Lompat ke isi

Orang Indo: Perbedaan antara revisi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Konten dihapus Konten ditambahkan
Kembangraps (bicara | kontrib)
Baris 21: Baris 21:


Walaupun periode relatif ini singkat, terdapat banyak warisan budaya masyarakat ini yang masih dapat dilihat hingga sekarang. Cara bergaul orang Portugis yang relatif terbuka dan tidak rasis membuat budayanya banyak terserap secara mudah. Berbagai tanaman asal Amerika tropis, beberapa jenis kue (terutama bolu), sejumlah produk rumah tangga umum, serta berbagai permainan dan hiburan dari Eropa mulai dikenal masyarakat Nusantara melalui pendatang ini dan keturunannya. Laporan Belanda pada abad ke-19 bahkan menyatakan bahwa bahasa Portugis bahkan masih dipakai oleh orang-orang keturunan campuran Eropa (mestizo) di [[Batavia]]. Musik keroncong adalah bentuk musik dari masyarakat campuran warisan masa ini.
Walaupun periode relatif ini singkat, terdapat banyak warisan budaya masyarakat ini yang masih dapat dilihat hingga sekarang. Cara bergaul orang Portugis yang relatif terbuka dan tidak rasis membuat budayanya banyak terserap secara mudah. Berbagai tanaman asal Amerika tropis, beberapa jenis kue (terutama bolu), sejumlah produk rumah tangga umum, serta berbagai permainan dan hiburan dari Eropa mulai dikenal masyarakat Nusantara melalui pendatang ini dan keturunannya. Laporan Belanda pada abad ke-19 bahkan menyatakan bahwa bahasa Portugis bahkan masih dipakai oleh orang-orang keturunan campuran Eropa (mestizo) di [[Batavia]]. Musik keroncong adalah bentuk musik dari masyarakat campuran warisan masa ini.

<!-- Bij deze marginale cultuur waarin de Stamboel zich ontwikkeld heeft, behoort ook de krontjong-muziek, een specifieke Indo-muziek, noch Indonesisch, noch Europees. Ze is zonder twijfel van Portugese oorsprong. De Portugese wijze van koloniseren bracht met zich mee dat de mannen zich mengden met de bevolking en aldus de grondslag legden voor een mestiezen-cultuur. Een deel van deze Portugese Mestiços vestigde zich na de verovering van de Portugese koloniën in Batavia en vermengde zich met de daar wonende Mardijkers [vrijgelaten slaven] en met de Nederlandse mestiezen-groep. Ze verloren langzamerhand hun taal, maar verbreidden hun muziek. Naar de herkomst van het woord krontjong kan alleen worden gegist (een klank-
[p. 306]

nabootsing?). De melodie en het ritme zijn terug te brengen op de Portugese moresco die door de Indo-Europeanen als de authentieke lagu krontjong (lagu = melodie) wordt beschouwd, de krontjong Moritsku. Bij de krontjong horen ook teksten. Eerst waren het Portugese teksten. Na het verdwijnen van het Portugees werd het Maleis de taal en bediende men zich van de pantun, een vierregelig gedicht waarvan de onderstroom onmiskenbaar erotisch is. Soms wisselde men het Maleis af met enige regels Nederlands zoals in het bekende ‘Rambut hitam, mata galak’ (‘Zwarte haren, vurige ogen’):
Wat brandt daar op de bergen?
Tukang kaju njang bakar kaju
(de houthakker die het hout verbrandt)
Waarom zou ik mijn liefde verbergen?
Orang semua sudah tahu.
(iedereen weet het al)
http://www.dbnl.org/tekst/nieu018oost02_01/nieu018oost02_01_0045.htm
-->


=== Periode 1600-1799: Di bawah VOC ===
=== Periode 1600-1799: Di bawah VOC ===

Revisi per 28 Desember 2008 01.58

Eropa-Indonesia
Berkas:Dewi Sandra.jpg
Dewi Sandra adalah keturunan Inggris-Indonesia
Daerah dengan populasi signifikan
Belanda, Indonesia, Amerika Serikat, Australia, Selandia Baru, Inggris Raya, Kanada
Bahasa
Belanda, Indonesia, Pecok, Inggris
Agama
Kristen, Islam, dll.
Kelompok etnik terkait
Belanda; suku-suku di Indonesia, terutama Maluku, Jawa, dan Minahasa; Jerman

Orang Eropa-Indonesia adalah penduduk Indonesia berasal dari Eropa dan keturunannya.[1] Pengertian longgar ini mencakup orang Eropa yang datang dan menetap cukup lama di tanah Indonesia, yang lahir di Indonesia, atau keturunan campuran orang Eropa (kelompok Europeanen) dengan kelompok lain di Indonesia.[2] Kelompok yang terakhir dikenal sebagai orang Indo, terutama pada masa sebelum 1980-an.

Warga Eropa-Indonesia sekarang banyak dijumpai di Belanda (terbanyak), Indonesia, Amerika Serikat, Australia, Selandia Baru, Kanada, serta beberapa negara dengan sistem terbuka lain. Di Belanda, orang Indo sekarang dianggap sebagai kelompok minoritas terbesar (total sekitar 500.000 orang). Mereka dikenal dengan beberapa istilah, seperti Indo, Indisch Nederlander, atau Indisch saja. Secara budaya mereka berhubungan dekat dengan kelompok etnik Maluku di Belanda. Di Amerika mereka dikenal sebagai Dutch Indonesian atau Indonesian Dutch dan kebanyakan bermukim di California. Di Indonesia sendiri jumlah mereka sangat sedikit dan kebanyakan terintegrasi dengan berbagai kelompok lain. Tidak ada istilah khusus bagi kelompok ini meskipun "orang Indo" masih dipakai untuk menamakan mereka. Istilah "orang Indo" di Indonesia kontemporer mengalami pergeseran arti dan dipakai secara ambigu. Sebutan ini juga digunakan untuk menyebut semua orang Indonesia — sebagai kependekan dari "orang Indonesia" — sekaligus juga untuk menyebut peranakan campuran orang Indonesia dengan bangsa lain, tanpa melihat latar belakang asal-usul non-Indonesianya, yang tidak harus Eropa.

Pengelompokan warga Eropa-Indonesia memiliki matra hubungan kekerabatan (bahkan rasial), budaya, dan hukum, sehingga sejarah pembentukannya perlu diperhatikan.

Sejarah

Periode 1500-1600: Era Portugis dan Spanyol

Tiga orang Indo bersiap-siap ke pesta dansa (1922)

Penjelajah dari Eropa mulai ramai datang ke Nusantara pada awal abad ke-16, sebagai akibat dari Abad Penjelajahan (Age of Exploration) yang melanda Eropa. Banyak di antara mereka yang tertarik untuk atau terpaksa menetap. Mereka adalah adalah orang Portugis dan Spanyol beserta budak-budak mereka dari India, Sri Lanka, Malaka, atau Nusantara bagian timur. Banyak dari mereka datang karena bisnis dan perdagangan, namun ada pula yang menetap karena tugas keagamaan (misi). Cukup banyak yang akhirnya menikah, atau bahkan memiliki anak tanpa ikatan pernikahan, dengan penduduk setempat, mengingat pendatang dari Eropa kebanyakan lelaki. Di Malaya, keturunan mereka disebut sebagai Melayu Eropa. Di Indonesia, sisa-sisa dari masyarakat campuran ini dapat ditemukan di Kampung Tugu, Cilincing, Jakarta Utara serta Kampung Lamno Jaya, Aceh Barat.[3] Masyarakat yang terakhir ini sekarang nyaris punah akibat bencana Tsunami Aceh 2004[4]

Walaupun periode relatif ini singkat, terdapat banyak warisan budaya masyarakat ini yang masih dapat dilihat hingga sekarang. Cara bergaul orang Portugis yang relatif terbuka dan tidak rasis membuat budayanya banyak terserap secara mudah. Berbagai tanaman asal Amerika tropis, beberapa jenis kue (terutama bolu), sejumlah produk rumah tangga umum, serta berbagai permainan dan hiburan dari Eropa mulai dikenal masyarakat Nusantara melalui pendatang ini dan keturunannya. Laporan Belanda pada abad ke-19 bahkan menyatakan bahwa bahasa Portugis bahkan masih dipakai oleh orang-orang keturunan campuran Eropa (mestizo) di Batavia. Musik keroncong adalah bentuk musik dari masyarakat campuran warisan masa ini.


Periode 1600-1799: Di bawah VOC

Penulis sejarah Belanda, Vlekke, banyak menggambarkan peri kehidupan masyarakat Eropa-Indonesia pada abad ke-17 hingga ke-18.[5] Pada masa itu, orang berdarah Eropa terpusat di Batavia dengan jumlah tidak mencapai 10.000 orang, namun berkuasa. Kehidupan mereka sulit, terlihat dari banyaknya yang meninggal beberapa bulan setelah tinggal di Batavia. Praktis semua beragama Kristen. Bahasa yang mereka pakai adalah campuran Belanda, Portugis, dan Melayu (Pasar).

Mereka dapat dipisahkan dalam dua kelompok: trekkers dan blijvers. Trekkers (atau masa kini disebut ekspatriat) adalah orang Eropa yang segera berkeinginan kembali ke Eropa setelah tugasnya selesai dan blijvers adalah mereka yang mampu beradaptasi, lalu menetap di Hindia Belanda. Blijvers ini banyak yang beristri orang setempat (dijuluki Nyai, seperti dalam legenda Nyai Dasima) atau orang Tionghoa. Kedua kelompok ini juga berbeda orientasinya. Para trekkers cenderung mempertahankan nilai-nilai Eropa (barat) sehingga selalu eksklusif dan elitis, sementara para blijvers cenderung meleburkan diri ke dalam nilai-nilai lokal, meskipun mereka tetap merupakan representasi kultur Eropa. Namun demikian, orang Belanda secara keseluruhan pada umumnya lebih banyak terserap dalam nilai-nilai setempat daripada sebaliknya.[6]

Mereka inilah yang menjadi inti masyarakat kelas menengah berciri kosmopolitan di Batavia pada masa itu. Orang-orang ini takut mandi, suka minum-minum (arak Batavia terkenal terbaik di seluruh Asia), dan suka bertaman. Contoh dari orang Eropa-Indonesia adalah Pieter Elberfeld (Erberfeld, menurut Vlekke[5]), seorang keturunan Jerman-Siam yang (dituduh) memimpin kerusuhan pada 1721, dan C. Suythoff, yang adalah menantu pelukis ternama Belanda, Rembrandt.

Pengaruh VOC sebenarnya hanya kuat di Batavia, sebagian Jawa, serta di Maluku. Di wilayah-wilayah ini mulai muncul perbedaan kelas sosial berdasarkan warna kulit, meskipun belum dilembagakan secara hukum. Masyarakat Eropa dan keturunannya menempati kawasan terpisah dari kelompok lainnya. Di dalam masyarakat ini juga mulai terjadi segregasi. Kaum trekkers serta blijvers yang tidak memiliki darah campuran (disebut "Belanda totok") menganggap dirinya lebih "tinggi" daripada mereka yang memiliki darah campuran. Kaum campuran ini biasanya dipekerjakan di kantor-kantor dagang untuk membantu tugas-tugas pencatatan atau lapangan. Pendidikan mereka kurang diperhatikan dan banyak bergaul dengan para budak. Sebagai akibatnya, mereka banyak menyerap budaya lokal dan kurang memiliki kemampuan berbahasa Belanda yang memadai. Di masa ini pula sejumlah budak lokal yang dibebaskan dan kemudian memeluk agama Kristen lambat-laun ikut terserap dalam masyarakat Eropa-Indonesia.

Periode 1800-1942: Hindia-Belanda

Perubahan besar yang terjadi di Eropa pada awal abad ke-19 (perang Napoleon) dan diberlakukannya Cultuurstelsel oleh Gubernur Jenderal van den Bosch membuat orang Eropa-Indonesia mulai menyebar ke berbagai tempat di Nusantara, terutama di Jawa dan sebagian Sumatera, terutama sebagai untuk mengurus perkebunan-perkebunan. Banyak pendatang, sebagian besar berasal dari Belanda ditambah beberapa orang Jerman dan Inggris. Untuk pengaturan ketertiban hukum, pemisahan ke dalam tiga kelompok, Europeanen, Vreemde Oosterlingen (Timur Asing), dan Inlanders (pribumi) diberlakukan semenjak 1854 (Undang-undang Administrasi Hindia) yang mempertegas pemisahan orang Eropa-Indonesia dari komponen masyarakat Indonesia lainnya. Undang-undang ini mempertegas pula segregasi di dalam kalangan Europeanen, dan secara tidak langsung merugikan kalangan campuran. Orang keturunan campuran (pada masa inilah istilah "Indo", kependekan dari Indo-Europeanen, mulai dipakai) seringkali dianggap lebih rendah oleh orang Eropa meskipun mereka dapat memiliki hak, privilese, dan kewajiban yang sama apabila ayahnya 'mengakui'nya sebagai orang Eropa.[7] Sesuai aturan yang berlaku masa itu pula, Europeanen tidak dapat memiliki lahan secara pribadi, tetapi dapat menyewa dari orang pribumi. Di sisi lain, kaum Indo dibayar per jamnya lebih rendah daripada orang totok dan trekkers karena memiliki latar belakang pendidikan yang lebih rendah. Hal ini memunculkan ketidakpuasan di kalangan Indo.

Gerakan liberalisme membuat banyak orang Eropa-Indonesia mulai berasosiasi menurut ideologi, dan ini pada abad ke-20 membangkitkan gerakan nasionalisme di Hindia Belanda. Secara politis, orang Eropa-Indonesia pada awal abad ke-20 terpecah menjadi dua kelompok: mereka yang tetap ingin mempertahankan hubungan penuh dengan Belanda (kolonial) dan mereka yang memiliki aspirasi otonomi. Sejumlah orang Eropa-Indonesia jelas-jelas mendukung Boedi Oetomo, organisasi pergerakan bercorak nasionalis pertama. Orang-orang Indo dan Eropa-Indonesia non-Indo pun mulai terkonsolidasi. Pada tahun 1912 dibentuk Indische Partij oleh E.F.E. Douwes Dekker dengan dukungan banyak orang Eropa-Indonesia dengan tujuan kemerdekaan penuh bagi Hindia Belanda. Namun dibungkam setahun kemudian karena radikalismenya. Situasi "tegang" ini terus berlanjut hingga 1942, ketika Jepang menduduki Hindia Belanda.

Sebagai subkultur, golongan Eropa-Indonesia pada masa-masa ini memiliki kekhasan tersendiri. Mereka dikenal suka berpesta, berpakaian bagus, beragama Kristen atau ateis, serta menyukai seni. Dari masyarakat ini juga lahir sejumlah menu masakan campuran Eropa-Indonesia. "Rijsttafel", suatu seri cara penyajian masakan hibrida Eropa dan Indonesia, juga muncul di kalangan mereka. Julukan yang berkesan merendahkan, seperti "sinyo" atau "noni" diberikan kepada anak-anak mereka.

Pada tahun 1930 diketahui terdapat 246.000 orang Eropa-Indonesia (Europeanen), termasuk Indo. Jumlah ini mencakup sekitar 0,4% dari total 60,7 juta penduduk Hindia Belanda. Dari jumlah itu, 87% berkewarganegaraan Belanda. Seperempat dari warganegara Belanda ini lahir di Belanda.[8]

Perang Dunia Kedua (1939-1945)

Sejak masa ini mulai terjadi emigrasi besar-besaran orang Eropa-Indonesia ke luar Indonesia.

Pada Perang Dunia Kedua, orang Indo mengalami masa yang suram, baik yang tinggal di Eropa maupun Asia. Di Eropa, Jerman Nazi menduduki banyak negara dan memusuhi mereka yang bukan "Arya" asli (Eropa asli]). Di Asia, pada perang Pasifik, tentara Jepang memperlakukan penduduk jajahannya dengan kejam, apalagi terhadap orang-orang dari Eropa (termasuk Indo). Banyak di antara mereka yang dapat melarikan diri, pergi ke negara-negara seperti Amerika Serikat, Inggris (salah satu negara Eropa yang tidak diduduki tentara Nazi), Australia (mengabaikan kebijakan ras- White Australia Policy), Selandia Baru dan Kanada karena mereka dapat diterima sebagai pelarian perang.

Situasi sangat sulit dialami oleh mereka yang terkait dengan Jerman. Di periode awal (1939-1942) mereka ditangkapi oleh pemerintah Hindia Belanda dan diusir. Walter Spies, seorang seniman terkenal, menjadi korban pada masa ini. Situasi agak membaik tetapi tetap buruk ketika Jepang masuk. Mereka dibebaskan (karena yang ditangkapi kemudian adalah orang-orang dari negara Sekutu, seperti Belanda, Inggris atau Perancis) namun menjadi sasaran salah tangkap karena penampilan yang sama. Akibatnya banyak yang memilih keluar dari Hindia Belanda.

Pasca Kemerdekaan Indonesia (1945-1965)

Perlawanan Indonesia terhadap Belanda yang datang kembali ke Indonesia menimbulkan perasaan dendam di kalangan pribumi Indonesia. Mereka mencurigai siapa saja yang menyerupai orang Eropa (semua orang kulit putih dianggap orang Belanda) di Indonesia. Orang Indo merasa takut dan banyak yang melarikan diri ke koloni jajahan Inggris - Malaysia dan Singapura. Walau bagaimanapun, lebih banyak yang pergi ke Amerika Serikat, Inggris, Kanada, Belanda, Belgia, Jerman, dan Australia untuk kehidupan baru mereka dengan lebih banyak peluang pekerjaan dan pelajaran yang lebih baik. Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia pada tahun 1949.

Antara tahun 1945 dan 1965 diperkirakan terdapat 300.000 orang Belanda, Indo, ataupun orang Indonesia yang memilih pergi/kembali ke Belanda. Migrasi ini dikenal sebagai repatriasi dan terjadi secara bergelombang. Banyak di antara mereka belum pernah ke Belanda sama sekali.

Paling tidak terjadi migrasi dalam lima tahap:

  • Tahap pertama, 1945-1950: setelah penyerahan Jepang, sekitar 100.000 orang tawanan dibebaskan Jepang dan dipulangkan ke Belanda, meskipun sejumlah orang memilih bertahan di Indonesia dan mengalami masa sulit selama Perang Kemerdekaan.
  • Tahap kedua, 1950-1957: Setelah pengakuan kedaulatan Republik Indonesia, sejumlah tentara dan pegawai pemerintahan Belanda dipulangkan, setelah diminta memilih. Di antara mereka banyak orang-orang bekas KNIL: 4000 orang Maluku dan juga tentara Belanda asal Afrika. Jumlah total tidak diketahui. Proses ini menyulut terjadinya Pemberontakan Republik Maluku Selatan
  • Tahap ketiga, 1957-1958: Setelah "Nieuw-Guinea-kwestie", sekitar 20.000 orang dipulangkan dari Papua ke Belanda.
  • Tahap keempat, 1962: setelah Belanda diharuskan meninggalkan Papua dan Papua diserahkan kepada UNTEA, sekitar 14.000 personal Belanda dipulangkan. Pada masa UNTEA pula terjadi emigrasi sekitar 500 orang Papua ke Belanda.
  • Tahap kelima, 1957-1964: Setelah Indonesia memberlakukan undang-undang kewarganegaraan (UU 62/1958), yang memaksa orang-orang Eropa-Indonesia harus memilih kewarganegaraan. Jika ingin menetap mereka harus melalui proses naturalisasi dan jika ingin tetap sebagai orang Belanda (Europeens) mereka harus meninggalkan Indonesia. Pada masa ini juga banyak terjadi emigrasi dari orang-orang keturunan asing yang tidak ingin menjadi warga negara Indonesia.

Aspek rasial dan budaya Eropa-Indonesia

Kaum Eropa-Indonesia memiliki aspek percampuran ras dan budaya sekaligus yang membuat kelompok ini sukar didefinisikan bila ditarik rentang perkembangan sejarah dan budayanya.

Aspek rasial

Secara rasial mereka adalah ras Kaukasoid dari Eropa asli (totok), atau yang bercampur dengan ras Kaukasoid lain (Arab atau Yahudi) atau dengan ras Mongoloid (Tionghoa dan penduduk asli), dengan berbagai kadar. Lebih jauh lagi, aturan kewarganegaraan pada masa kolonial juga memungkinkan orang dari kelompok bukan Europeanen ("orang Eropa") untuk masuk dalam kelompok ini. Kerumitan ini membentuk suatu rentang fenotipe (penampilan luar) yang luas. Secara rasial mereka adalah hasil melting pot. Menurut kajian pencatat statistik Belanda jumlah orang Indo, mereka yang memiliki darah campuran, adalah sekitar 75% dari keseluruhan Europeaner pada tahun 1930.

Aspek budaya

Secara etnis mereka adalah representasi budaya Barat di Indonesia, meskipun pada masa kini identifikasi ini tidaklah sejelas pada masa penjajahan Belanda. Hal ini berbeda dengan Tionghoa-Indonesia atau keturunan asing lainnya. Budaya Indonesia modern yang banyak menyerap aspek kebudayaan Barat menjadikan mereka secara kultural bukanlah suatu kesatuan etnis yang khas. Hal ini tidak hanya terjadi di Indonesia. Kalangan generasi terkini kaum Indo (sebagai representasi kelompok ini) di Belanda ataupun negara lain juga mengalami hal yang sama. Krancher memberikan tujuh hal yang menjadi penyebab hal ini[9] yang terutama berkait dengan aspek demografi, sejarah, dan budaya. Generasi terkini boleh dikatakan hanya dicirikan oleh aspek penampilan semata, karena secara budaya mereka terserap ke dalam budaya di lingkungan tempat mereka berada.

Peran kelompok Eropa-Indonesia sebagai satuan budaya lebih terlihat di masa penguasaan Belanda di Indonesia serta beberapa tahun setelahnya. Masa paling nyata yang mencatat peran mereka barangkali adalah sejak paruh akhir abad ke-19 hingga berakhirnya Perang Pasifik. Pada periode awal Indonesia, sebagian besar orang Eropa (terutama Belanda) atau Indo terpaksa atau dipaksa meninggalkan Indonesia.

Di masa penjajahan orang Eropa-Indonesia menempati strata tertinggi dalam struktur sosial. Meskipun demikian, mereka ternyata juga tidak homogen. Orang Eropa totok secara sosial dan legal berposisi lebih tinggi daripada mereka yang berketurunan campuran. Walaupun pada beberapa hal mereka berbaur karena orientasi budaya yang sama, dalam banyak hal lainnya (seperti makanan dan kecenderungan estetik) kedua kelompok ini cukup berbeda. Hal ini terlihat nyata ketika terjadi diaspora orang Eropa-Indonesia ke Belanda seusai Perang Dunia Kedua. Orang Belanda banyak yang tidak siap menerima kehadiran orang-orang Indo sehingga sebagian dari mereka beremigrasi ke negara ketiga, seperti AS, Kanada, Australia, atau Selandia Baru.[9]

Garis politik sebagian besar kalangan Eropa-Indonesia masa penjajahan cenderung pada status quo: mereka menghendaki kekuasaan Belanda di Hindia Belanda. Namun demikian, ada sebagian kecil yang menghendaki pemerintahan sendiri. Kelompok terakhir inilah yang menjadi salah satu inti pergerakan kemerdekaan Indonesia. Indische Bond (1899) dan Insulinde dapat dianggap mewakili kelompok yang pro-pemerintahan sendiri (tidak di bawah Belanda). Sementara itu, Indo-Europeesch Verbond (IEV, 1919) dapat dianggap sebagai organisasi kaum Indo yang berorientasi ke Belanda.[10] Partai Hindia (Indische Partij, 1911) dapat dianggap sebagai artikulasi politik paling radikal mereka pada awal abad ke-20, karena organisasi inilah yang pertama kali terang-terangan menyatakan ide pro-independen (pemerintahan sendiri untuk Indiers). Sayang sekali bahwa organisasi ini kurang mendapat banyak dukungan dan berumur pendek karena segera dibungkam pemerintah kolonial.

Orang Eropa-Indonesia saat ini

Semenjak Orde Baru, orang Eropa-Indonesia di Indonesia hanya merupakan bagian sangat kecil dari penduduk Indonesia. Peraturan imigrasi yang ketat praktis tidak memungkinkan masuknya orang Eropa ke Indonesia tanpa melalui naturalisasi yang memakan waktu bertahun-tahun. Secara kultural mereka biasanya terserap ke dalam kultur kosmopolitan Jakarta, atau kultur lokal tempat mereka tinggal. Mereka dapat dikatakan bukan merupakan subkultur yang khas di Indonesia.

Keadaan yang agak berbeda terjadi di Belanda. Badan statistik Belanda, CBS, pada tahun 1990 mencatat 472.600 orang penduduk Belanda memiliki keturunan Indonesia, 187.700 di antaranya lahir di Hindia Belanda/Indonesia. Menurut laporan demografi tahun 2003, pada tahun 2001 tercatat 458.000 orang yang merupakan generasi pertama dan kedua keturunan Hindia Belanda. Di Belanda mereka merupakan kelompok minoritas yang signifikan dan memiliki kekhasan budaya tersendiri. Festival tahunan Pasar Malam Besar merupakan kegiatan besar dari masyarakat Eropa-Indonesia di Belanda. Krancher, seorang keturunan Eropa-Indonesia yang menetap di Indonesia, mencatat secara kritis adanya "kebangkitan kembali" pada generasi ketiga keturunan kaum Indo di Belanda.[11]

Keturunan Eropa-Indonesia juga tersebar di seluruh dunia, baik langsung dari Indonesia atau pun dari Belanda. Banyak di antara mereka tinggal di Amerika Serikat, Kanada atau Inggris, beberapa di antaranya menjadi orang yang cukup terkemuka.

Masa depan

Banyak kalangan memperkirakan bahwa Eropa-Indonesia sebagai etnik dengan ciri-ciri khas tersendiri akan menghilang, bahkan dari kalangan mereka sendiri. Penyebab yang paling jelas adalah karena tidak ada lagi dorongan untuk terjaganya warisan gaya hidup mereka. Kalangan muda pada umumnya cenderung menyerap budaya barat, yang memang sejak awal menjadi orientasi mayoritas orang Indo. Kekhasan kultur Indo, berupa aspek-aspek budaya barat yang mendapat pengaruh kuat budaya Indonesia, hampir tidak ada lagi.[9]

Tokoh-tokoh

Walaupun secara keseluruhan hanya sedikit jumlahnya, cukup banyak tokoh terkemuka nasional dari kalangan Eropa-Indonesia atau tokoh asing yang memiliki keturunan Eropa-Indonesia.

Indonesia

Artikel utama untuk bagian ini: Daftar tokoh Eropa-Indonesia

Belanda

Negara lain

Berikut adalah beberapa tokoh asing selain dari Belanda yang memiliki keturunan Eropa-Indonesia.

Lihat pula

Catatan kaki

  1. ^ Pengertian "Indonesia" di sini mencakup pula Hindia Belanda.
  2. ^ Pembatasan ini dapat mencakup pula "orang keturunan Eropa dan Indonesia tetapi bukan warga negara Indonesia dan atau penduduk Indonesia". Artikel di Wikipedia ini lebih berfokus pada mereka yang (pernah) menjadi penduduk Indonesia.
  3. ^ "Si Mata Biru di Aceh Jaya". Arsip Kompas daring. Edisi 31 Maret 2004. Diakses 4 Desember 2008.
  4. ^ Santoso, A. "Keluarga Aceh Keturunan Portugis di Lamno". Artikel di Radio Nederland daring. Diakses 4 Desember 2008. Salinan.
  5. ^ a b Vlekke BHM 2008. Nusantara: Sejarah Indonesia. KP Gramedia Jakarta. Bab 9. Kesalahan pengutipan: Tanda <ref> tidak sah; nama "Vlekke" didefinisikan berulang dengan isi berbeda
  6. ^ Osborne M 2004. Southeast Asia: An Introductory History. Allen & Unwin Australia. hal 53
  7. ^ van der Veur, PW 2006. The lion and the gadfly. Dutch colonialism and thes spirit of E.F.E. Douwes Dekker. KITLV Press. Leiden. Penulis buku ini pun adalah seorang Indo yang bermukim di Amerika Serikat.
  8. ^ Centraal Bureau voor de Statistiek 2003. Bevolkingstrends. Statistisch kwartaalblad over de demografie van Nederland. Jaargang 51 – 1e kwartaal 2003. Heerlen/Voorburg. Nederland. hal. 58
  9. ^ a b c Krancher J 2003. "Indos: The Last Eurasian Community?" EurasianNations
  10. ^ Wiseman, R. 2000. "Assimilation Out: Europeans, Indo-Europeans and Indonesians seen through Sugar from the 1880s to the 1950s". Paper presented to the ASAA 2000 Conference, University of Melbourne, July 3-5, 2000.
  11. ^ Boot, Brederode and Krancher, 2006. The Rise of a New Generation: The Dutch-Indonesian Cultural Renaissance in the Netherlands. Laman COERT. Worldwide Family History.

Pranala luar