Lompat ke isi

Estetika resepsi: Perbedaan antara revisi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Konten dihapus Konten ditambahkan
InternetArchiveBot (bicara | kontrib)
Rescuing 1 sources and tagging 0 as dead.) #IABot (v2.0.9.3
 
(19 revisi perantara oleh 5 pengguna tidak ditampilkan)
Baris 3: Baris 3:
Kata "resepsi" berasal dari [[bahasa Latin]] ''recipere'' (menerima, menanggapi). Kata [[estetika]] berasal dari [[bahasa Yunani]] αἴσθησις ''aísthesis'' ([[keindahan]]). Istilah "estetika resepsi" pertama kali dipakai oleh mazhab Konstanz dari [[Universitas Konstanz]]. Untuk itu, "estetika resepsi" adalah bagian dari [[teori sastra]].
Kata "resepsi" berasal dari [[bahasa Latin]] ''recipere'' (menerima, menanggapi). Kata [[estetika]] berasal dari [[bahasa Yunani]] αἴσθησις ''aísthesis'' ([[keindahan]]). Istilah "estetika resepsi" pertama kali dipakai oleh mazhab Konstanz dari [[Universitas Konstanz]]. Untuk itu, "estetika resepsi" adalah bagian dari [[teori sastra]].


Tokoh sentral dari mazhab Konstanz adalah [[Hans Robert Jauß]], [[Manfred Fuhrmann]], [[Wolfgang Iser]] dan [[Wolfgang Preisendanz]].
Tokoh sentral dari mazhab [[Konstanz]] (pada [[Universitas Konstanz]]) adalah [[Hans Robert Jauss]], [[Manfred Fuhrmann]], [[Wolfgang Iser]] dan [[Wolfgang Preisendanz]].


== Problemstellung ==
== Dasar Teori ==
Ada empat macam orientasi terhadap sebuah karya sastra:
Die Rezeptionsästhetik ist im größeren Kontext eine Antwort auf die in das 20. Jahrhundert hineinwirkende Literaturinterpretation des 19. Jahrhunderts. Gemeinsam war deren Strömungen ein starkes Interesse am Autor und seinen Intentionen sowie die Zielsetzung, das Kunstwerk als Artefakt einer Zeit und Nation zu interpretieren, es als Schlüssel zum Verständnis anderer Epochen und Kulturen zu lesen.
# Mimetik (alam): Orientasi ini bertolak pada pandangan bahwa suatu karya sastra adalah gambaran atau rekaan dari dunia dan kehidupan manusia.<ref>Atar Semi (1989). Kritik Sastra. Bandung: Angkasa. hlm. 11-14. ISBN 979-404-457-1.</ref> Karya sastra adalah sebagai tiruan alam atau penggambaran alam. Segala sesuatu yang terdapat dalam karya sastra adalah wujud yang terdapat di alam semesta. Segala isi yang ada di dunia ini menjadi ide yang dituangkan dalam sebuah karya sastra.
# Objektif (karya sastra): Orientasi ini melihat karya sastra sebagai karya yang berdiri sendiri.<ref>Ibid.</ref> Karya sastra adalah objek yang mandiri dan memiliki dunianya sendiri.<ref>Ibid.</ref> Karya sastra menjadi objek tiruan alam. Sebuah karya sastra tidak akan mampu menjadi objek yang estetis tanpa meniru dari alam karena manusia hidup di alam dengan sarana-saranya yang ada di dunia, sehingga jika manusia menjadikan karya sastra tanpa tiruan dari alam maka mustahil karya sastra itu akan menimbulkan rasa bagi pembacanya.
# Ekspresif (pengarang): Orientasi ini menekankan analisis pada kemampuan pengarang dalam mengekspresikan atau menuangkan idenya dalam wujud sastra.<ref>Ibid.</ref> Seorang pengarang melihat kenyataan atau realitas alam lalu alam memunculkan sebuah ide dalam fikiran pengarang kemudian pengarang menuangkannya dalam sebuah karya sastra.
# Pragmatik (pembaca): Orientasi ini melihat kegunaan suatu karya sastra. Kegunaan ini dilihat dari segi hiburan, estetika, pendidikan, dan hal lainnya.<ref>Ibid.</ref> Pembaca ketika membaca sebuah karya sastra pasti akan melakukan sebuah tanggapan atau komentar tentang karya sastra yang dibacanya, karena dalam hal ini karya sastra melakukan defamiliarisasi dalam bentuk bahasanya sehingga defamiliarisasi mampu menggugahkan hati pembaca dengan rasa yang ada di jiwanya karena bahasa defamiliarisasi berbeda dengan bahasa praktis atau bahasa komunikasi. Pembaca mendapatkan sebuah rasa ketika membaca sebuah karya sastra karena karya sastra adalah memuat tentang tiruan alam sehingga pembaca mampu merasakan apa yang dibahas oleh kajian karya sastra tersebut.
Dari keempat orientasi tersebut di atas, teori estetika resepsi terletak pada orientasi pragmatik. Untuk itu estetika resepsi adalah teori pendekatan yang digunakan dalam menilai sebuah karya sastra. Estetika resepsi adalah ilmu keindahan yang didasarkan pada tanggapan atau resepsi pembaca. Teori ini muncul karena karya sastra tidak mempunyai arti tanpa ada pembaca yang menanggapinya. Karya sastra mempunyai nilai karena ada pembaca yang menilainya.


=== Cakrawala Harapan: Teori Hans Robert Jauss ===
Im 20. Jahrhundert stellten sich besonders die textimmanenten Interpretationsansätze gegen diese Lektüreangebote. Im Interesse daran, die Forschung wieder auf den Gegenstand, das Kunstwerk auszurichten, wurde in Strömungen, wie beispielsweise dem [[New Criticism]], die Frage gestellt, was diesem Kunstwerk seinen besonderen ästhetischen Wert verleiht und worin genau seine Kunst liegt gegenüber weniger vollendeten Artefakten.
Masing-masing pembaca di dalam menanggapi sebuah karya sastra akan berbeda-beda. Hal ini terjadi karena perbedaan cakrawala harapan yang dimiliki oleh masing-masing pembaca. Cakrawala harapan (''Erwartungshorizon'') adalah harapan-harapan yang dimiliki pembaca sebelum ia membaca sebuah karya sastra. Perbedaan cakrawala harapan dari antara para pembaca disebabkan oleh tingkat pendidikan, zaman, asal daerah, suku, dll. Untuk itulah resepsi dari masing-masing pembaca akan berbeda-beda sesuai dengan cakrawala harapan yang dimilikinya.


Telah dikatakan di atas, bahwa zaman juga dapat mempengaruhi cakrawala harapan pembaca. Untuk itu sebuah teks sastra memiliki sejarah peresepsian (''Rezeptionsgeschichte''). Masing-masing periode zaman memiliki peresepsian yang berbeda terhadap sebuah teks sastra. Teori sejarah peresepsian adalah merekonstruksi peresepsian sebuah karya sastra dengan melihat periodisasi peresepsian teks sastra tersebut.
Die Rezeptionsästhetik bricht mit diesen Interpretationsansätzen – indes nicht vollständig. Sie drängt Fragen nach dem Werk zurück gegenüber Fragen nach der Wahrnehmung, die es auslöst, und sie öffnet sich damit Fragen nach dem Prozess, in dem die Wahrnehmung geschieht, nach den Informationen, die in sie einfließen, auch nach Verständnishorizonten, die das Kunstwerk stillschweigend oder in offenen Anspielungen voraussetzt. Die Rückkehr zur Frage, nach dem, was der Autor sagen wollte, ist damit ausgeschlossen – diese Frage ist allenfalls ein Teil der Wirkung, die der Text entfaltet. Die Frage danach, wie der Text funktioniert, wie er wirkt, was ihn spannend macht, was ihm Reiz gibt, was er mit dem Leser tut, steht dagegen wie in den textimmanenten Interpretationen, jedoch nun viel klarer, im Zentrum. Skepsis bleibt hier gegenüber dem empirisch nachweisbaren Leser. Der Theorie nach nutzt er im Idealfall Möglichkeiten, die im Text angelegt sind. Im schlechteren Fall stülpt er dem Text aber eine Bedeutung seiner Wahl über. Der Literaturwissenschaftler agiert demgegenüber als Leser, der theoretisch mit dem Text gegebene Lektüremöglichkeiten untersucht; die gesamte „Rezeptionsgeschichte“, die Geschichte des Verstehens, die ein Werk findet, kann bei entsprechendem Begriffsverständnis als Teil des Untersuchungsfeldes gesehen werden: Hier entfalten sich mögliche Verständnisse, hier stellen sich mögliche Verständnishorizonte im Laufe historischer Auslotung her. Unter den Vertretern der Rezeptionsästhetik blieb strittig, wie mit diesen Ausweitungen, die in die Sozialgeschichte wie in die Kultur- und Fachgeschichte reichen, umzugehen ist.

Kritik zog die Rezeptionsästhetik als letztlich unklar positioniertes Projekt auf sich. Die Verständnishorizonte, nach denen sie fragte, ließen sich so eindeutig, wie erhofft, nicht herstellen. Forschung, die ihre Gegenstände schlichter gegenüber anderen Dokumenten kontextualisiert, hantierte hier offener mit dem Problem des Forschers, der eine Verständnisposition schafft (wie mit Zeitdokumenten der Rezeption, die in der strengen Rezeptionsästhetik zuweilen als wenig hilfreiche, zufällige bis irreführende Lektüren abgetan wurden).

== Positionen ==
Sowohl für Jauß als auch für Iser stellt die Text-Leser-Auseinandersetzung den wichtigsten Bezugspunkt für die Konstitution von Sinn im Leseakt dar.

Hans Robert Jauß stellt in seiner berühmten Antrittsvorlesung den historischen Verlauf der Rezeption eines Werkes und damit dessen Bedeutung in den Vordergrund. Die Sicht auf ein Werk ist zunächst immer diese aus der Gegenwart des Lesers. Um jedoch das Werk im Sinne Jauß’ hermeneutischer Auffassung – die Iser nicht teilt, da er texttheoretisch interessiert ist – zu verstehen, muss die Rezeptionsgeschichte, wie also das Werk zu welcher Zeit wie verstanden wurde, ebenfalls berücksichtigt werden. Nach Jauß ist der ästhetische Gehalt daran zu bemessen, ob ein Werk einen Horizontwandel des Lesers bewirkt (das wäre klassisch, ästhetisch wertvoll) oder nicht (Trivialliteratur, kurz, Schund).

Nach Wolfgang Iser wird der „ästhetische Gehalt“ eines Textes erst im Vorgang des Lesens hervorgebracht. Er trifft die obige Unterscheidung nicht und ist indes ganz anders orientiert. Ihm sind die Begrifflichkeiten: Unbestimmtheitsstelle / Leerstellen, schematisierte Ansicht, impliziter Leser u. a. wichtig. Bedeutung entfalte der Text als Kommunikation mit einem „impliziten Leser“ – einer texttheoretischen, d. h. im Text angelegten Instanz des, wenn man so will, imaginierten Lesers.

Grundlegend ist für Iser der „professionelle Leser“ / „ideale Leser“. Dies ist in diesem Sinne der erfahrene Leser, welcher über fundierte literarische Erfahrung und Wissen verfügt und damit im Stande ist, die im Text angelegten Signale und Querverweise zu erkennen.
Die Rezeptionsästhetik, respektive Wirkungsästhetik, erwies sich mit diesen Setzungen teils als Fortsetzung bestehender Interpretationspraxis. Jauß und Isers Untersuchungen waren vom [[Kommunikationsmodell]] mit (entschlüsselndem) Empfänger geprägt. Jauß’ [[Hermeneutik|hermeneutischer]] Ansatz, der auf Gadamer zurückgeht, bemüht sich im Verstehensprozess des [[hermeneutischer Zirkel|hermeneutischen Zirkels]], während Iser sich – wie oben angesprochen – für den Text, dessen Beschaffenheit sowie Aufbau interessiert. Durch den impliziten Leser ist hier die Bedeutung des Textes jedoch stark vorgeprägt. Die Literaturwissenschaft erhielt mit den Setzungen eine privilegierte Position: Sie kann Bedeutungen entfalten, die reale Leser bislang nicht entfalteten; nämlich dann, wenn sie nachweist, welches ästhetische Erlebnis der Sender dem Rezipienten vorgestaltete. Mit poetologischer [[Expertise]] und Wissen über Zeithorizonte kommt die Literaturwissenschaft hier realen Lesern zu Hilfe. Sie erlangt auf der anderen Seite neue Kontrolle. So kann sie durchaus zu dem Schluss gelangen, dass der Autor nicht an einen Leser dachte, der diese oder jene neue Interpretation wagt, und diesem Leser damit sagen, dass er hier sein eigenes Spiel spielt – ein wissenschaftlich nicht haltbares.

Eine historische Leserforschung bewirkten die Arbeiten der Konstanzer Schule am ehesten durch den Widerstand, den sie hervorriefen. Die Frage nach historischen Zeugnissen des Umgangs mit Texten, nach tatsächlichen Rezeptionszeugnissen, nach Tagebucheinträgen von Lesern, nach Briefen, aus denen ersichtlich wird, wie Texte gelesen wurden, stellte sich weit eher in der [[Literatursoziologie]] und der [[Buchwissenschaft]]. Vertreter der Konstanzer Schule notierten hierin eine drohende Einengung der Forschung, ihre Beschränkung auf zufällige Dokumente und deren zeitbedingte Perspektiven. Ein Stillstand der Forschung drohe hier, wo die Ergründung noch gar nicht realisierter Textbedeutung das Ziel bleiben müsse.


Contoh peresepsian yang berbeda yang disebabkan oleh perbedaan cakrawala harapan: Cerita [[Ramayana]] versi [[Valmiki]] berbeda dengan cerita yang terdapat pada [[Kakawin Ramayana]] (disebut juga Ramayana Jawa Kuno). Dalam cerita Ramayana versi Valmiki tidak dijumpai cerita penjabaran ajaran [[Sastra Jendra Hayuningrat|sastra jendra]] oleh [[Wisrawa]] seperti yang terdapat dalam tradisi pewayangan Jawa. Cerita Ramayana yang diresepsi di [[Jawa]] akan berbeda dengan peresepsian di [[Thailand]].
=== Pembaca Implisit: Teori Wolfgang Iser ===
Selain ada Pembaca Historis atau Pembaca Eksplisit, sebuah karya sastra juga memiliki pembaca implisit. Dikatakan pembaca implisit karena merupakan suatu instansi di dalam teks sastra yang memungkinkan terjadinya komunikasi antara teks sastra dengan pembacanya. Dengan kata lain, pembaca yang diciptakan oleh teks itu sendiri yang memungkinkan pembaca dalam membaca teks itu dengan cara tertentu.
== Lihat pula ==
== Lihat pula ==
* [[Sastra]]
* [[Sastra]]
* [[Teori Sastra]]
* [[Teori Sastra]]
* [[Kritik Sastra]]


== Literatur ==
== Literatur ==
Baris 42: Baris 38:
* Klaus Semsch, Artikel ''Rezeptionsästhetik''. In: ''Historisches Wörterbuch der Rhetorik'', hrsg. v. Gert Ueding. Niemeyer, Tübingen 1992 ff., Bd. 7 (2005), 1363–1374.
* Klaus Semsch, Artikel ''Rezeptionsästhetik''. In: ''Historisches Wörterbuch der Rhetorik'', hrsg. v. Gert Ueding. Niemeyer, Tübingen 1992 ff., Bd. 7 (2005), 1363–1374.
* Simone Winko, Tilmann Köppe: Kap. 6 ''Rezeptionsästhetik''. In: Dies. (Hrsg.): ''Neuere Literaturtheorien. Eine Einführung.'' Metzler 2008, ISBN 978-3-476-02059-8, S. 85–96.
* Simone Winko, Tilmann Köppe: Kap. 6 ''Rezeptionsästhetik''. In: Dies. (Hrsg.): ''Neuere Literaturtheorien. Eine Einführung.'' Metzler 2008, ISBN 978-3-476-02059-8, S. 85–96.

== Referensi ==
{{reflist}}


== Pranala luar ==
== Pranala luar ==
* Ralph Köhnen: [http://www.ruhr-uni-bochum.de/komparatistik/basislexikon/texte/rezeption/ ''Rezeption''], in: Basislexikon Literaturwissenschaft, Bochum.
* Ralph Köhnen: [http://www.ruhr-uni-bochum.de/komparatistik/basislexikon/texte/rezeption/ ''Rezeption''], in: Basislexikon Literaturwissenschaft, Bochum.
* Eckart Löhr: [http://titel-magazin.de/artikel/4986.html ''Fakten und Fiktion''].
* Eckart Löhr: [http://titel-magazin.de/artikel/4986.html ''Fakten und Fiktion'']{{Pranala mati|date=Maret 2021 |bot=InternetArchiveBot |fix-attempted=yes }}.
* [http://www.mythos-magazin.de/methodenforschung/Reader%20Methoden%20WS%2011-12.pdf ''Literaturtheorie/Methoden der Textarbeit'']: In: Mythos-Magazin. Abgerufen am 11. März 2014. (Vorlesungsreader Wintersemester 2011/12 als [[Portable Document Format|PDF]]-Datei)
* [http://www.mythos-magazin.de/methodenforschung/Reader%20Methoden%20WS%2011-12.pdf ''Literaturtheorie/Methoden der Textarbeit''] {{Webarchive|url=https://web.archive.org/web/20140311182652/http://www.mythos-magazin.de/methodenforschung/Reader%20Methoden%20WS%2011-12.pdf |date=2014-03-11 }}: In: Mythos-Magazin. Abgerufen am 11. März 2014. (Vorlesungsreader Wintersemester 2011/12 als [[Portable Document Format|PDF]]-Datei)


{{Authority control}}
{{Normdaten|TYP=s|GND=4129895-0}}


[[Kategori:Sastra]]
[[Kategori:Sastra]]
[[Kategori:Ilmu Sastra]]
[[Kategori:Teori Sastra]]
[[Kategori:Estetika]]
[[Kategori:Estetika]]
[[Kategori:Filsafat]]
[[Kategori:Filsafat]]

Revisi terkini sejak 20 Januari 2023 02.53

Estetika Resepsi atau estetika tanggapan merupakan estetika (ilmu keindahan) yang didasarkan pada penerimaan/peresepsian dan tanggapan dari pembaca terhadap karya sastra. Sebuah karya sastra tidak dapat dilepaskan dari individu atau masyarakat yang meresepsi karya sastra tersebut.

Kata "resepsi" berasal dari bahasa Latin recipere (menerima, menanggapi). Kata estetika berasal dari bahasa Yunani αἴσθησις aísthesis (keindahan). Istilah "estetika resepsi" pertama kali dipakai oleh mazhab Konstanz dari Universitas Konstanz. Untuk itu, "estetika resepsi" adalah bagian dari teori sastra.

Tokoh sentral dari mazhab Konstanz (pada Universitas Konstanz) adalah Hans Robert Jauss, Manfred Fuhrmann, Wolfgang Iser dan Wolfgang Preisendanz.

Dasar Teori

[sunting | sunting sumber]

Ada empat macam orientasi terhadap sebuah karya sastra:

  1. Mimetik (alam): Orientasi ini bertolak pada pandangan bahwa suatu karya sastra adalah gambaran atau rekaan dari dunia dan kehidupan manusia.[1] Karya sastra adalah sebagai tiruan alam atau penggambaran alam. Segala sesuatu yang terdapat dalam karya sastra adalah wujud yang terdapat di alam semesta. Segala isi yang ada di dunia ini menjadi ide yang dituangkan dalam sebuah karya sastra.
  2. Objektif (karya sastra): Orientasi ini melihat karya sastra sebagai karya yang berdiri sendiri.[2] Karya sastra adalah objek yang mandiri dan memiliki dunianya sendiri.[3] Karya sastra menjadi objek tiruan alam. Sebuah karya sastra tidak akan mampu menjadi objek yang estetis tanpa meniru dari alam karena manusia hidup di alam dengan sarana-saranya yang ada di dunia, sehingga jika manusia menjadikan karya sastra tanpa tiruan dari alam maka mustahil karya sastra itu akan menimbulkan rasa bagi pembacanya.
  3. Ekspresif (pengarang): Orientasi ini menekankan analisis pada kemampuan pengarang dalam mengekspresikan atau menuangkan idenya dalam wujud sastra.[4] Seorang pengarang melihat kenyataan atau realitas alam lalu alam memunculkan sebuah ide dalam fikiran pengarang kemudian pengarang menuangkannya dalam sebuah karya sastra.
  4. Pragmatik (pembaca): Orientasi ini melihat kegunaan suatu karya sastra. Kegunaan ini dilihat dari segi hiburan, estetika, pendidikan, dan hal lainnya.[5] Pembaca ketika membaca sebuah karya sastra pasti akan melakukan sebuah tanggapan atau komentar tentang karya sastra yang dibacanya, karena dalam hal ini karya sastra melakukan defamiliarisasi dalam bentuk bahasanya sehingga defamiliarisasi mampu menggugahkan hati pembaca dengan rasa yang ada di jiwanya karena bahasa defamiliarisasi berbeda dengan bahasa praktis atau bahasa komunikasi. Pembaca mendapatkan sebuah rasa ketika membaca sebuah karya sastra karena karya sastra adalah memuat tentang tiruan alam sehingga pembaca mampu merasakan apa yang dibahas oleh kajian karya sastra tersebut.

Dari keempat orientasi tersebut di atas, teori estetika resepsi terletak pada orientasi pragmatik. Untuk itu estetika resepsi adalah teori pendekatan yang digunakan dalam menilai sebuah karya sastra. Estetika resepsi adalah ilmu keindahan yang didasarkan pada tanggapan atau resepsi pembaca. Teori ini muncul karena karya sastra tidak mempunyai arti tanpa ada pembaca yang menanggapinya. Karya sastra mempunyai nilai karena ada pembaca yang menilainya.

Cakrawala Harapan: Teori Hans Robert Jauss

[sunting | sunting sumber]

Masing-masing pembaca di dalam menanggapi sebuah karya sastra akan berbeda-beda. Hal ini terjadi karena perbedaan cakrawala harapan yang dimiliki oleh masing-masing pembaca. Cakrawala harapan (Erwartungshorizon) adalah harapan-harapan yang dimiliki pembaca sebelum ia membaca sebuah karya sastra. Perbedaan cakrawala harapan dari antara para pembaca disebabkan oleh tingkat pendidikan, zaman, asal daerah, suku, dll. Untuk itulah resepsi dari masing-masing pembaca akan berbeda-beda sesuai dengan cakrawala harapan yang dimilikinya.

Telah dikatakan di atas, bahwa zaman juga dapat mempengaruhi cakrawala harapan pembaca. Untuk itu sebuah teks sastra memiliki sejarah peresepsian (Rezeptionsgeschichte). Masing-masing periode zaman memiliki peresepsian yang berbeda terhadap sebuah teks sastra. Teori sejarah peresepsian adalah merekonstruksi peresepsian sebuah karya sastra dengan melihat periodisasi peresepsian teks sastra tersebut.

Contoh peresepsian yang berbeda yang disebabkan oleh perbedaan cakrawala harapan: Cerita Ramayana versi Valmiki berbeda dengan cerita yang terdapat pada Kakawin Ramayana (disebut juga Ramayana Jawa Kuno). Dalam cerita Ramayana versi Valmiki tidak dijumpai cerita penjabaran ajaran sastra jendra oleh Wisrawa seperti yang terdapat dalam tradisi pewayangan Jawa. Cerita Ramayana yang diresepsi di Jawa akan berbeda dengan peresepsian di Thailand.

Pembaca Implisit: Teori Wolfgang Iser

[sunting | sunting sumber]

Selain ada Pembaca Historis atau Pembaca Eksplisit, sebuah karya sastra juga memiliki pembaca implisit. Dikatakan pembaca implisit karena merupakan suatu instansi di dalam teks sastra yang memungkinkan terjadinya komunikasi antara teks sastra dengan pembacanya. Dengan kata lain, pembaca yang diciptakan oleh teks itu sendiri yang memungkinkan pembaca dalam membaca teks itu dengan cara tertentu.

Lihat pula

[sunting | sunting sumber]

Literatur

[sunting | sunting sumber]
  • Umberto Eco: Lector in fabula. Die Mitarbeit der Interpretation in erzählenden Texten. München (3. Auflage) 1998.
  • Roman Ingarden: Vom Erkennen des literarischen Kunstwerks. Tübingen 1968.
  • Wolfgang Iser: Die Appellstruktur der Texte. In: R. Warning (Hrsg.): Rezeptionsästhetik. München (4. Auflage) 1994, S. 228–252.
  • Hans Robert Jauß: Literaturgeschichte als Provokation der Literaturwissenschaft. In: R. Warning (Hrsg.): Rezeptionsästhetik. 4. Auflage. München 1994, S. 126–162.
  • Wolfgang Kemp (Hrsg.): Der Betrachter ist im Bild. Kunstwissenschaft und Rezeptionsästhetik. Ostfildern 1991.
  • Ulrich H. J. Körtner: Der inspirierte Leser. Göttingen 1994.
  • Christoph Metzger: Mahler-Rezeption. Perspektiven der Rezeption Gustav Mahlers. Wilhelmshaven 2000.
  • Horst Turk: Wirkungsästhetik. Theorie und Interpretation der literarischen Wirkung. edition text, München 1976.
  • Harald Weinrich: Für eine Literaturgeschichte des Lesers. In: Ders.: Literatur für Leser. Stuttgart 1970, S. 23–34.
  • Klaus Semsch, Artikel Rezeptionsästhetik. In: Historisches Wörterbuch der Rhetorik, hrsg. v. Gert Ueding. Niemeyer, Tübingen 1992 ff., Bd. 7 (2005), 1363–1374.
  • Simone Winko, Tilmann Köppe: Kap. 6 Rezeptionsästhetik. In: Dies. (Hrsg.): Neuere Literaturtheorien. Eine Einführung. Metzler 2008, ISBN 978-3-476-02059-8, S. 85–96.

Referensi

[sunting | sunting sumber]
  1. ^ Atar Semi (1989). Kritik Sastra. Bandung: Angkasa. hlm. 11-14. ISBN 979-404-457-1.
  2. ^ Ibid.
  3. ^ Ibid.
  4. ^ Ibid.
  5. ^ Ibid.

Pranala luar

[sunting | sunting sumber]