [[Tumapel]] tahun 1292.


== Referensi ==
== Pertempuran Ganter ==
{{Main|Pertempuran Genter}}
=== Catatan kaki ===
Pasukan [[Singhasari|Tumapel]] yang dipimpin [[Ken Angrok]] dengan dukungan dari kaum Brahmana melakukan serangan terhadap [[Kerajaan Kadiri|Panjalu]]. Kedua pasukan tersebut kemudian bertemu di dekat Ganter, wilayah timur [[Kadiri]].
{{reflist|2}}

=== Bahan bacaan ===
Perang antara Tumapel dan Panjalu terjadi dengan begitu sengit di dekat wilayah Ganter (sekarang Dusun Ganten, [[Ngantang, Malang]]). Para panglima perang Panjalu yaitu '''Mahisa Walungan''' (adik Dandhang Gendis) dan '''Gubar Baleman''' mati di tangan [[Ken Arok]]. Dandhang Gendis sendiri melarikan diri dan bersembunyi naik menuju kahyangan.

''[[Nagarakretagama]]'' juga mengisahkan secara singkat berita akan kekalahan Kertajaya tersebut. Disebutkan bahwa Kertajaya melarikan diri dan bersembunyi dalam ''dewalaya'' (alam tempat dewa).

Kedua naskah tersebut memberitakan tempat pelarian Kertajaya adalah alam dewata. Kemungkinan yang dimaksud adalah Kertajaya bersembunyi di dalam sebuah candi pemujaan, atau Kertajaya tewas dan pergi ke alam dewa.

== Kadiri menjadi bawahan Tumapel ==
Sejak kekalahan Kertajaya dalam pertempuran Ganter (palagan Ganter), pada tahun [[1222]] Panjalu menjadi daerah bawahan [[Tumapel]]. Menurut ''[[Nagarakretagama]]'', putra Kertajaya yang bernama Jayasabha diangkat [[Ken Arok]] sebagai adipati [[Kadiri]]. Tahun 1258 Jayasabha digantikan putranya, yang bernama Sastrajaya. Kemudian tahun 1271 Sastrajaya digantikan putranya yang bernama [[Jayakatwang]] yang menjadi adipati [[Gelanggelang]]. Pada tahun 1292 Jayakatwang memberontak dan mengakhiri riwayat Tumapel yang juga dikenal dengan [[Singhasari]].

Menurut keterangan yang didapat di dalam [[prasasti Mula Malurung]] (1255 M), menyebutkan kalau penguasa Kadiri setelah Kertajaya adalah [[Mahesa Wong Ateleng|Bhatara Parameswara]] putra Bhatara Siwa (alias Ken Arok). Sementara Jayakatwang menurut [[Prasasti Kudadu|prasasti Penanggungan]] adalah adipati Gelang-Gelang ([[Madiun]]-[[Ponorogo]]), yang kemudian menjadi raja Kadiri setelah menghancurkan Tumapel atau [[Singhasari]] di tahun 1292.

== Daftar pustaka ==
* [[Slamet Muljana]]. 1979. ''Nagarakretagama dan Tafsir Sejarahnya''. Jakarta: Bhratara
* [[Slamet Muljana]]. 1979. ''Nagarakretagama dan Tafsir Sejarahnya''. Jakarta: Bhratara
* [[Slamet Muljana]]. 2005. ''Menuju Puncak Kemegahan'' (terbitan ulang 1965). Yogyakarta: LKIS
* [[Slamet Muljana]]. 2005. ''Menuju Puncak Kemegahan'' (terbitan ulang 1965). Yogyakarta: LKIS
Baris 62: Baris 102:
[[Kategori:Tokoh Jawa Timur]]
[[Kategori:Tokoh Jawa Timur]]
[[Kategori:Tokoh Jawa]]
[[Kategori:Tokoh Jawa]]

[[en:Kertajaya]]

Revisi terkini sejak 9 September 2024 11.20

Kertajaya
Paduka Sri Maharaja Sri Sarweswara Triwikramawatara Anindita Srengga Lancana Digjaya Uttunggadewa
Raja Panjalu terakhir
Berkuasa11941222 M
PendahuluKameswara
KelahiranDaha
Jawa Timur
Kematian1222
Pertempuran Ganter, Ngantang, Kabupaten Malang, Jawa Timur
KeturunanJayasabha (menurut kitab Nagarakretagama
WangsaIsyana
AgamaHindu

Sri Maharaja Srengga atau dikenal sebagai Kertajaya dalam kitab Pararaton disebut juga dengan Dhandhang Gendhis meninggal pada tahun 1222, adalah raja terakhir dari Kerajaan Panjalu yang memerintah sekitar tahun (1188–1222). Di akhir pemerintahannya ia menyatakan ingin disembah sebagai dewa. Kertajaya dikalahkan oleh Ken Arok atau Sri Ranggah Rajasa dari Tumapel, yang menandai berakhirnya masa kerajaan Panjalu.[1]

Gambar bentuk lanchana Kertajaya pada prasasti Sapu Angin dikeluarkan saat masih menjadi putra mahkota

Dalam bahasa Sanskerta, Kṛtajaya berarti कृत krta (kemakmuran) dan जय jaya (kemenangan). Dari prasasti-prasasti yang dikeluarkan pada masa pemerintahannya dapat diketahui nama gelar abhiseka Kertajaya yang digunakan ialah Paduka Sri Maharaja Sri Sarweswara Triwikramawatara Anindita Srengga Lancana Digjaya Uttunggadewa.

Bukti kesejarahan keberadaan raja Kertajaya antara lain ditemukan dalam prasasti Sapu Angin (1190), prasasti Kamulan (1194), prasasti Palah (1197), prasasti Mleri II (1198), Prasasti Galunggung (1201), prasasti Biri (1202), prasasti Tuliskriyo (1202), prasasti Sumberingin (1204), prasasti Lawadan (1205), prasasti Cemandi (1205) dan prasasti Merjosari (1216).

Kertajaya merupakan tokoh nyata selain namanya termuat di dalam prasasti juga disebutkan di kakawin Nagarakretagama karya pujangga masa Majapahit bernama Mpu Prapanca, yang dibuat ratusan tahun setelah zaman Kadiri.

Pemberontakan Ken Arok

[sunting | sunting sumber]

Dalam Kitab Pararaton Maharaja Kertajaya disebut juga dengan nama Prabu Dhandhang Gendhis, dikisahkan di akhir masa pemerintahannya kondisi kestabilan sosial kerajaan Kadiri mulai menurun. Kondisi ini disebabkan kese-wenang-wenangan dari sang raja Kertajaya terhadap golongan pendeta, kese-wenang-wenangan Kertajaya yang berlaku otoriter terhadap para pendeta tersebut dikisahkan dalam Kitab Tantu Panggelaran, di dalam Tantu Panggelaran raja Kṛtajaya disebut dengan Śrī Mahārāja Taki.

"Ana ta sira ratu siniwing Daha, anak atuhā de haji Bhathati, Śrī Mahārāja Taki ngaranira. Sira ta siniwi ring Daha"...

(Pigeaud, 1924:112)

Terjemahan: (Adalah raja dihormati di Daha, anak tertua raja Bhathati, Śrī Mahārāja Taki namanya. Dia dihormati di Daha"...)

Dalam bagian ke VII dalam kitab Tantu Panggelaran dikisahkan bahwa Sri Maharaja Taki hendak berkeinginan untuk membunuh pendeta sakti yang bernama Pu Bharang.

"Ya ta matus ri sang sogata kalih sanak, mangaran sirā Pu Tapa-Wangkeng mwang Pu Tapa-palet. Kalih pada kinon de sang prabhu hamkahana sirā Pu Bharang"...

(Pigeaud, 1924:112)

Terjemahan: (Maka diutuslah dua orang pendeta Buddha bersaudara bernama Pu Tapa-Wangkeng dan Pu Tapa-Palet. Keduanya disuruh oleh sang Prabhu supaya membunuh Pu Bharang"...)

Turut diceritakan dalam teks naskah Pararaton bahwa sang raja bermaksud mengurangi hak-hak kaum Brahmana. Sang prabu menyatakan keinginannya untuk disembah selayaknya dewa. Permintaan Prabu Dhandhang Gendhis ini tentunya menimbulkan pertentangan juga perlawanan dari para pendeta maupun kaum Brahmana Hindu dan Buddha. Meskipun Prabu Dhandhang Gendhis unjuk kesaktian dengan duduk bersila di atas sebatang tombak tajam yang berdiri. Beberapa orang yang tak mau mengakui kedewaan Kertajaya lantas terpaksa harus disiksa dengan kejam. Sementara bagi yang mengakui kedewaannya akan dibebaskan dari segala hukuman dan diberikan kedudukan terhormat.

[15]... Katuwon panduluring widhi sang ratu ring Daha siraji Ḍangḍang gěṇḍis angan dika ring parabhujangga sahaneng Daha, lingira: E, ki para bhujangga çewa-sogata, paran sangkanira nora aněmbah ring ingsun, apan ingsun sakṣat bhaṭâra Guru.” Sumahur parabhujangga sakapasuking naga-reng Kaḍiri: Pukulun tan wontěn ing kinakina bhujangga aněm-

[20]... bahi ratu.”Mangkana lingira bhujangga kabeh. Lingiraji Ḍangḍang gěṇḍis: Lah manawa kang ring kuna nora aněmbah, kang mangko sunwehi pangawyakti.” Mangke ta siraji Ḍangḍang gěṇḍis angaděgakěn tumbak, laṇḍeyanipun tinañcěbakěn ring lěmah, sira ta alinggih, ring pucuking tumbak, tur angandika: ,, Lah pa-

[10]... rabhujangga dělěngěn kaçaktiningsun.”Sira ta katon acaturbhuja, atrinayana, sakṣat bhaṭâra Guru rupanira, winidhi aněmbaha parabhujangga sakapasuking Daha, sama tan harěp aněmbaha tur

měrsah paḍa angungsi maring Tumapěl asewaka ring ken Angrok...

(Brandes, 1920:18; Padmapuspita, 1966:21-21; dan Kasdi, 2008:54).

Terjemahan: (Kebetulan dengan kehendak Dewata sang prabu Dhandhang Gendhis, raja di Daha bertanya kepada para pendeta yang menghadap di Daha: “Hai, para pendeta Śiwa-Buddha, mengapa kalian tidak menyembah kepadaku, karena aku adalah (bagai) Bhaṭāra Guru”. Menjawablah semua pendeta-pendeta semua (seluruh) pendeta yang berdiam di Kaḍiri: “Tuanku, dari (zaman) dulu tak ada pendeta menyembah (kepada) raja”. Demikianlah kata para pendeta semua. Berkatalah Dhandhang Gendhis: “Kalau zaman dahulu tak ada yang menyembah, sekarang kalian harus menyembah kepadaku, kalau kalian tidak tahu akan kesaktianku, maka sekarang aku berikan buktinya”. Maka raja Dhandhang Gendhis memasang sebuah tombak dengan tangkainya (hulu) ditancapkan kedalam tanah, dia duduk diatas ujung tombak dan berkata: “Hai, para pendeta, lihat kesaktianku!”. Maka dia tampak bertangan 4, bermata 3, rupanya seperti Bhaṭāra Guru. Para pendeta di seluruh Daha dipaksa menyembahnya, mereka tidak mau menyembah mereka mengungsi ke Tumapěl dan menghadap (menghamba) kepada Ken Angrok"...)
(Hardjowardojo, 1965:29-30; Komandoko, 2008b:33; Kriswanto, 2009:51-53).

Kaum Brahmana dan para pendeta yang ketakutan mereka memilih menyingkir dan melarikan diri dari ibu kota Dahanapura, dan karena kelaliman serta perilakunya itu membuat Kertajaya terus mendapat penolakan dari para kaum Brahmana. kaum Brahmana dan pendeta memilih meninggalkan ibu kota kerajaan sambil menceritakan tentang kesesatan maharaja Kertajaya kepada seluruh rakyat kerajaan yang ditemuinya. Kaum Brahmana dan para pendeta meminta perlindungan dari wilayah Tumapel (Malang) yang saat itu dibawah kepemimpinan Ken Arok. mereka memilih berlindung kepada Ken Angrok, bawahan Dhandhang Gendhis yang menjadi akuwu (saat ini jabatan setingkat camat) di wilayah Tumapel. Atas dukungan para Brahmana, Ken Arok lalu mengangkat dirinya menjadi raja dan menyatakan wilayah Tumapel sebagai kerajaan merdeka, lepas dari Panjalu.

Mengetahui hal ini, Kertajaya lalu mempersiapkan pasukan untuk menyerang Tumapel. Dhandhang Gendhis sama sekali tidak takut. Ia mengaku hanya bisa dikalahkan oleh Siwa. Mendengar hal itu, Ken Arok pun memakai gelar Bhatara Guru (nama lain dewa Siwa) dan bergerak memimpin pasukan untuk menyerang Panjalu.

Pertempuran Ganter

[sunting | sunting sumber]

Pasukan Tumapel yang dipimpin Ken Angrok dengan dukungan dari kaum Brahmana melakukan serangan terhadap Panjalu. Kedua pasukan tersebut kemudian bertemu di dekat Ganter, wilayah timur Kadiri.

Perang antara Tumapel dan Panjalu terjadi dengan begitu sengit di dekat wilayah Ganter (sekarang Dusun Ganten, Ngantang, Malang). Para panglima perang Panjalu yaitu Mahisa Walungan (adik Dandhang Gendis) dan Gubar Baleman mati di tangan Ken Arok. Dandhang Gendis sendiri melarikan diri dan bersembunyi naik menuju kahyangan.

Nagarakretagama juga mengisahkan secara singkat berita akan kekalahan Kertajaya tersebut. Disebutkan bahwa Kertajaya melarikan diri dan bersembunyi dalam dewalaya (alam tempat dewa).

Kedua naskah tersebut memberitakan tempat pelarian Kertajaya adalah alam dewata. Kemungkinan yang dimaksud adalah Kertajaya bersembunyi di dalam sebuah candi pemujaan, atau Kertajaya tewas dan pergi ke alam dewa.

Kadiri menjadi bawahan Tumapel

[sunting | sunting sumber]

Sejak kekalahan Kertajaya dalam pertempuran Ganter (palagan Ganter), pada tahun 1222 Panjalu menjadi daerah bawahan Tumapel. Menurut Nagarakretagama, putra Kertajaya yang bernama Jayasabha diangkat Ken Arok sebagai adipati Kadiri. Tahun 1258 Jayasabha digantikan putranya, yang bernama Sastrajaya. Kemudian tahun 1271 Sastrajaya digantikan putranya yang bernama Jayakatwang yang menjadi adipati Gelanggelang. Pada tahun 1292 Jayakatwang memberontak dan mengakhiri riwayat Tumapel yang juga dikenal dengan Singhasari.

Menurut keterangan yang didapat di dalam prasasti Mula Malurung (1255 M), menyebutkan kalau penguasa Kadiri setelah Kertajaya adalah Bhatara Parameswara putra Bhatara Siwa (alias Ken Arok). Sementara Jayakatwang menurut prasasti Penanggungan adalah adipati Gelang-Gelang (Madiun-Ponorogo), yang kemudian menjadi raja Kadiri setelah menghancurkan Tumapel atau Singhasari di tahun 1292.

Daftar pustaka

[sunting | sunting sumber]
  • Slamet Muljana. 1979. Nagarakretagama dan Tafsir Sejarahnya. Jakarta: Bhratara
  • Slamet Muljana. 2005. Menuju Puncak Kemegahan (terbitan ulang 1965). Yogyakarta: LKIS
Didahului oleh:
Sri Kameswara
Raja Kadiri
1185—1222
Diteruskan oleh:
Jayakatwang
  1. ^ https://www.britannica.com/biography/Kertajaya