Lompat ke isi

Kerajaan Jeumpa: Perbedaan antara revisi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Konten dihapus Konten ditambahkan
k →‎top: clean up
 
(31 revisi perantara oleh 20 pengguna tidak ditampilkan)
Baris 1: Baris 1:
{{refimprove}}
'''Kerajaan Jeumpa''' adalah sebuah kerajaan yang berada di sekitar daerah perbukitan mulai dari pinggir sungai [[Peudada]] di sebelah barat sampai Pante Krueng Peusangan di sebelah timur pada sekitar abad ke VIII Masehi. Hal ini berdasarkan Ikhtisar Radja Jeumpa yang ditulis Ibrahim Abduh, yang disadurnya dari Hikayat Radja Jeumpa.
'''Kerajaan Jeumpa''' adalah salah satu kerajaan [[Islam]] di [[Indonesia]] pada abad ke-7 Masehi.{{Sfn|Kusniah|2018|p=5}} Pendiri kerajaan ini adalah [[Salman Al-Parsi]].{{Sfn|Natawidjaja|2015|p=57}} Wilayah kerajaan Jeumpa mencakup wilayah [[Kabupaten Bireuen]] saat ini.{{Sfn|Almascaty|2013|p=60}} Kerajaan Jeumpa mengalami keruntuhan pada tahun 880 Masehi.{{Sfn|Sulistiono|2014|p=105}}


{{Infobox Former Country
Istana Raja Jeumpa terletak di desa Blang Seupeueng yang dipagari di sebelah utara, sekarang disebut Cot Cibrek Pinto Ubeut. Masa itu Desa Blang Seupeueng merupakan permukiman yang padat penduduknya dan juga merupakan kota bandar pelabuhan besar, yang terletak di Kuala Jeumpa. Dari Kuala Jeumpa sampai Blang Seupeueng ada sebuah alur yang besar, biasanya dilalui oleh kapal-kapal dan perahu-perahu kecil. Alur dari Kuala Jeumpa tersebut membelah Desa Cot Bada langsung ke Cot Cut Abeuk Usong atau ke Pinto Rayek (pintu besar).
|native_name = Juempa
|conventional_long_name = Kerajaan Jeumpa
|common_name = Juempa
|continent = Asia
|region = [[Asia Tenggara]]
|country = [[Indonesia]]
|religion = Islam
|image_flag =
|image_coat =
|symbol_type =
|p1 =
|p2 =
|s1 =
|s2 =
|flag_p1 =
|flag_p2 =
|flag_s1 =
|flag_s2 =
|year_start = 770
|year_end = 880
|date_start =
|date_end =
|event_start =
|event_end =
|image_map =
|capital = Kuala Jeumpa
|common_languages =
|government_type = Monarki Mutlak
|title_leader = Raja Salman Al-Parsi
|currency =
|footnotes =
}}


== Sejarah ==
== Wilayah ==
Wilayah Kerajaan Jeumpa meliputi perbukitan di sekitar [[sungai Peudada]] hingga Pante Krueng, [[Peusangan, Bireuen|Peusangan]]. Pusat kerajaan berada di desa [[Blang Seupeng, Jeumpa, Bireuen|Blang Seupeueng]] yang menjadi permukiman penduduk. Selain itu, Kerajaan Jeumpa memiliki kota pelabuhan yaitu [[Kuala Jeumpa, Jeumpa, Bireuen|Kuala Jeumpa]]. Wilayah ini memiliki banyak sungai besar yang menjadi tempat berlabuh dan berlayar kapal dan perahu.{{Sfn|Almascaty|2013|p=61}}
Sebelum kedatangan [[Islam]], di daerah Jeumpa sudah berdiri salah satu kerajaan Hindu yang dipimpin turun temurun oleh seorang ''meurah''. Datang pemuda tampan bernama Abdullah yang memasuki pusat kerajaan di kawasan Blang Seupeueng dengan kapal niaga yang datang dari India belakang (Parsi ?) untuk berdagang. Dia memasuki negeri Blang Seupeueng melalui laut lewat Kuala Jeumpa, sekitar awal abad ke VIII Masehi dan negeri ini sudah dikenal di seluruh penjuru dan mempunyai hubungan perdagangan dengan Cina, India, Arab dan lainnya. Selanjutnya Abdullah tinggal bersama penduduk dan menyiarkan agama Islam. Rakyat di negeri tersebut dengan mudah menerima Islam karena tingkah laku, sifat dan karakternya yang sopan dan sangat ramah. Dia dinikahkan dengan puteri Raja bernama Ratna Kumala. Akhirnya Abdullah dinobatkan menjadi Raja menggantikan bapak mertuanya, yang kemudian wilayah kekuasaannya dia berikan nama dengan Kerajaan Jeumpa, sesuai dengan nama negeri asalnya di India Belakang (Persia) yang bernama Champia, yang artinya harum, wangi dan semerbak. Sementara [[Bireuen]] sebagai ibukotanya, berarti kemenangan, sama dengan Jayakarta (Jakarta) dalam bahasa Jawa.


== Kehidupan Masyarakat ==
Berdasarkan silsilah keturunan sultan-sultan Melayu, yang dikeluarkan oleh Kerajaan [[Brunei Darussalam]] dan Kesultanan Sulu-Mindanao, Kerajaan Islam Jeumpa pada 154 H atau tahun 777 M dipimpin oleh seorang pangeran dari [[Persia]] (India Belakang ?) yang bernama Syahriansyah Salman atau Sasaniah Salman yang kawin dengan Puteri Mayang Seuludong(MANYAM SEULUDANG,[EJAAN DIBIREUEN, TUDAN ) dan memiliki beberapa anak, antara lain Syahri Duli, Syahri Tanti, Syahri Nawi, Syahri Dito dan Puteri Makhdum Tansyuri yang menjadi ibu dari sultan pertama Kerajaan Islam Perlak. Menurut penelitian pakar sejarah Aceh, Sayed Dahlan al-Habsyi, ''syahri'' adalah gelar pertama yang digunakan keturunan Nabi [[Muhammad]] di Nusantara sebelum menggunakan gelar ''meurah'', ''habib'', ''sayyid'', ''syarif'', ''sunan'', ''[[teuku]]'' dan lainnya. Syahri diambil dari nama istri Sayyidina [[Husein]] bin Ali, Puteri Syahri Banun, anak Maha Raja Persia terakhir.
Kerajaan Jeumpa merupakan kerajaan dengan pemukiman penduduk yang ramai. Pusat pemerintahannya yaitu di Kuala Jeumpa yang merupakan kota pelabuhan. Kota ini menjadi tempat persinggahan dan perdagangan yang strategis di [[Sumatra|Pulau Sumatera]].{{Sfn|Almascaty|2013|p=60–61}} Selain itu, kerajaan ini termasuk dalam jalur perdagangan dan pelayaran [[Selat Malaka]]. Hal ini membuat kegiatan utama masyarakatnya adalah berdagang.{{Sfn|Sulistiono|2014|p=106}} Kawasan perdagangan Kerajaan Jeumpa berada di pesisir utara Pulau Sumatera. Kerajaan ini menjalin hubungan diplomasi perdagangan dengan kerajaan-kerajaan yang ada di Pulau Sumatera. Selain itu, Kerajaan Jeumpa juga menjalin hubungan perdagangan dengan kerajaan-kerajaan yang berasal dari kawasan [[Dunia Arab|Arab]], [[Persia Raya|Persia]], India, dan [[Tiongkok (istilah)|Tiongkok]].{{Sfn|Almascaty|2013|p=62}}


== Keagamaan ==
Mengenai keberadaan Syahri Nawi ini, disebutkan oleh Syekh [[Hamzah Fansuri]]. Syekh ini adalah ulama sufi dan sastrawan terkenal Nusantara yang berpengaruh dalam pembangunan [[Kerajaan Aceh Darussalam]], yang juga merupakan guru [[Syamsuddin al-Sumatrani]] yang dikenal sebagai Syekh Islam Kerajaan Aceh Darussalam pada masa Iskandar Muda. A. Hasymi menyebutkan beliau juga adalah paman dari Maulana Syiah Kuala (Syekh Abdul Rauf al-Fansuri al-Singkili). Syekh Fansuri dalam beberapa kesempatan menyatakan asal-muasalnya dan hubungannya dengan Syahri Nawi. Diantaranya syair:
Kerajaan Jeumpa menjadi salah satu tempat penyebaran Islam untuk pertama kalinya di kawasan [[Nusantara]].{{Sfn|Nasution|2018|p=64}} Penyebaran Islam di Kerajaan Jeumpa terutama dilakukan oleh [[Bangsa Persia]].{{Sfn|Nasution dan Miswari|2017|p=178}} Penduduk Kerajaan Jeumpa menjadi [[muslim]] secara perlahan. Kerajaan ini sepenuhnya menjadi kerajaan Islam pada tahun 777 Masehi.{{Sfn|Nasution dan Miswari|2017|p=180}}


== Silsilah Raja ==
<br>''Hamzah ini asalnya Fansuri''
Raja pertama dari Kerajaan Jeumpa adalah Syahriansyah Salman Al-Parsi yang berasal dari Champia, [[Persia Raya|Persia]]. Ia mendirikan kerajaan ini pada tahun 770 Masehi setelah menikahi seorang putri [[Suku Aceh|Aceh]] dari sebuah kerajaan [[Agama Hindu|Hindu]] purba.{{Sfn|Natawidjaja|2015|p=57}} Keturunan dari Syahriansyah Salman Al-Parsi menjadi ''Meurah'' atau penguasa dari kerajaan-kerajaan di Pulau Sumatera. Syahriansyah Salman mengangkat anaknya yang bernama [[Syahri Poli]] sebagai pendiri dan penguasa wilayah Poli. Selain itu, ia juga mengangkat anaknya yang bernama [[Syahri Nawi]] sebagai penguasa wilayah Perlak. Wilayah Poli kemudian berkembang menjadi [[Kerajaan Pedir]], sedangkan wilayah Perlak berkembang menjadi [[Kesultanan Peureulak]].{{Sfn|Almascaty|2013|p=63}} Anak tertua dari Syahriansyah Salman Al-Parsi yang bernama [[Syahri Tanwi]] menjadi pewaris Kerajaan Jeumpa, sedangkan anak termudanya yan bernama [[Syahri Duli]] menjadi raja di [[Kerajaan Lamuri|Kerajaan Indra Purba]] di [[Kabupaten Aceh Besar|Aceh Besar]]. Keempat anaknya menjalin hubungan kesukuan yang diberi nama ''Sukee Imum Peut'' ({{trans}} Suku Imum Empat).{{Sfn|Nasution dan Miswari|2017|p=174}}
<br>''Mendapat wujud di tanah Syahrnawi''
<br>''Beroleh khilafat ilmu yang ’ali''
<br>''Daripada ’Abd al-Qadir Jilani''


Syahriansyah Salman Al-Parsi adalah keturunan nabi [[Muhammad]] dari jalur [[Ali bin Abi Thalib]] dan [[Husain bin Ali]]. Ini berdasarkan gelar "Syahri" yang dinisbatkan kepadanya. Gelar ini diberikan kepada keturunan Husain bin Ali dan putri raja Persia yang bernama [[Syahri Banun]].{{Sfn|Nasution dan Miswari|2017|p=175}}
<br>''Hamzah di negeri Melayu''
<br>''Tempatnya kapur di dalam kayu''


Menurut silsilah keturunan Sultan-Sultan Melayu, yg dikeluarkan oleh Kerajaan Brunei Darussalam serta Kesultanan Sulu-Mindanao, Kerajaan Islam Jeumpa dipimpin oleh seorang Pangeran dari Parsia (India Belakang ) yg bernama Syahriansyah Salman alias Sasaniah Salman yg kawin dengan Puteri Mayang Seuludong serta mempunyai berbagai anak, antara lain Syahri Poli, Syahri Tanti, Syahri Nuwi, Syahri Dito serta Makhdum Tansyuri yg menjadi bunda daripada Sultan pertama Kerajaan Islam Perlak yg berdiri pada tahun 805 Masehi.


Menurut penelitian Sayed Dahlan al-Habsyi, Syahri merupakan gelar pertama yg dipakai keturunan Nabi Muhammad di Nusantara sebelum memakai gelar Meurah, Habib, Sayid, Syarief, Sunan, Teuku, serta lainnya. Syahri diambil dari nama istri Sayyidina Husein bin Ali, Puteri Syahri banun, anak Maha Raja Persia terbaru yg ditaklukkan Islam.
Dari rangkaian syair ini, maka jelaslah bahwa ada hubungan antara bumi Syahrnawi (Syahr Nawi) dengan [[Fansur]] yang menjadi asal muasal kelahiran Syekh Hamzah Fansuri dan tempat yang terkenal [[kapur barus]]. Sebagaimana disebutkan di atas, Syahr Nawi adalah anak Pangeran Salman (Sasaniah Salman) yang lahir di daerah Jeumpa, di Aceh, Bireuen saat ini. Syahr Nawi adalah salah satu tokoh yang berpengaruh dalam pengembangan [[Kerajaan Perlak]], bahkan beliau dianggap arsitek pendiri kota pelabuhan Perlak pada tahun 805 M yang dipimpinnya langsung, dan diserahkan kepada anak saudaranya Maulana Abdul Aziz. Kerajaan Islam Perlak selanjutnya berkembang menjadi [[Kerajaan Pasai]] dan mendapat kegemilangannya pada masa Kerajaan Aceh Darussalam. Maka tidak mengherankan jika Syekh Hamzah Fansuri, mengatakan kelahirannya di bumi Sharhnawi yang merupakan salah seorang generasi pertama pengasas Kerajaan-kerajaan Islam Aceh yang dimulai dari Kerajaan Islam Jeumpa. Pernyataan Syekh Hamzah Fansuri ini juga menjadi [[hujjah]] yang menguatkan teori bahwa Jeumpa, asal kelahiran Syahrnawi adalah kerajaan Islam pertama di Nusantara.


== Rujukan ==
Keberadaan Kerajaan Islam Jeumpa ini dapat pula ditelusi dari pembentukan Kerajaan Perlak yang dianggap sebagai Kerajaan Islam pertama di Nusantara. Perlak pada tahun 805 Masehi adalah bandar pelabuhan yang dikuasai pedagang keturunan Parsi yang dipimpin seorang keturunan Raja Islam Jeumpa Pangeran Salman al-Parsi dengan Putri Manyang Seuludong bernama Meurah Syahr Nuwi. Sebagai sebuah pelabuhan dagang yang maju dan aman menjadi tempat persinggahan kapal dagang Muslim Arab dan Persia. Akibatnya masyarakat muslim di daerah ini mengalami perkembangan yang cukup pesat, terutama sekali lantaran banyak terjadinya perkawinan di antara saudagar muslim dengan wanita-wanita setempat, sehingga melahirkan keturunan dari percampuran darah [[Arab]] dan [[Persia]] dengan putri-putri Perlak. Keadaan ini membawa pada berdirinya kerajaan Islam Perlak pertama, pada hari selasa bulan Muharram, 840 M. Sultan pertama kerajaan ini merupakan keturunan Arab Quraisy bernama Maulana Abdul Azis Syah, bergelar Sultan Alaiddin Sayyid Maulana Abdul Azis Syah. Menurut Wan Hussein Azmi, pedagang Arab dan Persia tersebut termasuk dalam golongan Syi'ah.
<references />


== Daftar Pustaka ==
Wan Hussein Azmi dalam Islam di Aceh mengaitkan kedatangan mereka dengan Revolusi Syi'ah yang terjadi di Persia tahun 744-747. Revolusi ini di pimpin [[Abdullah bin Mu'awiyah]] yang masih keturunan [[Ja'far bin Abi Thalib]]. Abdullah bin Mu'awiyah telah menguasai kawasan luas selama dua tahun (744-746) dan mendirikan istana di [[Istakhrah]] sekaligus memproklamirkan dirinya sebagai raja [[Madian]], [[Hilwan]], [[Qamis]], [[Isfahan]], [[Rai]], dan bandar besar lainnya. Akan tetapi ia kemudian dihancurkan pasukan Muruan di bawah pimpinan Amir bin Dabbarah tahun 746 dalam pertempuran Maru Sydhan. Kemudian banyak pengikutnya yang melarikan diri ke Timur Jauh. Para ahli sejarah berpendapat, mereka terpencar di semenanjung [[Malaysia]], [[Cina]], [[Vietnam]], dan [[Sumatera]], termasuk ke Perlak.
=== Buku ===

* {{cite book|url=|title=Kiaiku, Guruku, Jaringan Ulama|last=Kusniah|first=Siti Turmini|publisher=Direktorat Sejarah, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia|date=|year=2018|location=Jakarta|isbn=978-602-1289-85-3|pages=|ref={{sfnref|Kusniah|2018}}|url-status=live}}
Pendapat Wan Hussein Azmi itu diperkaya dan diperkuat sebuah naskah tua berjudul Idharul Haqq fi Mamlakatil Ferlah w'l-Fasi, karangan Abu Ishak Makarni al-Fasy, yang dikemukakan Prof. A. Hasjmi. Dalam naskah itu diceritakan tentang pergolakan sosial-politik di lingkungan Daulah Umayah dan Abbasiyah yang kerap menindas pengikut Syi'ah. Pada masa pemerintahan Khalifah [[Makmun bin Harun al-Rasyid]] (813-833), seorang keturunan Ali bin Abi Thalib, bernama Muhammad bin Ja'far Shadiq bin Muhammad Baqr bin Zaenal Abidin bin Husein bin Ali bin Abi Thalib, memberontak terhadap Khalifah yang berkedudukan di Baghdad dan memproklamirkan dirinya sebagai khalifah yang berkedudukan di [[Makkah]]. Khalifah Makmun berhasil menumpasnya. Tapi Muhammad bin Ja'far Shadiq dan para tokoh pemberontak lainnya tidak dibunuh, melainkan diberi ampunan. Makmun menganjurkan pengikut Syi'ah itu meninggalkan negeri Arab untuk meluaskan dakwah Islamiyah ke negeri Hindi, Asia Tenggara, dan Cina. Anjuran itu pun lantas dipenuhi. Sebuah Angkatan Dakwah beranggotakan 100 orang pimpinan Nakhoda Khalifah yang kebanyakan tokoh Syi'ah Arab, Persia, dan Hindi (termasuk Muhammad bin Ja'far Shadiq) segera bertolak ke timur dan tiba di Bandar Perlak pada waktu Syahir Nuwi menjadi Meurah (Raja) Negeri Perlak. Syahir Nuwi kemudian menikahkan Ali bin Muhammad bin Ja'far Shadiq dengan adik kandungnya, Makhdum Tansyuri. Dari perkawinan ini lahir seorang putra bernama Sayyid Abdul Aziz, dan pada tanggal [[12 November]] [[839]] dilantik menjadi Raja dari kerajaan Islam Perlak dengan gelar Sultan Alaiddin Sayyid Maulana Abdul Azis Syah.
=== Jurnal===

* {{cite journal|last=Almascaty|first=Hilmy Bakar|date=2013|title=Relasi Persia dan Nusantara pada Awal Islamisasi: Sebuah Kajian Awal Pengaruh Persia dalam Politik Aceh|url=|journal=Media Syariah|volume=15|issue=1|pages=53–67|doi=|issn=|ref={{sfnref|Almascaty|2013}}|url-status=live}}
== Data Arkeologi ==
* {{cite journal|last=Nasution|first=I. F. A., dan Miswari|date=2017|title=Rekonstruksi Identitas Konflik Kesultanan Peureulak|journal=Paramita: Historical Studies Jurnal|volume=27|issue=2|pages=168–181|issn=|ref={{sfnref|Nasution dan Miswari|2017}}|url-status=live}}
Menurut hasil observasi terkini di sekitar daerah yang diperkirakan sebagai tapak Maligai Kerajaan Jeumpa sekitar 80 meter ke selatan yang dikenal dengan Buket Teungku Keujruen, ditemukan beberapa barang peninggalan kerajaan, seperti kolam mandi kerajaan seluas 20 x 20 m, kaca jendela, porselin dan juga ditemukan semacam cincin dan kalung rantai yang panjangnya sampai ke lutut dan anting sebesar gelang tangan. Di sekitar daerah ini pula ditemukan sebuah bukit yang diyakini sebagai pemakaman Raja Jeumpa dan kerabatnya yang hanya ditandai dengan batu-batu besar yang ditumbuhi pepohonan rindang di sekitarnya.
* {{cite journal|last=Nasution|first=Ismail Fahmi Arrauf|date=2018|title=Buku Panduan Pengkafiran: Evaluasi Kritis Tibyān fī Ma’rifat al-Adyān karya Nūr al-Dīn al-Ranīrī|url=|journal=Theologia|volume=29|issue=1|pages=59–84|doi=|issn=2540-847X|ref={{sfnref|Nasution|2018}}|url-status=live}}

* {{cite journal|last=Natawidjaja|first=Danny Hilman|date=2015|title=Siklus Mega-tsunami di Wilayah Aceh-Andaman dalam Konteks Sejarah|url=|journal=Riset Geologi dan Pertambangan|volume=25|issue=1|pages=49–62|doi=10.14203/risetgeotam2015.v25.107|issn=2354-6638|ref={{sfnref|Natawidjaja|2015}}|url-status=live}}
== Sumber ==
* {{cite journal|last=Sulistiono|first=Budi|date=2014|title=Islam dan Tamaddun Melayu: Menatap Masa Depan|url=|journal=Sosial Budaya: Media Komunikasi Ilmu-Ilmu Sosial dan Budaya|volume=11|issue=1|pages=104–114|doi=|issn=|ref={{sfnref|Sulistiono|2014}}|url-status=live}}
* Almascaty, Hilmy Bakar. 2009. [http://www.scribd.com/doc/12075778/KHILAFAH-ISLAMIYAH-PERTAMA-DI-ALAM-MELAYU Kerajaan Jeumpa Aceh, Khilafah Islam Pertama di Dunia Melayu]


{{Kerajaan di Sumatera}}
{{Kerajaan di Sumatera}}
{{Sejarah-stub}}


[[Kategori:Kerajaan di Nusantara|Jeumpa]]
[[Kategori:Kerajaan di Nusantara|Jeumpa]]

Revisi terkini sejak 28 Desember 2022 10.08

Kerajaan Jeumpa adalah salah satu kerajaan Islam di Indonesia pada abad ke-7 Masehi.[1] Pendiri kerajaan ini adalah Salman Al-Parsi.[2] Wilayah kerajaan Jeumpa mencakup wilayah Kabupaten Bireuen saat ini.[3] Kerajaan Jeumpa mengalami keruntuhan pada tahun 880 Masehi.[4]

Kerajaan Jeumpa

Juempa
770–880
Ibu kotaKuala Jeumpa
Agama
Islam
PemerintahanMonarki Mutlak
Raja Salman Al-Parsi 
Sejarah 
• Didirikan
770
• Dibubarkan
880
Sunting kotak info
Sunting kotak info • Lihat • Bicara
Info templat
Bantuan penggunaan templat ini

Wilayah Kerajaan Jeumpa meliputi perbukitan di sekitar sungai Peudada hingga Pante Krueng, Peusangan. Pusat kerajaan berada di desa Blang Seupeueng yang menjadi permukiman penduduk. Selain itu, Kerajaan Jeumpa memiliki kota pelabuhan yaitu Kuala Jeumpa. Wilayah ini memiliki banyak sungai besar yang menjadi tempat berlabuh dan berlayar kapal dan perahu.[5]

Kehidupan Masyarakat

[sunting | sunting sumber]

Kerajaan Jeumpa merupakan kerajaan dengan pemukiman penduduk yang ramai. Pusat pemerintahannya yaitu di Kuala Jeumpa yang merupakan kota pelabuhan. Kota ini menjadi tempat persinggahan dan perdagangan yang strategis di Pulau Sumatera.[6] Selain itu, kerajaan ini termasuk dalam jalur perdagangan dan pelayaran Selat Malaka. Hal ini membuat kegiatan utama masyarakatnya adalah berdagang.[7] Kawasan perdagangan Kerajaan Jeumpa berada di pesisir utara Pulau Sumatera. Kerajaan ini menjalin hubungan diplomasi perdagangan dengan kerajaan-kerajaan yang ada di Pulau Sumatera. Selain itu, Kerajaan Jeumpa juga menjalin hubungan perdagangan dengan kerajaan-kerajaan yang berasal dari kawasan Arab, Persia, India, dan Tiongkok.[8]

Keagamaan

[sunting | sunting sumber]

Kerajaan Jeumpa menjadi salah satu tempat penyebaran Islam untuk pertama kalinya di kawasan Nusantara.[9] Penyebaran Islam di Kerajaan Jeumpa terutama dilakukan oleh Bangsa Persia.[10] Penduduk Kerajaan Jeumpa menjadi muslim secara perlahan. Kerajaan ini sepenuhnya menjadi kerajaan Islam pada tahun 777 Masehi.[11]

Silsilah Raja

[sunting | sunting sumber]

Raja pertama dari Kerajaan Jeumpa adalah Syahriansyah Salman Al-Parsi yang berasal dari Champia, Persia. Ia mendirikan kerajaan ini pada tahun 770 Masehi setelah menikahi seorang putri Aceh dari sebuah kerajaan Hindu purba.[2] Keturunan dari Syahriansyah Salman Al-Parsi menjadi Meurah atau penguasa dari kerajaan-kerajaan di Pulau Sumatera. Syahriansyah Salman mengangkat anaknya yang bernama Syahri Poli sebagai pendiri dan penguasa wilayah Poli. Selain itu, ia juga mengangkat anaknya yang bernama Syahri Nawi sebagai penguasa wilayah Perlak. Wilayah Poli kemudian berkembang menjadi Kerajaan Pedir, sedangkan wilayah Perlak berkembang menjadi Kesultanan Peureulak.[12] Anak tertua dari Syahriansyah Salman Al-Parsi yang bernama Syahri Tanwi menjadi pewaris Kerajaan Jeumpa, sedangkan anak termudanya yan bernama Syahri Duli menjadi raja di Kerajaan Indra Purba di Aceh Besar. Keempat anaknya menjalin hubungan kesukuan yang diberi nama Sukee Imum Peut (terj. Suku Imum Empat).[13]

Syahriansyah Salman Al-Parsi adalah keturunan nabi Muhammad dari jalur Ali bin Abi Thalib dan Husain bin Ali. Ini berdasarkan gelar "Syahri" yang dinisbatkan kepadanya. Gelar ini diberikan kepada keturunan Husain bin Ali dan putri raja Persia yang bernama Syahri Banun.[14]

Menurut silsilah keturunan Sultan-Sultan Melayu, yg dikeluarkan oleh Kerajaan Brunei Darussalam serta Kesultanan Sulu-Mindanao, Kerajaan Islam Jeumpa dipimpin oleh seorang Pangeran dari Parsia (India Belakang ) yg bernama Syahriansyah Salman alias Sasaniah Salman yg kawin dengan Puteri Mayang Seuludong serta mempunyai berbagai anak, antara lain Syahri Poli, Syahri Tanti, Syahri Nuwi, Syahri Dito serta Makhdum Tansyuri yg menjadi bunda daripada Sultan pertama Kerajaan Islam Perlak yg berdiri pada tahun 805 Masehi.

Menurut penelitian Sayed Dahlan al-Habsyi, Syahri merupakan gelar pertama yg dipakai keturunan Nabi Muhammad di Nusantara sebelum memakai gelar Meurah, Habib, Sayid, Syarief, Sunan, Teuku, serta lainnya. Syahri diambil dari nama istri Sayyidina Husein bin Ali, Puteri Syahri banun, anak Maha Raja Persia terbaru yg ditaklukkan Islam.

  1. ^ Kusniah 2018, hlm. 5.
  2. ^ a b Natawidjaja 2015, hlm. 57.
  3. ^ Almascaty 2013, hlm. 60.
  4. ^ Sulistiono 2014, hlm. 105.
  5. ^ Almascaty 2013, hlm. 61.
  6. ^ Almascaty 2013, hlm. 60–61.
  7. ^ Sulistiono 2014, hlm. 106.
  8. ^ Almascaty 2013, hlm. 62.
  9. ^ Nasution 2018, hlm. 64.
  10. ^ Nasution dan Miswari 2017, hlm. 178.
  11. ^ Nasution dan Miswari 2017, hlm. 180.
  12. ^ Almascaty 2013, hlm. 63.
  13. ^ Nasution dan Miswari 2017, hlm. 174.
  14. ^ Nasution dan Miswari 2017, hlm. 175.

Daftar Pustaka

[sunting | sunting sumber]
  • Kusniah, Siti Turmini (2018). Kiaiku, Guruku, Jaringan Ulama. Jakarta: Direktorat Sejarah, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. ISBN 978-602-1289-85-3. 
  • Almascaty, Hilmy Bakar (2013). "Relasi Persia dan Nusantara pada Awal Islamisasi: Sebuah Kajian Awal Pengaruh Persia dalam Politik Aceh". Media Syariah. 15 (1): 53–67. 
  • Nasution, I. F. A., dan Miswari (2017). "Rekonstruksi Identitas Konflik Kesultanan Peureulak". Paramita: Historical Studies Jurnal. 27 (2): 168–181. 
  • Nasution, Ismail Fahmi Arrauf (2018). "Buku Panduan Pengkafiran: Evaluasi Kritis Tibyān fī Ma'rifat al-Adyān karya Nūr al-Dīn al-Ranīrī". Theologia. 29 (1): 59–84. ISSN 2540-847X. 
  • Natawidjaja, Danny Hilman (2015). "Siklus Mega-tsunami di Wilayah Aceh-Andaman dalam Konteks Sejarah". Riset Geologi dan Pertambangan. 25 (1): 49–62. doi:10.14203/risetgeotam2015.v25.107. ISSN 2354-6638. 
  • Sulistiono, Budi (2014). "Islam dan Tamaddun Melayu: Menatap Masa Depan". Sosial Budaya: Media Komunikasi Ilmu-Ilmu Sosial dan Budaya. 11 (1): 104–114.