Lompat ke isi

Kesunanan Surakarta Hadiningrat: Perbedaan antara revisi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Konten dihapus Konten ditambahkan
Menghapus Ldr._Sri_Katon_Pl_Br_-_Gamelan_Kraton_Kasunanan_Surakarta.wav karena telah dihapus dari Commons oleh Yann; alasan: per c:COM:NETCOPYVIO.
Amangkubumi (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
Tag: Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler
 
(21 revisi perantara oleh 7 pengguna tidak ditampilkan)
Baris 1: Baris 1:
{{Infobox Former Country
{{Infobox Former Country
| conventional_long_name = Kesunanan Surakarta Hadiningrat
| conventional_long_name = Kesunanan Surakarta Hadiningrat
| native_name = {{jav|ꦑꦱꦸꦤꦤꦤ꧀ꦯꦸꦫꦏꦂꦠꦲꦢꦶꦤꦶꦁ​ꦫꦠ꧀}}{{br}}{{sub|''Kasunanan Surakarta Hadiningrat''}}
| native_name = {{jav|ꦑꦱꦸꦤꦤꦤ꧀ꦯꦸꦫꦏꦂꦠꦲꦢꦶꦤꦶꦁꦫꦠ꧀}}{{br}}{{sub|''Kasunanan Surakarta Hadiningrat''}}
| common_name = Kesunanan Surakarta
| common_name = Kesunanan Surakarta
| image_flag = Flag of Sunanate of Surakarta.svg
| image_flag = Flag of Sunanate of Surakarta.svg
Baris 7: Baris 7:
| image_coat = Radyalaksana The Emblem of Surakarta Kingdom.svg
| image_coat = Radyalaksana The Emblem of Surakarta Kingdom.svg
| royal_anthem = ''Ladrang Sri Katon''<ref name=ladrang>[https://www.youtube.com/watch?v=ALUzbvBNoA8 Ldr. Sri Katon Pl. Br. - Gamelan Kraton Kasunanan Surakarta]</ref>
| royal_anthem = ''Ladrang Sri Katon''<ref name=ladrang>[https://www.youtube.com/watch?v=ALUzbvBNoA8 Ldr. Sri Katon Pl. Br. - Gamelan Kraton Kasunanan Surakarta]</ref>
[[File:Ldr. Sri Katon Pl Br - Gamelan Kraton Kasunanan Surakarta.wav|thumb|Ladrang Sri Katon]]
| image_map = Mataram Baru 1830.png
| image_map = Mataram Baru 1830.png
| image_map_caption = Wilayah Kesunanan Surakarta sejak tahun [[1830]] (warna merah tua); termasuk berbagai daerah [[enklave|enklavenya]] serta wilayah [[Kadipaten Mangkunegaran]] (warna merah muda), yang merupakan [[negara vasal|wilayah vasal]] dari Kesunanan Surakarta.<ref name="mangkunegaran">Wasino. (2014) ''Modernisasi di Jantung Budaya Jawa: Mangkunegaran 1896-1944''. Jakarta: Kompas Media Nusantara.</ref><ref name="dunia">Soeratman, Darsiti. (1989) ''Kehidupan Dunia Kraton Surakrata 1830-1939''. Yogyakarta: Yayasan Penerbitan Tamansiswa.</ref>
| image_map_caption = Wilayah Kesunanan Surakarta sejak tahun 1830 (warna merah tua); termasuk berbagai daerah [[enklave|enklavenya]] serta wilayah [[Kadipaten Mangkunegaran]] (warna merah muda), yang merupakan [[negara vasal|wilayah vasal]] dari Kesunanan Surakarta.<ref name="mangkunegaran">Wasino. (2014) ''Modernisasi di Jantung Budaya Jawa: Mangkunegaran 1896-1944''. Jakarta: Kompas Media Nusantara.</ref><ref name="dunia">Soeratman, Darsiti. (1989) ''Kehidupan Dunia Kraton Surakrata 1830-1939''. Yogyakarta: Yayasan Penerbitan Tamansiswa.</ref>
| capital = [[Surakarta]]
| capital = [[Surakarta]]
| official_languages = [[bahasa Jawa|Jawa]]
| official_languages = [[bahasa Jawa|Jawa]]
Baris 52: Baris 53:


{{Infobox monarchy|border=Sultanate|coatofarms=Radyalaksana The Emblem of Surakarta Kingdom.svg|date=1745|first_monarch=[[Pakubuwana II|Susuhunan Pakubuwana II]]|incumbent=[[Pakubuwana XIII|Susuhunan Pakubuwana XIII]]|native_name=
{{Infobox monarchy|border=Sultanate|coatofarms=Radyalaksana The Emblem of Surakarta Kingdom.svg|date=1745|first_monarch=[[Pakubuwana II|Susuhunan Pakubuwana II]]|incumbent=[[Pakubuwana XIII|Susuhunan Pakubuwana XIII]]|native_name=
|realm=[[Kesunanan Surakarta|Surakarta]]|residence=[[Keraton Surakarta|Keraton Surakarta Hadiningrat]]|royal_title=[[Susuhunan]]|heir_presumptive=KGPAA. Hamangkunegara Sudibya Rajaputra Narendra ing Mataram (KGPH. Purubaya)|incumbentsince=10 September 2004|image=Susuhunan Pakubuwono XIII.jpg
|realm=[[Kesunanan Surakarta|Surakarta]]|residence=[[Keraton Surakarta|Keraton Surakarta Hadiningrat]]|royal_title=[[Susuhunan]]|heir_presumptive=[[KGPAA. Hamangkunegara Sudibya Rajaputra Narendra ing Mataram (KGPH. Purubaya)]]|incumbentsince=10 September 2004|image=Susuhunan Pakubuwono XIII.jpg
|appointer=[[Hereditas]]|coatofarmscaption=Sri Radya Laksana (Lambang Kerajaan)
|appointer=[[Hereditas]]|coatofarmscaption=Sri Radya Laksana (Lambang Kerajaan)
}}
}}


'''Kesunanan Surakarta Hadiningrat''' ([[bahasa Jawa]]: ꦟꦒꦫꦶꦑꦱꦸꦤꦤꦤ꧀ꦯꦸꦫꦏꦂꦠꦲꦢꦶꦤꦶꦁ​ꦫꦠ꧀; ''Nagari Kasunanan Surakarta Hadiningrat'') adalah sebuah kerajaan di [[Pulau Jawa]] bagian tengah yang berdiri pada tahun [[1745]], yang merupakan penerus dari [[Kesultanan Mataram]] yang beribu kota di [[Keraton Kartasura|Kartasura]] dan selanjutnya berpindah di [[Surakarta]]. Pada tahun [[1755]], sebagai hasil dari [[Perjanjian Giyanti]] yang disahkan pada tanggal [[13 Februari]] [[1755]] antara [[VOC]] (''Vereenigde Oostindische Compagnie'') dengan [[Hamengkubuwana I|Pangeran Mangkubumi]],<ref>{{Cite journal|last=Prasadana|first=Muhammad Anggie Farizqi|last2=Gunawan|first2=Hendri|date=2019-06-17|title=KERUNTUHAN BIROKRASI TRADISIONAL DI KASUNANAN SURAKARTA|url=http://handep.kemdikbud.go.id/index.php/handep/article/view/36|journal=Handep: Jurnal Sejarah dan Budaya|volume=2|issue=2|pages=187–200|doi=10.33652/handep.v2i2.36|issn=2684-7256}}</ref><ref name="talk">[https://www.youtube.com/watch?v=lvbjV-fzb9c TALK SHOW "NILAI-NILAI SENI BUDAYA KARATON SURAKARTA HADININGRAT" NARASUMBER GKR. WANDANSARI]</ref> disepakati bahwa wilayah Mataram dibagi menjadi dua pemerintahan, yaitu Surakarta dan [[Kesultanan Yogyakarta|Yogyakarta]].<ref>{{cite web|url=https://historia.id/politik/articles/perjanjian-giyanti-membelah-mataram-DWV1k|title=Perjanjian Giyanti Membelah Mataram}}</ref>
'''Kesunanan Surakarta Hadiningrat''' ([[bahasa Jawa]]: ꦟꦒꦫꦶꦑꦱꦸꦤꦤꦤ꧀ꦯꦸꦫꦏꦂꦠꦲꦢꦶꦤꦶꦁꦫꦠ꧀; ''Nagari Kasunanan Surakarta Hadiningrat'') adalah sebuah kerajaan di [[Jawa|Pulau Jawa]] bagian tengah yang berdiri pada tahun 1745, yang merupakan penerus dari [[Kesultanan Mataram]] yang beribu kota di [[Keraton Kartasura|Kartasura]] dan selanjutnya berpindah di [[Kota Surakarta|Surakarta]]. Pada tahun 1755, sebagai hasil dari [[Perjanjian Giyanti]] yang disahkan pada tanggal 13 Februari 1755 antara [[Perusahaan Hindia Timur Belanda|VOC]] (''Vereenigde Oostindische Compagnie'') dengan [[Hamengkubuwana I|Pangeran Mangkubumi]],<ref>{{Cite journal|last=Prasadana|first=Muhammad Anggie Farizqi|last2=Gunawan|first2=Hendri|date=2019-06-17|title=KERUNTUHAN BIROKRASI TRADISIONAL DI KASUNANAN SURAKARTA|url=http://handep.kemdikbud.go.id/index.php/handep/article/view/36|journal=Handep: Jurnal Sejarah dan Budaya|volume=2|issue=2|pages=187–200|doi=10.33652/handep.v2i2.36|issn=2684-7256}}</ref><ref name="talk">[https://www.youtube.com/watch?v=lvbjV-fzb9c TALK SHOW "NILAI-NILAI SENI BUDAYA KARATON SURAKARTA HADININGRAT" NARASUMBER GKR. WANDANSARI]</ref> disepakati bahwa wilayah Mataram dibagi menjadi dua pemerintahan, yaitu Surakarta dan [[Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat|Yogyakarta]].<ref>{{cite web|url=https://historia.id/politik/articles/perjanjian-giyanti-membelah-mataram-DWV1k|title=Perjanjian Giyanti Membelah Mataram}}</ref>


Semula, sejak tahun [[1745]] hingga peristiwa [[Perjanjian Giyanti|Palihan Nagari]] pada tahun [[1755]], Kesunanan Surakarta yang beribu kota di Surakarta merupakan kelanjutan dari Kesultanan Mataram yang sebelumnya berkedudukan di [[Keraton Kartasura|Kartasura]], baik dari segi wilayah, pemerintahan, maupun kedudukan penguasanya. Kemudian, berlakunya [[Perjanjian Giyanti]] dan diadakannya [[Perjanjian Jatisari|Pertemuan Jatisari]] pada tahun [[1755]] menyebabkan terpecahnya Kesunanan Surakarta menjadi dua kerajaan; kota Surakarta tetap menjadi pusat pemerintahan sebagian wilayah Kesunanan Surakarta dengan rajanya yaitu [[Pakubuwana III|Susuhunan Pakubuwana III]],<ref>[https://www.youtube.com/watch?v=3wHNbzcIR6g KERATON SOLO Temukan Situs Perjanjian Jatisari, Bukti Keraton Solo Bukan Antek Belanda]</ref> sedangkan sebagian wilayah Kesunanan Surakarta yang lain diperintah oleh [[Hamengkubuwana I|Sultan Hamengkubuwana I]] yang berkedudukan di kota [[Kota Yogyakarta|Yogyakarta]], dan wilayah kerajaannya kemudian disebut sebagai [[Kesultanan Yogyakarta]]. [[Keraton Yogyakarta|Keraton]] dan kota [[Kota Yogyakarta|Yogyakarta]] sendiri baru dibangun pada [[1755]], dengan pola tata kota yang sama dengan Surakarta yang lebih dulu berdiri. Adanya [[Perjanjian Salatiga]] tanggal [[17 Maret]] [[1757]] turut memperkecil wilayah Kesunanan, dengan diberikannya sebagian daerah [[apanase]] di dalam wilayah ''Nagara Agung'' (wilayah inti di sekitar ibu kota kerajaan) kepada pihak [[Raden Mas Said]] yang kemudian bergelar Adipati Mangkunegara I.<ref>{{cite journal|author=Eko Punto Hendro|title=Strategi Kebudayaan Perjuangan Pahlawan Nasional Pangeran Sambernyowo|journal=Endogami:Jurnal Ilmiah Kajian Antropologi|pages=42-54|url=https://ejournal.undip.ac.id/index.php/endogami/article/download/16837/12215|format=[[PDF]]}}</ref>
Semula, sejak tahun 1745 hingga peristiwa [[Perjanjian Giyanti|Palihan Nagari]] pada tahun 1755, Kesunanan Surakarta yang beribu kota di Surakarta merupakan kelanjutan dari Kesultanan Mataram yang sebelumnya berkedudukan di [[Keraton Kartasura|Kartasura]], baik dari segi wilayah, pemerintahan, maupun kedudukan penguasanya. Kemudian, berlakunya [[Perjanjian Giyanti]] dan diadakannya [[Perjanjian Jatisari|Pertemuan Jatisari]] pada tahun 1755 menyebabkan terpecahnya Kesunanan Surakarta menjadi dua kerajaan; kota Surakarta tetap menjadi pusat pemerintahan sebagian wilayah Kesunanan Surakarta dengan rajanya yaitu [[Pakubuwana III|Susuhunan Pakubuwana III]],<ref>[https://www.youtube.com/watch?v=3wHNbzcIR6g KERATON SOLO Temukan Situs Perjanjian Jatisari, Bukti Keraton Solo Bukan Antek Belanda]</ref> sedangkan sebagian wilayah Kesunanan Surakarta yang lain diperintah oleh [[Hamengkubuwana I|Sultan Hamengkubuwana I]] yang berkedudukan di kota [[Kota Yogyakarta|Yogyakarta]], dan wilayah kerajaannya kemudian disebut sebagai [[Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat|Kesultanan Yogyakarta]]. [[Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat|Keraton]] dan kota [[Kota Yogyakarta|Yogyakarta]] sendiri baru dibangun pada 1755, dengan pola tata kota yang sama dengan Surakarta yang lebih dulu berdiri. Adanya [[Perjanjian Salatiga]] tanggal 17 Maret 1757 turut memperkecil wilayah Kesunanan, dengan diberikannya sebagian daerah [[apanase]] di dalam wilayah ''Nagara Agung'' (wilayah inti di sekitar ibu kota kerajaan) kepada pihak [[Mangkunegara I|Raden Mas Said]] yang kemudian bergelar Adipati Mangkunegara I.<ref>{{cite journal|author=Eko Punto Hendro|title=Strategi Kebudayaan Perjuangan Pahlawan Nasional Pangeran Sambernyowo|journal=Endogami:Jurnal Ilmiah Kajian Antropologi|pages=42-54|url=https://ejournal.undip.ac.id/index.php/endogami/article/download/16837/12215|format=[[PDF]]}}</ref>


Sejak tahun [[1755]] itulah, Kesunanan Surakarta bersama dengan Kesultanan Yogyakarta dianggap sebagai pengganti dan penerus [[Kesultanan Mataram]], karena raja-rajanya merupakan kelanjutan dan keturunan raja-raja [[Wangsa Mataram|Mataram]]. Setiap raja Kesunanan Surakarta bergelar [[susuhunan]] atau sunan, sedangkan raja Kesultanan Yogyakarta bergelar [[sultan]].
Sejak tahun 1755 itulah, Kesunanan Surakarta bersama dengan Kesultanan Yogyakarta dianggap sebagai pengganti dan penerus [[Kesultanan Mataram]], karena raja-rajanya merupakan kelanjutan dan keturunan raja-raja [[Wangsa Mataram|Mataram]]. Setiap raja Kesunanan Surakarta bergelar [[susuhunan]] atau sunan, sedangkan raja Kesultanan Yogyakarta bergelar [[sultan]].


== Latar Belakang ==
== Latar Belakang ==


Setelah Kesultanan Mataram yang beribu kota di [[Keraton Plered|Plered]] porak-poranda akibat pemberontakan [[Trunajaya]] tahun [[1677]],<ref>{{cite web|url=https://tirto.id/aksi-trunojoyo-melawan-mataram-dan-dihukum-mati-cD7T|title=Trunojoyo Melawan Mataram dan Dihukum Mati}}</ref> ibu kotanya lalu dipindahkan oleh [[Amangkurat II|Susuhunan Amangkurat II]] ke [[Keraton Kartasura|Kartasura]].<ref>{{cite journal|author=Siswanta|title=Sejarah Perkembangan Mataram Islam Kraton Plered|journal=Karmawibangga:Historical Studies Journal|volume=1|pages=33-42|date=2019|url=https://journal.upy.ac.id/index.php/karmawibangga/article/view/329/228|format=[[PDF]]}}</ref>
Setelah Kesultanan Mataram yang beribu kota di [[Keraton Plered|Plered]] porak-poranda akibat pemberontakan [[Trunajaya]] tahun 1677,<ref>{{cite web|url=https://tirto.id/aksi-trunojoyo-melawan-mataram-dan-dihukum-mati-cD7T|title=Trunojoyo Melawan Mataram dan Dihukum Mati}}</ref> ibu kotanya lalu dipindahkan oleh [[Amangkurat II|Susuhunan Amangkurat II]] ke [[Keraton Kartasura|Kartasura]].<ref>{{cite journal|author=Siswanta|title=Sejarah Perkembangan Mataram Islam Kraton Plered|journal=Karmawibangga:Historical Studies Journal|volume=1|pages=33-42|date=2019|url=https://journal.upy.ac.id/index.php/karmawibangga/article/view/329/228|format=[[PDF]]}}</ref>
Pada masa [[Pakubuwana II|Susuhunan Pakubuwana II]] memegang tampuk pemerintahan, [[Keraton Kartasura]] mendapat serbuan dari pemberontakan orang-orang [[Tionghoa]] yang mendapat dukungan dari orang-orang [[Jawa]] anti [[VOC]] di tahun [[1742]]. Peristiwa tersebut merupakan bagian dari sebuah konflik panjang yang dikenal sebagai [[Geger Pecinan|Geger Pacinan]]. Kesultanan Mataram yang berpusat di [[Keraton Kartasura|Kartasura]] itu akhirnya mengalami keruntuhan. Kota Kartasura kemudian berhasil direbut kembali berkat bantuan [[Cakraningrat IV|Panembahan Cakraningrat IV]], seorang penguasa [[Bangkalan]] yang merupakan sekutu VOC, namun keadaannya sudah rusak parah. [[Pakubuwana II|Susuhunan Pakubuwana II]] yang menyingkir ke [[Ponorogo]], akhirnya memutuskan untuk membangun istana baru di Desa Sala sebagai ibu kota Kerajaan Mataram yang baru.
Pada masa [[Pakubuwana II|Susuhunan Pakubuwana II]] memegang tampuk pemerintahan, [[Keraton Kartasura]] mendapat serbuan dari pemberontakan orang-orang [[Tionghoa]] yang mendapat dukungan dari orang-orang [[Jawa]] anti [[VOC]] di tahun 1742. Peristiwa tersebut merupakan bagian dari sebuah konflik panjang yang dikenal sebagai [[Geger Pecinan|Geger Pacinan]]. Kesultanan Mataram yang berpusat di [[Keraton Kartasura|Kartasura]] itu akhirnya mengalami keruntuhan. Kota Kartasura kemudian berhasil direbut kembali berkat bantuan [[Cakraningrat IV|Panembahan Cakraningrat IV]], seorang penguasa [[Bangkalan]] yang merupakan sekutu VOC, namun keadaannya sudah rusak parah. [[Pakubuwana II|Susuhunan Pakubuwana II]] yang menyingkir ke [[Ponorogo]], akhirnya memutuskan untuk membangun istana baru di Desa Sala sebagai ibu kota Kerajaan Mataram yang baru.


== Pemindahan Keraton dari Kartasura ke Sala ==
== Pemindahan Keraton dari Kartasura ke Sala ==
Baris 71: Baris 72:
=== Alasan Pemindahan ===
=== Alasan Pemindahan ===


Bangunan [[Keraton Kartasura]] yang sudah hancur karena serbuan pemberontak di tahun [[1742]], kemudian dianggap telah "tercemar". Susuhunan Pakubuwana II lalu memerintahkan Tumenggung Hanggawangsa (bernama kecil Jaka Sangrib atau Kentol Surawijaya, kelak diberi gelar Tumenggung Arungbinang I), bersama Tumenggung Mangkuyudha, serta komandan pasukan Belanda, J.A.B. van Hohendorff, untuk mencari lokasi [[ibu kota]] dan [[keraton]] yang baru. Setelah itu, dibangunlah sebuah kompleks keraton di lokasi ibu kota baru yang sudah ditetapkan, yang berjarak sekitar 20&nbsp;km ke arah tenggara dari Kartasura; tepatnya yaitu berada di Desa Sala, sebuah desa yang terletak di tepi [[Bengawan Solo]] ([[bahasa Jawa]]: ''Bengawan Sala''). Untuk pembangunan keraton tersebut, Pakubuwana II membeli tanah seharga selaksa keping emas<ref>[http://blusukansolo.tumblr.com/post/21705105765/resume-singkat-blusukan-ndalem-pangeran Resume Singkat Blusukan Ndalem Pangeran] {{Webarchive|url=https://web.archive.org/web/20150105141418/http://blusukansolo.tumblr.com/post/21705105765/resume-singkat-blusukan-ndalem-pangeran |date=2015-01-05 }}. Blusukan Solo. Diakses 5 Januari 2015.</ref> yang diberikan kepada ''akuwu'' (lurah) Desa Sala yang dikenal sebagai Ki Gedhe Sala. Di tengah pembangunan keraton, Ki Gedhe Sala meninggal dan dimakamkan di area keraton.<ref name="kompleks bangunan keraton surakarta">{{cite web|url=https://balaibauwarna.blogspot.com/2012/07/kompleks-bangunan-keraton-surakarta.html|title=Kompleks Bangunan Keraton Surakarta}}</ref><ref name="gusti puger">[https://www.youtube.com/watch?v=9ulv9ggpwG8 KGPH. Puger: Kyai Sala dan Ki Gede Sala adalah Dua Tokoh Berbeda] ''Youtube.com''</ref>
Bangunan [[Keraton Kartasura]] yang sudah hancur karena serbuan pemberontak di tahun 1742, kemudian dianggap telah "tercemar". Susuhunan Pakubuwana II lalu memerintahkan Tumenggung Hanggawangsa (bernama kecil Jaka Sangrib atau Kentol Surawijaya, kelak diberi gelar Tumenggung Arungbinang I), bersama Tumenggung Mangkuyudha, serta komandan pasukan Belanda, J.A.B. van Hohendorff, untuk mencari lokasi [[ibu kota]] dan [[keraton]] yang baru. Setelah itu, dibangunlah sebuah kompleks keraton di lokasi ibu kota baru yang sudah ditetapkan, yang berjarak sekitar 20&nbsp;km ke arah tenggara dari Kartasura; tepatnya yaitu berada di Desa Sala, sebuah desa yang terletak di tepi [[Bengawan Solo]] ([[bahasa Jawa]]: ''Bengawan Sala''). Untuk pembangunan keraton tersebut, Pakubuwana II membeli tanah seharga selaksa keping emas<ref>[http://blusukansolo.tumblr.com/post/21705105765/resume-singkat-blusukan-ndalem-pangeran Resume Singkat Blusukan Ndalem Pangeran] {{Webarchive|url=https://web.archive.org/web/20150105141418/http://blusukansolo.tumblr.com/post/21705105765/resume-singkat-blusukan-ndalem-pangeran |date=2015-01-05 }}. Blusukan Solo. Diakses 5 Januari 2015.</ref> yang diberikan kepada ''akuwu'' (lurah) Desa Sala yang dikenal sebagai Ki Gedhe Sala. Di tengah pembangunan keraton, Ki Gedhe Sala meninggal dan dimakamkan di area keraton.<ref name="kompleks bangunan keraton surakarta">{{cite web|url=https://balaibauwarna.blogspot.com/2012/07/kompleks-bangunan-keraton-surakarta.html|title=Kompleks Bangunan Keraton Surakarta}}</ref><ref name="gusti puger">[https://www.youtube.com/watch?v=9ulv9ggpwG8 KGPH. Puger: Kyai Sala dan Ki Gede Sala adalah Dua Tokoh Berbeda] ''Youtube.com''</ref>


Pemindahan keraton dari Kartasura ke Desa Sala dilakukan dengan berbagai pertimbangan. Pertama, menurut ahli nujum Raden Tumenggung Hanggawangsa, kerajaan itu bisa menjadi baik, ramai, serta makmur. Walaupun kekuasaan raja tidak seberapa luas, namun kekuasaan itu dapat berlangsung lama. Kedua, Desa Sala terletak di dekat ''tempuran'', artinya tempat bertemunya dua sungai, yaitu Sungai Pepe dan [[Bengawan Solo]]. Menurut mistik Jawa, ''tempuran'' mempunyai arti magis dan tempat-tempat di dekatnya dianggap keramat. Ketiga, letak Desa Sala dekat dengan Bengawan Solo, sungai terbesar di Jawa yang sejak zaman dahulu mempunyai arti penting sebagai penghubung antara Jawa bagian tengah dengan Jawa bagian timur. Fungsi Bengawan Solo sebagai penghubung ini dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan, antara lain ekonomi, sosial, politik, dan militer. Sampai abad ke-19, bepergian lewat sungai ternyata lebih aman daripada melewati jalur darat.
Pemindahan keraton dari Kartasura ke Desa Sala dilakukan dengan berbagai pertimbangan. Pertama, menurut ahli nujum Raden Tumenggung Hanggawangsa, kerajaan itu bisa menjadi baik, ramai, serta makmur. Walaupun kekuasaan raja tidak seberapa luas, namun kekuasaan itu dapat berlangsung lama. Kedua, Desa Sala terletak di dekat ''tempuran'', artinya tempat bertemunya dua sungai, yaitu Sungai Pepe dan [[Bengawan Solo]]. Menurut mistik Jawa, ''tempuran'' mempunyai arti magis dan tempat-tempat di dekatnya dianggap keramat. Ketiga, letak Desa Sala dekat dengan Bengawan Solo, sungai terbesar di Jawa yang sejak zaman dahulu mempunyai arti penting sebagai penghubung antara Jawa bagian tengah dengan Jawa bagian timur. Fungsi Bengawan Solo sebagai penghubung ini dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan, antara lain ekonomi, sosial, politik, dan militer. Sampai abad ke-19, bepergian lewat sungai ternyata lebih aman daripada melewati jalur darat.
Baris 89: Baris 90:
[[Berkas:MsGiyanti.jpg|ka|jmpl|Naskah [[Perjanjian Giyanti]], perjanjian antara [[VOC]] dengan Pangeran Mangkubumi ([[Hamengkubuwana I|Sultan Hamengkubuwana I]]) yang menyebabkan wilayah [[Kesultanan Mataram|Mataram]] terbagi menjadi dua,<ref name="talk"/> yang kemudian masing-masing dikenal sebagai Kesunanan Surakarta dan [[Kesultanan Yogyakarta]].]]
[[Berkas:MsGiyanti.jpg|ka|jmpl|Naskah [[Perjanjian Giyanti]], perjanjian antara [[VOC]] dengan Pangeran Mangkubumi ([[Hamengkubuwana I|Sultan Hamengkubuwana I]]) yang menyebabkan wilayah [[Kesultanan Mataram|Mataram]] terbagi menjadi dua,<ref name="talk"/> yang kemudian masing-masing dikenal sebagai Kesunanan Surakarta dan [[Kesultanan Yogyakarta]].]]


[[Berkas:COLLECTIE TROPENMUSEUM Vooraanzicht van de kraton in Soerakarta. TMnr 60002335.jpg|ka|jmpl|Pendopo Dalem Kepatihan Kesunanan Surakarta pada tahun [[1890]], merupakan rumah dinas sekaligus kantor para [[patih]] (perdana menteri) dan lembaga kepatihan.]]
[[Berkas:COLLECTIE TROPENMUSEUM Vooraanzicht van de kraton in Soerakarta. TMnr 60002335.jpg|ka|jmpl|Pendopo Dalem Kepatihan Kesunanan Surakarta pada tahun 1890, merupakan rumah dinas sekaligus kantor para [[patih]] (perdana menteri) dan lembaga kepatihan.]]


Kesultanan Mataram yang berpusat di Surakarta sebagai ibu kota pemerintahan kemudian dihadapkan pada [[Perang Takhta Jawa Ketiga|pemberontakan besar]] karena [[Hamengkubuwana I|Pangeran Mangkubumi]], adik [[Pakubuwana II|Susuhunan Pakubuwana II]], pada tahun [[1746]] meninggalkan keraton dan menggabungkan diri dengan [[Raden Mas Said]] yang berjuluk Pangeran Sambernyawa. Di tengah ramainya peperangan, Pakubuwana II meninggal karena sakit pada tahun [[1749]]. Namun, ia sempat menyerahkan kedaulatan negerinya kepada [[VOC]], yang diwakili oleh Baron von Hohendorff. Sejak saat itu, VOC yang dianggap berhak melantik raja-raja [[Dinasti Mataram]] baik Surakarta maupun [[Kesultanan Yogyakarta|Yogyakarta]]; setelah VOC bubar pada tahun [[1799]], kewenangan tersebut dilanjutkan oleh pemerintah [[Hindia Belanda]] dan berakhir pada masa [[Sejarah Nusantara (1942–1945)|Pendudukan Jepang]] di tahun [[1942]].
Kesultanan Mataram yang berpusat di Surakarta sebagai ibu kota pemerintahan kemudian dihadapkan pada [[Perang Takhta Jawa Ketiga|pemberontakan besar]] karena [[Hamengkubuwana I|Pangeran Mangkubumi]], adik [[Pakubuwana II|Susuhunan Pakubuwana II]], pada tahun 1746 meninggalkan keraton dan menggabungkan diri dengan [[Raden Mas Said]] yang berjuluk Pangeran Sambernyawa. Di tengah ramainya peperangan, Pakubuwana II meninggal karena sakit pada tahun 1749. Namun, ia sempat menyerahkan kedaulatan negerinya kepada [[VOC]], yang diwakili oleh Baron von Hohendorff. Sejak saat itu, VOC yang dianggap berhak melantik raja-raja [[Dinasti Mataram]] baik Surakarta maupun [[Kesultanan Yogyakarta|Yogyakarta]]; setelah VOC bubar pada tahun 1799, kewenangan tersebut dilanjutkan oleh pemerintah [[Hindia Belanda]] dan berakhir pada masa [[Sejarah Nusantara (1942–1945)|Pendudukan Jepang]] di tahun 1942.


=== Pakubuwana III ===
=== Pakubuwana III ===


Pada awal tahun [[1755]], pihak VOC yang sudah mengalami kebangkrutan berhasil mengajak Pangeran Mangkubumi berdamai untuk bersatu melawan pemberontakan [[Raden Mas Said]] yang tidak mau berdamai. Padahal, semula Pangeran Mangkubumi bersekutu dengan Raden Mas Said. Adanya [[Perjanjian Giyanti]] ([[13 Februari]] [[1755]]) yang ditandatangani oleh [[VOC]] yang diwakili oleh Nicolaas Hartingh dengan Pangeran Mangkubumi, yang kemudian ditindaklanjuti dalam [[Perjanjian Jatisari|Pertemuan Jatisari]] ([[15 Februari]] [[1755]]) antara [[Pakubuwana III|Susuhunan Pakubuwana III]] dengan Pangeran Mangkubumi dan disaksikan oleh perwakilan VOC,<ref name="talk"/> mengakibatkan terpecahnya Mataram Surakarta menjadi dua entitas kerajaan yaitu Kesunanan Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta.<ref>[https://www.kompas.com/tren/read/2022/02/15/060000065/perjanjian-jatisari-15-februari-1755-awal-mula-beda-budaya-surakarta-dan?page=all Perjanjian Jatisari 15 Februari 1755, Awal Mula Beda Budaya Surakarta dan Yogyakarta] ''Kompas.com''</ref>
Pada awal tahun 1755, pihak VOC yang sudah mengalami kebangkrutan berhasil mengajak Pangeran Mangkubumi berdamai untuk bersatu melawan pemberontakan [[Raden Mas Said]] yang tidak mau berdamai. Padahal, semula Pangeran Mangkubumi bersekutu dengan Raden Mas Said. Adanya [[Perjanjian Giyanti]] (13 Februari 1755) yang ditandatangani oleh [[VOC]] yang diwakili oleh Nicolaas Hartingh dengan Pangeran Mangkubumi, yang kemudian ditindaklanjuti dalam [[Perjanjian Jatisari|Pertemuan Jatisari]] (15 Februari 1755) antara [[Pakubuwana III|Susuhunan Pakubuwana III]] dengan Pangeran Mangkubumi dan disaksikan oleh perwakilan VOC,<ref name="talk"/> mengakibatkan terpecahnya Mataram Surakarta menjadi dua entitas kerajaan yaitu Kesunanan Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta.<ref>[https://www.kompas.com/tren/read/2022/02/15/060000065/perjanjian-jatisari-15-februari-1755-awal-mula-beda-budaya-surakarta-dan?page=all Perjanjian Jatisari 15 Februari 1755, Awal Mula Beda Budaya Surakarta dan Yogyakarta] ''Kompas.com''</ref>


Dalam pertemuan di [[Sapen, Mojolaban, Sukoharjo|Jatisari]], Pakubuwana III mengizinkan Mangkubumi untuk memerintah sebagian tanah negeri Mataram Surakarta serta diperbolehkan untuk mempertahankan dan menggunakan budaya Mataram; termasuk dilakukan pula pembagian pusaka-pusaka warisan Mataram antara kedua belah pihak, baik pusaka benda maupun tak benda.<ref name="talk"/> Dan sesuai surat persetujuan Susuhunan Pakubuwana III tanggal [[4 November]] [[1754]] yang dikeluarkan untuk menindaklanjuti kesepakatan antara [[VOC|Kompeni]] dengan Pangeran Mangkubumi ([[23 September]] [[1754]]; sebelum Perjanjian Giyanti), kedudukan Pangeran Mangkubumi sebagai raja di separuh wilayah Mataram diperkenankan menggunakan gelar [[Hamengkubuwana|Sultan Hamengkubuwana]], sedangkan raja Kesunanan Surakarta melestarikan gelar [[Pakubuwana|Susuhunan Pakubuwana]] warisan Mataram. Kemudian, negeri Mataram yang dipimpin oleh Sultan Hamengkubuwana lalu dikenal dengan nama Kesultanan Yogyakarta, sedangkan negeri Mataram yang dipimpin oleh Susuhunan atau Sunan Pakubuwana dikenal dengan nama Kesunanan Surakarta.
Dalam pertemuan di [[Sapen, Mojolaban, Sukoharjo|Jatisari]], Pakubuwana III mengizinkan Mangkubumi untuk memerintah sebagian tanah negeri Mataram Surakarta serta diperbolehkan untuk mempertahankan dan menggunakan budaya Mataram lama; termasuk selanjutnya dilakukan pula pembagian pusaka-pusaka warisan Mataram antara kedua belah pihak, baik pusaka benda maupun tak benda.<ref name="talk"/> Dan sesuai surat persetujuan Susuhunan Pakubuwana III tanggal 4 November 1754 yang dikeluarkan untuk menindaklanjuti kesepakatan antara [[VOC|Kompeni]] dengan Pangeran Mangkubumi (23 September 1754; sebelum Perjanjian Giyanti), kedudukan Pangeran Mangkubumi sebagai raja di separuh wilayah Mataram diperkenankan menggunakan gelar [[Hamengkubuwana|Sultan Hamengkubuwana]], sedangkan raja Kesunanan Surakarta melestarikan gelar [[Pakubuwana|Susuhunan Pakubuwana]] warisan Mataram. Kemudian, negeri Mataram yang dipimpin oleh Sultan Hamengkubuwana lalu dikenal dengan nama Kesultanan Yogyakarta, sedangkan negeri Mataram yang dipimpin oleh Susuhunan atau Sunan Pakubuwana dikenal dengan nama Kesunanan Surakarta.


Selanjutnya, wilayah ''Nagara Agung'' (wilayah inti di sekitar ibu kota) Kesunanan Surakarta semakin berkurang karena [[Perjanjian Salatiga]] tanggal [[17 Maret]] [[1757]], menyebabkan [[Mangkunegara I|Raden Mas Said]] diakui sebagai seorang ''pangeran miji'' alias pangeran utama yang otonom, sekaligus diberi wilayah kekuasaan berupa [[apanase|tanah lungguh]] yang berasal dari hampir setengah wilayah ''Nagara Agung'' dengan status daerah [[negara vasal|vasal]] (dan secara tradisional tetap berada di bawah Kesunanan Surakarta), yang kemudian disebut dengan nama [[Kadipaten Mangkunegaran]].<ref name="mangkunegaran"/> Sebagai ''pangeran miji'' sekaligus penguasa di wilayahnya, Raden Mas Said bergelar [[Mangkunegara I|Adipati Mangkunegara I]]. Wilayah Surakarta berkurang lebih jauh lagi usai berakhirnya [[Perang Diponegoro]] pada tahun [[1830]], di mana daerah-daerah ''Mancanagara'' dirampas oleh [[Belanda]] sebagai ganti rugi atas biaya peperangan.
Setelahnya, wilayah ''Nagara Agung'' (wilayah inti di sekitar ibu kota) Kesunanan Surakarta semakin berkurang karena [[Perjanjian Salatiga]] tanggal 17 Maret 1757, menyebabkan [[Mangkunegara I|Raden Mas Said]] diakui sebagai seorang ''pangeran miji'' alias pangeran utama yang otonom, sekaligus diberi wilayah kekuasaan berupa [[apanase|tanah lungguh]] yang berasal dari hampir setengah wilayah ''Nagara Agung'' dengan status daerah [[negara vasal|vasal]] (dan secara tradisional tetap berada di bawah Kesunanan Surakarta), yang kemudian disebut dengan nama [[Kadipaten Mangkunegaran]].<ref name="mangkunegaran"/> Sebagai ''pangeran miji'' sekaligus penguasa di wilayahnya, Raden Mas Said bergelar [[Mangkunegara I|Adipati Mangkunegara I]]. Wilayah Surakarta berkurang lebih jauh lagi usai berakhirnya [[Perang Diponegoro]] pada tahun 1830, di mana daerah-daerah ''Mancanagara'' dirampas oleh [[Belanda]] sebagai ganti rugi atas biaya peperangan.


=== Pakubuwana IV ===
=== Pakubuwana IV ===


[[Berkas:COLLECTIE TROPENMUSEUM Moskee in de kraton van Soerakarta. TMnr 60002681.jpg|jmpl|Bangunan [[Masjid Agung Kraton Surakarta|Masjid Agung Surakarta]], tahun [[1910]]. Sebagai penerus langsung [[Kesultanan Mataram]], [[Islam]] merupakan agama resmi di Kesunanan Surakarta.]]
[[Berkas:COLLECTIE TROPENMUSEUM Moskee in de kraton van Soerakarta. TMnr 60002681.jpg|jmpl|Bangunan [[Masjid Agung Kraton Surakarta|Masjid Agung Surakarta]], tahun 1910. Sebagai penerus langsung [[Kesultanan Mataram]], [[Islam]] merupakan agama resmi di Kesunanan Surakarta.]]


Sepeninggal Pakubuwana III, penerus takhta Kesunanan Surakarta berikutnya yakni Sri [[Pakubuwana IV|Susuhunan Pakubuwana IV]] (1788–1820), adalah sosok raja yang membenci penjajah dan penuh cita-cita serta keberanian. Pada November 1790, terjadi Peristiwa Pakepung, yakni insiden pengepungan Keraton Surakarta oleh persekutuan VOC, [[Hamengkubuwana I]], dan [[Mangkunegara I]]. Pengepungan ini terjadi karena Pakubuwana IV yang berpaham [[Islamisme|politik Islam]] dan dekat dengan kaum [[santri]], menyingkirkan para pejabat istana yang tidak sepaham dengannya. Para pejabat istana yang merasa disingkirkan kemudian meminta bantuan VOC untuk menghadapi Pakubuwana IV.
Sepeninggal Pakubuwana III, penerus takhta Kesunanan Surakarta berikutnya yakni Sri [[Pakubuwana IV|Susuhunan Pakubuwana IV]] (1788–1820), adalah sosok raja yang membenci penjajah dan penuh cita-cita serta keberanian. Pada November 1790, terjadi Peristiwa Pakepung, yakni insiden pengepungan Keraton Surakarta oleh persekutuan VOC, [[Hamengkubuwana I]], dan [[Mangkunegara I]]. Pengepungan ini terjadi karena Pakubuwana IV yang berpaham [[Islamisme|politik Islam]] dan dekat dengan kaum [[santri]], menyingkirkan para pejabat istana yang tidak sepaham dengannya. Para pejabat istana yang merasa disingkirkan kemudian meminta bantuan VOC untuk menghadapi Pakubuwana IV.


VOC akhirnya bersekutu dengan [[Hamengkubuwana I]] dan [[Mangkunegara I]] untuk menghadapi Pakubuwana IV. Pada bulan [[November]] [[1790]], aliansi tersebut mengepung [[Keraton Surakarta]]. Dari dalam istana sendiri, para pejabat senior yang tersisih ikut menekan Pakubuwana IV agar menyingkirkan para penasehat politik dan penasehat rohaninya. Pakubuwana IV akhirnya terpaksa mengalah pada tanggal [[26 November]] [[1790]], dengan menyerahkan para penasehatnya yang terdiri dari para haji untuk dibuang VOC. Dan meski kerap menunjukkan sikap yang tidak bersahabat dengan Kompeni, berkat kecerdasan serta kelihaian politiknya, Pakubuwana IV tetap mampu mempertahankan kedudukannya sebagai raja bahkan sampai beberapa kali pergantian rezim kolonial, yaitu semasa pemerintahan [[VOC]], pemerintahan [[Hindia Belanda]], pemerintahan [[:en:French and British interregnum in the Dutch East Indies|Hindia Belanda-Perancis]], pemerintahan [[:en:French and British interregnum in the Dutch East Indies|Pendudukan Inggris]], sampai kembalinya pemerintahan Hindia Belanda.
VOC akhirnya bersekutu dengan [[Hamengkubuwana I]] dan [[Mangkunegara I]] untuk menghadapi Pakubuwana IV. Pada bulan November 1790, aliansi tersebut mengepung [[Keraton Surakarta]]. Dari dalam istana sendiri, para pejabat senior yang tersisih ikut menekan Pakubuwana IV agar menyingkirkan para penasehat politik dan penasehat rohaninya. Pakubuwana IV akhirnya terpaksa mengalah pada tanggal [[26 November 1790, dengan menyerahkan para penasehatnya yang terdiri dari para haji untuk dibuang VOC. Dan meski kerap menunjukkan sikap yang tidak bersahabat dengan Kompeni, berkat kecerdasan serta kelihaian politiknya, Pakubuwana IV tetap mampu mempertahankan kedudukannya sebagai raja bahkan sampai beberapa kali pergantian rezim kolonial, yaitu semasa pemerintahan [[VOC]], pemerintahan [[Hindia Belanda]], pemerintahan [[:en:French and British interregnum in the Dutch East Indies|Hindia Belanda-Perancis]], pemerintahan [[:en:French and British interregnum in the Dutch East Indies|Pendudukan Inggris]], sampai kembalinya pemerintahan Hindia Belanda.


=== Pakubuwana V dan Pakubuwana VI ===
=== Pakubuwana V dan Pakubuwana VI ===


[[Berkas:Sri Susuhunan Pakubuwono VI.jpg|jmpl|[[Pakubuwana VI|Susuhunan Pakubuwana VI]], raja Kesunanan Surakarta tahun [[1823]]-[[1830]], salah seorang [[Daftar pahlawan nasional Indonesia|Pahlawan Nasional Indonesia]].]]
[[Berkas:Sri Susuhunan Pakubuwono VI.jpg|jmpl|[[Pakubuwana VI|Susuhunan Pakubuwana VI]], raja Kesunanan Surakarta tahun 1823-1830, salah seorang [[Daftar pahlawan nasional Indonesia|Pahlawan Nasional Indonesia]].]]


Pengganti Pakubuwana IV adalah Sri [[Pakubuwana V|Susuhunan Pakubuwana V]], yang oleh masyarakat saat itu dijuluki sebagai ''Sunan Ngabehi'', karena baginda yang sangat kaya, baik kaya harta maupun kesaktian. Setelah wafat, pengganti Pakubuwana V adalah Sri [[Pakubuwana VI|Susuhunan Pakubuwana VI]]. Pakubuwana VI adalah pendukung perjuangan [[Pangeran Diponegoro]], yang memberontak terhadap Kesultanan Yogyakarta dan pemerintah [[Hindia Belanda]] sejak tahun [[1825]]. Penulis naskah-naskah babad waktu itu sering menutupi pertemuan rahasia Pakubuwana VI dengan Pangeran Diponegoro menggunakan bahasa simbolis. Misalnya, Pakubuwana VI dikisahkan pergi bertapa ke [[Gunung Merbabu]] atau bertapa di Hutan Krendawahana. Padahal sebenarnya, ia pergi menemui [[Diponegoro|Pangeran Diponegoro]] secara diam-diam.
Pengganti Pakubuwana IV adalah Sri [[Pakubuwana V|Susuhunan Pakubuwana V]], yang oleh masyarakat saat itu dijuluki sebagai ''Sunan Ngabehi'', karena baginda yang sangat kaya, baik kaya harta maupun kesaktian. Setelah wafat, pengganti Pakubuwana V adalah Sri [[Pakubuwana VI|Susuhunan Pakubuwana VI]]. Pakubuwana VI adalah pendukung perjuangan [[Pangeran Diponegoro]], yang memberontak terhadap Kesultanan Yogyakarta dan pemerintah [[Hindia Belanda]] sejak tahun 1825. Penulis naskah-naskah babad waktu itu sering menutupi pertemuan rahasia Pakubuwana VI dengan Pangeran Diponegoro menggunakan bahasa simbolis. Misalnya, Pakubuwana VI dikisahkan pergi bertapa ke [[Gunung Merbabu]] atau bertapa di Hutan Krendawahana. Padahal sebenarnya, ia pergi menemui [[Diponegoro|Pangeran Diponegoro]] secara diam-diam.


Ketika pecah [[Perang Diponegoro|Perang Jawa]] sejak pertengahan tahun [[1825]], Pakubuwana VI menjalankan aksi ganda. Di samping memberikan bantuan dan dukungan kepada Diponegoro, ia juga mengirim pasukan untuk pura-pura membantu Belanda. Pujangga besar [[Ranggawarsita]] mengaku semasa muda dirinya pernah ikut serta dalam pasukan sandiwara tersebut. Namun setelah menangkap Pangeran Diponegoro, Belanda tetap saja menangkap [[Pakubuwana VI]] dan membuangnya ke [[Ambon]] pada tanggal 8 Juni 1830 dengan alasan bahwa Mas Pajangswara sudah membocorkan semuanya, dan kini ia hidup nyaman di [[Batavia]].<ref>{{cite web|url=https://tirto.id/peran-ganda-raja-surakarta-berujung-petaka-crZU|title=Peran Ganda Raja Surakarta Berujung Petaka}}</ref>
Ketika pecah [[Perang Diponegoro|Perang Jawa]] sejak pertengahan tahun 1825, Pakubuwana VI menjalankan aksi ganda. Di samping memberikan bantuan dan dukungan kepada Diponegoro, ia juga mengirim pasukan untuk pura-pura membantu Belanda. Pujangga besar [[Ranggawarsita]] mengaku semasa muda dirinya pernah ikut serta dalam pasukan sandiwara tersebut. Namun setelah menangkap Pangeran Diponegoro, Belanda tetap saja menangkap [[Pakubuwana VI]] dan membuangnya ke [[Ambon]] pada tanggal 8 Juni 1830 dengan alasan bahwa Mas Pajangswara sudah membocorkan semuanya, dan kini ia hidup nyaman di [[Batavia]].<ref>{{cite web|url=https://tirto.id/peran-ganda-raja-surakarta-berujung-petaka-crZU|title=Peran Ganda Raja Surakarta Berujung Petaka}}</ref>


Fitnah yang dilancarkan pihak Belanda ini kelak berakibat buruk pada hubungan antara putra Pakubuwana VI, yaitu [[Pakubuwana IX]] dengan putra Mas Pajangswara, yaitu Ranggawarsita. Pakubuwana IX sendiri masih berada dalam kandungan ketika Pakubuwana VI berangkat ke Ambon. Takhta Surakarta kemudian jatuh kepada paman Pakubuwana VI, yang bergelar Sri [[Pakubuwana VII|Susuhunan Pakubuwana VII]].
Fitnah yang dilancarkan pihak Belanda ini kelak berakibat buruk pada hubungan antara putra Pakubuwana VI, yaitu [[Pakubuwana IX]] dengan putra Mas Pajangswara, yaitu Ranggawarsita. Pakubuwana IX sendiri masih berada dalam kandungan ketika Pakubuwana VI berangkat ke Ambon. Takhta Surakarta kemudian jatuh kepada paman Pakubuwana VI, yang bergelar Sri [[Pakubuwana VII|Susuhunan Pakubuwana VII]].
Baris 127: Baris 128:
=== Pakubuwana VIII dan Pakubuwana IX ===
=== Pakubuwana VIII dan Pakubuwana IX ===


Pemerintahan Pakubuwana VIII berjalan selama tiga tahun hingga akhir hayatnya. Pakubuwana VIII digantikan putra [[Pakubuwana VI]] sebagai raja Surakarta selanjutnya, yang bergelar Sri [[Pakubuwana IX|Susuhunan Pakubuwana IX]]. Hubungan antara Pakubuwana IX dengan Ranggawarsita sendiri kurang harmonis karena fitnah pihak Belanda bahwa Mas Pajangswara (ayah Ranggawarsita yang menjabat sebagai juru tulis keraton) telah membocorkan rahasia persekutuan antara Pakubuwana VI dengan [[Pangeran Diponegoro]]. Akibatnya, Pakubuwana VI pun dibuang ke [[Ambon]]. Hal ini membuat Pakubuwana IX membenci keluarga Mas Pajangswara, padahal juru tulis tersebut ditemukan tewas mengenaskan karena disiksa dalam penjara oleh Belanda. Ranggawarsita sendiri berusaha memperbaiki hubungannya dengan raja melalui persembahan naskah ''Serat Cemporet''. Pemerintahan Pakubuwana IX berakhir saat kematiannya pada tanggal 16 Maret [[1893]]. Ia digantikan putranya sebagai raja Surakarta selanjutnya, bergelar Sri [[Pakubuwana X|Susuhunan Pakubuwana X]].
Pemerintahan Pakubuwana VIII berjalan selama tiga tahun hingga akhir hayatnya. Pakubuwana VIII digantikan putra [[Pakubuwana VI]] sebagai raja Surakarta selanjutnya, yang bergelar Sri [[Pakubuwana IX|Susuhunan Pakubuwana IX]]. Hubungan antara Pakubuwana IX dengan Ranggawarsita sendiri kurang harmonis karena fitnah pihak Belanda bahwa Mas Pajangswara (ayah Ranggawarsita yang menjabat sebagai juru tulis keraton) telah membocorkan rahasia persekutuan antara Pakubuwana VI dengan [[Pangeran Diponegoro]]. Akibatnya, Pakubuwana VI pun dibuang ke [[Ambon]]. Hal ini membuat Pakubuwana IX membenci keluarga Mas Pajangswara, padahal juru tulis tersebut ditemukan tewas mengenaskan karena disiksa dalam penjara oleh Belanda. Ranggawarsita sendiri berusaha memperbaiki hubungannya dengan raja melalui persembahan naskah ''Serat Cemporet''. Pemerintahan Pakubuwana IX berakhir saat kematiannya pada tanggal 16 Maret 1893. Ia digantikan putranya sebagai raja Surakarta selanjutnya, bergelar Sri [[Pakubuwana X|Susuhunan Pakubuwana X]].


=== Pakubuwana X ===
=== Pakubuwana X ===
Baris 135: Baris 136:
Masa pemerintahan [[Pakubuwana X]] ditandai dengan kemegahan tradisi dan suasana politik kerajaan yang stabil. Pada masa pemerintahannya yang cukup panjang, Kesunanan Surakarta mengalami transisi, dari kerajaan tradisional menuju era modern, sejalan dengan perubahan politik di [[Hindia Belanda]]. Meskipun berada dalam tekanan politik pemerintah kolonial Hindia Belanda, Pakubuwana X memberikan kebebasan berorganisasi dan penerbitan media massa. Ia mendukung pendirian organisasi [[Sarekat Islam]], salah satu organisasi pergerakan nasional pertama di [[Indonesia]]. Kongres Bahasa Indonesia I di [[Surakarta]] (1938) diadakan pada masa pemerintahannya.
Masa pemerintahan [[Pakubuwana X]] ditandai dengan kemegahan tradisi dan suasana politik kerajaan yang stabil. Pada masa pemerintahannya yang cukup panjang, Kesunanan Surakarta mengalami transisi, dari kerajaan tradisional menuju era modern, sejalan dengan perubahan politik di [[Hindia Belanda]]. Meskipun berada dalam tekanan politik pemerintah kolonial Hindia Belanda, Pakubuwana X memberikan kebebasan berorganisasi dan penerbitan media massa. Ia mendukung pendirian organisasi [[Sarekat Islam]], salah satu organisasi pergerakan nasional pertama di [[Indonesia]]. Kongres Bahasa Indonesia I di [[Surakarta]] (1938) diadakan pada masa pemerintahannya.


Infrastruktur modern Kesunanan Surakarta banyak dibangun pada masa pemerintahan Pakubuwana X, seperti bangunan [[Pasar Gede Harjonagoro|Pasar Gedhe Harjanagara]], [[Stasiun Solo Jebres]], [[Stasiun Solo-Kota]] (Sangkrah), [[Stadion Sriwedari]], [[Taman Sriwedari]], [[Kebun Binatang Jurug|Taman Satwataru Jurug]], Jembatan Jurug yang melintasi [[Bengawan Solo]] di timur kota, gapura-gapura di batas Kota Surakarta, Griya Wangkung (rumah singgah bagi tunawisma), Rumah Sakit Kadipala, rumah perabuan (pembakaran jenazah) bagi warga [[Tionghoa]], rumah pemotongan hewan ternak di Jagalan, saluran [[Umbul Pengging|air bersih]] dan [[irigasi]] di [[kabupaten|kabupaten-kabupaten]], serta berbagai infrastruktur dan fasilitas publik lainnya. Pakubuwana X meninggal dunia pada tanggal 1 Februari [[1939]]. Sejak di masa keemasan pemerintahannya sampai ia wafat, Pakubuwana X dikenal sebagai ''Sinuhun Ingkang Minulya saha Ingkang Wicaksana'' atau raja yang mulia dan bijaksana. Pemerintahannya kemudian digantikan oleh putranya yang bergelar Sri [[Pakubuwana XI|Susuhunan Pakubuwana XI]].
Infrastruktur modern Kesunanan Surakarta banyak dibangun pada masa pemerintahan Pakubuwana X, seperti bangunan [[Pasar Gede Harjonagoro|Pasar Gedhe Harjanagara]], [[Stasiun Solo Jebres]], [[Stasiun Solo-Kota]] (Sangkrah), [[Stadion Sriwedari]], [[Taman Sriwedari]], [[Kebun Binatang Jurug|Taman Satwataru Jurug]], Jembatan Jurug yang melintasi [[Bengawan Solo]] di timur kota, gapura-gapura di batas Kota Surakarta, Griya Wangkung (rumah singgah bagi tunawisma), Rumah Sakit Kadipala, rumah perabuan (pembakaran jenazah) bagi warga [[Tionghoa]], rumah pemotongan hewan ternak di Jagalan, saluran [[Umbul Pengging|air bersih]] dan [[irigasi]] di [[kabupaten|kabupaten-kabupaten]], serta berbagai infrastruktur dan fasilitas publik lainnya. Pakubuwana X meninggal dunia pada akhir Februari 1939. Sejak di masa keemasan pemerintahannya sampai ia wafat, Pakubuwana X dikenal sebagai ''Sinuhun Ingkang Minulya saha Ingkang Wicaksana'' atau raja yang mulia dan bijaksana. Pemerintahannya kemudian digantikan oleh putranya yang bergelar Sri [[Pakubuwana XI|Susuhunan Pakubuwana XI]].


=== Pakubuwana XI ===
=== Pakubuwana XI ===


[[Berkas:Stamp of Indonesia - 2018 - Colnect 836151 - Radjiman Wediodiningrat.jpeg|jmpl|Potret [[Radjiman Wedyodiningrat|dr. KRT. Rajiman Wedyadiningrat]] dalam [[Prangko Indonesia]] edisi tahun [[2018]].]]
[[Berkas:Stamp of Indonesia - 2018 - Colnect 836151 - Radjiman Wediodiningrat.jpeg|jmpl|Potret [[Radjiman Wedyodiningrat|dr. KRT. Rajiman Wedyadiningrat]] dalam [[Prangko Indonesia]] edisi tahun 2018.]]


Pemerintahan [[Pakubuwana XI]] terjadi pada masa sulit, yaitu bertepatan dengan meletusnya [[Perang Dunia Kedua|Perang Dunia II]]. Ia juga mengalami pergantian pemerintah penjajahan dari tangan [[Belanda]] kepada [[Jepang]] sejak tahun [[1942]]. Pihak pemerintah [[Sejarah Nusantara (1942–1945)|Pendudukan Jepang]] menyebut Kesunanan Surakarta dengan nama ''Solo-Kōchi'' (''Kōti''), dan Pakubuwana XI diakui serta diberi kedudukan sebagai ''Solo-Kō''. Sekalipun pemerintahan [[Pakubuwana XI]] berada dalam masa sulit karena penjajahan [[Jepang]], sejak awal tahun [[1945]], Kesunanan Surakarta melalui para beberapa orang kerabat keraton dan pejabat-pejabatnya turut terlibat aktif dalam usaha persiapan kemerdekaan dan pembentukan [[Negara]] [[Indonesia]], dengan bergabung dalam [[Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan]] (BPUPK) dan [[Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia]] (PPKI). Mereka adalah [[Pangeran Soerjohamidjojo|GPH. Suryahamijaya]] (saudara Pakubuwana XI), KRMH. Sasradiningrat V ([[patih]] Kesunanan Surakarta), KRMTA. Wuryaningrat, [[Radjiman Wedyodiningrat|dr. KRT. Rajiman Wedyadiningrat]] (dokter [[Keraton Surakarta|keraton]]; ketua BPUPK), [[Wongsonegoro|Mr. KRMT. Wongsonegoro]] (bupati [[Daftar Bupati Sragen|Kabupaten Sragen]]), [[Soepomo|Mr. R. Supomo]], serta Mr. R.P. Singgih.
Pemerintahan [[Pakubuwana XI]] terjadi pada masa sulit, yaitu bertepatan dengan meletusnya [[Perang Dunia Kedua|Perang Dunia II]]. Ia juga mengalami pergantian pemerintah penjajahan dari tangan [[Belanda]] kepada [[Jepang]] sejak tahun 1942. Pihak pemerintah [[Sejarah Nusantara (1942–1945)|Pendudukan Jepang]] menyebut Kesunanan Surakarta dengan nama ''Solo-Kōchi'' (''Kōti''), dan Pakubuwana XI diakui serta diberi kedudukan sebagai ''Solo-Kō''. Sekalipun pemerintahan [[Pakubuwana XI]] berada dalam masa sulit karena penjajahan [[Jepang]], sejak awal tahun 1945, Kesunanan Surakarta melalui para beberapa orang kerabat keraton dan pejabat-pejabatnya turut terlibat aktif dalam usaha persiapan kemerdekaan dan pembentukan [[Negara]] [[Indonesia]], dengan bergabung dalam [[Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan]] (BPUPK) dan [[Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia]] (PPKI). Mereka adalah [[Pangeran Soerjohamidjojo|GPH. Suryahamijaya]] (saudara Pakubuwana XI), KRMH. Sasradiningrat V ([[patih]] Kesunanan Surakarta), KRMTA. Wuryaningrat, [[Radjiman Wedyodiningrat|dr. KRT. Rajiman Wedyadiningrat]] (dokter [[Keraton Surakarta|keraton]]; ketua BPUPK), [[Wongsonegoro|Mr. KRMT. Wongsonegoro]] (bupati [[Daftar Bupati Sragen|Kabupaten Sragen]]), [[Soepomo|Mr. R. Supomo]], serta Mr. R.P. Singgih.


Menjelang kekalahan Jepang dalam [[Perang Dunia Kedua|Perang Dunia II]] dan kemerdekaan [[Indonesia]], Pakubuwana XI meninggal dunia pada tanggal [[1 Juni]] [[1945]]. Ia kemudian digantikan oleh putra termudanya yang bergelar Sri [[Pakubuwana XII|Susuhunan Pakubuwana XII]].
Menjelang kekalahan Jepang dalam [[Perang Dunia Kedua|Perang Dunia II]] dan kemerdekaan [[Indonesia]], Pakubuwana XI meninggal dunia pada tanggal 1 Juni 1945. Ia kemudian digantikan oleh putra termudanya yang bergelar Sri [[Pakubuwana XII|Susuhunan Pakubuwana XII]].


== Masa Perjuangan Kemerdekaan ==
== Masa Perjuangan Kemerdekaan ==
Baris 149: Baris 150:
=== Pakubuwana XII ===
=== Pakubuwana XII ===


[[Berkas:President Sukarno, Paku Buwono XII, and Prince Mangkunegoro having dinner TimeLife image 651020.jpg|ka|jmpl|[[Pakubuwana XII|Susuhunan Pakubuwana XII]] menerima kunjungan [[Soekarno|Presiden Sukarno]] dan [[Mohammad Hatta|Wakil Presiden Mohammad Hatta]] beserta para pejabat pemerintah [[Republik Indonesia]] di [[Keraton Surakarta]], tahun [[1946]].]]
[[Berkas:President Sukarno, Paku Buwono XII, and Prince Mangkunegoro having dinner TimeLife image 651020.jpg|ka|jmpl|[[Pakubuwana XII|Susuhunan Pakubuwana XII]] menerima kunjungan [[Soekarno|Presiden Sukarno]] dan [[Mohammad Hatta|Wakil Presiden Mohammad Hatta]] (tidak terlihat dalam foto) beserta para pejabat pemerintah [[Republik Indonesia]] di [[Keraton Surakarta]], tahun 1946.]]


[[Berkas:Maklumat SISKS PB XII 1945.jpg|ka|jmpl|Plakat marmer Piagam Maklumat Keistimewaan Negeri Surakarta oleh [[Pakubuwana XII|Susuhunan Pakubuwana XII]], dipajang di [[Keraton Surakarta|Museum Keraton Surakarta]].]]
[[Berkas:Maklumat SISKS PB XII 1945.jpg|ka|jmpl|Plakat marmer Piagam Maklumat Keistimewaan Negeri Surakarta oleh [[Pakubuwana XII|Susuhunan Pakubuwana XII]], dipajang di [[Keraton Surakarta|Museum Keraton Surakarta]].]]


Awal pemerintahan [[Pakubuwana XII]] hampir bersamaan dengan lahirnya [[Republik Indonesia]]. Di awal masa kemerdekaan (1945–1946), Kesunanan Surakarta (dan [[Kadipaten Mangkunegaran]]) sempat menjadi [[daerah istimewa]], yaitu [[Daerah Istimewa Surakarta]] (DIS). Akan tetapi, karena kerusuhan dan agitasi politik saat itu, maka pada tanggal [[16]] [[Juni]] [[1946]] oleh Pemerintah Indonesia statusnya diubah menjadi [[Keresidenan]], menyatu dalam wilayah [[Negara Kesatuan Republik Indonesia]].<ref>{{Cite news|url=https://nasional.tempo.co/read/295924/seperti-surakarta-status-istimewa-dapat-dicabut/full&view=ok|title=Seperti Surakarta, Status Daerah Istimewa Dapat Dicabut|language=id|work=[[Tempo.co]]}}{{Pranala mati|date=Desember 2022 |bot=InternetArchiveBot |fix-attempted=yes }}</ref>
Awal pemerintahan [[Pakubuwana XII]] hampir bersamaan dengan lahirnya [[Republik Indonesia]]. Di awal masa kemerdekaan (1945–1946), Kesunanan Surakarta (dan [[Kadipaten Mangkunegaran]]) sempat menjadi [[daerah istimewa]], yaitu [[Daerah Istimewa Surakarta]] (DIS). Akan tetapi, karena kerusuhan dan agitasi politik saat itu, maka pada tanggal 16 Juni 1946 oleh Pemerintah Indonesia statusnya diubah menjadi [[Keresidenan]], menyatu dalam wilayah [[Negara Kesatuan Republik Indonesia]].<ref>{{Cite news|url=https://nasional.tempo.co/read/295924/seperti-surakarta-status-istimewa-dapat-dicabut/full&view=ok|title=Seperti Surakarta, Status Daerah Istimewa Dapat Dicabut|language=id|work=[[Tempo.co]]}}{{Pranala mati|date=Desember 2022 |bot=InternetArchiveBot |fix-attempted=yes }}</ref>
Penetapan status [[Daerah otonom|Istimewa]] ini dilakukan [[Soekarno|Presiden Sukarno]] sebagai balas jasa atas pengakuan raja-raja Kesunanan Surakarta dan Kadipaten Mangkunegaran yang menyatakan wilayah mereka adalah bagian dari Republik Indonesia pada tanggal 19 Agustus 1945.<ref>Selanjutnya pada tanggal 19 Agustus 1945 di dalam rapat [[PPKI]] diputuskan bahwa wilayah Republik Indonesia dibagi atas sembilan provinsi dan dua daerah istimewa, yaitu Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sunda Kecil, Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Daerah Istimewa Surakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta. Pendapat tersebut bertentangan dengan Putusan PPKI sebagaimana terdapat dalam buku Risalah Sidang BPUPKI dan PPKI yang diterbitkan oleh sekretariat negara baik edisi II (1993) maupun III (1995)</ref>
Penetapan status [[Daerah otonom|Istimewa]] ini dilakukan [[Soekarno|Presiden Sukarno]] sebagai balas jasa atas pengakuan raja-raja Kesunanan Surakarta dan Kadipaten Mangkunegaran yang menyatakan wilayah mereka adalah bagian dari Republik Indonesia pada tanggal 19 Agustus 1945.<ref>Selanjutnya pada tanggal 19 Agustus 1945 di dalam rapat [[PPKI]] diputuskan bahwa wilayah Republik Indonesia dibagi atas sembilan provinsi dan dua daerah istimewa, yaitu Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sunda Kecil, Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Daerah Istimewa Surakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta. Pendapat tersebut bertentangan dengan Putusan PPKI sebagaimana terdapat dalam buku Risalah Sidang BPUPKI dan PPKI yang diterbitkan oleh sekretariat negara baik edisi II (1993) maupun III (1995)</ref>


Kemudian pada tanggal [[1 September]] [[1945]], Kesunanan Surakarta dan [[Kadipaten Mangkunegaran]] mengirimkan maklumat kepada [[Soekarno|Presiden Sukarno]] perihal pernyataan dari [[Pakubuwana XII|Susuhunan Pakubuwana XII]] dan [[Mangkunegara VIII|Adipati Mangkunegara VIII]] yang menyatakan bahwasanya Negeri Surakarta Hadiningrat yang bersifat kerajaan adalah Daerah Istimewa dari Negara Republik Indonesia, di mana hubungan antara Negeri Surakarta dengan [[Pemerintah Indonesia|Pemerintah Pusat Negara Republik Indonesia]] bersifat langsung. Atas dasar semua itulah, maka Presiden Sukarno memberikan pengakuan resmi kepada Susuhunan Pakubuwana XII dan Adipati Mangkunegara VIII dengan diberikannya piagam kedudukan resmi, masing-masing sebagai kepala daerah istimewa.<ref>sebagai Kepala [[Daerah Istimewa Surakarta]] yang setingkat jabatan Gubernur dengan posisi berada langsung di bawah Pemerintah Pusat. Pendapat tersebut bertentangan dengan UU 22/1948 mengenai pemerintahan daerah dan fakta-fakta sejarah di mana R.P. Suroso ditempatkan sebagai Komisaris Tinggi Indonesia untuk Kesunanan dan Mangkunegaran. Lihat buku A.H. Nasution ''Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia'' dan Sudarisman Purwokusumo ''Daerah Istimewa Yogyakarta''</ref>
Kemudian pada tanggal 1 September 1945, Kesunanan Surakarta dan [[Kadipaten Mangkunegaran]] mengirimkan maklumat kepada [[Soekarno|Presiden Sukarno]] perihal pernyataan dari [[Pakubuwana XII|Susuhunan Pakubuwana XII]] dan [[Mangkunegara VIII|Adipati Mangkunegara VIII]] yang menyatakan bahwasanya Negeri Surakarta Hadiningrat yang bersifat kerajaan adalah Daerah Istimewa dari Negara Republik Indonesia, di mana hubungan antara Negeri Surakarta dengan [[Pemerintah Indonesia|Pemerintah Pusat Negara Republik Indonesia]] bersifat langsung. Atas dasar semua itulah, maka Presiden Sukarno memberikan pengakuan resmi kepada Susuhunan Pakubuwana XII dan Adipati Mangkunegara VIII dengan diberikannya piagam kedudukan resmi, masing-masing sebagai kepala daerah istimewa.<ref>sebagai Kepala [[Daerah Istimewa Surakarta]] yang setingkat jabatan Gubernur dengan posisi berada langsung di bawah Pemerintah Pusat. Pendapat tersebut bertentangan dengan UU 22/1948 mengenai pemerintahan daerah dan fakta-fakta sejarah di mana R.P. Suroso ditempatkan sebagai Komisaris Tinggi Indonesia untuk Kesunanan dan Mangkunegaran. Lihat buku A.H. Nasution ''Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia'' dan Sudarisman Purwokusumo ''Daerah Istimewa Yogyakarta''</ref>


Sebagaimana diketahui, barulah sekitar empat hari setelahnya, yaitu pada tanggal [[5 September]] [[1945]], [[Kesultanan Yogyakarta]] dan [[Kadipaten Pakualaman]] mengeluarkan maklumat serupa, yang menjadi dasar dari pembentukan [[Daerah Istimewa Yogyakarta]].
Sebagaimana diketahui, barulah sekitar empat hari setelahnya, yaitu pada tanggal 5 September 1945, [[Kesultanan Yogyakarta]] dan [[Kadipaten Pakualaman]] mengeluarkan maklumat serupa, yang menjadi dasar dari pembentukan [[Daerah Istimewa Yogyakarta]].


[[Belanda]] yang tidak merelakan kemerdekaan [[Indonesia]] berusaha merebut kembali negeri ini dengan kekerasan. Pada bulan [[Januari]] [[1946]] ibu kota Indonesia terpaksa pindah ke [[Kota Yogyakarta|Yogyakarta]] karena [[Jakarta]] jatuh ke tangan Belanda. Kemudian, pada [[Oktober]] [[1945]], muncul gerakan anti swapraja/anti monarki/anti feodal di Surakarta, di mana salah seorang pimpinannya adalah [[Tan Malaka]], pimpinan [[Partai Murba]] dan [[Persatuan Perjuangan]].<ref name="terbentuknya">{{cite journal|url=https://docplayer.info/41294914-Terbentuknya-birokrasi-modern-di-surakarta-tahun.html|title=Terbentuknya Birokrasi Modern di Surakarta tahun 1945-1950|format=[[PDF]]|first=Belda|last=Ranika Rosiana|journal=Skripsi|publisher=Jurusan Ilmu Sejarah, Fakultas Sastra dan Seni Rupa, Universitas Sebelas Maret Surakarta|year=2013}}</ref> Barisan Banteng juga berhasil menguasai Surakarta, sedangkan pemerintah Indonesia tidak menumpasnya karena pembelaan Jenderal Sudirman. Bahkan, [[Jenderal Sudirman]] juga berhasil mendesak pemerintah untuk mencabut status Daerah Istimewa Surakarta. Tujuan gerakan ini adalah penghapusan DIS serta penurunan status kedudukan Susuhunan dan Mangkunegara, termasuk perampasan tanah-tanah [[pertanian]] milik pemerintah Kesunanan Surakarta dan [[Kadipaten Mangkunegaran]] untuk dibagi-bagikan sesuai dengan kegiatan ''landreform'' oleh golongan [[sosialis]]-[[komunis]].
[[Belanda]] yang tidak merelakan kemerdekaan [[Indonesia]] berusaha merebut kembali negeri ini dengan kekerasan. Pada bulan Januari 1946 ibu kota Indonesia terpaksa pindah ke [[Kota Yogyakarta|Yogyakarta]] karena [[Jakarta]] jatuh ke tangan Belanda. Kemudian, pada Oktober 1945, muncul gerakan anti swapraja/anti monarki/anti feodal di Surakarta, di mana salah seorang pimpinannya adalah [[Tan Malaka]], pimpinan [[Partai Murba]] dan [[Persatuan Perjuangan]].<ref name="terbentuknya">{{cite journal|url=https://docplayer.info/41294914-Terbentuknya-birokrasi-modern-di-surakarta-tahun.html|title=Terbentuknya Birokrasi Modern di Surakarta tahun 1945-1950|format=[[PDF]]|first=Belda|last=Ranika Rosiana|journal=Skripsi|publisher=Jurusan Ilmu Sejarah, Fakultas Sastra dan Seni Rupa, Universitas Sebelas Maret Surakarta|year=2013}}</ref> Barisan Banteng juga berhasil menguasai Surakarta, sedangkan pemerintah Indonesia tidak menumpasnya karena pembelaan Jenderal Sudirman. Bahkan, [[Jenderal Sudirman]] juga berhasil mendesak pemerintah untuk mencabut status Daerah Istimewa Surakarta. Tujuan gerakan ini adalah penghapusan DIS serta penurunan status kedudukan Susuhunan dan Mangkunegara, termasuk perampasan tanah-tanah [[pertanian]] milik pemerintah Kesunanan Surakarta dan [[Kadipaten Mangkunegaran]] untuk dibagi-bagikan sesuai dengan kegiatan ''landreform'' oleh golongan [[sosialis]]-[[komunis]].


Tanggal [[17 Oktober]] [[1945]], ''pepatih dalem'' (perdana menteri) Kesunanan yang juga seorang mantan anggota [[BPUPKI]], KRMH. Sasradiningrat V, diculik oleh gerombolan anti swapraja (ia kemudian berhasil bebas dan wafat pada tahun [[1967]]).<ref>Julinar Said, M.P.B. Manus, P. Suryo Haryomo, Sumardi, dkk. (1997) ''Tokoh-Tokoh Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia''. Jakarta: Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.</ref> Aksi ini diikuti pencopotan bupati-bupati yang umumnya kerabat raja dan diganti orang-orang yang pro gerakan anti swapraja. Bulan Maret 1946, ''pepatih dalem'' yang baru, KRMT. Yudhanagara, juga diculik. Dan pada bulan April 1946, sembilan pejabat Kepatihan mengalami hal yang sama.<ref name="DIS">[https://www.youtube.com/watch?v=EdbI0edGFBc Daerah Istimewa Surakarta - Tuduhan Pro Belanda dan Kesetiaannya kepada Republik Indonesia]</ref>
Tanggal 17 Oktober 1945, ''pepatih dalem'' (perdana menteri) Kesunanan yang juga seorang mantan anggota [[BPUPKI]], KRMH. Sasradiningrat V, diculik oleh gerombolan anti swapraja (ia kemudian berhasil bebas dan wafat pada tahun 1967).<ref>Julinar Said, M.P.B. Manus, P. Suryo Haryomo, Sumardi, dkk. (1997) ''Tokoh-Tokoh Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia''. Jakarta: Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.</ref> Aksi ini diikuti pencopotan bupati-bupati yang umumnya kerabat raja dan diganti orang-orang yang pro gerakan anti swapraja. Bulan Maret 1946, ''pepatih dalem'' yang baru, KRMT. Yudhanagara, juga diculik. Dan pada bulan April 1946, sembilan pejabat Kepatihan mengalami hal yang sama.<ref name="DIS">[https://www.youtube.com/watch?v=EdbI0edGFBc Daerah Istimewa Surakarta - Tuduhan Pro Belanda dan Kesetiaannya kepada Republik Indonesia]</ref>


Karena banyaknya kerusuhan, penculikan dan pembunuhan, untuk sementara waktu pemerintah [[Republik Indonesia]] membekukan status DIS dan menurunkan kekuasaan raja-raja Kesunanan dan Mangkunegaran serta daerah Surakarta yang bersifat istimewa sebagai keresidenan sebelum bentuk dan susunannya ditetapkan undang-undang. Status [[Pakubuwana|Susuhunan Surakarta]] dan [[Mangkunegara|Adipati Mangkunegaran]] menjadi pemangku adat dan simbol pemersatu di tengah masyarakat [[Suku Jawa|Jawa]] dan warga negara Republik Indonesia, serta [[Keraton Surakarta]] dan [[Pura Mangkunegaran]] kemudian lebih berfungsi sebagai pusat pelestarian dan pengembangan [[budaya Jawa]].
Karena banyaknya kerusuhan, penculikan dan pembunuhan, untuk sementara waktu pemerintah [[Republik Indonesia]] membekukan status DIS dan menurunkan kekuasaan raja-raja Kesunanan dan Mangkunegaran serta daerah Surakarta yang bersifat istimewa sebagai keresidenan sebelum bentuk dan susunannya ditetapkan undang-undang. Status [[Pakubuwana|Susuhunan Surakarta]] dan [[Mangkunegara|Adipati Mangkunegaran]] menjadi pemangku adat dan simbol pemersatu di tengah masyarakat [[Suku Jawa|Jawa]] dan warga negara Republik Indonesia, serta [[Keraton Surakarta]] dan [[Pura Mangkunegaran]] kemudian lebih berfungsi sebagai pusat pelestarian dan pengembangan [[budaya Jawa]].
Baris 170: Baris 171:
=== Setelah Pembekuan Daerah Istimewa Surakarta ===
=== Setelah Pembekuan Daerah Istimewa Surakarta ===


[[Berkas:Soesoehoenan Pakoe Boewono XII van Solo bij gewonde soldaten.jpg|jmpl|275px|[[Pakubuwana XII|Susuhunan Pakubuwana XII]] menjenguk tentara republik yang terluka dan dirawat di sebuah rumah sakit, sekitar tahun [[1949]].]]
[[Berkas:Soesoehoenan Pakoe Boewono XII van Solo bij gewonde soldaten.jpg|jmpl|275px|[[Pakubuwana XII|Susuhunan Pakubuwana XII]] menjenguk tentara republik yang terluka dan dirawat di sebuah rumah sakit, sekitar tahun 1949.]]


Terdapat pendapat yang menilai{{who}} bahwa pada awal pemerintahannya, [[Pakubuwana XII]] gagal mengambil peran penting dan memanfaatkan situasi politik Republik Indonesia. Pakubuwana XII saat itu dianggap kurang berdaya dalam menghadapi kelompok anti [[daerah istimewa]] yang gencar bermanuver dalam perpolitikan dan menyebarkan rumor bahwa para bangsawan Surakarta merupakan sekutu pemerintah Belanda, sehingga sebagian rakyat merasa tidak percaya dan memberontak terhadap kekuasaan Kesunanan.<ref>{{cite journal|url=https://digilib.uns.ac.id/dokumen/download/4950/MTM3NDQ=/Strategi-Komite-Nasional-Indonesia-Daerah-Surakarta-KNIDS-dalam-mengambil-alih-swapraja-1945-1946-babIII.pdf|title=Strategi Komite Nasional Indonesia Daerah Surakarta (KNIDS) dalam mengambil alih Swapraja, 1945-1946|format=[[PDF]]|first=Cahya|last=Putri Musaparsih|journal=Skripsi|publisher=Jurusan Ilmu Sejarah, Fakultas Sastra dan Seni Rupa, Universitas Sebelas Maret Surakarta|year=2005}}</ref> Dalam buku seri Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia, Jenderal [[Abdul Haris Nasution]] menuduh bahwa raja-raja Surakarta membelot dan mengkhianati Indonesia saat terjadi [[Agresi Militer Belanda II]] tahun 1948–1949. Bahkan pihak [[TNI]] sudah menyiapkan Kolonel [[Djatikoesoemo|GPH. Jatikusuma]] ([[Kepala Staf TNI Angkatan Darat|KSAD]] pertama), putra [[Pakubuwana X]], untuk diangkat menjadi Susuhunan yang baru dan Letkol. Suryo Sularso untuk diangkat menjadi Mangkunegara yang baru. Namun sebagian rakyat dan tentara semakin ingin menghapuskan monarki sama sekali. Akhirnya Mayor [[Achmadi Hadisoemarto|Achmadi]], penguasa militer kota Surakarta, hanya diberi tugas untuk langsung berhubungan dengan istana-istana monarki Surakarta. Kedua raja diminta untuk secara tegas memihak Republik. Jika raja-raja tersebut menolak, akan diambil tindakan sesuai Instruksi Non Koperasi.<ref>Nasution, Abdul Haris. (1996) ''Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia: perang gerilya semesta ii.'' Jilid 10 Cet 8. Bandung: Disjarah Angkatan Darat dan Penerbit Angkasa; dan Soedarisman Poerwokoesoemo. (1984) ''Daerah Istimewa Yogyakarta.'' Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.</ref>
Terdapat pendapat yang menilai{{who}} bahwa pada awal pemerintahannya, [[Pakubuwana XII]] gagal mengambil peran penting dan memanfaatkan situasi politik Republik Indonesia. Pakubuwana XII saat itu dianggap kurang berdaya dalam menghadapi kelompok anti [[daerah istimewa]] yang gencar bermanuver dalam perpolitikan dan menyebarkan rumor bahwa para bangsawan Surakarta merupakan sekutu pemerintah Belanda, sehingga sebagian rakyat merasa tidak percaya dan memberontak terhadap kekuasaan Kesunanan.<ref>{{cite journal|url=https://digilib.uns.ac.id/dokumen/download/4950/MTM3NDQ=/Strategi-Komite-Nasional-Indonesia-Daerah-Surakarta-KNIDS-dalam-mengambil-alih-swapraja-1945-1946-babIII.pdf|title=Strategi Komite Nasional Indonesia Daerah Surakarta (KNIDS) dalam mengambil alih Swapraja, 1945-1946|format=[[PDF]]|first=Cahya|last=Putri Musaparsih|journal=Skripsi|publisher=Jurusan Ilmu Sejarah, Fakultas Sastra dan Seni Rupa, Universitas Sebelas Maret Surakarta|year=2005}}</ref> Dalam buku seri Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia, Jenderal [[Abdul Haris Nasution]] menuduh bahwa raja-raja Surakarta membelot dan mengkhianati Indonesia saat terjadi [[Agresi Militer Belanda II]] tahun 1948–1949. Bahkan pihak [[TNI]] sudah menyiapkan Kolonel [[Djatikoesoemo|GPH. Jatikusuma]] ([[Kepala Staf TNI Angkatan Darat|KSAD]] pertama), putra [[Pakubuwana X]], untuk diangkat menjadi Susuhunan yang baru dan Letkol. Suryo Sularso untuk diangkat menjadi Mangkunegara yang baru. Namun, sebagian fraksi rakyat dan oknum tentara semakin ingin menghapuskan monarki sama sekali. Akhirnya, Mayor [[Achmadi Hadisoemarto|Achmadi]], penguasa militer kota Surakarta, hanya diberi tugas untuk langsung berhubungan dengan istana-istana monarki Surakarta. Kedua raja diminta untuk secara tegas memihak Republik. Jika raja-raja tersebut menolak, akan diambil tindakan sesuai Instruksi Non Koperasi.<ref>Nasution, Abdul Haris. (1996) ''Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia: perang gerilya semesta ii.'' Jilid 10 Cet 8. Bandung: Disjarah Angkatan Darat dan Penerbit Angkasa; dan Soedarisman Poerwokoesoemo. (1984) ''Daerah Istimewa Yogyakarta.'' Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.</ref>


[[Berkas:Aankomst Mohammed Hatta met Minister Maarseveen, Bestanddeelnr 903-5388.jpg|jmpl|275px|Kedatangan [[Pakubuwana XII|Susuhunan Pakubuwana XII]], [[Mangkunegara VIII|Adipati Mangkunegara VIII]] dan [[Perdana Menteri]] [[Mohammad Hatta]] di [[Belanda]] dalam rangka mengikuti [[Konferensi Meja Bundar]] pada tahun [[1949]].]]
[[Berkas:Aankomst Mohammed Hatta met Minister Maarseveen, Bestanddeelnr 903-5388.jpg|jmpl|275px|Kedatangan [[Pakubuwana XII|Susuhunan Pakubuwana XII]], [[Mangkunegara VIII|Adipati Mangkunegara VIII]] dan [[Perdana Menteri]] [[Mohammad Hatta]] di [[Belanda]] dalam rangka mengikuti [[Konferensi Meja Bundar]] pada tahun 1949.]]


Kenyataannya, selama masa [[Revolusi Nasional Indonesia|Revolusi Nasional]], [[Pakubuwana XII]] tetap memihak pemerintah Republik Indonesia. Ia bahkan memperoleh pangkat militer [[Letnan jenderal (Indonesia)|letnan jenderal]] [[tituler]], dan pada tahun [[1945]]–[[1948]] beberapa kali turut mendampingi [[Soekarno|Presiden Sukarno]] dan [[Mohammad Hatta|Wakil Presiden Mohammad Hatta]] mengunjungi berbagai daerah di [[Jawa Tengah]] dan [[Jawa Timur]], baik dalam rangka konsolidasi pemerintahan maupun meninjau garis depan pertempuran.<ref name="raja di alam republik">Bram Setiadi, D.S. Trihandayani, Qomarul Hadi. (2001) ''Raja di Alam Republik: Keraton Kesunanan Surakarta dan Paku Buwono XII''. Jakarta: Bina Rena Pariwara.</ref> Sebelum dan hingga peristiwa [[Serangan Umum Surakarta]] pada 7–10 Agustus [[1948]], Pakubuwana XII juga mengizinkan sepasukan TNI di bawah pimpinan Letkol. [[Slamet Rijadi|Slamet Riyadi]] untuk menggunakan [[Pesanggrahan|Pesanggrahan Pracimaharja]] di [[Boyolali]] sebagai markas, sebelum akhirnya pesanggrahan peninggalan [[Pakubuwana VI]] tersebut dibakar untuk membendung manuver tentara [[Belanda]] yang hendak menduduki wilayah [[Keresidenan Surakarta|Surakarta]].<ref name="raja di alam republik"/>
Kenyataannya, selama masa [[Revolusi Nasional Indonesia|Revolusi Nasional]], [[Pakubuwana XII]] tetap memihak pemerintah Republik Indonesia. Ia bahkan memperoleh pangkat militer [[Letnan jenderal (Indonesia)|letnan jenderal]] [[tituler]], dan pada tahun 1945–1948 beberapa kali turut mendampingi [[Soekarno|Presiden Sukarno]] dan [[Mohammad Hatta|Wakil Presiden Mohammad Hatta]] mengunjungi berbagai daerah di [[Jawa Tengah]] dan [[Jawa Timur]], baik dalam rangka konsolidasi pemerintahan maupun meninjau garis depan pertempuran.<ref name="raja di alam republik">Bram Setiadi, D.S. Trihandayani, Qomarul Hadi. (2001) ''Raja di Alam Republik: Keraton Kesunanan Surakarta dan Paku Buwono XII''. Jakarta: Bina Rena Pariwara.</ref> Sebelum dan hingga peristiwa [[Serangan Umum Surakarta]] pada 7–10 Agustus 1948, Pakubuwana XII juga mengizinkan sepasukan TNI di bawah pimpinan Letkol. [[Slamet Rijadi|Slamet Riyadi]] untuk menggunakan [[Pesanggrahan|Pesanggrahan Pracimaharja]] di [[Boyolali]] sebagai markas, sebelum akhirnya pesanggrahan peninggalan [[Pakubuwana VI]] tersebut dibakar untuk membendung manuver tentara [[Belanda]] yang hendak menduduki wilayah [[Keresidenan Surakarta|Surakarta]].<ref name="raja di alam republik"/>


Selain itu, Pakubuwana XII juga menjadi salah satu anggota delegasi yang diberi kedudukan setingkat menteri negara dalam rombongan delegasi Republik Indonesia pimpinan Mohammad Hatta pada [[Konferensi Meja Bundar]] di [[Den Haag]] dari tanggal [[23 Agustus]] hingga [[2 November]] [[1949]].<ref name=youtube.com>[https://www.youtube.com/watch?v=Do0JBcKv8pk I Gede Putu Wiranegara: PAKU BUWONO XII - Berjuang Untuk Sebuah Eksistensi]</ref> Pada [[17 Desember]] [[1949]], staf urusan sipil Komando Tentara dan Teritorial Kota Surakarta, mewakili pemerintah Republik Indonesia, bahkan memberikan surat tanda penghargaan dan terima kasih kepada Jawatan Pusat Karti Praja, sebuah badan pekerjaan umum yang dibentuk Pakubuwana XII dalam rangka membuka lapangan kerja bagi masyarakat karena telah ikut serta dalam mempertahankan kedaulatan negara Republik Indonesia selama [[Agresi Militer Belanda II]].<ref name="DIS"/><ref name="raja di alam republik"/> Meski demikian, kedudukan [[Daerah Istimewa Surakarta]] saat itu tetap belum dapat dipertahankan, karena ketidakstabilan politik dan pemerintahan di [[Surakarta]] yang berlangsung berlarut-larut sejak tahun [[1945]] sampai [[1949]].
Selain itu, Pakubuwana XII juga menjadi salah satu anggota delegasi yang diberi kedudukan setingkat menteri negara dalam rombongan delegasi Republik Indonesia pimpinan Mohammad Hatta pada [[Konferensi Meja Bundar]] di [[Den Haag]] dari tanggal [[23 Agustus]] hingga 2 November 1949.<ref name=youtube.com>[https://www.youtube.com/watch?v=Do0JBcKv8pk I Gede Putu Wiranegara: PAKU BUWONO XII - Berjuang Untuk Sebuah Eksistensi]</ref> Pada 17 Desember 1949, staf urusan sipil Komando Tentara dan Teritorial Kota Surakarta, mewakili pemerintah Republik Indonesia, bahkan memberikan surat tanda penghargaan dan terima kasih kepada Jawatan Pusat Karti Praja, sebuah badan pekerjaan umum yang dibentuk Pakubuwana XII dalam rangka membuka lapangan kerja bagi masyarakat karena telah ikut serta dalam mempertahankan kedaulatan negara Republik Indonesia selama [[Agresi Militer Belanda II]].<ref name="DIS"/><ref name="raja di alam republik"/> Meski demikian, kedudukan [[Daerah Istimewa Surakarta]] saat itu tetap belum dapat dipertahankan, karena ketidakstabilan politik dan pemerintahan di [[Surakarta]] yang berlangsung berlarut-larut sejak tahun 1945 sampai 1949.


Meskipun gagal secara politik, namun Pakubuwana XII tetap menjadi figur pelindung [[Budaya Jawa|kebudayaan Jawa]]. Pada zaman [[reformasi]], para tokoh nasional, misalnya [[Abdurrahman Wahid|Presiden Abdurrahman Wahid]], tetap menghormatinya sebagai salah satu sesepuh tanah [[Jawa]].<ref name=santrigusdur.com>[http://santrigusdur.com/2015/12/keraton-dan-perjalanan-budayanya/ Abdurrahman Wahid: Keraton dan Perjalanan Budayanya.] {{Webarchive|url=https://web.archive.org/web/20200714044651/http://santrigusdur.com/2015/12/keraton-dan-perjalanan-budayanya/ |date=2020-07-14 }} Dari situs Santri Gus Dur - Komunitas Pemikiran Gusdur.</ref> Pakubuwana XII wafat pada tanggal [[11 Juni]] [[2004]], dan masa pemerintahannya merupakan yang paling lama di antara para raja-raja Kesunanan terdahulu, yaitu sejak tahun [[1945]] hingga [[2004]].
Meskipun gagal secara politik, namun Pakubuwana XII tetap menjadi figur pelindung [[Budaya Jawa|kebudayaan Jawa]]. Pada zaman [[reformasi]], para tokoh nasional, misalnya [[Abdurrahman Wahid|Presiden Abdurrahman Wahid]], tetap menghormatinya sebagai salah satu sesepuh tanah [[Jawa]].<ref name=santrigusdur.com>[http://santrigusdur.com/2015/12/keraton-dan-perjalanan-budayanya/ Abdurrahman Wahid: Keraton dan Perjalanan Budayanya.] {{Webarchive|url=https://web.archive.org/web/20200714044651/http://santrigusdur.com/2015/12/keraton-dan-perjalanan-budayanya/ |date=2020-07-14 }} Dari situs Santri Gus Dur - Komunitas Pemikiran Gusdur.</ref> Pakubuwana XII wafat pada tanggal [[11 Juni]] [[2004]], dan masa pemerintahannya merupakan yang paling lama di antara para raja-raja Kesunanan terdahulu, yaitu sejak tahun 1945 hingga 2004.


=== Pakubuwana XIII ===
=== Pakubuwana XIII ===


[[Berkas:Tingalan Jumenengan Dalem ke-13 Susuhunan Pakubuwono XIII.jpg|jmpl|275px|[[Pakubuwana XIII|Susuhunan Pakubuwana XIII]] dan [[Pangeran Tejowulan|KGPH. Tejawulan]] bersama keluarga serta beberapa pejabat penting, termasuk [[F.X. Hadi Rudyatmo]] (wali kota [[Surakarta]]), [[Ganjar Pranowo]] (gubernur [[Jawa Tengah]]), [[Subagyo Hadi Siswoyo]] (anggota [[Dewan Pertimbangan Presiden]]), dan [[Daftar Menteri Dalam Negeri Indonesia|Menteri Dalam Negeri]] [[Tjahjo Kumolo]] dalam Upacara ''Tingalan Dalem Jumenengan'' ke-13 tahun 2017.]]
[[Berkas:CAOS DAHAR.jpg|jmpl|275px|Para [[abdi dalem]] tampak memberikan penghormatan ketika berlangsungnya salah satu ''hajad dalem'' atau upacara besar kerajaan di [[Keraton Surakarta]], tahun [[2015]].]]


Sepeninggal Susuhunan Pakubuwana XII, sempat terjadi perebutan takhta antara [[Pakubuwana XIII|KGPH. Hangabehi]] dangan [[Pangeran Tejowulan|KGPH. Tejawulan]], yang masing-masing menyatakan diri sebagai Pakubuwana XIII; keduanya mengklaim sebagai pemangku takhta yang sah, dan masing-masing menyelenggarakan acara pemakaman ayahnya secara terpisah. Akan tetapi, konsensus keluarga telah mengakui bahwa Hangabehi yang diberi gelar Sri [[Pakubuwana XIII|Susuhunan Pakubuwana XIII]].
Sepeninggal Susuhunan Pakubuwana XII, sempat terjadi perebutan takhta antara [[Pakubuwana XIII|KGPH. Hangabehi]] dangan [[Pangeran Tejowulan|KGPH. Tejawulan]], yang masing-masing menyatakan diri sebagai Pakubuwana XIII; keduanya mengklaim sebagai pemangku takhta yang sah, dan masing-masing menyelenggarakan acara pemakaman ayahnya secara terpisah. Akan tetapi, konsensus keluarga telah mengakui bahwa Hangabehi yang diberi gelar Sri [[Pakubuwana XIII|Susuhunan Pakubuwana XIII]].


Pada tahun [[2012]], konflik ''Raja Kembar'' telah usai setelah Pangeran Tejawulan melepaskan klaim takhta dan gelar Pakubuwana kepada kakaknya, yakni Pangeran Hangabehi, dalam sebuah rekonsiliasi resmi yang diprakarsai oleh Pemerintah Kota Surakarta bersama [[DPR-RI]], dan Pangeran Tejawulan sendiri dilantik menjadi ''mahamenteri'' dengan gelar ''Kangjeng Gusti Pangeran Harya Panembahan Agung''.<ref>[http://nasional.kompas.com/read/2012/06/04/11454799/Akhirnya.Keraton.Surakarta.Rekonsiliasi Akhirnya, Keraton Surakarta Rekonsiliasi.] ''Kompas.com''</ref>
Pada tahun 2012, konflik ''Raja Kembar'' telah usai setelah Pangeran Tejawulan melepaskan klaim takhta dan gelar Pakubuwana kepada kakaknya, yakni Pangeran Hangabehi, dalam sebuah rekonsiliasi resmi yang diprakarsai oleh Pemerintah Kota Surakarta bersama [[DPR-RI]], dan Pangeran Tejawulan sendiri dilantik menjadi ''mahamenteri'' dengan gelar ''Kangjeng Gusti Pangeran Harya Panembahan Agung''.<ref>[http://nasional.kompas.com/read/2012/06/04/11454799/Akhirnya.Keraton.Surakarta.Rekonsiliasi Akhirnya, Keraton Surakarta Rekonsiliasi.] ''Kompas.com''</ref>


[[Berkas:Tingalan Jumenengan Dalem ke-13 Susuhunan Pakubuwono XIII.jpg|jmpl|275px|[[Pakubuwana XIII|Susuhunan Pakubuwana XIII]] dan [[Pangeran Tejowulan|KGPH. Tejawulan]] bersama keluarga serta beberapa pejabat penting, termasuk [[F.X. Hadi Rudyatmo]] (wali kota [[Surakarta]]), [[Ganjar Pranowo]] (gubernur [[Jawa Tengah]]), [[Subagyo Hadi Siswoyo]] (anggota [[Dewan Pertimbangan Presiden]]), dan [[Daftar Menteri Dalam Negeri Indonesia|Menteri Dalam Negeri]] [[Tjahjo Kumolo]] dalam Upacara ''Tingalan Dalem Jumenengan'' ke-13 tahun [[2017]].]]
[[Berkas:Susuhunan Pakubuwono XIII dan Keluarga di Keraton Surakarta 2024.jpg|jmpl|275px|[[Pakubuwana XIII|Susuhunan Pakubuwana XIII]] bersama istri, putra-putri, serta para menantu dan cucu, seusai pelaksanaan rangkaian upacara menyambut [[Satu Suro|Tahun Baru Jawa]] (1 Sura) di [[Keraton Surakarta]] tahun 2024.]]


Rekonsiliasi damai antara [[Pakubuwana XIII]] dan [[Pangeran Tejowulan|Tejawulan]] awalnya sempat ditentang oleh Lembaga Dewan Adat (LDA) Keraton Surakarta yang dipimpin oleh [[GKR Wandansari|GKR. Wandansari]].<ref>[http://www.jpnn.com/read/2012/06/17/130902/Prosesi-Jumenengan-di-Tengah-Konflik-Panjang-Keraton-Kasunanan-SoloProsesi-Jumenengan-di-Tengah-Konflik-Panjang-Keraton-Kasunanan-Solo,-Dikawal-Ketat-400-Petugas-Keamanan Prosesi Jumenengan di Tengah Konflik Panjang Keraton Kasunanan Solo.] {{Webarchive|url=https://web.archive.org/web/20140908113841/http://www.jpnn.com/read/2012/06/17/130902/Prosesi-Jumenengan-di-Tengah-Konflik-Panjang-Keraton-Kasunanan-SoloProsesi-Jumenengan-di-Tengah-Konflik-Panjang-Keraton-Kasunanan-Solo,-Dikawal-Ketat-400-Petugas-Keamanan |date=2014-09-08 }} ''Jpnn.com''</ref> Sejak tahun [[2013]], Pakubuwana XIII bahkan tidak dapat memasuki kawasan inti [[Keraton Surakarta]] dan memimpin beberapa upacara adat karena adanya penutupan beberapa akses dari kediaman Susuhunan menuju kawasan inti keraton.<ref>[https://www.solopos.com/gagasan-dilema-lembaga-dewan-adat-464981 Dilema Lembaga Dewan Adat] ''Solopos.com''</ref> Setelah [[TNI]] dan [[Kepolisian Negara Republik Indonesia|Kepolisian]] turun tangan serta adanya mediasi antara pihak Pakubuwana XIII dan Lembaga Dewan Adat,<ref>[https://solo.tribunnews.com/2017/04/15/breaking-news-brimob-dan-tni-amankan-keraton-solo?page=all Brimob dan TNI Amankan Keraton Solo] Tribun Solo</ref><ref>[https://mediaindonesia.com/nusantara/99214/sekat-seng-keraton-dibongkar Sekat Seng Keraton Dibongkar] Media Indonesia</ref> pada bulan [[April]] [[2017]] Pakubuwana XIII bisa kembali masuk ke dalam keraton dan menyelenggarakan upacara peringatan kenaikan takhta (''tingalan dalem jumenengan'') yang dihadiri oleh keluarga, [[abdi dalem]], perwakilan masyarakat, dan beberapa pejabat tinggi pemerintahan.<ref>[https://www.youtube.com/watch?v=4rYIwnlCGt0 Peringatan Naik Takhta Raja Solo] CNN Indonesia</ref>
Rekonsiliasi damai antara [[Pakubuwana XIII]] dan [[Pangeran Tejowulan|Tejawulan]] awalnya sempat ditentang oleh Lembaga Dewan Adat (LDA) Keraton Surakarta yang dipimpin oleh [[GKR Wandansari|GKR. Wandansari]].<ref>[http://www.jpnn.com/read/2012/06/17/130902/Prosesi-Jumenengan-di-Tengah-Konflik-Panjang-Keraton-Kasunanan-SoloProsesi-Jumenengan-di-Tengah-Konflik-Panjang-Keraton-Kasunanan-Solo,-Dikawal-Ketat-400-Petugas-Keamanan Prosesi Jumenengan di Tengah Konflik Panjang Keraton Kasunanan Solo.] {{Webarchive|url=https://web.archive.org/web/20140908113841/http://www.jpnn.com/read/2012/06/17/130902/Prosesi-Jumenengan-di-Tengah-Konflik-Panjang-Keraton-Kasunanan-SoloProsesi-Jumenengan-di-Tengah-Konflik-Panjang-Keraton-Kasunanan-Solo,-Dikawal-Ketat-400-Petugas-Keamanan |date=2014-09-08 }} ''Jpnn.com''</ref> Sejak tahun 2013, Pakubuwana XIII bahkan tidak dapat memasuki kawasan inti [[Keraton Surakarta]] dan memimpin beberapa upacara adat karena adanya penutupan beberapa akses dari kediaman Susuhunan menuju kawasan inti keraton.<ref>[https://www.solopos.com/gagasan-dilema-lembaga-dewan-adat-464981 Dilema Lembaga Dewan Adat] ''Solopos.com''</ref> Setelah [[TNI]] dan [[Kepolisian Negara Republik Indonesia|Kepolisian]] turun tangan serta adanya mediasi antara pihak Pakubuwana XIII dan Lembaga Dewan Adat,<ref>[https://solo.tribunnews.com/2017/04/15/breaking-news-brimob-dan-tni-amankan-keraton-solo?page=all Brimob dan TNI Amankan Keraton Solo] Tribun Solo</ref><ref>[https://mediaindonesia.com/nusantara/99214/sekat-seng-keraton-dibongkar Sekat Seng Keraton Dibongkar] Media Indonesia</ref> pada bulan [[April]] [[2017]] Pakubuwana XIII bisa kembali masuk ke dalam keraton dan menyelenggarakan upacara peringatan kenaikan takhta (''tingalan dalem jumenengan'') yang dihadiri oleh keluarga, [[abdi dalem]], perwakilan masyarakat, dan beberapa pejabat tinggi pemerintahan.<ref>[https://www.youtube.com/watch?v=4rYIwnlCGt0 Peringatan Naik Takhta Raja Solo] CNN Indonesia</ref>


Penyelesaian konflik antara Susuhunan Pakubuwana XIII dengan [[GKR Wandansari|GKR. Wandansari]] dan Lembaga Dewan Adat akhirnya terjadi pada tanggal [[3 Januari]] [[2023]], usai kedua pihak berhasil dipertemukan dan dimediasi oleh KRAy. Herniatie Sriana Munasari (cucu dari [[Soeroso|R.P. Suroso]], mantan [[Daftar Gubernur Jawa Tengah|gubernur]] [[Jawa Tengah]] sekaligus komisaris tinggi pemerintah pusat untuk [[Daerah Istimewa Surakarta]]) dan [[Kepolisian Resor|Polresta Surakarta]].<ref name="Solo Times">[https://www.youtube.com/watch?v=-_n6kcbtXDo&list=PLYZoGnrmAyc9iflHWHIxYOmh7WqV3YNEL&index=23 Kronologi Pertemuan LDA dengan Sinuhun PB XIII, yang berbuah DAMAI!] Solo Times</ref><ref>[https://video.tribunnews.com/view/529646/momen-langka-pertemuan-paku-buwono-xiii-dengan-gusti-moeng-siap-lestarikan-keraton-surakarta Momen Langka Pertemuan Paku Buwono XIII dengan Gusti Moeng, Siap Lestarikan Keraton Surakartaa] Tribun Network</ref><ref>[https://www.krjogja.com/berita-lokal/read/487919/sosok-dibalik-perdamaian-di-keraton-solo-raja-paku-buwono-xiii-menangis-haru Sosok Dibalik Perdamaian di Keraton Solo, Raja Paku Buwono XIII Menangis Haru] Kedaulatan Rakyat</ref> Menindaklanjuti rekonsiliasi tersebut, [[Gibran Rakabuming Raka|wali kota Surakarta]] mengundang Susuhunan Pakubuwana XIII dan GKR. Wandansari bersama beberapa kerabat keraton di Loji Gandrung (rumah dinas [[Daftar Wali Kota Surakarta|wali kota]] [[Surakarta]]), pada tanggal [[4 Januari]] [[2023]].<ref>[https://www.youtube.com/watch?v=3x2kP3-IovA&list=PLYZoGnrmAyc9iflHWHIxYOmh7WqV3YNEL&index=24 GIBRAN Undang 2 Kubu Keraton di Loji Gandrung usai Berdamai] Solo Times</ref> Pada pertemuan tersebut, GKR. Wandansari menyatakan bahwa ia telah bersatu dengan Susuhunan Pakubuwana XIII dan siap bersama-sama melestarikan kebudayaan serta adat istiadat keraton.<ref>[https://www.youtube.com/watch?v=bs6ARsdelh4&list=PLYZoGnrmAyc9iflHWHIxYOmh7WqV3YNEL&index=26 Dua Kubu Keraton Solo Sepakat Bersatu di Era Gibran, Langkah Selanjutnya Apa?] Solo Times</ref>
Penyelesaian konflik antara Susuhunan Pakubuwana XIII dengan [[GKR Wandansari|GKR. Wandansari]] dan Lembaga Dewan Adat akhirnya terjadi pada tanggal 3 Januari 2023, usai kedua pihak berhasil dipertemukan dan dimediasi oleh KRAy. Herniatie Sriana Munasari (cucu dari [[Soeroso|R.P. Suroso]], mantan [[Daftar Gubernur Jawa Tengah|gubernur]] [[Jawa Tengah]] sekaligus komisaris tinggi pemerintah pusat untuk [[Daerah Istimewa Surakarta]]) dan [[Kepolisian Resor|Polresta Surakarta]].<ref name="Solo Times">[https://www.youtube.com/watch?v=-_n6kcbtXDo&list=PLYZoGnrmAyc9iflHWHIxYOmh7WqV3YNEL&index=23 Kronologi Pertemuan LDA dengan Sinuhun PB XIII, yang berbuah DAMAI!] Solo Times</ref><ref>[https://video.tribunnews.com/view/529646/momen-langka-pertemuan-paku-buwono-xiii-dengan-gusti-moeng-siap-lestarikan-keraton-surakarta Momen Langka Pertemuan Paku Buwono XIII dengan Gusti Moeng, Siap Lestarikan Keraton Surakartaa] Tribun Network</ref><ref>[https://www.krjogja.com/berita-lokal/read/487919/sosok-dibalik-perdamaian-di-keraton-solo-raja-paku-buwono-xiii-menangis-haru Sosok Dibalik Perdamaian di Keraton Solo, Raja Paku Buwono XIII Menangis Haru] Kedaulatan Rakyat</ref> Menindaklanjuti rekonsiliasi tersebut, [[Gibran Rakabuming Raka]] mengundang Susuhunan Pakubuwana XIII dan GKR. Wandansari bersama beberapa kerabat keraton di Loji Gandrung (rumah dinas [[Daftar Wali Kota Surakarta|wali kota]] [[Surakarta]]), pada tanggal 4 Januari 2023.<ref>[https://www.youtube.com/watch?v=3x2kP3-IovA&list=PLYZoGnrmAyc9iflHWHIxYOmh7WqV3YNEL&index=24 GIBRAN Undang 2 Kubu Keraton di Loji Gandrung usai Berdamai] Solo Times</ref> Pada pertemuan tersebut, GKR. Wandansari menyatakan bahwa ia telah bersatu dengan Susuhunan Pakubuwana XIII dan siap bersama-sama melestarikan kebudayaan serta adat istiadat keraton.<ref>[https://www.youtube.com/watch?v=bs6ARsdelh4&list=PLYZoGnrmAyc9iflHWHIxYOmh7WqV3YNEL&index=26 Dua Kubu Keraton Solo Sepakat Bersatu di Era Gibran, Langkah Selanjutnya Apa?] Solo Times</ref>


== Wilayah Kekuasaan ==
== Wilayah Kekuasaan ==
Baris 200: Baris 201:
=== Pada Awal Berdirinya ===
=== Pada Awal Berdirinya ===


[[Berkas:Jawa Setelah Perjanjian Giyanti.png|265px|jmpl|Pembagian wilayah ''Mancanagara'' Kesunanan Surakarta dan [[Kesultanan Yogyakarta]] (termasuk wilayah [[Kadipaten Mangkunegaran]]) pada tahun [[1757]].]]
[[Berkas:Jawa Setelah Perjanjian Giyanti.png|265px|jmpl|Pembagian wilayah ''Mancanagara'' Kesunanan Surakarta dan [[Kesultanan Yogyakarta]] (termasuk wilayah [[Kadipaten Mangkunegaran]]) pada tahun 1757.]]


[[Berkas:COLLECTIE TROPENMUSEUM Tempels op de Candi Lara Jonggrang oftewel het Prambanan tempelcomplex TMnr 60016393.jpg|265px|jmpl|[[Candi Prambanan|Kompleks Candi Prambanan]] sekitar tahun [[1900]]-[[1938]]. Percandian tersebut berada tepat di perbatasan wilayah Kesunanan Surakarta ([[Kabupaten Klaten]]) dan [[Kesultanan Yogyakarta]] ([[Kabupaten Sleman]]).]]
[[Berkas:COLLECTIE TROPENMUSEUM Tempels op de Candi Lara Jonggrang oftewel het Prambanan tempelcomplex TMnr 60016393.jpg|265px|jmpl|[[Candi Prambanan|Kompleks Candi Prambanan]] sekitar tahun 1900-1938. Percandian tersebut berada tepat di perbatasan wilayah Kesunanan Surakarta ([[Kabupaten Klaten]]) dan [[Kesultanan Yogyakarta]] ([[Kabupaten Sleman]]).]]


Seperti di masa [[Kesultanan Mataram]], pada awal berdirinya (semasa pemerintahan [[Pakubuwana II|Susuhunan Pakubuwana II]] dan [[Pakubuwana III|Susuhunan Pakubuwana III]]) wilayah Kesunanan Surakarta dibagi menjadi daerah ''Kuthagara'' atau ''Kuthanagara'', ''Nagara Agung'', ''Mancanagara'', dan ''Pasisiran''.<ref name="sejarah kerajaan tradisional surakarta">Dwi Ratna Nurhajarini, Restu Gunawan, Tugas Triwahyono. (1999) ''Sejarah Kerajaan Tradisional Surakarta''. Jakarta: Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.</ref> Daerah ''Kuthagara'' adalah [[ibu kota]] dan pusat pemerintahan kerajaan, yang juga menjadi tempat tinggal raja beserta keluarganya termasuk para pejabat dan pegawai pemerintahan. Daerah ''Kuthagara'' juga sering disebut sebagai ''Siti Narawita'', yang secara harfiah berarti daerah tempat orang-orang mengabdi. Daerah ''Nagara Agung'' adalah wilayah yang berada di sekitar ''Kuthagara'', yang merupakan daerah [[apanase]] atau ''tanah lungguh'' dari para [[bangsawan|keluarga raja]] dan [[abdi dalem]], termasuk pula daerah ''Siti Narawita'' milik raja. Sedangkan daerah ''Mancanagara'' dan ''Pasisiran'' merupakan wilayah di luar kawasan ''Nagara Agung''; di daerah ini tidak terdapat ''tanah lungguh'', namun pada saat perayaan [[grebeg]] dan tiap-tiap waktu tertentu harus menyerahkan [[pajak]] ke [[Keraton Surakarta|keraton]]. Secara keseluruhan, wilayah Kesunanan Surakarta ketika itu memiliki luas 352.382 ''karya''.<ref name="sejarah kerajaan tradisional surakarta"/>
Seperti di masa [[Kesultanan Mataram]], pada awal berdirinya (semasa pemerintahan [[Pakubuwana II|Susuhunan Pakubuwana II]] dan [[Pakubuwana III|Susuhunan Pakubuwana III]]) wilayah Kesunanan Surakarta dibagi menjadi daerah ''Kuthagara'' atau ''Kuthanagara'', ''Nagara Agung'', ''Mancanagara'', dan ''Pasisiran''.<ref name="sejarah kerajaan tradisional surakarta">Dwi Ratna Nurhajarini, Restu Gunawan, Tugas Triwahyono. (1999) ''Sejarah Kerajaan Tradisional Surakarta''. Jakarta: Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.</ref> Daerah ''Kuthagara'' adalah [[ibu kota]] dan pusat pemerintahan kerajaan, yang juga menjadi tempat tinggal raja beserta keluarganya termasuk para pejabat dan pegawai pemerintahan. Daerah ''Kuthagara'' juga sering disebut sebagai ''Siti Narawita'', yang secara harfiah berarti daerah tempat orang-orang mengabdi. Daerah ''Nagara Agung'' adalah wilayah yang berada di sekitar ''Kuthagara'', yang merupakan daerah [[apanase]] atau ''tanah lungguh'' dari para [[bangsawan|keluarga raja]] dan [[abdi dalem]], termasuk pula daerah ''Siti Narawita'' milik raja. Sedangkan daerah ''Mancanagara'' dan ''Pasisiran'' merupakan wilayah di luar kawasan ''Nagara Agung''; di daerah ini tidak terdapat ''tanah lungguh'', namun pada saat perayaan [[grebeg]] dan tiap-tiap waktu tertentu harus menyerahkan [[pajak]] ke [[Keraton Surakarta|keraton]]. Secara keseluruhan, wilayah Kesunanan Surakarta ketika itu memiliki luas 352.382 ''karya''.<ref name="sejarah kerajaan tradisional surakarta"/>
Baris 227: Baris 228:
=== Perkembangan Selanjutnya ===
=== Perkembangan Selanjutnya ===


[[Berkas:Overzichtskaart van de residentie Soerakarta.jpg|265px|jmpl|Peta [[Karesidenan Surakarta]] yang terdiri dari gabungan dari wilayah Kesunanan Surakarta dan [[Kadipaten Mangkunegaran]] (tanpa daerah [[enklave]]), pada tahun [[1920]]. Wilayah administratif ini oleh pemerintah [[Hindia Belanda]] pada tahun [[1928]] dinaikkan statusnya menjadi [[kegubernuran]] (''gouvernement'') setingkat [[provinsi]]. Setelah berdirinya [[Indonesia]], wilayah ini kemudian menjadi [[Daerah Istimewa Surakarta]] ([[1945]]-[[1946]]).]]
[[Berkas:Overzichtskaart van de residentie Soerakarta.jpg|265px|jmpl|Peta [[Karesidenan Surakarta]] yang terdiri dari gabungan dari wilayah Kesunanan Surakarta dan [[Kadipaten Mangkunegaran]] (tanpa daerah [[enklave]]), pada tahun 1920. Wilayah administratif ini oleh pemerintah [[Hindia Belanda]] pada tahun 1928 dinaikkan statusnya menjadi [[kegubernuran]] (''gouvernement'') setingkat [[provinsi]]. Setelah berdirinya [[Indonesia]], wilayah ini kemudian menjadi [[Daerah Istimewa Surakarta]] (1945-1946).]]


Wilayah kekuasaan Kesunanan Surakarta selanjutnya semakin berkurang pada masa pemerintahan raja-raja berikutnya, termasuk setelah adanya [[Perjanjian Giyanti]] tahun [[1755]] dan [[Perjanjian Salatiga]] tahun [[1757]], yang mengakibatkan Kesunanan Surakarta harus menyerahkan beberapa wilayah kekuasaannya kepada [[Kesultanan Yogyakarta]] dan [[Kadipaten Mangkunegaran]], serta menyerahkan wilayah ''Pasisiran'' kepada [[VOC]]. Usai [[Perang Diponegoro|Perang Jawa]] pada tahun [[1830]], seluruh wilayah ''Mancanagara'' dirampas oleh pemerintah [[Hindia Belanda]], menyisakan wilayah ''Nagara Agung'' dan ''Kuthagara''.<ref name="sejarah kerajaan tradisional surakarta"/> Wilayah yang tersisa tersebut, kemudian dibagi lagi menjadi beberapa [[kabupaten]] dan [[kawedanan]].
Wilayah kekuasaan Kesunanan Surakarta selanjutnya semakin berkurang pada masa pemerintahan raja-raja berikutnya, termasuk setelah adanya [[Perjanjian Giyanti]] tahun 1755 dan [[Perjanjian Salatiga]] tahun 1757, yang mengakibatkan Kesunanan Surakarta harus menyerahkan beberapa wilayah kekuasaannya kepada [[Kesultanan Yogyakarta]] dan [[Kadipaten Mangkunegaran]], serta menyerahkan wilayah ''Pasisiran'' kepada [[VOC]]. Usai [[Perang Diponegoro|Perang Jawa]] pada tahun 1830, seluruh wilayah ''Mancanagara'' dirampas oleh pemerintah [[Hindia Belanda]], menyisakan wilayah ''Nagara Agung'' dan ''Kuthagara''.<ref name="sejarah kerajaan tradisional surakarta"/> Wilayah yang tersisa tersebut, kemudian dibagi lagi menjadi beberapa [[kabupaten]] dan [[kawedanan]].


Di era [[Hindia Belanda]], status Kesunanan Surakarta merupakan [[Swapraja|Daerah Swapraja]] setingkat [[karesidenan]], yang di [[Pulau Jawa]] juga dikenal sebagai [[Vorstenlanden]] (Daerah Kerajaan-Kerajaan), yaitu daerah yang berhak memerintah sendiri alias tidak diatur oleh undang-undang pemerintah kolonial Hindia Belanda seperti daerah lain, tetapi diatur dengan kontrak politik antara [[Gubernur Jenderal]] dan Sri Susuhunan. Ada dua macam kontrak politik, yaitu kontrak panjang tentang kesetaraan kekuasaan keraton dengan Belanda, dan pernyataan pendek tentang pengakuan atas kekuasaan Belanda. Kesunanan Surakarta diatur dalam kontrak panjang, sementara [[Kadipaten Mangkunegaran]] diatur dalam pernyataan pendek. Sejak era Gubernur Jenderal [[Joannes Benedictus van Heutsz]] (1904-1909), setiap terjadi pergantian raja, maka diadakan pembaharuan kontrak. Kontrak terakhir untuk Kasunanan diatur dalam S. 1939/614, sedangkan untuk [[Mangkunegaran]] diatur dalam S. 1940/543.<ref name="samroni">Imam Samroni, dkk. "Daerah Istimewa Surakarta", Pura Pustaka Yogyakarta, Februari 2010</ref>
Di era [[Hindia Belanda]], status Kesunanan Surakarta beserta [[Mangkunegaran]] merupakan [[Swapraja|Daerah Swapraja]] setingkat [[karesidenan]], yang di [[Pulau Jawa]] juga dikenal sebagai [[Vorstenlanden]] (Daerah Kerajaan-Kerajaan), yaitu daerah yang berhak memerintah sendiri alias tidak diatur oleh undang-undang pemerintah kolonial Hindia Belanda seperti daerah lain, tetapi diatur dengan kontrak politik antara [[Gubernur Jenderal]] dan Sri Susuhunan. Ada dua macam kontrak politik, yaitu kontrak panjang tentang kesetaraan kekuasaan keraton dengan Belanda, dan pernyataan pendek tentang pengakuan atas kekuasaan Belanda. Kesunanan Surakarta diatur dalam kontrak panjang, sementara [[Kadipaten Mangkunegaran]] diatur dalam pernyataan pendek. Sejak era Gubernur Jenderal [[Joannes Benedictus van Heutsz]] (1904-1909), setiap terjadi pergantian raja, maka diadakan pembaharuan kontrak. Kontrak terakhir untuk Kasunanan diatur dalam S. 1939/614, sedangkan untuk Mangkunegaran diatur dalam S. 1940/543.<ref name="samroni">Imam Samroni, dkk. "Daerah Istimewa Surakarta", Pura Pustaka Yogyakarta, Februari 2010</ref>


[[Berkas:KITLV A636 - De regent van Klaten legt een steen, vermoedelijk als fundament voor een toegoe, vanwege de openstelling van een ten zuidoosten van Klaten gelegen wegdeel, KITLV 53958.tiff|265px|jmpl|[[Daftar Bupati Klaten|Bupati Klaten]] (tengah) tampak melakukan peletakan batu pertama ketika seremoni dimulainya pembangunan tugu tapal batas dan jalan raya yang menghubungkan [[Kabupaten Klaten]] (Surakarta) dengan [[Kabupaten Gunung Kidul]] ([[Kesultanan Yogyakarta|Yogyakarta]]), tahun [[1936]].]]
[[Berkas:KITLV A636 - De regent van Klaten legt een steen, vermoedelijk als fundament voor een toegoe, vanwege de openstelling van een ten zuidoosten van Klaten gelegen wegdeel, KITLV 53958.tiff|265px|jmpl|[[Daftar Bupati Klaten|Bupati Klaten]] (tengah) tampak melakukan peletakan batu pertama ketika seremoni dimulainya pembangunan jalan raya yang menghubungkan [[Kabupaten Klaten]] (Surakarta) dengan [[Kabupaten Gunung Kidul]] ([[Kesultanan Yogyakarta|Yogyakarta]]), tahun 1936.]]


Sejak masa pemerintahan [[Pakubuwana X|Susuhunan Pakubuwana X]] pada abad ke-20, wilayah Kesunanan Surakarta meliputi:
Sejak masa pemerintahan [[Pakubuwana X|Susuhunan Pakubuwana X]] pada abad ke-20, wilayah Kesunanan Surakarta meliputi:
Baris 239: Baris 240:
# [[Kota Surakarta]] (sebagai ''kuthanagara'' atau [[ibu kota]] kerajaan)
# [[Kota Surakarta]] (sebagai ''kuthanagara'' atau [[ibu kota]] kerajaan)
# [[Kabupaten Sukoharjo]] (Kabupaten Kutha Surakarta)
# [[Kabupaten Sukoharjo]] (Kabupaten Kutha Surakarta)
# [[Kabupaten Klaten]]
# [[Kabupaten Boyolali]]
# [[Kabupaten Sragen]]
# [[Kabupaten Sragen]]
# [[Kabupaten Boyolali]]
# Beberapa [[enklave]] (daerah kantong) yang tersebar di wilayah [[Kesultanan Yogyakarta]] ([[Kotagede, Yogyakarta|Kotagede]] dan [[Imogiri, Bantul|Imogiri]])
# [[Kabupaten Klaten]] (yang juga mencakup wilayah [[Kotagede, Yogyakarta|Kotagede]] dan [[Imogiri, Bantul|Imogiri]], selaku [[enklave]] atau daerah kantong yang berada di wilayah [[Kesultanan Yogyakarta]])


Untuk wilayah kota Surakarta bagian utara serta [[Kabupaten Karanganyar]] (Kabupaten Kutha Mangkunegaran) dan [[Kabupaten Wonogiri]] (termasuk enklave [[Ngawen, Gunungkidul|Ngawen]] dan [[Semin, Gunungkidul|Semin]]) diperintah oleh [[Kadipaten Mangkunegaran]], yang merupakan [[negara vasal|vasal]] dari Kesunanan Surakarta.<ref name="mangkunegaran"/><ref name="dunia"/> Di tahun [[1928]], pemerintah Hindia Belanda menjadikan wilayah [[Karesidenan Surakarta]] yang merupakan gabungan dari Kesunanan Surakarta dan Kadipaten Mangkunegaran, sebagai sebuah [[kegubernuran]] setingkat [[provinsi]]. Wilayah dan pembagian administratif tersebut tidak banyak mengalami perubahan hingga masa [[Sejarah Nusantara (1942–1945)|Pendudukan Jepang]] dan era pemerintahan [[Republik Indonesia]].<ref name="terbentuknya"/>
Untuk wilayah kota Surakarta bagian utara serta [[Kabupaten Karanganyar]] (Kabupaten Kutha Mangkunegaran) dan [[Kabupaten Wonogiri]] (termasuk enklave [[Ngawen, Gunungkidul|Ngawen]] dan [[Semin, Gunungkidul|Semin]]) diperintah oleh [[Kadipaten Mangkunegaran]], yang merupakan [[negara vasal|vasal]] dari Kesunanan Surakarta.<ref name="mangkunegaran"/><ref name="dunia"/> Di tahun 1928, pemerintah Hindia Belanda menjadikan wilayah [[Karesidenan Surakarta]] yang merupakan gabungan dari Kesunanan Surakarta dan Kadipaten Mangkunegaran, sebagai sebuah [[kegubernuran]] setingkat [[provinsi]]. Wilayah dan pembagian administratif tersebut tidak banyak mengalami perubahan hingga masa [[Sejarah Nusantara (1942–1945)|Pendudukan Jepang]] dan era pemerintahan [[Republik Indonesia]].<ref name="terbentuknya"/>


Setelahnya, di masa pemerintahan [[Pakubuwana XII|Susuhunan Pakubuwana XII]] wilayah Kesunanan Surakarta mendapat kedudukan sebagai sebuah [[daerah istimewa]] dan menjadi [[Daerah Istimewa Surakarta]], yang bertahan selama beberapa bulan pada tahun [[1945]]-[[1946]]. Usai pembekuan Daerah Istimewa Surakarta dan sejak kembali dibentuknya Karesidenan Surakarta hingga penggabungan karesidenan tersebut ke dalam [[Provinsi Jawa Tengah]] pada tahun [[1950]], saat ini wilayah Kesunanan Surakarta secara administratif telah menyatu dengan Provinsi Jawa Tengah.<ref name="terbentuknya"/>
Setelahnya, di masa pemerintahan [[Pakubuwana XII|Susuhunan Pakubuwana XII]] wilayah Kesunanan Surakarta mendapat kedudukan sebagai sebuah [[daerah istimewa]] dan menjadi [[Daerah Istimewa Surakarta]], yang bertahan selama beberapa bulan pada tahun 1945-1946. Usai pembekuan Daerah Istimewa Surakarta dan sejak kembali dibentuknya Karesidenan Surakarta hingga penggabungan karesidenan tersebut ke dalam [[Provinsi Jawa Tengah]] pada tahun 1950, saat ini wilayah Kesunanan Surakarta secara administratif telah menyatu dengan Provinsi Jawa Tengah.<ref name="terbentuknya"/>


== Daftar Susuhunan (Sunan) Surakarta ==
== Daftar Susuhunan (Sunan) Surakarta ==
Baris 255: Baris 255:
|'''Nama'''
|'''Nama'''
|'''Jangka Hidup'''
|'''Jangka Hidup'''
|'''Awal Memerintah'''
|'''Awal Bertahta'''
|'''Akhir Memerintah'''
|'''Akhir Memerintah'''
|'''Keterangan'''
|'''Keterangan'''
Baris 294: Baris 294:
* [[Pakubuwana III|Susuhunan Pakubuwana III]], ayah
* [[Pakubuwana III|Susuhunan Pakubuwana III]], ayah
* GKR. Kencana, ibu
* GKR. Kencana, ibu
| [[File:Sri Susuhunan Pakubuwana IV.webp|alt=|165x165px]]
| [[File:Portret van Pakoeboewono IV van Soerakarta.png|alt=|165x165px]]
|-
|-
|'''[[Pakubuwana V|Susuhunan Pakubuwana V]]'''
|'''[[Pakubuwana V|Susuhunan Pakubuwana V]]'''
Baris 391: Baris 391:
|'''[[Pakubuwana XIII|Susuhunan Pakubuwana XIII]]'''
|'''[[Pakubuwana XIII|Susuhunan Pakubuwana XIII]]'''
* Raden Mas Suryo Partono
* Raden Mas Suryo Partono
|28 Juni 1948 (umur 75)
|28 Juni 1948 (umur 76)
|2004
|2004
|Petahana
|Petahana
Baris 405: Baris 405:
<gallery>
<gallery>


Berkas:COLLECTIE TROPENMUSEUM Groepsportret tijdens een bezoek van Koning Chulalongkorn van Siam aan Pakoe Boewono X de Susuhunan van Solo TMnr 60001421.jpg|[[Pakubuwana X|Susuhunan Pakubuwana X]] bersama [[Chulalongkorn|Raja Chulalongkorn]] (Rama V) dari [[Thailand]] di [[Keraton Surakarta]], tahun [[1901]].
Berkas:COLLECTIE TROPENMUSEUM Groepsportret tijdens een bezoek van Koning Chulalongkorn van Siam aan Pakoe Boewono X de Susuhunan van Solo TMnr 60001421.jpg|[[Pakubuwana X|Susuhunan Pakubuwana X]] bersama [[Chulalongkorn|Raja Chulalongkorn]] (Rama V) dari [[Thailand]] di [[Keraton Surakarta]], tahun 1901.
Berkas:KITLV A1292 - P.R.W. van Gesseler Verschuir (met tropenhelm vlak achter soesoehoenan links vooraan), gouverneur van Jogjakarta, bij soesoehoenan Pakoe Boewono X van Soerakarta bij de opening van de ni, KITLV 49772.tiff|[[Pakubuwana X|Susuhunan Pakubuwana X]] bersama para pejabat dan keluarga [[keraton]] saat meresmikan [[Pasar Gede Harjonagoro|Pasar Gedhe Harjanagara]], [[Surakarta]], tahun [[1929]].
Berkas:KITLV A1292 - P.R.W. van Gesseler Verschuir (met tropenhelm vlak achter soesoehoenan links vooraan), gouverneur van Jogjakarta, bij soesoehoenan Pakoe Boewono X van Soerakarta bij de opening van de ni, KITLV 49772.tiff|[[Pakubuwana X|Susuhunan Pakubuwana X]] bersama para pejabat dan keluarga [[keraton]] saat meresmikan [[Pasar Gede Harjonagoro|Pasar Gedhe Harjanagara]], [[Surakarta]], tahun 1929.
Berkas:KITLV A621 - Soesoehoenan Pakoe Boewono XI, Mangkoe Nagoro VII en K.J.A. Orie, gouverneur van Soerakarta, bij de opening van de Christelijke HBS te Soerakarta.jpg|[[Pakubuwana XI|Susuhunan Pakubuwana XI]] dan [[Mangkunegara VII|Adipati Mangkunegara VII]] menghadiri acara peresmian [[Hoogere Burgerschool]] (HBS) [[Surakarta]], tahun [[1940]].
Berkas:KITLV A621 - Soesoehoenan Pakoe Boewono XI, Mangkoe Nagoro VII en K.J.A. Orie, gouverneur van Soerakarta, bij de opening van de Christelijke HBS te Soerakarta.jpg|[[Pakubuwana XI|Susuhunan Pakubuwana XI]] dan [[Mangkunegara VII|Adipati Mangkunegara VII]] menghadiri acara peresmian [[Hoogere Burgerschool]] (HBS) [[Surakarta]], tahun 1940.
Berkas:Honorable Royal Guests A.JPG|Para tamu agung pada perhelatan ''Pisowanan Ageng Tingalan Dalem Jumenengan'' [[Pakubuwana XIII|Susuhunan Pakubuwana XIII]] yang ke-4, tahun [[2008]].
Berkas:Honorable Royal Guests A.JPG|Para tamu agung pada perhelatan ''Pisowanan Ageng Tingalan Dalem Jumenengan'' [[Pakubuwana XIII|Susuhunan Pakubuwana XIII]] yang ke-4, tahun 2008.
Berkas:Grebeg Maulud of Keraton Surakarta.jpg|Suasana [[Grebeg|Grebeg Mulud]] di [[Keraton Surakarta]] dalam rangka memperingati hari kelahiran [[Nabi Muhammad]], tahun [[2010]].
Berkas:Grebeg Maulud of Keraton Surakarta.jpg|Suasana [[Grebeg|Grebeg Mulud]] di [[Keraton Surakarta]] dalam rangka memperingati hari kelahiran [[Nabi Muhammad]], tahun 2010.


</gallery>
</gallery>
Baris 423: Baris 423:
* [[Kadipaten Mangkunagaran]]
* [[Kadipaten Mangkunagaran]]
* [[Kadipaten Pakualaman]]
* [[Kadipaten Pakualaman]]
* [[Vorstenlanden]]


== Referensi ==
== Referensi ==
Baris 446: Baris 447:
{{Kerajaan di Jawa}}
{{Kerajaan di Jawa}}


[[Kategori:Kesunanan Surakarta| ]]
[[Kategori:Kesunanan Surakarta Hadiningrat| ]]
[[Kategori:Kota Surakarta]]
[[Kategori:Kota Surakarta]]
[[Kategori:Bangunan bersejarah di Jawa Tengah]]
[[Kategori:Bangunan bersejarah di Jawa Tengah]]

Revisi terkini sejak 7 September 2024 05.14

Kesunanan Surakarta Hadiningrat

ꦑꦱꦸꦤꦤꦤ꧀ꦯꦸꦫꦏꦂꦠꦲꦢꦶꦤꦶꦁꦫꦠ꧀
Kasunanan Surakarta Hadiningrat
1745–Sekarang
Bendera Kesunanan Surakarta
Bendera
{{{coat_alt}}}
  • Lambang
  • (Sri Radya Laksana)

Lagu kerajaanLadrang Sri Katon[1]
Ladrang Sri Katon
Wilayah Kesunanan Surakarta sejak tahun 1830 (warna merah tua); termasuk berbagai daerah enklavenya serta wilayah Kadipaten Mangkunegaran (warna merah muda), yang merupakan wilayah vasal dari Kesunanan Surakarta.[2][3]
Wilayah Kesunanan Surakarta sejak tahun 1830 (warna merah tua); termasuk berbagai daerah enklavenya serta wilayah Kadipaten Mangkunegaran (warna merah muda), yang merupakan wilayah vasal dari Kesunanan Surakarta.[2][3]
Ibu kotaSurakarta
Bahasa resmiJawa
Agama
Islam (resmi)
PemerintahanMonarki Kesunanan
Susuhunan (Sunan) 
• 1745-1749
Susuhunan Pakubuwana II
• 1823-1830
Susuhunan Pakubuwana VI
• 1893-1939
Susuhunan Pakubuwana X
• 1945-2004
(1946 status diturunkan)
Susuhunan Pakubuwana XII
• 2004-Petahana
Susuhunan Pakubuwana XIII
Patih Dalem (Mantrimuka) 
• 1742-1755 (pertama)
KRA. Pringgalaya
• 1945-1946 (terakhir)
KRMT. Yudhanagara
Sejarah 
• Hadeging Nagari Surakarta Hadiningrat
20 Februari 1745
19 Agustus 1945 Sekarang
• Pengundangan Penetapan Pemerintah No. 16/SD tahun 1946 (Pembekuan DIS)
16 Juni 1946
Didahului oleh
Digantikan oleh
kslKesultanan
Mataram
Daerah Istimewa Surakarta
Provinsi Jawa Tengah
Sekarang bagian dariKota Surakarta,
Kabupaten Sukoharjo,
Kabupaten Boyolali,
Kabupaten Sragen,
Kabupaten Klaten,
Sebagian Kabupaten Bantul
Sunting kotak info
Sunting kotak info • Lihat • Bicara
Info templat
Bantuan penggunaan templat ini

Susuhunan Surakarta
Sri Radya Laksana (Lambang Kerajaan)
Sedang berkuasa
Susuhunan Pakubuwana XIII
sejak 10 September 2004
Perincian
Pewaris sementaraKGPAA. Hamangkunegara Sudibya Rajaputra Narendra ing Mataram (KGPH. Purubaya)
Penguasa pertamaSusuhunan Pakubuwana II
Pembentukan1745
KediamanKeraton Surakarta Hadiningrat
PenunjukHereditas

Kesunanan Surakarta Hadiningrat (bahasa Jawa: ꦟꦒꦫꦶꦑꦱꦸꦤꦤꦤ꧀ꦯꦸꦫꦏꦂꦠꦲꦢꦶꦤꦶꦁꦫꦠ꧀; Nagari Kasunanan Surakarta Hadiningrat) adalah sebuah kerajaan di Pulau Jawa bagian tengah yang berdiri pada tahun 1745, yang merupakan penerus dari Kesultanan Mataram yang beribu kota di Kartasura dan selanjutnya berpindah di Surakarta. Pada tahun 1755, sebagai hasil dari Perjanjian Giyanti yang disahkan pada tanggal 13 Februari 1755 antara VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) dengan Pangeran Mangkubumi,[4][5] disepakati bahwa wilayah Mataram dibagi menjadi dua pemerintahan, yaitu Surakarta dan Yogyakarta.[6]

Semula, sejak tahun 1745 hingga peristiwa Palihan Nagari pada tahun 1755, Kesunanan Surakarta yang beribu kota di Surakarta merupakan kelanjutan dari Kesultanan Mataram yang sebelumnya berkedudukan di Kartasura, baik dari segi wilayah, pemerintahan, maupun kedudukan penguasanya. Kemudian, berlakunya Perjanjian Giyanti dan diadakannya Pertemuan Jatisari pada tahun 1755 menyebabkan terpecahnya Kesunanan Surakarta menjadi dua kerajaan; kota Surakarta tetap menjadi pusat pemerintahan sebagian wilayah Kesunanan Surakarta dengan rajanya yaitu Susuhunan Pakubuwana III,[7] sedangkan sebagian wilayah Kesunanan Surakarta yang lain diperintah oleh Sultan Hamengkubuwana I yang berkedudukan di kota Yogyakarta, dan wilayah kerajaannya kemudian disebut sebagai Kesultanan Yogyakarta. Keraton dan kota Yogyakarta sendiri baru dibangun pada 1755, dengan pola tata kota yang sama dengan Surakarta yang lebih dulu berdiri. Adanya Perjanjian Salatiga tanggal 17 Maret 1757 turut memperkecil wilayah Kesunanan, dengan diberikannya sebagian daerah apanase di dalam wilayah Nagara Agung (wilayah inti di sekitar ibu kota kerajaan) kepada pihak Raden Mas Said yang kemudian bergelar Adipati Mangkunegara I.[8]

Sejak tahun 1755 itulah, Kesunanan Surakarta bersama dengan Kesultanan Yogyakarta dianggap sebagai pengganti dan penerus Kesultanan Mataram, karena raja-rajanya merupakan kelanjutan dan keturunan raja-raja Mataram. Setiap raja Kesunanan Surakarta bergelar susuhunan atau sunan, sedangkan raja Kesultanan Yogyakarta bergelar sultan.

Latar Belakang

[sunting | sunting sumber]

Setelah Kesultanan Mataram yang beribu kota di Plered porak-poranda akibat pemberontakan Trunajaya tahun 1677,[9] ibu kotanya lalu dipindahkan oleh Susuhunan Amangkurat II ke Kartasura.[10] Pada masa Susuhunan Pakubuwana II memegang tampuk pemerintahan, Keraton Kartasura mendapat serbuan dari pemberontakan orang-orang Tionghoa yang mendapat dukungan dari orang-orang Jawa anti VOC di tahun 1742. Peristiwa tersebut merupakan bagian dari sebuah konflik panjang yang dikenal sebagai Geger Pacinan. Kesultanan Mataram yang berpusat di Kartasura itu akhirnya mengalami keruntuhan. Kota Kartasura kemudian berhasil direbut kembali berkat bantuan Panembahan Cakraningrat IV, seorang penguasa Bangkalan yang merupakan sekutu VOC, namun keadaannya sudah rusak parah. Susuhunan Pakubuwana II yang menyingkir ke Ponorogo, akhirnya memutuskan untuk membangun istana baru di Desa Sala sebagai ibu kota Kerajaan Mataram yang baru.

Pemindahan Keraton dari Kartasura ke Sala

[sunting | sunting sumber]

Alasan Pemindahan

[sunting | sunting sumber]

Bangunan Keraton Kartasura yang sudah hancur karena serbuan pemberontak di tahun 1742, kemudian dianggap telah "tercemar". Susuhunan Pakubuwana II lalu memerintahkan Tumenggung Hanggawangsa (bernama kecil Jaka Sangrib atau Kentol Surawijaya, kelak diberi gelar Tumenggung Arungbinang I), bersama Tumenggung Mangkuyudha, serta komandan pasukan Belanda, J.A.B. van Hohendorff, untuk mencari lokasi ibu kota dan keraton yang baru. Setelah itu, dibangunlah sebuah kompleks keraton di lokasi ibu kota baru yang sudah ditetapkan, yang berjarak sekitar 20 km ke arah tenggara dari Kartasura; tepatnya yaitu berada di Desa Sala, sebuah desa yang terletak di tepi Bengawan Solo (bahasa Jawa: Bengawan Sala). Untuk pembangunan keraton tersebut, Pakubuwana II membeli tanah seharga selaksa keping emas[11] yang diberikan kepada akuwu (lurah) Desa Sala yang dikenal sebagai Ki Gedhe Sala. Di tengah pembangunan keraton, Ki Gedhe Sala meninggal dan dimakamkan di area keraton.[12][13]

Pemindahan keraton dari Kartasura ke Desa Sala dilakukan dengan berbagai pertimbangan. Pertama, menurut ahli nujum Raden Tumenggung Hanggawangsa, kerajaan itu bisa menjadi baik, ramai, serta makmur. Walaupun kekuasaan raja tidak seberapa luas, namun kekuasaan itu dapat berlangsung lama. Kedua, Desa Sala terletak di dekat tempuran, artinya tempat bertemunya dua sungai, yaitu Sungai Pepe dan Bengawan Solo. Menurut mistik Jawa, tempuran mempunyai arti magis dan tempat-tempat di dekatnya dianggap keramat. Ketiga, letak Desa Sala dekat dengan Bengawan Solo, sungai terbesar di Jawa yang sejak zaman dahulu mempunyai arti penting sebagai penghubung antara Jawa bagian tengah dengan Jawa bagian timur. Fungsi Bengawan Solo sebagai penghubung ini dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan, antara lain ekonomi, sosial, politik, dan militer. Sampai abad ke-19, bepergian lewat sungai ternyata lebih aman daripada melewati jalur darat.

Selanjutnya, yang keempat, karena Sala sudah merupakan sebuah desa yang ramai, sehingga untuk mendirikan keraton tidak diperlukan tenaga untuk pembabat hutan yang didatangkan dari tempat lain. Selain Semanggi, di dekat Sala juga terdapat desa-desa penting yang telah ada sejak zaman Kartasura, yaitu Baturana dan Gabudan. Keduanya ditempati oleh abdi dalem pembuat babud (permadani). Kelima, supaya kebijakan VOC yang telah ditetapkan dapat dilaksanakan dengan mudah, agar pusat kota Mataram yang baru itu mudah dicapai dari Semarang dan harus dijaga, sehingga pemerintah mudah mengirim bala bantuannya karena Semarang dikenal sebagai jalan masuk menuju Mataram. Keenam, orang Jawa percaya bahwa keadaan tanah akan berpengaruh pada penghuni rumah kediaman yang didirikan di atas tanah itu. Tanah di Desa Sala dianggap layak, sehingga dibangunlah keraton di wilayah ini.[14]

Proses Pemindahan

[sunting | sunting sumber]
Keraton Surakarta, istana dan pusat pemerintahan Kesunanan Surakarta, didirikan oleh Susuhunan Pakubuwana II.

Atas kehendak Susuhunan Pakubuwana II, Tumenggung Secayudha dan Kyai Ageng Derpayudha diperintahkan supaya merencanakan serta menentukan urut-urutan perjalanan perpindahan keraton dari Kartasura ke Surakarta.[14] Setelah upacara tradisional selesai, pada hari Rabu Pahing tanggal 17 Sura/Muharam tahun Je 1670 Jawa Windu Sancaya atau tanggal 20 Februari 1745, Susuhunan pindah dari Kartasura ke keraton yang baru.[12][15] Dalam Babad Giyanti I, prosesi perpindahan Keraton Kartasura ke Keraton Surakarta dituliskan bertepatan pada hari Rabu Pahing tanggal 17 Sura dengan candra sengkala Kumbuling Pudya Kapyarsih ing Nata, Susuhunan berangkat dari Kartasura pindah ke Sala.[14]

Selanjutnya, oleh Pakubuwana II nama Desa Sala kemudian diubah menjadi Surakarta Hadiningrat. Nama "Surakarta" digunakan sebagai kebalikan dari "Kartasura", yang dimaksudkan untuk membuang riwayat buruk mengenai peristiwa jatuhnya Keraton Kartasura di tangan pemberontak sewaktu Perang Jawa (1741-1743). Selain itu, kata sura dalam bahasa Jawa berarti "keberanian" dan karta berarti "makmur"[12] (versi lain mengartikannya sebagai "penuh" atau "sempurna");[16] dengan harapan bahwa Surakarta menjadi tempat di mana penghuninya adalah orang-orang yang selalu berani berjuang untuk kebaikan serta kemakmuran negara dan bangsa.[12]

Perkembangan

[sunting | sunting sumber]
Naskah Perjanjian Giyanti, perjanjian antara VOC dengan Pangeran Mangkubumi (Sultan Hamengkubuwana I) yang menyebabkan wilayah Mataram terbagi menjadi dua,[5] yang kemudian masing-masing dikenal sebagai Kesunanan Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta.
Pendopo Dalem Kepatihan Kesunanan Surakarta pada tahun 1890, merupakan rumah dinas sekaligus kantor para patih (perdana menteri) dan lembaga kepatihan.

Kesultanan Mataram yang berpusat di Surakarta sebagai ibu kota pemerintahan kemudian dihadapkan pada pemberontakan besar karena Pangeran Mangkubumi, adik Susuhunan Pakubuwana II, pada tahun 1746 meninggalkan keraton dan menggabungkan diri dengan Raden Mas Said yang berjuluk Pangeran Sambernyawa. Di tengah ramainya peperangan, Pakubuwana II meninggal karena sakit pada tahun 1749. Namun, ia sempat menyerahkan kedaulatan negerinya kepada VOC, yang diwakili oleh Baron von Hohendorff. Sejak saat itu, VOC yang dianggap berhak melantik raja-raja Dinasti Mataram baik Surakarta maupun Yogyakarta; setelah VOC bubar pada tahun 1799, kewenangan tersebut dilanjutkan oleh pemerintah Hindia Belanda dan berakhir pada masa Pendudukan Jepang di tahun 1942.

Pakubuwana III

[sunting | sunting sumber]

Pada awal tahun 1755, pihak VOC yang sudah mengalami kebangkrutan berhasil mengajak Pangeran Mangkubumi berdamai untuk bersatu melawan pemberontakan Raden Mas Said yang tidak mau berdamai. Padahal, semula Pangeran Mangkubumi bersekutu dengan Raden Mas Said. Adanya Perjanjian Giyanti (13 Februari 1755) yang ditandatangani oleh VOC yang diwakili oleh Nicolaas Hartingh dengan Pangeran Mangkubumi, yang kemudian ditindaklanjuti dalam Pertemuan Jatisari (15 Februari 1755) antara Susuhunan Pakubuwana III dengan Pangeran Mangkubumi dan disaksikan oleh perwakilan VOC,[5] mengakibatkan terpecahnya Mataram Surakarta menjadi dua entitas kerajaan yaitu Kesunanan Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta.[17]

Dalam pertemuan di Jatisari, Pakubuwana III mengizinkan Mangkubumi untuk memerintah sebagian tanah negeri Mataram Surakarta serta diperbolehkan untuk mempertahankan dan menggunakan budaya Mataram lama; termasuk selanjutnya dilakukan pula pembagian pusaka-pusaka warisan Mataram antara kedua belah pihak, baik pusaka benda maupun tak benda.[5] Dan sesuai surat persetujuan Susuhunan Pakubuwana III tanggal 4 November 1754 yang dikeluarkan untuk menindaklanjuti kesepakatan antara Kompeni dengan Pangeran Mangkubumi (23 September 1754; sebelum Perjanjian Giyanti), kedudukan Pangeran Mangkubumi sebagai raja di separuh wilayah Mataram diperkenankan menggunakan gelar Sultan Hamengkubuwana, sedangkan raja Kesunanan Surakarta melestarikan gelar Susuhunan Pakubuwana warisan Mataram. Kemudian, negeri Mataram yang dipimpin oleh Sultan Hamengkubuwana lalu dikenal dengan nama Kesultanan Yogyakarta, sedangkan negeri Mataram yang dipimpin oleh Susuhunan atau Sunan Pakubuwana dikenal dengan nama Kesunanan Surakarta.

Setelahnya, wilayah Nagara Agung (wilayah inti di sekitar ibu kota) Kesunanan Surakarta semakin berkurang karena Perjanjian Salatiga tanggal 17 Maret 1757, menyebabkan Raden Mas Said diakui sebagai seorang pangeran miji alias pangeran utama yang otonom, sekaligus diberi wilayah kekuasaan berupa tanah lungguh yang berasal dari hampir setengah wilayah Nagara Agung dengan status daerah vasal (dan secara tradisional tetap berada di bawah Kesunanan Surakarta), yang kemudian disebut dengan nama Kadipaten Mangkunegaran.[2] Sebagai pangeran miji sekaligus penguasa di wilayahnya, Raden Mas Said bergelar Adipati Mangkunegara I. Wilayah Surakarta berkurang lebih jauh lagi usai berakhirnya Perang Diponegoro pada tahun 1830, di mana daerah-daerah Mancanagara dirampas oleh Belanda sebagai ganti rugi atas biaya peperangan.

Pakubuwana IV

[sunting | sunting sumber]
Bangunan Masjid Agung Surakarta, tahun 1910. Sebagai penerus langsung Kesultanan Mataram, Islam merupakan agama resmi di Kesunanan Surakarta.

Sepeninggal Pakubuwana III, penerus takhta Kesunanan Surakarta berikutnya yakni Sri Susuhunan Pakubuwana IV (1788–1820), adalah sosok raja yang membenci penjajah dan penuh cita-cita serta keberanian. Pada November 1790, terjadi Peristiwa Pakepung, yakni insiden pengepungan Keraton Surakarta oleh persekutuan VOC, Hamengkubuwana I, dan Mangkunegara I. Pengepungan ini terjadi karena Pakubuwana IV yang berpaham politik Islam dan dekat dengan kaum santri, menyingkirkan para pejabat istana yang tidak sepaham dengannya. Para pejabat istana yang merasa disingkirkan kemudian meminta bantuan VOC untuk menghadapi Pakubuwana IV.

VOC akhirnya bersekutu dengan Hamengkubuwana I dan Mangkunegara I untuk menghadapi Pakubuwana IV. Pada bulan November 1790, aliansi tersebut mengepung Keraton Surakarta. Dari dalam istana sendiri, para pejabat senior yang tersisih ikut menekan Pakubuwana IV agar menyingkirkan para penasehat politik dan penasehat rohaninya. Pakubuwana IV akhirnya terpaksa mengalah pada tanggal [[26 November 1790, dengan menyerahkan para penasehatnya yang terdiri dari para haji untuk dibuang VOC. Dan meski kerap menunjukkan sikap yang tidak bersahabat dengan Kompeni, berkat kecerdasan serta kelihaian politiknya, Pakubuwana IV tetap mampu mempertahankan kedudukannya sebagai raja bahkan sampai beberapa kali pergantian rezim kolonial, yaitu semasa pemerintahan VOC, pemerintahan Hindia Belanda, pemerintahan Hindia Belanda-Perancis, pemerintahan Pendudukan Inggris, sampai kembalinya pemerintahan Hindia Belanda.

Pakubuwana V dan Pakubuwana VI

[sunting | sunting sumber]
Susuhunan Pakubuwana VI, raja Kesunanan Surakarta tahun 1823-1830, salah seorang Pahlawan Nasional Indonesia.

Pengganti Pakubuwana IV adalah Sri Susuhunan Pakubuwana V, yang oleh masyarakat saat itu dijuluki sebagai Sunan Ngabehi, karena baginda yang sangat kaya, baik kaya harta maupun kesaktian. Setelah wafat, pengganti Pakubuwana V adalah Sri Susuhunan Pakubuwana VI. Pakubuwana VI adalah pendukung perjuangan Pangeran Diponegoro, yang memberontak terhadap Kesultanan Yogyakarta dan pemerintah Hindia Belanda sejak tahun 1825. Penulis naskah-naskah babad waktu itu sering menutupi pertemuan rahasia Pakubuwana VI dengan Pangeran Diponegoro menggunakan bahasa simbolis. Misalnya, Pakubuwana VI dikisahkan pergi bertapa ke Gunung Merbabu atau bertapa di Hutan Krendawahana. Padahal sebenarnya, ia pergi menemui Pangeran Diponegoro secara diam-diam.

Ketika pecah Perang Jawa sejak pertengahan tahun 1825, Pakubuwana VI menjalankan aksi ganda. Di samping memberikan bantuan dan dukungan kepada Diponegoro, ia juga mengirim pasukan untuk pura-pura membantu Belanda. Pujangga besar Ranggawarsita mengaku semasa muda dirinya pernah ikut serta dalam pasukan sandiwara tersebut. Namun setelah menangkap Pangeran Diponegoro, Belanda tetap saja menangkap Pakubuwana VI dan membuangnya ke Ambon pada tanggal 8 Juni 1830 dengan alasan bahwa Mas Pajangswara sudah membocorkan semuanya, dan kini ia hidup nyaman di Batavia.[18]

Fitnah yang dilancarkan pihak Belanda ini kelak berakibat buruk pada hubungan antara putra Pakubuwana VI, yaitu Pakubuwana IX dengan putra Mas Pajangswara, yaitu Ranggawarsita. Pakubuwana IX sendiri masih berada dalam kandungan ketika Pakubuwana VI berangkat ke Ambon. Takhta Surakarta kemudian jatuh kepada paman Pakubuwana VI, yang bergelar Sri Susuhunan Pakubuwana VII.

Pakubuwana VII

[sunting | sunting sumber]
R. Ng. Ranggawarsita, seorang sastrawan dan budayawan masyhur yang menjadi pujangga Kesunanan Surakarta pada masa pemerintahan Susuhunan Pakubuwana VII hingga Susuhunan Pakubuwana IX.

Saat itu Perang Diponegoro baru saja berakhir. Masa pemerintahan Pakubuwana VII relatif damai apabila dibandingkan masa raja-raja sebelumya. Keadaan yang damai itu mendorong tumbuhnya kegiatan sastra secara besar-besaran di lingkungan keraton. Masa pemerintahan Pakubuwana VII dianggap sebagai puncak kejayaan Sastra Jawa di Kesunanan Surakarta dengan pujangga besar Ranggawarsita sebagai pelopornya. Pemerintahannya berakhir saat wafatnya, dan karena tidak memiliki putra mahkota maka Pakubuwana VII digantikan oleh kakaknya (lain ibu) bergelar Sri Susuhunan Pakubuwana VIII yang naik takhta pada usia 69 tahun.

Pakubuwana VIII dan Pakubuwana IX

[sunting | sunting sumber]

Pemerintahan Pakubuwana VIII berjalan selama tiga tahun hingga akhir hayatnya. Pakubuwana VIII digantikan putra Pakubuwana VI sebagai raja Surakarta selanjutnya, yang bergelar Sri Susuhunan Pakubuwana IX. Hubungan antara Pakubuwana IX dengan Ranggawarsita sendiri kurang harmonis karena fitnah pihak Belanda bahwa Mas Pajangswara (ayah Ranggawarsita yang menjabat sebagai juru tulis keraton) telah membocorkan rahasia persekutuan antara Pakubuwana VI dengan Pangeran Diponegoro. Akibatnya, Pakubuwana VI pun dibuang ke Ambon. Hal ini membuat Pakubuwana IX membenci keluarga Mas Pajangswara, padahal juru tulis tersebut ditemukan tewas mengenaskan karena disiksa dalam penjara oleh Belanda. Ranggawarsita sendiri berusaha memperbaiki hubungannya dengan raja melalui persembahan naskah Serat Cemporet. Pemerintahan Pakubuwana IX berakhir saat kematiannya pada tanggal 16 Maret 1893. Ia digantikan putranya sebagai raja Surakarta selanjutnya, bergelar Sri Susuhunan Pakubuwana X.

Pakubuwana X

[sunting | sunting sumber]
Susuhunan Pakubuwana X, raja terbesar Kesunanan Surakarta dan salah seorang Pahlawan Nasional Indonesia, bersama permaisuri GKR. Hemas dan putrinya, GKR. Pembayun.

Masa pemerintahan Pakubuwana X ditandai dengan kemegahan tradisi dan suasana politik kerajaan yang stabil. Pada masa pemerintahannya yang cukup panjang, Kesunanan Surakarta mengalami transisi, dari kerajaan tradisional menuju era modern, sejalan dengan perubahan politik di Hindia Belanda. Meskipun berada dalam tekanan politik pemerintah kolonial Hindia Belanda, Pakubuwana X memberikan kebebasan berorganisasi dan penerbitan media massa. Ia mendukung pendirian organisasi Sarekat Islam, salah satu organisasi pergerakan nasional pertama di Indonesia. Kongres Bahasa Indonesia I di Surakarta (1938) diadakan pada masa pemerintahannya.

Infrastruktur modern Kesunanan Surakarta banyak dibangun pada masa pemerintahan Pakubuwana X, seperti bangunan Pasar Gedhe Harjanagara, Stasiun Solo Jebres, Stasiun Solo-Kota (Sangkrah), Stadion Sriwedari, Taman Sriwedari, Taman Satwataru Jurug, Jembatan Jurug yang melintasi Bengawan Solo di timur kota, gapura-gapura di batas Kota Surakarta, Griya Wangkung (rumah singgah bagi tunawisma), Rumah Sakit Kadipala, rumah perabuan (pembakaran jenazah) bagi warga Tionghoa, rumah pemotongan hewan ternak di Jagalan, saluran air bersih dan irigasi di kabupaten-kabupaten, serta berbagai infrastruktur dan fasilitas publik lainnya. Pakubuwana X meninggal dunia pada akhir Februari 1939. Sejak di masa keemasan pemerintahannya sampai ia wafat, Pakubuwana X dikenal sebagai Sinuhun Ingkang Minulya saha Ingkang Wicaksana atau raja yang mulia dan bijaksana. Pemerintahannya kemudian digantikan oleh putranya yang bergelar Sri Susuhunan Pakubuwana XI.

Pakubuwana XI

[sunting | sunting sumber]
Potret dr. KRT. Rajiman Wedyadiningrat dalam Prangko Indonesia edisi tahun 2018.

Pemerintahan Pakubuwana XI terjadi pada masa sulit, yaitu bertepatan dengan meletusnya Perang Dunia II. Ia juga mengalami pergantian pemerintah penjajahan dari tangan Belanda kepada Jepang sejak tahun 1942. Pihak pemerintah Pendudukan Jepang menyebut Kesunanan Surakarta dengan nama Solo-Kōchi (Kōti), dan Pakubuwana XI diakui serta diberi kedudukan sebagai Solo-Kō. Sekalipun pemerintahan Pakubuwana XI berada dalam masa sulit karena penjajahan Jepang, sejak awal tahun 1945, Kesunanan Surakarta melalui para beberapa orang kerabat keraton dan pejabat-pejabatnya turut terlibat aktif dalam usaha persiapan kemerdekaan dan pembentukan Negara Indonesia, dengan bergabung dalam Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK) dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Mereka adalah GPH. Suryahamijaya (saudara Pakubuwana XI), KRMH. Sasradiningrat V (patih Kesunanan Surakarta), KRMTA. Wuryaningrat, dr. KRT. Rajiman Wedyadiningrat (dokter keraton; ketua BPUPK), Mr. KRMT. Wongsonegoro (bupati Kabupaten Sragen), Mr. R. Supomo, serta Mr. R.P. Singgih.

Menjelang kekalahan Jepang dalam Perang Dunia II dan kemerdekaan Indonesia, Pakubuwana XI meninggal dunia pada tanggal 1 Juni 1945. Ia kemudian digantikan oleh putra termudanya yang bergelar Sri Susuhunan Pakubuwana XII.

Masa Perjuangan Kemerdekaan

[sunting | sunting sumber]

Pakubuwana XII

[sunting | sunting sumber]
Susuhunan Pakubuwana XII menerima kunjungan Presiden Sukarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta (tidak terlihat dalam foto) beserta para pejabat pemerintah Republik Indonesia di Keraton Surakarta, tahun 1946.
Plakat marmer Piagam Maklumat Keistimewaan Negeri Surakarta oleh Susuhunan Pakubuwana XII, dipajang di Museum Keraton Surakarta.

Awal pemerintahan Pakubuwana XII hampir bersamaan dengan lahirnya Republik Indonesia. Di awal masa kemerdekaan (1945–1946), Kesunanan Surakarta (dan Kadipaten Mangkunegaran) sempat menjadi daerah istimewa, yaitu Daerah Istimewa Surakarta (DIS). Akan tetapi, karena kerusuhan dan agitasi politik saat itu, maka pada tanggal 16 Juni 1946 oleh Pemerintah Indonesia statusnya diubah menjadi Keresidenan, menyatu dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.[19] Penetapan status Istimewa ini dilakukan Presiden Sukarno sebagai balas jasa atas pengakuan raja-raja Kesunanan Surakarta dan Kadipaten Mangkunegaran yang menyatakan wilayah mereka adalah bagian dari Republik Indonesia pada tanggal 19 Agustus 1945.[20]

Kemudian pada tanggal 1 September 1945, Kesunanan Surakarta dan Kadipaten Mangkunegaran mengirimkan maklumat kepada Presiden Sukarno perihal pernyataan dari Susuhunan Pakubuwana XII dan Adipati Mangkunegara VIII yang menyatakan bahwasanya Negeri Surakarta Hadiningrat yang bersifat kerajaan adalah Daerah Istimewa dari Negara Republik Indonesia, di mana hubungan antara Negeri Surakarta dengan Pemerintah Pusat Negara Republik Indonesia bersifat langsung. Atas dasar semua itulah, maka Presiden Sukarno memberikan pengakuan resmi kepada Susuhunan Pakubuwana XII dan Adipati Mangkunegara VIII dengan diberikannya piagam kedudukan resmi, masing-masing sebagai kepala daerah istimewa.[21]

Sebagaimana diketahui, barulah sekitar empat hari setelahnya, yaitu pada tanggal 5 September 1945, Kesultanan Yogyakarta dan Kadipaten Pakualaman mengeluarkan maklumat serupa, yang menjadi dasar dari pembentukan Daerah Istimewa Yogyakarta.

Belanda yang tidak merelakan kemerdekaan Indonesia berusaha merebut kembali negeri ini dengan kekerasan. Pada bulan Januari 1946 ibu kota Indonesia terpaksa pindah ke Yogyakarta karena Jakarta jatuh ke tangan Belanda. Kemudian, pada Oktober 1945, muncul gerakan anti swapraja/anti monarki/anti feodal di Surakarta, di mana salah seorang pimpinannya adalah Tan Malaka, pimpinan Partai Murba dan Persatuan Perjuangan.[22] Barisan Banteng juga berhasil menguasai Surakarta, sedangkan pemerintah Indonesia tidak menumpasnya karena pembelaan Jenderal Sudirman. Bahkan, Jenderal Sudirman juga berhasil mendesak pemerintah untuk mencabut status Daerah Istimewa Surakarta. Tujuan gerakan ini adalah penghapusan DIS serta penurunan status kedudukan Susuhunan dan Mangkunegara, termasuk perampasan tanah-tanah pertanian milik pemerintah Kesunanan Surakarta dan Kadipaten Mangkunegaran untuk dibagi-bagikan sesuai dengan kegiatan landreform oleh golongan sosialis-komunis.

Tanggal 17 Oktober 1945, pepatih dalem (perdana menteri) Kesunanan yang juga seorang mantan anggota BPUPKI, KRMH. Sasradiningrat V, diculik oleh gerombolan anti swapraja (ia kemudian berhasil bebas dan wafat pada tahun 1967).[23] Aksi ini diikuti pencopotan bupati-bupati yang umumnya kerabat raja dan diganti orang-orang yang pro gerakan anti swapraja. Bulan Maret 1946, pepatih dalem yang baru, KRMT. Yudhanagara, juga diculik. Dan pada bulan April 1946, sembilan pejabat Kepatihan mengalami hal yang sama.[24]

Karena banyaknya kerusuhan, penculikan dan pembunuhan, untuk sementara waktu pemerintah Republik Indonesia membekukan status DIS dan menurunkan kekuasaan raja-raja Kesunanan dan Mangkunegaran serta daerah Surakarta yang bersifat istimewa sebagai keresidenan sebelum bentuk dan susunannya ditetapkan undang-undang. Status Susuhunan Surakarta dan Adipati Mangkunegaran menjadi pemangku adat dan simbol pemersatu di tengah masyarakat Jawa dan warga negara Republik Indonesia, serta Keraton Surakarta dan Pura Mangkunegaran kemudian lebih berfungsi sebagai pusat pelestarian dan pengembangan budaya Jawa.

Era Indonesia

[sunting | sunting sumber]

Setelah Pembekuan Daerah Istimewa Surakarta

[sunting | sunting sumber]
Susuhunan Pakubuwana XII menjenguk tentara republik yang terluka dan dirawat di sebuah rumah sakit, sekitar tahun 1949.

Terdapat pendapat yang menilai[siapa?] bahwa pada awal pemerintahannya, Pakubuwana XII gagal mengambil peran penting dan memanfaatkan situasi politik Republik Indonesia. Pakubuwana XII saat itu dianggap kurang berdaya dalam menghadapi kelompok anti daerah istimewa yang gencar bermanuver dalam perpolitikan dan menyebarkan rumor bahwa para bangsawan Surakarta merupakan sekutu pemerintah Belanda, sehingga sebagian rakyat merasa tidak percaya dan memberontak terhadap kekuasaan Kesunanan.[25] Dalam buku seri Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia, Jenderal Abdul Haris Nasution menuduh bahwa raja-raja Surakarta membelot dan mengkhianati Indonesia saat terjadi Agresi Militer Belanda II tahun 1948–1949. Bahkan pihak TNI sudah menyiapkan Kolonel GPH. Jatikusuma (KSAD pertama), putra Pakubuwana X, untuk diangkat menjadi Susuhunan yang baru dan Letkol. Suryo Sularso untuk diangkat menjadi Mangkunegara yang baru. Namun, sebagian fraksi rakyat dan oknum tentara semakin ingin menghapuskan monarki sama sekali. Akhirnya, Mayor Achmadi, penguasa militer kota Surakarta, hanya diberi tugas untuk langsung berhubungan dengan istana-istana monarki Surakarta. Kedua raja diminta untuk secara tegas memihak Republik. Jika raja-raja tersebut menolak, akan diambil tindakan sesuai Instruksi Non Koperasi.[26]

Kedatangan Susuhunan Pakubuwana XII, Adipati Mangkunegara VIII dan Perdana Menteri Mohammad Hatta di Belanda dalam rangka mengikuti Konferensi Meja Bundar pada tahun 1949.

Kenyataannya, selama masa Revolusi Nasional, Pakubuwana XII tetap memihak pemerintah Republik Indonesia. Ia bahkan memperoleh pangkat militer letnan jenderal tituler, dan pada tahun 1945–1948 beberapa kali turut mendampingi Presiden Sukarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta mengunjungi berbagai daerah di Jawa Tengah dan Jawa Timur, baik dalam rangka konsolidasi pemerintahan maupun meninjau garis depan pertempuran.[27] Sebelum dan hingga peristiwa Serangan Umum Surakarta pada 7–10 Agustus 1948, Pakubuwana XII juga mengizinkan sepasukan TNI di bawah pimpinan Letkol. Slamet Riyadi untuk menggunakan Pesanggrahan Pracimaharja di Boyolali sebagai markas, sebelum akhirnya pesanggrahan peninggalan Pakubuwana VI tersebut dibakar untuk membendung manuver tentara Belanda yang hendak menduduki wilayah Surakarta.[27]

Selain itu, Pakubuwana XII juga menjadi salah satu anggota delegasi yang diberi kedudukan setingkat menteri negara dalam rombongan delegasi Republik Indonesia pimpinan Mohammad Hatta pada Konferensi Meja Bundar di Den Haag dari tanggal 23 Agustus hingga 2 November 1949.[28] Pada 17 Desember 1949, staf urusan sipil Komando Tentara dan Teritorial Kota Surakarta, mewakili pemerintah Republik Indonesia, bahkan memberikan surat tanda penghargaan dan terima kasih kepada Jawatan Pusat Karti Praja, sebuah badan pekerjaan umum yang dibentuk Pakubuwana XII dalam rangka membuka lapangan kerja bagi masyarakat karena telah ikut serta dalam mempertahankan kedaulatan negara Republik Indonesia selama Agresi Militer Belanda II.[24][27] Meski demikian, kedudukan Daerah Istimewa Surakarta saat itu tetap belum dapat dipertahankan, karena ketidakstabilan politik dan pemerintahan di Surakarta yang berlangsung berlarut-larut sejak tahun 1945 sampai 1949.

Meskipun gagal secara politik, namun Pakubuwana XII tetap menjadi figur pelindung kebudayaan Jawa. Pada zaman reformasi, para tokoh nasional, misalnya Presiden Abdurrahman Wahid, tetap menghormatinya sebagai salah satu sesepuh tanah Jawa.[29] Pakubuwana XII wafat pada tanggal 11 Juni 2004, dan masa pemerintahannya merupakan yang paling lama di antara para raja-raja Kesunanan terdahulu, yaitu sejak tahun 1945 hingga 2004.

Pakubuwana XIII

[sunting | sunting sumber]
Susuhunan Pakubuwana XIII dan KGPH. Tejawulan bersama keluarga serta beberapa pejabat penting, termasuk F.X. Hadi Rudyatmo (wali kota Surakarta), Ganjar Pranowo (gubernur Jawa Tengah), Subagyo Hadi Siswoyo (anggota Dewan Pertimbangan Presiden), dan Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo dalam Upacara Tingalan Dalem Jumenengan ke-13 tahun 2017.

Sepeninggal Susuhunan Pakubuwana XII, sempat terjadi perebutan takhta antara KGPH. Hangabehi dangan KGPH. Tejawulan, yang masing-masing menyatakan diri sebagai Pakubuwana XIII; keduanya mengklaim sebagai pemangku takhta yang sah, dan masing-masing menyelenggarakan acara pemakaman ayahnya secara terpisah. Akan tetapi, konsensus keluarga telah mengakui bahwa Hangabehi yang diberi gelar Sri Susuhunan Pakubuwana XIII.

Pada tahun 2012, konflik Raja Kembar telah usai setelah Pangeran Tejawulan melepaskan klaim takhta dan gelar Pakubuwana kepada kakaknya, yakni Pangeran Hangabehi, dalam sebuah rekonsiliasi resmi yang diprakarsai oleh Pemerintah Kota Surakarta bersama DPR-RI, dan Pangeran Tejawulan sendiri dilantik menjadi mahamenteri dengan gelar Kangjeng Gusti Pangeran Harya Panembahan Agung.[30]

Susuhunan Pakubuwana XIII bersama istri, putra-putri, serta para menantu dan cucu, seusai pelaksanaan rangkaian upacara menyambut Tahun Baru Jawa (1 Sura) di Keraton Surakarta tahun 2024.

Rekonsiliasi damai antara Pakubuwana XIII dan Tejawulan awalnya sempat ditentang oleh Lembaga Dewan Adat (LDA) Keraton Surakarta yang dipimpin oleh GKR. Wandansari.[31] Sejak tahun 2013, Pakubuwana XIII bahkan tidak dapat memasuki kawasan inti Keraton Surakarta dan memimpin beberapa upacara adat karena adanya penutupan beberapa akses dari kediaman Susuhunan menuju kawasan inti keraton.[32] Setelah TNI dan Kepolisian turun tangan serta adanya mediasi antara pihak Pakubuwana XIII dan Lembaga Dewan Adat,[33][34] pada bulan April 2017 Pakubuwana XIII bisa kembali masuk ke dalam keraton dan menyelenggarakan upacara peringatan kenaikan takhta (tingalan dalem jumenengan) yang dihadiri oleh keluarga, abdi dalem, perwakilan masyarakat, dan beberapa pejabat tinggi pemerintahan.[35]

Penyelesaian konflik antara Susuhunan Pakubuwana XIII dengan GKR. Wandansari dan Lembaga Dewan Adat akhirnya terjadi pada tanggal 3 Januari 2023, usai kedua pihak berhasil dipertemukan dan dimediasi oleh KRAy. Herniatie Sriana Munasari (cucu dari R.P. Suroso, mantan gubernur Jawa Tengah sekaligus komisaris tinggi pemerintah pusat untuk Daerah Istimewa Surakarta) dan Polresta Surakarta.[36][37][38] Menindaklanjuti rekonsiliasi tersebut, Gibran Rakabuming Raka mengundang Susuhunan Pakubuwana XIII dan GKR. Wandansari bersama beberapa kerabat keraton di Loji Gandrung (rumah dinas wali kota Surakarta), pada tanggal 4 Januari 2023.[39] Pada pertemuan tersebut, GKR. Wandansari menyatakan bahwa ia telah bersatu dengan Susuhunan Pakubuwana XIII dan siap bersama-sama melestarikan kebudayaan serta adat istiadat keraton.[40]

Wilayah Kekuasaan

[sunting | sunting sumber]

Pada Awal Berdirinya

[sunting | sunting sumber]
Pembagian wilayah Mancanagara Kesunanan Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta (termasuk wilayah Kadipaten Mangkunegaran) pada tahun 1757.
Kompleks Candi Prambanan sekitar tahun 1900-1938. Percandian tersebut berada tepat di perbatasan wilayah Kesunanan Surakarta (Kabupaten Klaten) dan Kesultanan Yogyakarta (Kabupaten Sleman).

Seperti di masa Kesultanan Mataram, pada awal berdirinya (semasa pemerintahan Susuhunan Pakubuwana II dan Susuhunan Pakubuwana III) wilayah Kesunanan Surakarta dibagi menjadi daerah Kuthagara atau Kuthanagara, Nagara Agung, Mancanagara, dan Pasisiran.[41] Daerah Kuthagara adalah ibu kota dan pusat pemerintahan kerajaan, yang juga menjadi tempat tinggal raja beserta keluarganya termasuk para pejabat dan pegawai pemerintahan. Daerah Kuthagara juga sering disebut sebagai Siti Narawita, yang secara harfiah berarti daerah tempat orang-orang mengabdi. Daerah Nagara Agung adalah wilayah yang berada di sekitar Kuthagara, yang merupakan daerah apanase atau tanah lungguh dari para keluarga raja dan abdi dalem, termasuk pula daerah Siti Narawita milik raja. Sedangkan daerah Mancanagara dan Pasisiran merupakan wilayah di luar kawasan Nagara Agung; di daerah ini tidak terdapat tanah lungguh, namun pada saat perayaan grebeg dan tiap-tiap waktu tertentu harus menyerahkan pajak ke keraton. Secara keseluruhan, wilayah Kesunanan Surakarta ketika itu memiliki luas 352.382 karya.[41]

Perkembangan Selanjutnya

[sunting | sunting sumber]
Peta Karesidenan Surakarta yang terdiri dari gabungan dari wilayah Kesunanan Surakarta dan Kadipaten Mangkunegaran (tanpa daerah enklave), pada tahun 1920. Wilayah administratif ini oleh pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1928 dinaikkan statusnya menjadi kegubernuran (gouvernement) setingkat provinsi. Setelah berdirinya Indonesia, wilayah ini kemudian menjadi Daerah Istimewa Surakarta (1945-1946).

Wilayah kekuasaan Kesunanan Surakarta selanjutnya semakin berkurang pada masa pemerintahan raja-raja berikutnya, termasuk setelah adanya Perjanjian Giyanti tahun 1755 dan Perjanjian Salatiga tahun 1757, yang mengakibatkan Kesunanan Surakarta harus menyerahkan beberapa wilayah kekuasaannya kepada Kesultanan Yogyakarta dan Kadipaten Mangkunegaran, serta menyerahkan wilayah Pasisiran kepada VOC. Usai Perang Jawa pada tahun 1830, seluruh wilayah Mancanagara dirampas oleh pemerintah Hindia Belanda, menyisakan wilayah Nagara Agung dan Kuthagara.[41] Wilayah yang tersisa tersebut, kemudian dibagi lagi menjadi beberapa kabupaten dan kawedanan.

Di era Hindia Belanda, status Kesunanan Surakarta beserta Mangkunegaran merupakan Daerah Swapraja setingkat karesidenan, yang di Pulau Jawa juga dikenal sebagai Vorstenlanden (Daerah Kerajaan-Kerajaan), yaitu daerah yang berhak memerintah sendiri alias tidak diatur oleh undang-undang pemerintah kolonial Hindia Belanda seperti daerah lain, tetapi diatur dengan kontrak politik antara Gubernur Jenderal dan Sri Susuhunan. Ada dua macam kontrak politik, yaitu kontrak panjang tentang kesetaraan kekuasaan keraton dengan Belanda, dan pernyataan pendek tentang pengakuan atas kekuasaan Belanda. Kesunanan Surakarta diatur dalam kontrak panjang, sementara Kadipaten Mangkunegaran diatur dalam pernyataan pendek. Sejak era Gubernur Jenderal Joannes Benedictus van Heutsz (1904-1909), setiap terjadi pergantian raja, maka diadakan pembaharuan kontrak. Kontrak terakhir untuk Kasunanan diatur dalam S. 1939/614, sedangkan untuk Mangkunegaran diatur dalam S. 1940/543.[42]

Bupati Klaten (tengah) tampak melakukan peletakan batu pertama ketika seremoni dimulainya pembangunan jalan raya yang menghubungkan Kabupaten Klaten (Surakarta) dengan Kabupaten Gunung Kidul (Yogyakarta), tahun 1936.

Sejak masa pemerintahan Susuhunan Pakubuwana X pada abad ke-20, wilayah Kesunanan Surakarta meliputi:

  1. Kota Surakarta (sebagai kuthanagara atau ibu kota kerajaan)
  2. Kabupaten Sukoharjo (Kabupaten Kutha Surakarta)
  3. Kabupaten Sragen
  4. Kabupaten Boyolali
  5. Kabupaten Klaten (yang juga mencakup wilayah Kotagede dan Imogiri, selaku enklave atau daerah kantong yang berada di wilayah Kesultanan Yogyakarta)

Untuk wilayah kota Surakarta bagian utara serta Kabupaten Karanganyar (Kabupaten Kutha Mangkunegaran) dan Kabupaten Wonogiri (termasuk enklave Ngawen dan Semin) diperintah oleh Kadipaten Mangkunegaran, yang merupakan vasal dari Kesunanan Surakarta.[2][3] Di tahun 1928, pemerintah Hindia Belanda menjadikan wilayah Karesidenan Surakarta yang merupakan gabungan dari Kesunanan Surakarta dan Kadipaten Mangkunegaran, sebagai sebuah kegubernuran setingkat provinsi. Wilayah dan pembagian administratif tersebut tidak banyak mengalami perubahan hingga masa Pendudukan Jepang dan era pemerintahan Republik Indonesia.[22]

Setelahnya, di masa pemerintahan Susuhunan Pakubuwana XII wilayah Kesunanan Surakarta mendapat kedudukan sebagai sebuah daerah istimewa dan menjadi Daerah Istimewa Surakarta, yang bertahan selama beberapa bulan pada tahun 1945-1946. Usai pembekuan Daerah Istimewa Surakarta dan sejak kembali dibentuknya Karesidenan Surakarta hingga penggabungan karesidenan tersebut ke dalam Provinsi Jawa Tengah pada tahun 1950, saat ini wilayah Kesunanan Surakarta secara administratif telah menyatu dengan Provinsi Jawa Tengah.[22]

Daftar Susuhunan (Sunan) Surakarta

[sunting | sunting sumber]

Berikut adalah daftar raja-raja Kesunanan Surakarta:

Nama Jangka Hidup Awal Bertahta Akhir Memerintah Keterangan Keluarga Gambar
Susuhunan Pakubuwana II
  • Sunan Kumbul
  • Raden Mas Prabasuyasa
18 Desember 1711 – 20 Desember 1749 (umur 38) 1745 1749 Pendiri Kesunanan Surakarta
Susuhunan Pakubuwana III
  • Raden Mas Suryadi
17 Februari 1732 – 26 September 1788 (umur 56) 1749 1788
Susuhunan Pakubuwana IV
  • Sunan Bagus, Sinuhun Wali
  • Raden Mas Subadya
2 September 1768 – 2 Oktober 1820 (umur 52) 1788 1820
Susuhunan Pakubuwana V
  • Sunan Sugih, Sinuhun Ngabehi
  • Raden Mas Sugandi
3 Desember 1784 – 5 September 1823 (umur 39) 1820 1823
Susuhunan Pakubuwana VI
  • Sinuhun Bangun Tapa
  • Raden Mas Sapardan
26 April 1807 – 2 Juni 1849 (umur 42) 1823 1830 Pahlawan Nasional Indonesia
Susuhunan Pakubuwana VII
  • Raden Mas Malikis Solikin
8 Juli 1796 – 10 Mei 1858 (umur 61) 1830 1858
Susuhunan Pakubuwana VIII
  • Raden Mas Kuseini
20 April 1789 – 28 Desember 1861 (umur 72) 1858 1861
Susuhunan Pakubuwana IX
  • Sinuhun Bangun Kedhaton
  • Raden Mas Duksina
22 Desember 1830 – 16 Maret 1893 (umur 62) 1861 1893
Susuhunan Pakubuwana X
  • Sinuhun Ingkang Minulya saha Ingkang Wicaksana
  • Raden Mas Sayyidin Malikul Kusna
29 November 1866 – 20 Februari 1939 (umur 72) 1893 1939 Pahlawan Nasional Indonesia
Susuhunan Pakubuwana XI
  • Raden Mas Ontoseno
1 Februari 1886 – 1 Juni 1945 (umur 59) 1939 1945
Susuhunan Pakubuwana XII
  • Sinuhun Hamardika
  • Raden Mas Suryo Guritno
14 April 1925 – 11 Juni 2004 (umur 79) 1945 2004 Menyatakan bergabung dengan Republik Indonesia; Kepala Daerah Istimewa Surakarta (1945–1946); Bersama Mohammad Hatta dan Adipati Mangkunegara VIII turut menjadi Delegasi Indonesia di KMB (1949)
Susuhunan Pakubuwana XIII
  • Raden Mas Suryo Partono
28 Juni 1948 (umur 76) 2004 Petahana

Lihat Pula

[sunting | sunting sumber]

Referensi

[sunting | sunting sumber]
  1. ^ Ldr. Sri Katon Pl. Br. - Gamelan Kraton Kasunanan Surakarta
  2. ^ a b c Wasino. (2014) Modernisasi di Jantung Budaya Jawa: Mangkunegaran 1896-1944. Jakarta: Kompas Media Nusantara.
  3. ^ a b Soeratman, Darsiti. (1989) Kehidupan Dunia Kraton Surakrata 1830-1939. Yogyakarta: Yayasan Penerbitan Tamansiswa.
  4. ^ Prasadana, Muhammad Anggie Farizqi; Gunawan, Hendri (2019-06-17). "KERUNTUHAN BIROKRASI TRADISIONAL DI KASUNANAN SURAKARTA". Handep: Jurnal Sejarah dan Budaya. 2 (2): 187–200. doi:10.33652/handep.v2i2.36. ISSN 2684-7256. 
  5. ^ a b c d TALK SHOW "NILAI-NILAI SENI BUDAYA KARATON SURAKARTA HADININGRAT" NARASUMBER GKR. WANDANSARI
  6. ^ "Perjanjian Giyanti Membelah Mataram". 
  7. ^ KERATON SOLO Temukan Situs Perjanjian Jatisari, Bukti Keraton Solo Bukan Antek Belanda
  8. ^ Eko Punto Hendro. "Strategi Kebudayaan Perjuangan Pahlawan Nasional Pangeran Sambernyowo" (PDF). Endogami:Jurnal Ilmiah Kajian Antropologi: 42–54. 
  9. ^ "Trunojoyo Melawan Mataram dan Dihukum Mati". 
  10. ^ Siswanta (2019). "Sejarah Perkembangan Mataram Islam Kraton Plered" (PDF). Karmawibangga:Historical Studies Journal. 1: 33–42. 
  11. ^ Resume Singkat Blusukan Ndalem Pangeran Diarsipkan 2015-01-05 di Wayback Machine.. Blusukan Solo. Diakses 5 Januari 2015.
  12. ^ a b c d "Kompleks Bangunan Keraton Surakarta". 
  13. ^ KGPH. Puger: Kyai Sala dan Ki Gede Sala adalah Dua Tokoh Berbeda Youtube.com
  14. ^ a b c Sarmino, Husain Haikal (2001). "Segi Kultural relijius Perpindahan Keraton Kartasura ke Surakarta". Jurnal Penelitian dan Evaluasi Pendidikan. Program Pasca Sarjana, Universitas Negeri Yogyakarta. 3 (4): 115-116. ISSN 2685-7111. 
  15. ^ "Hari Jadi Kota Solo Disebut Bukan 17 Februari 1745, Kok Bisa?".  Solopos.com
  16. ^ "Situs Resmi DPRD Kota Surakarta: Selayang Pandang Kota Surakarta". 
  17. ^ Perjanjian Jatisari 15 Februari 1755, Awal Mula Beda Budaya Surakarta dan Yogyakarta Kompas.com
  18. ^ "Peran Ganda Raja Surakarta Berujung Petaka". 
  19. ^ "Seperti Surakarta, Status Daerah Istimewa Dapat Dicabut". Tempo.co. [pranala nonaktif permanen]
  20. ^ Selanjutnya pada tanggal 19 Agustus 1945 di dalam rapat PPKI diputuskan bahwa wilayah Republik Indonesia dibagi atas sembilan provinsi dan dua daerah istimewa, yaitu Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sunda Kecil, Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Daerah Istimewa Surakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta. Pendapat tersebut bertentangan dengan Putusan PPKI sebagaimana terdapat dalam buku Risalah Sidang BPUPKI dan PPKI yang diterbitkan oleh sekretariat negara baik edisi II (1993) maupun III (1995)
  21. ^ sebagai Kepala Daerah Istimewa Surakarta yang setingkat jabatan Gubernur dengan posisi berada langsung di bawah Pemerintah Pusat. Pendapat tersebut bertentangan dengan UU 22/1948 mengenai pemerintahan daerah dan fakta-fakta sejarah di mana R.P. Suroso ditempatkan sebagai Komisaris Tinggi Indonesia untuk Kesunanan dan Mangkunegaran. Lihat buku A.H. Nasution Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia dan Sudarisman Purwokusumo Daerah Istimewa Yogyakarta
  22. ^ a b c Ranika Rosiana, Belda (2013). "Terbentuknya Birokrasi Modern di Surakarta tahun 1945-1950" (PDF). Skripsi. Jurusan Ilmu Sejarah, Fakultas Sastra dan Seni Rupa, Universitas Sebelas Maret Surakarta. 
  23. ^ Julinar Said, M.P.B. Manus, P. Suryo Haryomo, Sumardi, dkk. (1997) Tokoh-Tokoh Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia. Jakarta: Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.
  24. ^ a b Daerah Istimewa Surakarta - Tuduhan Pro Belanda dan Kesetiaannya kepada Republik Indonesia
  25. ^ Putri Musaparsih, Cahya (2005). "Strategi Komite Nasional Indonesia Daerah Surakarta (KNIDS) dalam mengambil alih Swapraja, 1945-1946" (PDF). Skripsi. Jurusan Ilmu Sejarah, Fakultas Sastra dan Seni Rupa, Universitas Sebelas Maret Surakarta. 
  26. ^ Nasution, Abdul Haris. (1996) Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia: perang gerilya semesta ii. Jilid 10 Cet 8. Bandung: Disjarah Angkatan Darat dan Penerbit Angkasa; dan Soedarisman Poerwokoesoemo. (1984) Daerah Istimewa Yogyakarta. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
  27. ^ a b c Bram Setiadi, D.S. Trihandayani, Qomarul Hadi. (2001) Raja di Alam Republik: Keraton Kesunanan Surakarta dan Paku Buwono XII. Jakarta: Bina Rena Pariwara.
  28. ^ I Gede Putu Wiranegara: PAKU BUWONO XII - Berjuang Untuk Sebuah Eksistensi
  29. ^ Abdurrahman Wahid: Keraton dan Perjalanan Budayanya. Diarsipkan 2020-07-14 di Wayback Machine. Dari situs Santri Gus Dur - Komunitas Pemikiran Gusdur.
  30. ^ Akhirnya, Keraton Surakarta Rekonsiliasi. Kompas.com
  31. ^ Prosesi Jumenengan di Tengah Konflik Panjang Keraton Kasunanan Solo. Diarsipkan 2014-09-08 di Wayback Machine. Jpnn.com
  32. ^ Dilema Lembaga Dewan Adat Solopos.com
  33. ^ Brimob dan TNI Amankan Keraton Solo Tribun Solo
  34. ^ Sekat Seng Keraton Dibongkar Media Indonesia
  35. ^ Peringatan Naik Takhta Raja Solo CNN Indonesia
  36. ^ Kronologi Pertemuan LDA dengan Sinuhun PB XIII, yang berbuah DAMAI! Solo Times
  37. ^ Momen Langka Pertemuan Paku Buwono XIII dengan Gusti Moeng, Siap Lestarikan Keraton Surakartaa Tribun Network
  38. ^ Sosok Dibalik Perdamaian di Keraton Solo, Raja Paku Buwono XIII Menangis Haru Kedaulatan Rakyat
  39. ^ GIBRAN Undang 2 Kubu Keraton di Loji Gandrung usai Berdamai Solo Times
  40. ^ Dua Kubu Keraton Solo Sepakat Bersatu di Era Gibran, Langkah Selanjutnya Apa? Solo Times
  41. ^ a b c d e f g Dwi Ratna Nurhajarini, Restu Gunawan, Tugas Triwahyono. (1999) Sejarah Kerajaan Tradisional Surakarta. Jakarta: Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.
  42. ^ Imam Samroni, dkk. "Daerah Istimewa Surakarta", Pura Pustaka Yogyakarta, Februari 2010

Pranala luar

[sunting | sunting sumber]
Didahului oleh:
Kesultanan Mataram
Kesunanan Surakarta Hadiningrat
1745–1945
Diteruskan oleh:
Daerah Istimewa Surakarta