Serat katuranggan kucing: Perbedaan antara revisi
Baris 215: | Baris 215: | ||
== Teks Serupa == |
== Teks Serupa == |
||
=== Jawa === |
=== Jawa === |
||
Di Jawa, teks dengan isi yang serupa dengan ''Katuranggan Kucing'' dapat ditemukan dalam sejumlah judul alternatif. [[Kraton Yogyakarta]] menyimpan naskah dengan judul [[:jv:Serat Ngalamating Kucing|'''''Serat Ngalamating Kucing''''']] <ref>{{Cite book|url=https://www.worldcat.org/title/katalog-induk-naskah-naskah-nusantara-jilid-2-kraton-yogyakarta/oclc/499269103&referer=brief_results|title=Katalog Induk Naskah-naskah Nusantara Jilid 2: Kraton Yogyakarta|last=Lindsay|first=Jennifer|last2=Soetanto|first2=R. M.|last3=Feinstein|first3=Alan|date=|publisher=Yayasan Obor Indonesia|year=1994|isbn=9789794611784|location=Jakarta|pages=|language=ID|oclc=499269103}}</ref><ref name=":0">{{Cite journal|last=A|first=Mirya|date=2017-11-01|title=Serat Ngalamating Kucing Mitos Kucing dalam Budaya Jawa|url=https://ejournal.undip.ac.id/index.php/nusa/article/view/16860|journal=Nusa: Jurnal Ilmu Bahasa dan Sastra|language=id|volume=12|issue=4|pages=173–185|doi=10.14710/nusa.12.4.173-185|issn=2597-9558}}</ref> sementara versi cetak dari abad 19 M menggunakan judul ''Serat Katuranggan ning Kutcing'',<ref name="gb"/> keduanya memiliki sedikit perbedaan dari segi pengejaan dan susunan bait namun memiliki isi yang serupa. |
Di Jawa, teks dengan isi yang serupa dengan ''Katuranggan Kucing'' dapat ditemukan dalam sejumlah judul alternatif. [[Kraton Yogyakarta]] menyimpan naskah dengan judul [[:jv:Serat Ngalamating Kucing|'''''Serat Ngalamating Kucing''''']] (ꦱꦼꦫꦠ꧀ꦔꦭꦩꦠ꧀ꦠꦶꦁꦏꦸꦕꦶꦁ) <ref>{{Cite book|url=https://www.worldcat.org/title/katalog-induk-naskah-naskah-nusantara-jilid-2-kraton-yogyakarta/oclc/499269103&referer=brief_results|title=Katalog Induk Naskah-naskah Nusantara Jilid 2: Kraton Yogyakarta|last=Lindsay|first=Jennifer|last2=Soetanto|first2=R. M.|last3=Feinstein|first3=Alan|date=|publisher=Yayasan Obor Indonesia|year=1994|isbn=9789794611784|location=Jakarta|pages=|language=ID|oclc=499269103}}</ref><ref name=":0">{{Cite journal|last=A|first=Mirya|date=2017-11-01|title=Serat Ngalamating Kucing Mitos Kucing dalam Budaya Jawa|url=https://ejournal.undip.ac.id/index.php/nusa/article/view/16860|journal=Nusa: Jurnal Ilmu Bahasa dan Sastra|language=id|volume=12|issue=4|pages=173–185|doi=10.14710/nusa.12.4.173-185|issn=2597-9558}}</ref> sementara versi cetak dari abad 19 M menggunakan judul ''Serat Katuranggan ning Kutcing'' (ꦱꦼꦫꦠ꧀ꦏꦠꦸꦫꦁꦒꦤ꧀ꦤꦶꦁꦏꦸꦠ꧀ꦕꦶꦁ),<ref name="gb"/> keduanya memiliki sedikit perbedaan dari segi pengejaan dan susunan bait namun memiliki isi yang serupa. |
||
=== Bali === |
=== Bali === |
||
Sastra [[Bahasa Bali|Bali]] memiliki tradisi teks serupa yang seringkali disebut '''''Carcan Kucing''''' atau '''''Carcan Miyong''''' |
Sastra [[Bahasa Bali|Bali]] memiliki tradisi teks serupa yang seringkali disebut '''''Carcan Kucing''''' (ᬘᬃᬘᬦ᭄ᬓᬸᬘᬶᬂ) atau '''''Carcan Miyong''''' (ᬘᬃᬘᬦ᭄ᬫᬶᬬᭀᬂ) |
||
=== Thailand === |
=== Thailand === |
||
[[File:Animal tales cats thai or 16797 f003v.jpg|thumb|upright=1.2|Dua halaman salinan naskah ''Tamra Maeo'' yang ditulis antar tahun 1800-1870 dalam koleksi British Library]] |
[[File:Animal tales cats thai or 16797 f003v.jpg|thumb|upright=1.2|Dua halaman salinan naskah ''Tamra Maeo'' yang ditulis antar tahun 1800-1870 dalam koleksi British Library]] |
||
Sastra [[Bahasa Thai|Thailand]] memiliki tradisi teks serupa yang seringkali disebut sebagai '''''[[:en:Treatise on Cats|Tamra Maeo]]''''' ( |
Sastra [[Bahasa Thai|Thailand]] memiliki tradisi teks serupa yang seringkali disebut sebagai '''''[[:en:Treatise on Cats|Tamra Maeo]]''''' (ตำราแมว) atau ''Risalah Kucing''. Sebagaimana Jawa dan Bali, ''Tamra Maeo'' memaparkan jenis-jenis kucing dalam bentuk bait-bait pendek yang ditulis dengan [[aksara thai]] (aksara yang hanya digunakan untuk tulisan sekuler dalam masyarakat Thai pra-modern). Namun berbeda dengan Jawa dan Bali, ''Tamra Maeo'' selalu disertai dengan ilustrasi kucing-kucing bersangkutan dalam gaya lukis tradisional Thai. Umumnya, tujuh belas kucing yang dianggap berpengaruh baik diuraikan dalam ''Tamra Maeo'', kadang diikuti dengan enam jenis yang dianggap buruk. <ref>{{cite web|last1=Igunma|first1=Jana|title=A Treatise on Siamese Cats|url=https://southeastasianlibrarygroup.wordpress.com/2013/06/07/a-treatise-on-siamese-cats/|website=Southeast Asia Library Group (SEALG)|publisher=British Library|accessdate=26 June 2017|date=7 June 2013}}</ref><ref>{{cite journal|last1=Clutterbuck|first1=Martin|title=Inventory: Auspicious Cats|journal=Cabinet|date=2008|issue=30|url=http://www.cabinetmagazine.org/issues/30/clutterbuck.php|accessdate=26 June 2017|language=en}}</ref> |
||
== Referensi == |
== Referensi == |
Revisi per 9 April 2020 14.05
Serat Katuranggan Kucing adalah sebuah teks sastra Jawa berbentuk tembang yang membahas jenis dan rupa kucing. Teks dengan isi serupa dapat ditemukan dalam sejumlah naskah dengan judul yang berbeda-beda, namun utamanya selalu berisi pemaparan mengenai jenis-jenis kucing berdasarkan rupanya dan akibat baik-buruknya bagi manusia. Pembagian ini, meski bersifat taksonomis, tidaklah terlalu spesifik dan umumnya longgar, sehingga berbagai versi dapat memaparkan deskripsi yang sedikit berbeda-beda antar satu sama lainnya.
Isi
Katuranggan Kucing umumnya ditemukan dalam bentuk puisi berbait, hal ini sejalan dengan kecendrungan sastra Jawa tradisional yang sebagian besar teksnya dirancang untuk dilantukan dalam bentuk tembang.[1] Dalam Katuranggan Kucing, tiap bait (disebut juga pada) umumnya menceritakan satu jenis kucing yang pemaparannya meliputi ciri fisik, nama jenis kucing tersebut, dan akibat baik-buruknya bagi manusia. Ciri fisik tiap kucing hanya dijelaskan dengan sangat singkat dan tidak pernah disertai dengan ilustrasi, sehingga gambaran tepat dari tiap jenis kucing bergantung pada bayangan pembaca. Pengaruh dari tiap-tiap kucing umumnya juga tidak diurai lebih rinci dari "baik" atau "buruk".
Sebagai contoh, salah satu versi cetak yang diterbitkan di Semarang pada tahun 1871 M,[2] salah satu kucing yang dianggap baik dituturkan sebagaimana berikut:
Pada | Bahasa Jawa | Bahasa Indonesia | |
---|---|---|---|
Aksara Jawa | Latin | ||
7 | ꧅ꦭꦩꦸꦤ꧀ꦱꦶꦫꦔꦶꦔꦸꦏꦸꦕꦶꦁ꧈ꦲꦮꦏ꧀ꦏꦺꦲꦶꦉꦁꦱꦢꦪ꧈ꦭꦩ꧀ꦧꦸꦁꦏꦶꦮꦠꦺꦩ꧀ꦧꦺꦴꦁꦥꦸꦠꦶꦃ꧈ꦊꦏ꧀ꦱꦤꦤ꧀ꦤꦶꦫꦥꦿꦪꦺꦴꦒ꧈ꦲꦫꦤ꧀ꦮꦸꦭꦤ꧀ꦏꦿꦲꦶꦤꦤ꧀꧈ꦠꦶꦤꦼꦏꦤꦤ꧀ꦱꦱꦼꦢꦾꦤ꧀ꦤꦶꦥꦸꦤ꧀꧈ꦪꦺꦤ꧀ꦧꦸꦟ꧀ꦝꦼꦭ꧀ꦭꦁꦏꦸꦁꦲꦸꦠꦩ꧈ | Lamun sira ngingu kucing, awaké ireng sadaya, lambung kiwa témbong putih, leksan nira prayoga, aran wulan krahinan, tinekanan sasedyan nira ipun, yén buṇḍel langkung utama | 7. Kucing yang berwarna hitam semua tetapi perut sebelah kirinya terdapat témbong (bercak) putih disebut wulan krahinan. Kucing ini membawa kebaikan berupa tercapainya semua keinginan. Lebih baik jika ekornya buṇḍel (membulat). |
Salah satu kucing yang dianggap kurang baik dituturkan sebagaimana berikut:
Pada | Bahasa Jawa | Bahasa Indonesia | |
---|---|---|---|
Aksara Jawa | Latin | ||
8 | ꧅ꦲꦗꦱꦶꦫꦔꦶꦔꦸꦏꦸꦕꦶꦁ꧈ꦭꦸꦫꦶꦏ꧀ꦲꦶꦉꦁꦧꦸꦤ꧀ꦠꦸꦠ꧀ꦥꦚ꧀ꦗꦁ꧈ꦥꦸꦤꦶꦏꦲꦮꦺꦴꦤ꧀ꦭꦩꦠ꧀ꦠꦺ꧈ꦱꦼꦏꦼꦭꦤ꧀ꦱꦿꦶꦁꦠꦸꦏꦂꦫꦤ꧀꧈ꦲꦫꦤ꧀ꦝꦣꦁꦱꦸꦁꦏꦮ꧈ꦥꦤ꧀ꦲꦢꦺꦴꦃꦫꦶꦗꦼꦏꦶꦤꦶꦥꦸꦤ꧀꧈ꦪꦺꦤ꧀ꦧꦸꦟ꧀ꦝꦼꦭ꧀ꦤꦺꦴꦫꦔꦥꦲ꧈ | Aja sira ngingu kucing, lurik ireng buntut panjang, punika awon lamaté, sekelan sring tukaran, aran ḍaḍang sungkawa, pan adoh rijeki nipun, yén buṇḍel nora ngapa | 8. Kucing dengan bulu lurik hitam berekor panjang jangan dipelihara. Kucing itu disebut ḍaḍang sungkawa. Kehidupanmu akan sering bertengkar dan jauh dari rizki. Apabila ekornya buṇḍel, maka tidak masalah. |
Dari keseluruhan bait mengenai jenis kucing, pernyataan mengenai ekor yang membundel (atau pendek membulat) muncul dengan cukup konsisten: kucing buruk yang ekornya bundel dikatakan tidak akan membawa pengaruh buruknya, sementara kucing baik yang ekornya bundel menjadi semakin utama pengaruhnya baiknya. Preferensi akan kucing berekor pendek ini tidak diberikan alasan, namun kucing yang berekor pendek memang lebih lazim di Indonesia dan sejumlah negara Asia lainnya karena alasan genetis[3] sehingga ekor pendek mungkin dianggap lebih baik dan pantas.
Di bagian akhir teks, umumnya juga terdapat pemaparan singkat mengenai tingkah laku kucing yang bertanda baik maupun buruk.Salah satu tingkah laku kucing yang menjadi pertanda baik dituturkan sebagaimana berikut:
Pada | Bahasa Jawa | Bahasa Indonesia | |
---|---|---|---|
Aksara Jawa | Latin | ||
23 | ꧅ꦭꦩꦸꦤ꧀ꦲꦤꦏꦸꦕꦶꦁꦲꦶꦏꦠꦸꦫꦸꦣꦼꦰ꧀ꦛꦂ꧈ꦲꦸꦠꦮꦲꦶꦁꦏꦺꦴꦥꦾꦃꦤꦺꦏꦶ꧈ꦲꦸꦠꦮꦲꦶꦁꦥꦺꦴꦗꦺꦴꦏ꧀ꦏꦶꦁꦮꦶꦱ꧀ꦩ꧈ꦢꦔꦸꦠꦤ꧀ꦭꦸꦔꦭꦸꦔ꧈ꦔꦭꦩꦠ꧀ꦲꦺꦴꦭꦶꦃꦉꦗꦼꦏꦶ꧈ꦢꦢꦺꦴꦔꦲ꧈ꦱꦸꦏꦸꦂꦫꦄꦭ꧀ꦲꦩ꧀ꦢꦸꦭꦶꦭ꧀ꦭꦃꦲꦶ꧈ | Lamun ana kucing ika turu ḍeṣṭar, utawa ing kopyah néki, utawi ing pojok ing wisma, dangu tan lunga-lunga, ngalamat olih rejeki, dadongaha, sukurra alhamdulillahi | 23. Jika ada kucing tidur di atas ikat kepala (destar), atau kopyahmu, atau di pojok rumah dan tidak bangun dalam waktu lama, itu artinya akan medapat rizki. Bersyukurlah Alhamdulillah. |
Salah satu tingkah laku kucing yang menjadi pertanda buruk dituturkan sebagaimana berikut:
Pada | Bahasa Jawa | Bahasa Indonesia | |
---|---|---|---|
Aksara Jawa | Latin | ||
27 | ꧅ꦭꦩꦸꦤ꧀ꦲꦤꦏꦸꦕꦶꦁꦭꦸꦁꦒꦸꦃꦥꦸꦤꦶꦏ꧈ꦲꦗꦺꦴꦁꦏꦺꦴꦁꦱꦸꦏꦸꦚꦏꦭꦶꦃ꧈ꦱꦂꦪꦔꦸꦱꦥꦿꦲꦶꦚ꧈ꦏꦢꦾꦮꦺꦴꦁꦲꦤꦼꦩ꧀ꦧꦸꦃ꧈ꦲꦱꦸꦁꦥꦺꦩꦸꦠ꧀ꦥꦸꦤꦶꦏꦶ꧈ꦏꦁꦢꦂꦧꦺꦲꦂꦱꦏꦼꦤ꧈ꦧꦧꦼꦤ꧀ꦢꦸꦤꦺꦲꦾꦁꦮꦶꦢꦶ | Lamun ana kucing lungguh punika, ajongkok sukunya kalih, sarya ngusap rahinya, kadya wong anembuh, asung pémut puniki, kang darbé arsa sakena, babenduné hyang widi | 27. Jika ada kucing duduk berjongkok sambil kedua kaki depannya mengusap muka layaknya orang yang sedang menyembah. Hal itu memberi pengingat bahwa pemiliknya akan mendapat hukuman dari Hyang Widi. |
Jenis-jenis Kucing
Serat Katuranggan ning Kutcing yang diterbitkan di Semarang pada tahun 1871 M[2] memaparkan jenis-jenis kucing berikut:
No | Nama | Arti Nama Harfiah | Ciri | Pengaruh | |
---|---|---|---|---|---|
Aksara Jawa | Latin | ||||
1 | ꦮꦸꦭꦤ꧀ꦥꦸꦂꦤꦩ | Wulan Purnama | Bulan Purnama | bulu berwarna putih dengan bercak hitam di perut sebelah kanan | Baik |
2 | ꦮꦸꦭꦤ꧀ꦏꦿꦲꦶꦤꦤ꧀ | Wulan Krahinan | Bulan di Siang Hari | bulu berwarna hitam dengan bercak putih di perut sebelah kanan | Baik |
3 | ꦧꦸꦗꦺꦴꦁꦒꦲꦩꦼꦁꦏꦸ | Bujongga Hamengku | Pujangga Hamengku | bulu berwarna putih dengan belang hitam di kepala | Baik |
4 | ꦱꦠꦿꦶꦪꦮꦶꦧꦮ | Satriya Wibawa | Ksatriya Wibawa | warna bulu yang sama dari telapak kaki hingga mulut dan mata | Baik |
5 | ꦥꦟ꧀ꦝꦶꦠꦊꦭꦏꦸ | Paṇḍita Lelaku | Berlaku Layaknya Pendeta | bergaris putih dari punggung hingga mulut | Baik |
6 | ꦱꦺꦴꦁꦒꦧꦸꦮꦤ | Songga Buwana | Menyangga Dunia | warna bulu apapun dengan bercak di punggungnya | Baik |
7 | ꦮꦶꦱ꧀ꦤꦸꦲꦠꦺꦴꦟ꧀ꦝ | Wiṣṇu Atoṇḍa | Tanda Wiṣṇu | warna bulu apapun, tidak banyak bersuara/bisu | Baik |
8 | ꦕꦤ꧀ꦢꦿꦩꦮ | Candra Mawa | Cahaya Rembulan | memiliki pusaran bulu di kepala, dada, atau punggung | Baik |
9 | (tidak diberi nama) | - | - | bulu berwarna hitam, keempat kakinya putih | Baik |
10 | ꦥꦸꦠꦿꦏꦗꦼꦤ꧀ꦠꦏ | Putra Kajentaka | Putra Kemiskinan | bulu berwarna hitam mulus, berekor panjang | Buruk |
10 | ꦣꦣꦁꦱꦸꦁꦏꦮ | Ḍaḍang Sungkawa | Gagak Duka | bulu berwarna hitam lurik, berekor panjang | Buruk |
10 | ꦢꦸꦂꦗꦤꦏꦏꦼꦛꦸ | Durjana Kakeṭu | Penjahat Berkeṭu | bulu berwarna hitam dengan belang putih di kepala | Buruk |
10 | ꦮꦶꦱꦠꦸꦩꦩ | Wisa Tumama | Bisa Menembus | berekor putih panjang | Buruk |
10 | ꦠꦩ꧀ꦥꦂꦠꦭꦶꦮꦁꦱꦸꦭ꧀ | Tampar Taliwangsul | Ikatan Taliwangsul | bulu di kuping dan perut berwarna sama | Buruk |
10 | ꦏꦭꦔꦸꦩ꧀ꦧꦫ | Kala Ngumbara | Kala Mengembara | bergaris hitam dari punggung hingga ekor | Buruk |
10 | ꦧꦪꦔꦁꦱꦂ | Baya Ngangsar | Buaya Ngangsar | memiliki garis dari dada hingga ekor | Buruk |
10 | ꦭꦶꦤ꧀ꦠꦁꦏꦸꦩꦸꦏꦸꦱ꧀ | Lintang Kumukus | Bintang Berekor | bulu bertutul dengan ekor putih | Buruk |
10 | (tidak diberi nama) | - | - | bulu berwarna kembang asem | Buruk |
Teks Serupa
Jawa
Di Jawa, teks dengan isi yang serupa dengan Katuranggan Kucing dapat ditemukan dalam sejumlah judul alternatif. Kraton Yogyakarta menyimpan naskah dengan judul Serat Ngalamating Kucing (ꦱꦼꦫꦠ꧀ꦔꦭꦩꦠ꧀ꦠꦶꦁꦏꦸꦕꦶꦁ) [4][5] sementara versi cetak dari abad 19 M menggunakan judul Serat Katuranggan ning Kutcing (ꦱꦼꦫꦠ꧀ꦏꦠꦸꦫꦁꦒꦤ꧀ꦤꦶꦁꦏꦸꦠ꧀ꦕꦶꦁ),[2] keduanya memiliki sedikit perbedaan dari segi pengejaan dan susunan bait namun memiliki isi yang serupa.
Bali
Sastra Bali memiliki tradisi teks serupa yang seringkali disebut Carcan Kucing (ᬘᬃᬘᬦ᭄ᬓᬸᬘᬶᬂ) atau Carcan Miyong (ᬘᬃᬘᬦ᭄ᬫᬶᬬᭀᬂ)
Thailand
Sastra Thailand memiliki tradisi teks serupa yang seringkali disebut sebagai Tamra Maeo (ตำราแมว) atau Risalah Kucing. Sebagaimana Jawa dan Bali, Tamra Maeo memaparkan jenis-jenis kucing dalam bentuk bait-bait pendek yang ditulis dengan aksara thai (aksara yang hanya digunakan untuk tulisan sekuler dalam masyarakat Thai pra-modern). Namun berbeda dengan Jawa dan Bali, Tamra Maeo selalu disertai dengan ilustrasi kucing-kucing bersangkutan dalam gaya lukis tradisional Thai. Umumnya, tujuh belas kucing yang dianggap berpengaruh baik diuraikan dalam Tamra Maeo, kadang diikuti dengan enam jenis yang dianggap buruk. [6][7]
Referensi
- ^ Kumar, John; McGlynn, John H (1996). Illuminations: The Writing Traditions of Indonesia (dalam bahasa Inggris). Jakarta: Lontar Foundation. hlm. 168. ISBN 0834803496.
- ^ a b c Serat Katoerangganing Koetjing, diterbitkan oleh Percetakan GCT Van Dorp & Co di Semarang, tahun 1871. Pindaian Google Books dari koleksi Perpustakaan Nasional Belanda, No 859 B33.
- ^ Xu, X. (2016-08-11). "Whole Genome Sequencing Identifies a Missense Mutation in HES7 Associated with Short Tails in Asian Domestic Cats". Sci Rep. 6 (31583). doi:10.1038/srep31583.
- ^ Lindsay, Jennifer; Soetanto, R. M.; Feinstein, Alan (1994). Katalog Induk Naskah-naskah Nusantara Jilid 2: Kraton Yogyakarta. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. ISBN 9789794611784. OCLC 499269103.
- ^ A, Mirya (2017-11-01). "Serat Ngalamating Kucing Mitos Kucing dalam Budaya Jawa". Nusa: Jurnal Ilmu Bahasa dan Sastra. 12 (4): 173–185. doi:10.14710/nusa.12.4.173-185. ISSN 2597-9558.
- ^ Igunma, Jana (7 June 2013). "A Treatise on Siamese Cats". Southeast Asia Library Group (SEALG). British Library. Diakses tanggal 26 June 2017.
- ^ Clutterbuck, Martin (2008). "Inventory: Auspicious Cats". Cabinet (dalam bahasa Inggris) (30). Diakses tanggal 26 June 2017.
Pranala Luar
Serat Katoerangganing Koetjing, diterbitkan oleh Percetakan GCT Van Dorp & Co di Semarang, tahun 1871. Pindaian Google Books dari koleksi Perpustakaan Nasional Belanda, No 859 B33.