Pada proses pengembangan obat bahan alam, tahapan awal yang paling penting adalah pemilihan sumber (asal) dan kualitas bahan baku. Pemerintah melalui Depkes menyarankan penggunaan tanaman budidaya dan menghindari penggunaan tumbuhan liar untuk pembuatan obat bahan alam<ref>Anonim, 1985. Cara pembuatan simplisia, Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia.</ref>.
Pada proses pengembangan obat bahan alam, tahapan awal yang paling penting adalah pemilihan sumber (asal) dan kualitas bahan baku. Pemerintah melalui Depkes menyarankan penggunaan tanaman budidaya dan menghindari penggunaan tumbuhan liar untuk pembuatan obat bahan alam<ref>Anonim, 1985. ''Cara pembuatan simplisia''. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia.</ref>.
Tumbuhan liar umumnya memiliki karakteristik sebagai berikut :
Tumbuhan liar umumnya memiliki karakteristik sebagai berikut :
Baris 43:
Baris 43:
==== Proses budidaya tanaman obat ====
==== Proses budidaya tanaman obat ====
Pedoman budidaya tanaman obat telah dikembangkan oleh pemerintah melalui [[Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan]] (Balitbangkes RI)<ref name=":2">[http://perpustakaan.depkes.go.id:8180/bitstream//123456789/2085/2/BK2011-340.pdf]Balitbangkes, 2011. Pedoman UmumBudidayaTanamanObat. Jakarta: Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Tanaman Obat dan Obat Tradisional (B2P2TOOT), Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan RI.</ref>. Secara garis besar, tahapan budidaya tanaman obat dibagi menjadi : pembenihan dan pembibitan tanaman obat, serta budidaya tanaman obat. [[Organisasi Kesehatan Dunia|Organisasi kesehatan dunia]] (''WHO'') sebelumnya juga mengembangkan pedoman praktek budidaya dan pemanenan tanaman obat yang baik (''Good Agricultural and Collection Practice'') pada tahun 2003<ref>[http://whqlibdoc.who.int/publications/2003/9241546271.pdf]World Health Organization, 2003. WHO guidelines on good agricultural and collection practices (GACP) for medicinal plants. Geneva: WHO Press.</ref>.
Pedoman budidaya tanaman obat telah dikembangkan oleh pemerintah melalui [[Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan]] (Balitbangkes RI)<ref name=":2">[http://perpustakaan.depkes.go.id:8180/bitstream//123456789/2085/2/BK2011-340.pdf]Balitbangkes, 2011. ''Pedoman umum budidaya tanaman obat''. Tawang Mangu: Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Tanaman Obat dan Obat Tradisional (B2P2TOOT), Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan RI.</ref>. Secara garis besar, tahapan budidaya tanaman obat dibagi menjadi : pembenihan dan pembibitan tanaman obat, serta budidaya tanaman obat. [[Organisasi Kesehatan Dunia|Organisasi kesehatan dunia]] (''WHO'') sebelumnya juga mengembangkan pedoman praktek budidaya dan pemanenan tanaman obat yang baik (''Good Agricultural and Collection Practice'') pada tahun 2003<ref name=":3">[http://whqlibdoc.who.int/publications/2003/9241546271.pdf]World Health Organization, 2003. WHO guidelines on good agricultural and collection practices (GACP) for medicinal plants. Geneva: WHO Press.</ref>.
===== Pembenihan dan pembibitan tanaman obat =====
===== Pembenihan dan pembibitan tanaman obat =====
Baris 72:
Baris 72:
==== Pengelolaan pasca panen tanaman obat ====
==== Pengelolaan pasca panen tanaman obat ====
Pedoman pengelolaan pasca panen tanaman obat telah dikembangkan oleh pemerintah melalui [[Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan|Balitbangkes RI]]<ref>[http://perpustakaan.depkes.go.id:8180/bitstream/123456789/765/4/BK2008-G104.pdf]Katno, 2008. ''Pengelolaan pasca panen tanaman obat''. Tawangmangu: Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Tanaman Obat dan Obat Tradisional (B2P2TOOT), Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan RI.</ref>. Pengelolaan pasca panen tanaman obat juga dapat merujuk pada pedoman GACP yang dikeluarkan [[Organisasi Kesehatan Dunia|WHO]] tahun 2003<ref name=":3" />. Pengelolaan pasca panen merupakan suatu perlakuan yang diberikan pada hasil panen hingga produk siap dikonsumsi.
Pengelolaan pasca panen yang kurang tepat dapat menyebabkan berbagai kerusakan bahan baku (simplisia) baik secara fisika maupun kimia. Faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan fisik/kimiawi dapat diuraikan sebagai berikut.
# Perubahan fisiologis bahan
# Pencemaran mikroba patogen
# Kerusakan penyimpanan
# Kerusakan fisik.
Faktor-faktor yang berpengaruh pada kerusakan kandungan kimia simplisia dapat diuraikan sebagai berikut.
# Kandungan air bahan
# Pengaruh sinar ultra violet (UV)
# Faktor pemanasan
# Derajat keasaman (pH).
== Rumusan Konsep ==
== Rumusan Konsep ==
Revisi per 25 Juni 2016 15.26
Artikel bermasalah
Ini adalah pengalihan yang memenuhi kriteria penghapusan cepat artikel tentang orang, hewan individu, organisasi (grup musik, klub, perusahaan, dll.), konten web, atau peristiwa yang terselenggara yang tidak mengindikasikan kepentingan subjeknya. Lihat KPC A7.%5B%5BWP%3ACSD%23A7%7CA7%5D%5D%3A+Artikel+yang+tidak+dapat+memberikan+klaim+kepentingan+subjekA7
Jika pengalihan ini tidak memenuhi syarat KPC, atau Anda ingin memperbaikinya, silakan hapus pemberitahuan ini, tetapi tidak dibenarkan menghapus pemberitahuan ini dari halaman yang Anda buat sendiri. Jika Anda membuat halaman ini tetapi Anda tidak setuju, Anda boleh mengeklik tombol di bawah ini dan menjelaskan mengapa Anda tidak setuju halaman itu dihapus. Silakan kunjungi halaman pembicaraan untuk memeriksa jika sudah menerima tanggapan pesan Anda.
Ingat bahwa pengalihan ini dapat dihapus kapan saja jika sudah tidak diragukan lagi memenuhi kriteria penghapusan cepat, atau penjelasan dikirim ke halaman pembicaraan Anda tidak cukup meyakinkan kami.
Catatan untuk pembuat halaman: Anda belum membuat atau menyunting article halaman pembicaraan. Jika Anda mengajukan keberatan atas penghapusan, mengeklik tombol di atas akan membawa Anda untuk meninggalkan pesan untuk menjelaskan mengapa Anda tidak setuju pengalihan ini dihapus. Jika Anda sudah ke halaman pembicaraannya, tetapi pesan ini masih muncul, coba hapus singgahan (cache).
Pilih templat yang spesifik – {{db-person}}, {{db-animal}}, {{db-band}}, {{db-club}}, {{db-inc}}, {{db-web}} or {{db-event}} – jika bisa. Pengurus: periksa pranala balik, riwayat (beda), dan catatan sebelum dihapus. Konfirmasi sebelum penghapusan bahwa halaman itu tidak terlihat sebagai halaman profil pengguna. Jika perlu, lebih baik pindahkan ke halaman pengguna yang bersangkutan. Terkadang tag ini juga dipakai untuk menandai KPC A9 (rekaman musik), karena sama-sama tidak mengindikasikan kepentingan. Periksa di Google. Halaman ini terakhir disunting oleh Mas Amrun(kontribusi | log) pada 15:26, 25 Juni 2016 (UTC) (8 tahun lalu)
Asal Kata
Dengan mengambil analogi kata agrofisika yang berasal dari kata agronomi dan fisika, maka agrofarmasi berasal dari kata agronomi dan farmasi. Seperti halnya pada agrofisika yang memiliki definisi tersendiri yang tidak mencerminkan gabungan definisi agronomi dan fisika, maka diperlukan konsep dan definisi tersendiri untuk kata agrofarmasi.
Konsep Dasar
Agrofarmasi sebagai industri
Konsep agrofarmasi ini pertama kali dikemukakan oleh Sidik pada tahun 1992. Agrofarmasi meliputi industri budidaya tanaman obat, simplisia, sediaan galenik, fraksi atau kelompok senyawa bioaktif dan senyawa murni bioaktif dan hasil konversi yang mempunyai mutu standar. Industri agrofarmasi adalah industri farmasi yang bersumber pada tumbuh-tumbuhan dan merupakan produk IPTEK tumbuhan obat[1]. Oleh karenanya, agrofarmasi sangatlah terkait dengan agribisnis (agrobisnis), agroindustri, tumbuhan obat (tanaman obat), farmasi dan industri farmasi.
Agrofarmasi sebagai proses pengembangan obat bahan alam Indonesia
Konsep agrofarmasi kemudian dapat dijumpai pada visi dan misi Fakultas FarmasiUniversitas Jember, sebagai berikut: “Menjadi fakultas farmasi yang berkualitas dan unggul dalam pengembangan ilmu dan teknologi farmasi bercirikan agrofarmasi (development of natural product based on pharmaceutical added values) dan pelayanan kefarmasian (pharmaceutical care)”[2]. Jika diterjemahkan secara bebas dari konsep di atas, agrofarmasi berarti pengembangan bahan alam berbasis nilai tambah kefarmasian. Nilai tambah pada konsep ini dapat diartikan sebagai “sentuhan” atau aplikasi ilmu pengetahuan, teknologi dan seni (ipteks) kefarmasian.
Pemerintah melalui Badan Pengawas Obat dan Makanan (Badan POM) telah mengklasifikasikan obat bahan alam Indonesia menjadi jamu, obat herbal terstandar dan fitofarmaka[3]. Oleh karenanya, obat bahan alam Indonesia (jamu, obat herbal terstandar dan fitofarmaka) adalah produk agrofarmasi. Tata laksana pendaftaran obat bahan alam Indonesia tersebut telah diatur oleh Badan POM[4].
Jamu
Jamu adalah obat tradisional Indonesia. Obat tradisional adalah bahan atau ramuan bahan yang berupa bahan tumbuhan, bahan hewan, bahan mineral, sediaan sarian (galenik) atau campuran dari bahan tersebut, yang secara turun-temurun telah digunakan untuk pengobatan berdasarkan pengalaman[4]. Sediaan galenik adalah hasil ekstraksi simplisia yang berasal dari tumbuh-tumbuhan atau hewan. Jamu harus memenuhi kriteria : aman sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan; klaim khasiat dibuktikan berdasarkan data empiris; serta memenuhi persyaratan mutu yang berlaku. Jenis klaim penggunaan sesuai dengan jenis pembuktian tradisional dan tingkat pembuktiannya yaitu tingkat pembuktian umum dan medium[3].
Obat herbal terstandar
Obat herbal terstandar adalah sediaan obat bahan alam yang telah dibuktikan keamanan dan khasiatnya secara ilmiah dengan uji praklinik dan bahan bakunya telah di standarisasi[4]. Obat Herbal Terstandar harus memenuhi kriteria : aman sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan; klaim khasiat dibuktikan secara ilmiah/pra klinik; serta telah dilakukan standardisasi terhadap bahan baku yang digunakan dalam produk jadi. Jenis klaim penggunaan sesuai dengan tingkat pembuktian yaitu tingkat pembuktian umum dan medium[3].
Fitofarmaka
Fitofarmaka adalah sediaan obat bahan alam yang telah dibuktikan keamanan dan khasiatnya secara ilmiah dengan uji praklinik dan uji klinik, bahan baku dan produk jadinya telah di standarisasi[4]. Fitofarmaka harus memenuhi kriteria : aman sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan; klaim khasiat dibuktikan berdasarkan uji klinik; telah dilakukan standardisasi terhadap bahan baku yang digunakan dalam produk jadi; serta memenuhi persyaratan mutu yang berlaku. Jenis klaim penggunaan sesuai dengan tingkat pembuktian medium dan tinggi[3].
Agrofarmasi sebagai aktualisasi profesi Apoteker
Konsep agrofarmasi ini juga dapat dikomparasikan dengan konsep agromedis yang tercantum dalam penjelasan visi dan misi Fakultas Kedokteran Universitas Jember, sebagai berikut: “FK UNEJ juga diharapkan menjadi pusat pendidikan agromedis dimaksudkan bahwa FK UNEJ bertekad untuk mengembangkan ilmu kedokteran yang terkait dengan aktivitas agroindustri meliputi aplikasi ilmu kedokteran untuk promosi kesehatan, preventif, kuratif dan keselamatan kerja petani dan keluarganya, para pekerja dan konsumen produk pertanian, perkebunan, peternakan, perikanan, pertambangan dan maritim”[5]. Konsep agromedis ini senada dengan konsep agromedicine yang dirumuskan oleh Pustaka Pertanian Nasional, Departemen Pertanian Amerika Serikat (National Agricultural Library,United States Department of Agriculture)[6].
Uraian Konsep
Pengembangan obat bahan alam Indonesia
Sumber bahan baku
Pada proses pengembangan obat bahan alam, tahapan awal yang paling penting adalah pemilihan sumber (asal) dan kualitas bahan baku. Pemerintah melalui Depkes menyarankan penggunaan tanaman budidaya dan menghindari penggunaan tumbuhan liar untuk pembuatan obat bahan alam[7].
Tumbuhan liar umumnya memiliki karakteristik sebagai berikut :
Umur tumbuhan atau bagian tumbuhan yang dipanen tidak tepat dan berbeda-beda
Jenis (spesies) tumbuhan yang dipanen seringkali kurang diperhatikan sehingga simplisia yang diperoleh tidak sama
Lingkungan tempat tumbuh yang berbeda, sering mengakibatkan perbedaan kadar kandungan senyawa aktif.
Di sisi lain, tanaman budidaya memiliki karakteristik sebagai berikut :
Bahan baku dari tanaman budidaya memiliki variasi lebih kecil daripada bahan baku dari tumbuhan liar
Senyawa aktif pada tanaman budidaya lebih mudah dimonitor untuk penentuan waktu panen optimum
Ketidakajegan kualitas karena kondisi lingkungan yg bervariasi dapat dikendalikan.
Proses budidaya tanaman obat
Pedoman budidaya tanaman obat telah dikembangkan oleh pemerintah melalui Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Balitbangkes RI)[8]. Secara garis besar, tahapan budidaya tanaman obat dibagi menjadi : pembenihan dan pembibitan tanaman obat, serta budidaya tanaman obat. Organisasi kesehatan dunia (WHO) sebelumnya juga mengembangkan pedoman praktek budidaya dan pemanenan tanaman obat yang baik (Good Agricultural and Collection Practice) pada tahun 2003[9].
Pembenihan dan pembibitan tanaman obat
Tahapan pembenihan tanaman obat dibagi menjadi :
Seleksi benih
Uji kemurnian benih
Uji kadar air benih
Uji daya kecambah benih
Pengolahan benih
Penyimpanan benih.
Proses pembibitan tanaman obat secara garis besar dibagi menjadi tahapan berikut.
Pembibitan secara generatif
Pembibitan secara vegetatif.
Pembibitan tanaman obat secara vegetatif dibagi menjadi :
Pedoman pengelolaan pasca panen tanaman obat telah dikembangkan oleh pemerintah melalui Balitbangkes RI[10]. Pengelolaan pasca panen tanaman obat juga dapat merujuk pada pedoman GACP yang dikeluarkan WHO tahun 2003[9]. Pengelolaan pasca panen merupakan suatu perlakuan yang diberikan pada hasil panen hingga produk siap dikonsumsi.
Pengelolaan pasca panen yang kurang tepat dapat menyebabkan berbagai kerusakan bahan baku (simplisia) baik secara fisika maupun kimia. Faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan fisik/kimiawi dapat diuraikan sebagai berikut.
Perubahan fisiologis bahan
Pencemaran mikroba patogen
Kerusakan penyimpanan
Kerusakan fisik.
Faktor-faktor yang berpengaruh pada kerusakan kandungan kimia simplisia dapat diuraikan sebagai berikut.
Kandungan air bahan
Pengaruh sinar ultra violet (UV)
Faktor pemanasan
Derajat keasaman (pH).
Rumusan Konsep
Agrofarmasi dapat didefinisikan sebagai :
Pengembangan bahan alam menjadi obat alam Indonesia (jamu, obat herbal terstandar dan fitofarmaka).
Aplikasi ilmu farmasi untuk meningkatkan kesehatan dan keselamatan kerja petani dan keluarganya, para pekerja dan konsumen produk pertanian.
Referensi
^[1] Andriaty, E., Sundari, T.S. (Eds.). Abstrak Hasil Penelitian Pertanian Komoditas Tanaman Obat, Bogor: Pusat Perpustakaan dan Penyebaran Teknologi Pertanian. ISBN. 978-979-8943-25-6.
^ abcd[3]Badan POM, 2004. Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan RI No. HK.00.05.4.2411 tentang Ketentuan Pokok Pengelompokan dan Penandaan Obat Bahan Alam Indonesia.
^ abcd[4]Badan POM, 2005. Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan RI No. HK. 00.05.41.1384 tentang Kriteria dan Tata Laksana Pendaftaran Obat Tradisional, Obat Herbal Terstandar dan Fitofarmaka.
^Anonim, 1985. Cara pembuatan simplisia. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
^ abc[7]Balitbangkes, 2011. Pedoman umum budidaya tanaman obat. Tawang Mangu: Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Tanaman Obat dan Obat Tradisional (B2P2TOOT), Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan RI.
^ ab[8]World Health Organization, 2003. WHO guidelines on good agricultural and collection practices (GACP) for medicinal plants. Geneva: WHO Press.
^[9]Katno, 2008. Pengelolaan pasca panen tanaman obat. Tawangmangu: Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Tanaman Obat dan Obat Tradisional (B2P2TOOT), Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan RI.