Lompat ke isi

Proyek lahan gambut satu juta hektar: Perbedaan antara revisi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Konten dihapus Konten ditambahkan
HsfBot (bicara | kontrib)
k Bot: Perubahan kosmetika
Baris 1: Baris 1:
Proyek lahan gambut satu juta hektar merupakan proyek era [[Pembangunan nasional Indonesia|Pembangunan]] [[Orde Baru]] yang digagas oleh [[Daftar Menteri Ketenagakerjaan Indonesia|Menteri Transmigrasi dan Pemukiman Perambah Hutan (PPH)]] [[Siswono Yudo Husodo]] di daerah dominan lahan gambut terutama di [[Kalimantan Tengah]].<ref name=":0">{{Cite web|url=http://www.mongabay.co.id/2016/06/10/lahan-gambut-eks-plg-satu-juta-hektar-bagaimana-kabarnya-saat-ini/|title=Lahan Gambut Eks PLG Satu Juta Hektar, Bagaimana Kabarnya Saat ini? – Mongabay.co.id|website=www.mongabay.co.id|language=en-US|access-date=2017-10-16}}</ref> Proyek tersebut awalnya diluncurkan pada tahun 1995 sebagai bagian dari ambisi pemerintahan Suharto untuk mencapai kembali posisi [[swasembada beras]].<ref>{{Cite web|url=http://www.bbc.co.uk/indonesian/indepth/story/2007/02/printable/070215_lahangambut.shtml|title=BBCIndonesia.com {{!}} Laporan Mendalam {{!}} Proyek lahan gambut dihidupkan|website=www.bbc.co.uk|language=id|access-date=2017-10-16}}</ref> Pada 26 Desember 1995, Presiden Soeharto mengeluarkan Keppres No. 82 mengenai Proyek Pengembangan Lahan Gambut (PLG) Sejuta Hektar di [[Kalimantan Tengah]]. Tujuan proyek adalah menyediakan lahan pertanian baru dengan mengonversi satu juta hektar lahan gambut dan rawa untuk penanaman padi.<ref name=":1">{{Cite news|url=http://himaindonesia.com/2016/09/19/kebijakan-dan-tata-kelola-lahan-gambut/|title=Kebijakan Dan Tata Kelola Lahan Gambut|date=2016-09-19|newspaper=HidupMahasiswaIndonesia|language=id-ID|access-date=2017-10-16}}</ref> Proyek tersebut dijalankan dengan cara membuat kanal-kanal yang bertujuan membelah kubah gambut.<ref name=":0" />
Proyek lahan gambut satu juta hektar merupakan proyek era [[Pembangunan nasional Indonesia|Pembangunan]] [[Orde Baru]] yang digagas oleh [[Daftar Menteri Ketenagakerjaan Indonesia|Menteri Transmigrasi dan Pemukiman Perambah Hutan (PPH)]] [[Siswono Yudo Husodo]] di daerah dominan lahan gambut terutama di [[Kalimantan Tengah]].<ref name=":0">{{Cite web|url=http://www.mongabay.co.id/2016/06/10/lahan-gambut-eks-plg-satu-juta-hektar-bagaimana-kabarnya-saat-ini/|title=Lahan Gambut Eks PLG Satu Juta Hektar, Bagaimana Kabarnya Saat ini? – Mongabay.co.id|website=www.mongabay.co.id|language=en-US|access-date=2017-10-16}}</ref> Proyek tersebut awalnya diluncurkan pada tahun 1995 sebagai bagian dari ambisi pemerintahan Suharto untuk mencapai kembali posisi [[swasembada beras]].<ref>{{Cite web|url=http://www.bbc.co.uk/indonesian/indepth/story/2007/02/printable/070215_lahangambut.shtml|title=BBCIndonesia.com {{!}} Laporan Mendalam {{!}} Proyek lahan gambut dihidupkan|website=www.bbc.co.uk|language=id|access-date=2017-10-16}}</ref> Pada 26 Desember 1995, Presiden Soeharto mengeluarkan Keppres No. 82 mengenai Proyek Pengembangan Lahan Gambut (PLG) Sejuta Hektar di [[Kalimantan Tengah]]. Tujuan proyek adalah menyediakan lahan pertanian baru dengan mengonversi satu juta hektar lahan gambut dan rawa untuk penanaman padi.<ref name=":1">{{Cite news|url=http://himaindonesia.com/2016/09/19/kebijakan-dan-tata-kelola-lahan-gambut/|title=Kebijakan Dan Tata Kelola Lahan Gambut|date=2016-09-19|newspaper=HidupMahasiswaIndonesia|language=id-ID|access-date=2017-10-16}}</ref> Proyek tersebut dijalankan dengan cara membuat kanal-kanal yang bertujuan membelah kubah gambut.<ref name=":0" />


Proyek ini berakhir dengan kegagalan total. Lahan gambut terbukti tidak cocok untuk penanaman padi. Sekitar separuh dari 15.594 keluarga transmigran yang dulu ditempatkan eksodus meninggalkan lokasi. Penduduk setempat mengalami kerugian akibat kerusakan sumber daya alam di kawasan tersebut serta dampak hidrologis dari proyek tersebut.<ref name=":1" />
Proyek ini berakhir dengan kegagalan total. Lahan gambut terbukti tidak cocok untuk penanaman padi. Sekitar separuh dari 15.594 keluarga transmigran yang dulu ditempatkan eksodus meninggalkan lokasi. Penduduk setempat mengalami kerugian akibat kerusakan sumber daya alam di kawasan tersebut serta dampak hidrologis dari proyek tersebut.<ref name=":1" />


== Latar Belakang ==
== Latar Belakang ==
Setelah Indonesia dianggap berhasil mencapai swasembada beras pada 1984, produksi padi dan beras di Indonesia mengalami penurunan. <ref name=":2">{{Cite web|url=https://www.library.ohio.edu/indopubs/1997/02/20/0148.html|title=IN: KMP - Pengembangan Lahan Gambut|last=(apakabar@clark.net)|first=apakabar@clark.net|website=www.library.ohio.edu|access-date=2017-10-16}}</ref> Setelah lebih dari sepuluh tahun swasembada beras, berbagai ancaman maupun tanda-tanda akan rapuhnya ketahanan pangan dan kembalinya Indonesia menjadi pengimpor beras mulai terasa.<ref name=":2" /> Tahun-tahun kelimpahruahan beras ternyata tidak berlangsung seterusnya, bahkan tidak berumur lama.
Setelah Indonesia dianggap berhasil mencapai swasembada beras pada 1984, produksi padi dan beras di Indonesia mengalami penurunan. <ref name=":2">{{Cite web|url=https://www.library.ohio.edu/indopubs/1997/02/20/0148.html|title=IN: KMP - Pengembangan Lahan Gambut|last=(apakabar@clark.net)|first=apakabar@clark.net|website=www.library.ohio.edu|access-date=2017-10-16}}</ref> Setelah lebih dari sepuluh tahun swasembada beras, berbagai ancaman maupun tanda-tanda akan rapuhnya ketahanan pangan dan kembalinya Indonesia menjadi pengimpor beras mulai terasa.<ref name=":2" /> Tahun-tahun kelimpahruahan beras ternyata tidak berlangsung seterusnya, bahkan tidak berumur lama.


Kemarau panjang dan susutnya lahan pertanian di Jawa membuat produksi beras merosot tajam. Mula-mula terjadi musim kemarau panjang sekitar tahun 1994, disusul lagi dengan isu produksi padi terutama di lahan-lahan subur yang tidak bisa lagi ditingkatkan dan bahkan arealnya terus menyusut karena berubah fungsi menjadi areal non-pertanian. Sementara sejumlah penduduk yang harus disuapi semakin bertambah dari tahun ke tahun.<ref name=":2" /> Sementara itu, pembukaan lahan di luar Jawa belum mampu mengejar kekurangan produksi.
Kemarau panjang dan susutnya lahan pertanian di Jawa membuat produksi beras merosot tajam. Mula-mula terjadi musim kemarau panjang sekitar tahun 1994, disusul lagi dengan isu produksi padi terutama di lahan-lahan subur yang tidak bisa lagi ditingkatkan dan bahkan arealnya terus menyusut karena berubah fungsi menjadi areal non-pertanian. Sementara sejumlah penduduk yang harus disuapi semakin bertambah dari tahun ke tahun.<ref name=":2" /> Sementara itu, pembukaan lahan di luar Jawa belum mampu mengejar kekurangan produksi.

Revisi per 17 Oktober 2017 05.05

Proyek lahan gambut satu juta hektar merupakan proyek era Pembangunan Orde Baru yang digagas oleh Menteri Transmigrasi dan Pemukiman Perambah Hutan (PPH) Siswono Yudo Husodo di daerah dominan lahan gambut terutama di Kalimantan Tengah.[1] Proyek tersebut awalnya diluncurkan pada tahun 1995 sebagai bagian dari ambisi pemerintahan Suharto untuk mencapai kembali posisi swasembada beras.[2] Pada 26 Desember 1995, Presiden Soeharto mengeluarkan Keppres No. 82 mengenai Proyek Pengembangan Lahan Gambut (PLG) Sejuta Hektar di Kalimantan Tengah. Tujuan proyek adalah menyediakan lahan pertanian baru dengan mengonversi satu juta hektar lahan gambut dan rawa untuk penanaman padi.[3] Proyek tersebut dijalankan dengan cara membuat kanal-kanal yang bertujuan membelah kubah gambut.[1]

Proyek ini berakhir dengan kegagalan total. Lahan gambut terbukti tidak cocok untuk penanaman padi. Sekitar separuh dari 15.594 keluarga transmigran yang dulu ditempatkan eksodus meninggalkan lokasi. Penduduk setempat mengalami kerugian akibat kerusakan sumber daya alam di kawasan tersebut serta dampak hidrologis dari proyek tersebut.[3]

Latar Belakang

Setelah Indonesia dianggap berhasil mencapai swasembada beras pada 1984, produksi padi dan beras di Indonesia mengalami penurunan. [4] Setelah lebih dari sepuluh tahun swasembada beras, berbagai ancaman maupun tanda-tanda akan rapuhnya ketahanan pangan dan kembalinya Indonesia menjadi pengimpor beras mulai terasa.[4] Tahun-tahun kelimpahruahan beras ternyata tidak berlangsung seterusnya, bahkan tidak berumur lama.

Kemarau panjang dan susutnya lahan pertanian di Jawa membuat produksi beras merosot tajam. Mula-mula terjadi musim kemarau panjang sekitar tahun 1994, disusul lagi dengan isu produksi padi terutama di lahan-lahan subur yang tidak bisa lagi ditingkatkan dan bahkan arealnya terus menyusut karena berubah fungsi menjadi areal non-pertanian. Sementara sejumlah penduduk yang harus disuapi semakin bertambah dari tahun ke tahun.[4] Sementara itu, pembukaan lahan di luar Jawa belum mampu mengejar kekurangan produksi.

Bertitik-tolak dari kerisauan itulah tidak ada jalan lain yaitu ekstensifikasi atau perluasan areal tanaman padi yang harus dilaksanakan. Kemudian dipilihlah lahan gambut yang ketersediaannya cukup luas di Kalimantan Tengah. Namun, salah satu tantangan besar yang sulit dipecahkan dalam pengembangan lahan gambut di Kalteng ini adalah bagaimana strategi menghadapi kawasan gambut yang landai dengan curah hujan lokal dan pasang besar serta berpotensi senantiasa tergenang. Apalagi kawasan ini juga sangat dipengaruhi oleh kawasan di bagian hulu yang luasnya sekitar 4,5 juta hektar.[4]

Strategi berdasarkan konsep dasar pengelolaan air yang masuk ke kawasan gambut dan kemudian dikeluarkan melalui saluran yang dikendalikan atau dibuat dapat dipertimbangkan, melalui perhitungan-perhitungan yang sangat cermat dan memerlukan tenaga dan biaya yang tidak sedikit.[4]

Pengembangan Proyek

Pada 5 Juni 1995 Soeharto memanggil tujuh menteri Kabinet Pembangunan VI-lengkap beserta timnya masing-masing-ke Bina Graha. Mereka adalah Syarifuddin Baharsjah (Pertanian), Djamaluddin Surjohadikusumo (Kehutanan), Radinal Muchtar (Pekerjaan Umum), Siswono Yudo Husodo (Transmigrasi dan Pemukiman Perambah Hutan), Sonny Harsono (Agraria), Ginandjar Kartasasmita (Bappenas), dan Mar'ie Muhammad (Keuangan).[5]

Di hadapan tujuh menteri tersebut, Soeharto membentangkan sebuah peta berukuran besar dengan garis-garis malang-melintang Kalimantan Tengah yang dikerat-kerat. Dalam impian Soeharto, Kalimantan Tengah akan merupakan jalan penyelamatan buat Indonesia: area sawah baru yang mampu menghasilkan 5,1 juta ton setiap tahunnya. "Ini program saya untuk membuka lahan pertanian di Kalimantan. Saya serahkan untuk ditindaklanjuti," kata Soeharto seperti ditirukan Ir. Suparmono, bekas Direktur Jenderal Pengairan Departemen Pekerjaan Umum, yang hadir saat itu.[5]

Itulah awal mula rencana pembukaan lahan pertanian raksasa, seluas 5,8 juta hektare, di Kalimantan Tengah, yang kemudian populer dengan sebutan proyek lahan gambut (PLG). Sebuah tim pelaksana langsung dibentuk-dengan Menteri Pekerjaan Umum Radinal Muchtar sebagai ketuanya-dan segera bertindak cepat karena Soeharto menargetkan lahan itu bisa panen pertama dalam tempo dua tahun.[5]

Proyek tersebut bukan rencana orisinal Soeharto sebenarnya. Peta tersebut datang dari Tay Juhana alias "Mr. T", pengusaha Indonesia keturunan Tionghoa yang bermarkas di Singapura. Lewat Grup Sambu, sebuah perusahaan induk yang terutama berkecimpung dalam bidang perkebunan, "Mr. T" mengaku pernah sukses membuat perkebunan sawit seluas 60 ribu hektare di atas lahan gambut Sungai Guntung, Riau. Sukses itulah yang dijual kepada Presiden Soeharto. "Mr. T" tidak datang dari negeri antah-berantah. Kepada sang Presiden,dia diperkenalkan oleh Marsekal (Purn.) Kardono (mantan Ketua Umum PSSI) dan Mayjen (Purn.) Winanto (bekas Gubernur Jenderal Akabri) (Keduanya adalah komisaris Grup Sambu) Hubungan mereka berjalan baik. Puncaknya, Soeharto berkunjung ke perkebunan kelapa sawit Sungai Guntung pada 1995, disusul keluarnya konsep pertanian seluas 5,8 juta hektare yang diusulkan "Mr. T" tak lama kemudian. Akan tetapi pada 1999 Henky Assana, Direktur Grup Sambu, membantah bahwa pihaknya lah yang menyodorkan usulan proyek itu. "Pak Harto yang meminta. Kami hanya menuliskan rencana-rencana. Selanjutnya terserah beliau,"[5]

Proyek itu mulai dikerjakan pada 23 Januari 1996-sangat cepat untuk ukuran proyek raksasa-dan langsung melanggar aturan pertama pembangunan proyek, yakni dikerjakan tanpa studi kelayakan mendalam dan tanpa analisis mengenai dampak lingkungan (amdal).[5]

Pada Konferensi Pangan Sedunia dari 13 sampai dengan 17 November 1996 di Roma,Italia, Presiden Soeharto mengatakan proyek lahan gambut (PLG) Sejuta Hektare di Kalimantan merupakan keputusan dan tekad bangsa Indonesia sebagai langkah untuk mempertahankan swasembada pangan dan sekaligus andil dalam memecahkan masalah pangan dunia. "Melalui konperensi ini, kita juga ingin meneguhkan kesadaran dunia mengenai pentingnya ketahanan pangan bagi ummat manusia".[6]

Referensi

  1. ^ a b "Lahan Gambut Eks PLG Satu Juta Hektar, Bagaimana Kabarnya Saat ini? – Mongabay.co.id". www.mongabay.co.id (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2017-10-16. 
  2. ^ "BBCIndonesia.com | Laporan Mendalam | Proyek lahan gambut dihidupkan". www.bbc.co.uk. Diakses tanggal 2017-10-16. 
  3. ^ a b "Kebijakan Dan Tata Kelola Lahan Gambut". HidupMahasiswaIndonesia. 2016-09-19. Diakses tanggal 2017-10-16. 
  4. ^ a b c d e (apakabar@clark.net), apakabar@clark.net. "IN: KMP - Pengembangan Lahan Gambut". www.library.ohio.edu. Diakses tanggal 2017-10-16. 
  5. ^ a b c d e (apakabar@Radix.Net), apakabar@Radix.Net. "[INDONESIA-L] TEMPO - Lahan Gambut". www.library.ohio.edu. Diakses tanggal 2017-10-16. 
  6. ^ (indonesia-p@igc.apc.org), indonesia-p@igc.apc.org. "IN: BP - Proyek Lahan Gambut Atasi". www.library.ohio.edu. Diakses tanggal 2017-10-16.