Lompat ke isi

Ca-bau-kan: Perbedaan antara revisi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Konten dihapus Konten ditambahkan
k wikify beberapa kata, sinopsis dalam penyuntingan
lanjutan suntingan, sinopsis detil, dan penambahan bagian peran
Baris 2: Baris 2:
| movie_name = Ca Bau Kan
| movie_name = Ca Bau Kan
| image = Ca Bau Kan.jpg
| image = Ca Bau Kan.jpg
| caption = Cover DVD ''Ca Bau Kan''
| caption = Cover VCD ''Ca Bau Kan''
| director = [[Nia Dinata]]
| director = [[Nia Dinata|Nia di Nata]]
| producer = [[Nia Dinata]]
| producer = [[Nia Dinata|Nia di Nata]]
| eproducer = [[Otis Hahijary]]<br/>[[Datuk Hakim Thantawi]]<br/>
| eproducer = [[Otis Hahijary]]<br/>[[Datuk Hakim Thantawi]]<br/>
| aproducer = [[Afi Shamara]]<br/>[[Sekar Ayu Asmara]]<br/> [[Tino Saroengallo]]
| aproducer = [[Afi Shamara]]<br/>[[Sekar Ayu Asmara]]<br/> [[Tino Saroengallo]]
| writer = '''Novel:'''<br />[[Remy Silado]]<br />'''Skenario:'''<br />[[Nia Dinata]]<br />[[Puguh P.S. Admaja]]<br />
| writer = '''Novel:'''<br />[[Remy Silado]]<br />'''Skenario:'''<br />[[Nia Dinata|Nia di Nata]]<br />[[Puguh P.S. Admaja]]<br />
| starring = [[Ferry Salim]]<br />[[Lola Amaria]]<br />[[Niniek L. Karim]]<br />[[Irgy Ahmad Fahrezy|Irgi A. Fahrenzi]]<br />[[Alex Komang]]<br />[[Robby Tumewu]]<br />[[Tutie Kirana]]<br />[[Henky Solaiman]]<br />[[Alvin Adam]]<br />[[Maria Oentoe]]
| starring = [[Ferry Salim]]<br />[[Lola Amaria]]<br />[[Niniek L. Karim]]<br />[[Irgy Ahmad Fahrezy|Irgi A. Fahrenzi]]<br />[[Alex Komang]]<br />[[Robby Tumewu]]<br />[[Tutie Kirana]]<br />[[Henky Solaiman]]<br />[[Alvin Adam]]<br />[[Maria Oentoe]]
| music = [[Andi Rianto]]
| music = [[Andi Rianto]]
Baris 26: Baris 26:
}}
}}


'''''Ca Bau Kan''''' adalah film [[drama romantis]] tahun [[2002]] dari [[Indonesia]] yang diangkat dari novel ''[[Ca-Bau-Kan:Hanya Sebuah Dosa]]'' karya penulis Indonesia [[Remy Sylado]]. Dengan setting cerita yang mencakup jaman [[Sejarah_Nusantara_(1800-1940)|kolonial Belanda]] pada tahun 1930-an, [[Sejarah_Indonesia_(1942-1945)|pendudukan Jepang]] pada 1940-an, hingga [[Proklamasi_Kemerdekaan_Indonesia|pasca-kemerdekaan]] tahun 1960. Istilah ''Ca Bau Kan'' sendiri adalah [[Bahasa Hokkian]] yang berarti "[[pelacur|wanita penghibur]]" yang dahulu bekerja untuk menyenangkan para pedagang [[Tionghoa]] pada jaman kolonial [[Belanda]] di Indonesia.
'''''Ca Bau Kan''''' adalah film [[drama romantis]] tahun [[2002]] dari [[Indonesia]] yang diangkat dari novel ''[[Ca-Bau-Kan: Hanya Sebuah Dosa]]'' karya penulis Indonesia [[Remy Sylado]]. Dengan setting cerita yang mencakup jaman [[Sejarah_Nusantara_(1800-1940)|kolonial Belanda]] pada tahun 1930-an, [[Sejarah_Indonesia_(1942-1945)|pendudukan Jepang]] pada 1940-an, hingga [[Proklamasi_Kemerdekaan_Indonesia|pasca-kemerdekaan]] tahun 1960. Istilah ''Ca-Bau-Kan'' sendiri adalah [[Bahasa Hokkian]] yang berarti "perempuan", yang saat jaman kolonial diasosiasikan dengan pelacur, gundik, atau perempuan simpanan orang [[Tionghoa]]. Pada jaman kolonial [[Belanda]] di Indonesia, banyak ''Ca-bau-kan'' yang sebelumnya bekerja sebagai [[pelacur|wanita penghibur]] sebelum diperistri oleh orang Tionghoa.


''Ca Bau Kan'' dianggap cukup kontroversial saat pertama kali dirilis, karena beberapa hal. Pertama karena ''Ca Bau Kan'' adalah hasil sinema Indonesia yang dibesut oleh sutradara wanita, yang masih jarang di kalangan sutradara Indonesia saat itu. Kemudian juga karena film ini adalah film Indonesia pertama yang menggunakan judul bahasa asing ([[Hokkian]]) yang tidak akan boleh digunakan pada era [[Orde Baru]]. Dan juga karena film ini adalah film Indonesia pertama yang sarat dengan tema budaya dan bahasa Tionghoa di Indonesia yang kental pada jaman kolonial Belanda. Film ini juga adalah film Indonesia pertama yang diperankan oleh orang berdarah Tionghoa dan menggambarkan peran mereka dalam [[Sejarah Indonesia (1945-1949)|perang kemerdekaan 1945-1949]]. <ref>http://books.google.com.au/books?id=9_PmysZli1cC&pg=PA104&lpg=PA104&dq=ca+bau+kan+meaning&source=bl&ots=-09vhHn6zP&sig=mT3J9Mg4CI0DECdaNAZCUGBnXbI&hl=en&sa=X&oi=book_result&resnum=4&ct=result#PPA100,M1 Ciecko, AT. 2006. ''Contemporary Asian Cinema''. Penerbit Berg. Diakses 2 Februari 2009</ref>
Film ini disutradarai oleh [[Nia Dinata]], and dimainkan antara lain oleh [[Niniek L. Karim]], [[Ferry Salim]] dan [[Lola Amaria]]. Film ini didistribusikan oleh [[Kalyana Shira Film]] dan dirilis [[7 Februari]] [[2002]] di [[Jakarta]], Indonesia. ''Ca Bau Kan'' pertama kali ditayangkan di dunia perfilman internasional dalam ''[[Asia Pacific Film Festival]]'' dan ''[[Palm Springs International Film Festival]]'' tahun [[2003]].

Film ini disutradarai oleh [[Nia Dinata|Nia di Nata]], and dimainkan antara lain oleh [[Niniek L. Karim]], [[Ferry Salim]] dan [[Lola Amaria]]. Film ini didistribusikan oleh [[Kalyana Shira Film]] dan dirilis [[7 Februari]] [[2002]] di [[Jakarta]], Indonesia. ''Ca Bau Kan'' pertama kali ditayangkan di dunia perfilman internasional dalam ''[[Asia Pacific Film Festival]]'' dan ''[[Palm Springs International Film Festival]]'' tahun [[2003]].


== Sinopsis ==
== Sinopsis ==

Giok Lan ([[Niniek L. Karim]]), yang dipungut oleh sebuah keluarga di zaman kolonial, berniat untuk mencari kembali asal usulnya. Pada usia senja, Ia kembali ke Indonesia untuk mencari tahu asal usul dan latar belakang hidupnya. Film kemudian beralih ke masa lalu. Ibu Giok Lan ternyata seorang Ca Bau Kan (perempuan), seorang pribumi bernama Tinung ([[Lola Amaria]]) yang dikawin oleh Tan Peng Liang ([[Ferry Salim]]), seorang Cina Semarang yang “menguasai” pedagangan Jakarta dan terlibat dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia.
Pada awal cerita, saat jaman kolonial Belanda, diceritakan latar belakang seorang wanita [[betawi]] muda bernama Siti Noerhajati yang kerap dipanggil Tinung ([[Lola Amaria]]). Tinung kehilangan suaminya tak lama setelah menikah dan diusir dari keluarga mendiang suaminya saat sedang mengandung. Tragedi tersebut bertambah parah dengan gugurnya kandungan Tinung yang diikuti dengan masuknya Tinung ke dalam dunia [[prostitusi]] ''Ca bau kan'' atas dorongan Bibinya, Saodah ([[Lulu Dewayanti]]). Tinung menjadi seorang ''Ca bau kan'' di daerah [[Kalijodo]], [[Batavia]], dan tak lama kemudian Tinung pun menjadi sangat populer dan terkenal karena kecantikannya. Karena kecantikannya tersebut, Tinung sempat dijadikan wanita simpanan oleh seorang Tionghoa kaya berperangai kasar yang bernama Tan Peng Liang ([[Moeljono]]). Tinung hidup dengan nyaman dan bahkan mengandung anak lagi. Namun kemudian Tinung melarikan diri karena tidak tahan dengan lingkungan rumah Tan Peng Liang yang diwarnai kekerasan.<br/>

Tinung kemudian melanjutkan profesinya sebagai wanita penghibur di Kalijodo, namun tak bertahan lama karena kondisinya yang berbadan dua. Saodah yang juga bekerja sebagai penari [[congkek]] kemudian membawa Tinung dan memperkenalkan Tinung ke dunia tari dan nyanyi congkek di bawah naungan Njoo Tek Hong ([[Chossy Latu]]) seorang musisi Tionghoa. Dalam sebuah festival, dia bertemu dengan Tan Peng Liang ([[Ferry Salim]]), seorang [[pengusaha]] [[tembakau]] tionghoa dari [[Semarang]] yang sangat berbeda dengan Tan Peng Liang sebelumnya, dan mereka berdua saling menyimpan perasaan.<br/>

Cerita berpindah ke Tan Peng Liang kedua yang namanya cepat melejit sebagai pengusaha tambakau sukses dan kaya di Batavia. Konflik persaingan pun mulai timbul antara Tan Peng Liang dengan ''Kong Koan'', sebuah dewan pengusaha besar Tionghoa di Batavia yang beranggotakan antara lain oleh Oey Eng Goan ([[Joseph Ginting]]), Thio Boen Hiap ([[Robby Tumewu]]), Timothy Wu ([[Alvin Adam]]) dan [[pengacara]] Liem Kiem Jang ([[Henky Solaiman]]).<br/>

Tinung akhirnya menjadi seorang penari congkek dan sering menghibur di festival [[gambang kromong]] Betawi. Dia bertemu dengan Tan Peng Liang lagi dan akhirnya menerima tawarannya untuk menjadi wanita simpanan Tan Peng Liang, sementara perseteruan Tan Peng Liang dengan Dewan ''Kong Koan'' semakin memanas. Tinung dan Tan Peng Liang pun memulai jalinan kasih yang dilandasi cinta, walaupun mereka tak menikah secara resmi, karena di balik hubungan mereka, anak dan istri Tan Peng Liang di Semarang menentang keras hubungan berbeda kelas tersebut. Yang mendukung hubungan mereka hanyalah Ibu Tan Peng Liang ([[Maria Oentoe]]), seorang wanita [[Jawa]] yang bijaksana.<br/>

Cerita berpindah ke perseteruan Tan Peng Liang dan Dewan ''Kong Koan'', dimana Tan Peng Liang dan tangan kanannya, Tan Soen Bie ([[Irgy_Ahmad_Fahrezy|Irgy A. Fahrenzi]]) menipu Thio Boen Hiap untuk menjual tembakaunya ke Tan Peng Liang. Cerita kemudian mengungkap bahwa Giok Lan lahir di tengah-tengah perseteruan bisnis Tan Peng Liang dengan Dewan ''Kong Koan''. Tindakan penipuan Tan Peng Liang akhirnya diketahui oleh Thio Boen Hiap yang karena amarahnya akhirnya merencanakan untuk membakar gudang tembakau Tan Peng Liang. Rencana tersebut berhasil dihentikan oleh Tan Soen Bie yang menangkap basah orang suruhan Thio Boen Hiap, namun siapa sangka, karena dibakar amarahnya Tan Peng Liang malah menyuruh Tan Soen Bie untuk membunuh orang suruhan tersebut dan membakar gudang tembakaunya beserta isinya.<br/>

Kasus pembakaran tersebut diselidiki oleh kepolisian [[Hindia Belanda]] dan [[pers]]. Tan Peng Liang pun mulai menyogok mereka dengan uang suapan untuk menjebak Thio Boen Hiap. Tak lama setelah sidang, Thio Boen Hiap pun akhirnya dinyatakan bersalah, namun situasi justru berbalik menyudutkan Tan Peng Liang setelah wartawan Max Awuy ([[Ananda George]]) bersama Tja Wan Sen ([[Billy Glenn]]) mengungkap pemalsuan uang yang dilakukan Tan Peng Liang. Tan Peng Liang pun akhirnya ditangkap dan dipenjara di [[Cipinang,_Pulo_Gadung,_Jakarta_Timur|Cipinang]]. Dalam penjara terungkap bahwa Tan Peng Liang ternyata terlibat perjuangan kemerdekaan bersama Rahardjo Soetardjo ([[Alex Komang]]), sepupunya yang adalah orang [[jawa]] pribumi.<br/>

Cerita berpindah ke masa ini, dimana Giok Lan bertemu dengan Oey Eng Goan tua dan bertanya mengenai riwayat Tan Peng Liang. Oey Eng Goan ternyata masih membenci Tan Peng Liang lama setelah Dia mati. Dia bercerita bahwa tak lama setelah dipenjara, Tan Peng Liang melarikan diri ke [[Makau]], [[Cina]], dan menjadi semakin disegani dalam dunia bisnis, namun juga bercerita bahwa Tinung lah orang yang sebenarnya membuat Tan Peng Liang orang yang disegani.<br/>

Cerita berpindah lagi ke masa lalu, dimana Tinung menolak ajakan banyak pria untuk menjadi wanita simpanan mereka karena cintanya pada Tan Peng Liang. Dilanda kemiskinan, Tinung tidak dapat mengurus anak-anaknya. Dia terpaksa menyerahkan anak pertamanya dan Giok Lan kecil untuk diadopsi dan dibawa ke negeri [[Belanda]] dengan imbalan uang, walau dilanda perasaan bersalah sebagai seorang Ibu. Terungkap bahwa tak lama setelah diadopsi, anak pertamanya, Kakak Giok Lan, telah meninggal di Belanda, namun Tinung tidak mengetahui karena Ia buta huruf dan tak dapat membaca surat tentang kabar tersebut. Cerita kemudian mengungkap bahwa Tinung diculik oleh orang suruhan Tan Peng Liang pertama yang ternyata masih menyimpan perasaan kepada Tinung. Namun kisah penculikan tersebut tidak bertahan lama karena campur tangan Tan Soen Bie yang diakhiri dengan tewasnya Tan Peng Liang pertama di tangan Tja Wan Sen yang dendam kepada Tan Peng Liang pertama. Kematian Tan Peng Liang pertama tersebut menjadi keuntungan bagi Tan Peng Liang yang dapat memalsukan kematiannya sendiri.<br/>

Cerita berpindah ke kedatangan pasukan Jepang tahun [[1942]], dimana anggota Dewan ''Kong Koan'' akhirnya ditangkap dan Rahardjo Soetardjo dan Max Awuy menjadi rekan seperjuangan bawah tanah dalam pasukan Jepang. Di negeri [[Siam]], Tan Peng Liang telah mengganti namanya menjadi Simon Chen. Dia memulai hubungan asmara disertai bisnis menyelundupkan senjata dengan seorang pejuang bawah tanah [[komunis]] merangkap pengusaha bernama Jeng Tut ([[Tutie Kirana]]). Cerita kemudian berpindah ke masa ini, dimana Oey Eng Goan tua bercerita bahwa untuk menghindar dari tangkapan Jepang, Thio Boen Hiap menghadiahkan Tinung yang cantik ke tentara Jepang sebagai seorang ''[[jugun ianfu]]'' di [[Rumah Panjang]], [[Sukabumi]]. Di masa lalu, hilangnya Tinung memancing kemarahan Tan Soen Bie yang kemudian mengabarkan berita tersebut ke Tan Peng Liang.<br/>

Tan Peng Liang pulang dan berlabuh di [[Sunda Kelapa]], Batavia, lalu bertemu dengan Rahardjo Soetardjo. Tan Peng Liang marah besar saat Rahardjo Soetardjo mengabarkan nasib Tinung dan perbuatan Thio Boen Hiap kepadanya. Dia kemudian berjanji akan membantu perjuangan pasukan Rahardjo Soetardjo asalkan dibantu untuk mendapatkan Tinung kembali. Tinung pun akhirnya dibebaskan keluar dari Rumah Panjang oleh Rahardjo Soetardjo. Dalam penantiannya di sebuah [[Rumah Sakit]], Tinung menjadi hancur dilanda oleh perasaan bersalah dari peristiwa-peristiwa hidupnya selama itu, namun akhirnya pertemuan dengan Tan Peng Liang merubah hidupnya kembali ke normal. Cerita kemudian berpindah ke peran Tang Peng Liang dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. Tan Peng Liang akhirnya bergabung dengan Rahardjo Soetardjo dan Max Awuy sebagai pemasok senjata dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. Perannya tersebut ditentang oleh Dewan ''Kong Koan'' yang mengetahui bahwa Tan Peng Liang masih hidup, dan hubungannya dengan Jeng Tut yang mulai sulit karena pandangan ideologi mereka yang berbeda.<br/>

Di sisi lain, hubungan Tang Peng Liang dengan Tinung juga semakin renggang. Tinung merasa bahwa Ia tidak berguna untuk Tan Peng Liang karena tidak bisa mengandung anak lagi. Hal tersebut akhirnya memicu Tan Peng Liang untuk melampiaskan dendam lamanya kepada Thio Boen Hiap yang menyerahkan Tinung kepada pasukan Jepang sebelum kemerdekaan. Tan Peng Liang pun akhirnya menyerbu rumah Thio Boen Hiap dan dalam kemarahannya akhirnya mengeksekusi Thio Boen Hiap dengan tembakan ke kepala. Cerita berpindah ke Batavia yang sekarang bernama [[Jakarta]] pada tahun [[1960]], dimana Tan Peng Liang menjadi seorang pengusaha yang sangat kaya dan sukses, dibantu oleh teman seperjuangannya, Rahardjo Soetardjo dan Max Awuy yang kini mendapat posisi penting di pemerintahan Indonesia. Di sini Tan Peng Liang kembali menyatakan cintanya yang tulus kepada Tinung yang sekarang telah menjadi Istri sahnya. Namun dibalik layar, anggota Dewan ''Kong Koan'' yang telah bubar masih menyimpan dendam pada Tan Peng Liang, karena mereka tahu siapa yang membunuh Thio Boen Hiap.<br/>

Hidup Tan Peng Liang akhirnya berakhir tak lama kemudian. Dia meninggal setelah memakan [[durian]] beracun yang dibawakan oleh Jeng Tut dalam sebuah pertemuan bisnis di rumahnya. Tak lama setelah meninggalnya Tan Peng Liang, Tinung pun akhirnya menyusul karena dilanda kesedihan yang mendalam. Tak ada yang mencurigai bahwa Tan Peng Liang sebenarnya mati dibunuh, namun akhirnya Oey Eng Goan tua bercerita bahwa Dia lah yang sebenarnya merencanakan pembunuhan tersebut. Giok Lan sangat marah setelah mengetahui perbuatan tersebut, namun akhirnya memutuskan untuk memaafkan Oey Eng Goan dan melupakan kejadian tersebut, walau ditentang oleh saudaranya.<br/>

Film diakhiri dengan kedatangan Giok Lan ke sebuah kuburan Tionghoa, untuk berziarah ke makam kedua orang tuanya, Tan Peng Liang dan Siti Noerhajati yang diakhiri dengan pembelaan dan pembenarannya atas istilah ''Ca bau kan''.




== Pemeran ==
== Pemeran ==
* [[Ferry Salim]] sebagai Tan Peng Liang
* [[Ferry Salim]] sebagai Tan Peng Liang dari [[Semarang]]
* [[Lola Amaria]] sebagai Tinung
* [[Lola Amaria]] sebagai Tinung / Siti Noerhajati
* [[Niniek L. Karim]] sebagai Giok Lan
* [[Niniek L. Karim]] sebagai Giok Lan / [[Narator]]
* [[Robby Tumewu]] sebagai Thio Boen Hiap
* [[Robby Tumewu]] sebagai Thio Boen Hiap, anggota Dewan ''Kong Koan''
* [[Joseph Ginting]] sebagai Oey Eng Goan
* [[Joseph Ginting]] sebagai Oey Eng Goan, anggota Dewan ''Kong Koan''
* [[Henky Solaiman]] sebagai Liem Kiem Jang
* [[Henky Solaiman]] sebagai Liem Kiem Jang, anggota Dewan ''Kong Koan''
* [[Alex Komang]] sebagai Rahardjo Soetardjo
* [[Alex Komang]] sebagai Rahardjo Soetardjo, pejuang kemerdekaan
* [[Tutie Kirana]] sebagai Jeng Tut
* [[Tutie Kirana]] sebagai Jeng Tut, penyelundup senjata dan seorang komunis
* [[Irgi A. Fahrenzi]] sebagai Tan soen Bie
* [[Irgy_Ahmad_Fahrezy|Irgy A. Fahrenzi]] sebagai Tan Soen Bie, tangan kanan Tan Peng Liang
* [[Alvin Adam]] sebagai Timothy Wu
* [[Moeljono]] sebagai Tan Peng Liang Tamim
* [[Moelyono]] sebagai Tan Peng Liang Tamim
* [[Lulu Dewayanti]] sebagai Saodah, Bibi dari Tinung
* [[Lulu Dewayanti]] sebagai Saodah
* [[Maria Oentoe]] sebagai Ibu Tan Peng Liang
* [[Maria Oentoe]] sebagai Ibu Tan Peng Liang
* [[Chossy Latu]] sebagai Njoo Tek Hong
* [[Chossy Latu]] sebagai Njoo Tek Hong, musisi Tionghoa
* [[Ananda George]] sebagai Max Awuy
* [[Ananda George]] sebagai Max Awuy , [[wartawan]] Betawi Baroe
* [[Yongki Komaladi]] sebagai Kwee Tjwie Sien
* [[Yongki Komaladi]] sebagai Kwee Tjwie Sien, anggota Dewan ''Kong Koan''
* [[Billy Glenn]] sebagai Tja Wan Sen
* [[Billy Glenn]] sebagai Tja Wan Sen


== Soundtrack ==
== Soundtrack ==
Baris 63: Baris 89:
== Pranala Luar ==
== Pranala Luar ==
* {{imdb title|id=0312101|name=Ca-bau-kan}}
* {{imdb title|id=0312101|name=Ca-bau-kan}}

== Referensi ==
{{Reflist}}


{{wikiquote|Ca Bau Kan|lang=id}}
{{wikiquote|Ca Bau Kan|lang=id}}

Revisi per 3 Februari 2009 07.03

Ca Bau Kan
Cover VCD Ca Bau Kan
SutradaraNia di Nata
ProduserNia di Nata
Ditulis olehNovel:
Remy Silado
Skenario:
Nia di Nata
Puguh P.S. Admaja
PemeranFerry Salim
Lola Amaria
Niniek L. Karim
Irgi A. Fahrenzi
Alex Komang
Robby Tumewu
Tutie Kirana
Henky Solaiman
Alvin Adam
Maria Oentoe
Penata musikAndi Rianto
SinematograferGerman G. Mintapradja
PenyuntingSastha Sunu
DistributorKalyana Shira Film
Tanggal rilis
Durasi120 menit
NegaraIndonesia

Ca Bau Kan adalah film drama romantis tahun 2002 dari Indonesia yang diangkat dari novel Ca-Bau-Kan: Hanya Sebuah Dosa karya penulis Indonesia Remy Sylado. Dengan setting cerita yang mencakup jaman kolonial Belanda pada tahun 1930-an, pendudukan Jepang pada 1940-an, hingga pasca-kemerdekaan tahun 1960. Istilah Ca-Bau-Kan sendiri adalah Bahasa Hokkian yang berarti "perempuan", yang saat jaman kolonial diasosiasikan dengan pelacur, gundik, atau perempuan simpanan orang Tionghoa. Pada jaman kolonial Belanda di Indonesia, banyak Ca-bau-kan yang sebelumnya bekerja sebagai wanita penghibur sebelum diperistri oleh orang Tionghoa.

Ca Bau Kan dianggap cukup kontroversial saat pertama kali dirilis, karena beberapa hal. Pertama karena Ca Bau Kan adalah hasil sinema Indonesia yang dibesut oleh sutradara wanita, yang masih jarang di kalangan sutradara Indonesia saat itu. Kemudian juga karena film ini adalah film Indonesia pertama yang menggunakan judul bahasa asing (Hokkian) yang tidak akan boleh digunakan pada era Orde Baru. Dan juga karena film ini adalah film Indonesia pertama yang sarat dengan tema budaya dan bahasa Tionghoa di Indonesia yang kental pada jaman kolonial Belanda. Film ini juga adalah film Indonesia pertama yang diperankan oleh orang berdarah Tionghoa dan menggambarkan peran mereka dalam perang kemerdekaan 1945-1949. [1]

Film ini disutradarai oleh Nia di Nata, and dimainkan antara lain oleh Niniek L. Karim, Ferry Salim dan Lola Amaria. Film ini didistribusikan oleh Kalyana Shira Film dan dirilis 7 Februari 2002 di Jakarta, Indonesia. Ca Bau Kan pertama kali ditayangkan di dunia perfilman internasional dalam Asia Pacific Film Festival dan Palm Springs International Film Festival tahun 2003.

Sinopsis

Pada awal cerita, saat jaman kolonial Belanda, diceritakan latar belakang seorang wanita betawi muda bernama Siti Noerhajati yang kerap dipanggil Tinung (Lola Amaria). Tinung kehilangan suaminya tak lama setelah menikah dan diusir dari keluarga mendiang suaminya saat sedang mengandung. Tragedi tersebut bertambah parah dengan gugurnya kandungan Tinung yang diikuti dengan masuknya Tinung ke dalam dunia prostitusi Ca bau kan atas dorongan Bibinya, Saodah (Lulu Dewayanti). Tinung menjadi seorang Ca bau kan di daerah Kalijodo, Batavia, dan tak lama kemudian Tinung pun menjadi sangat populer dan terkenal karena kecantikannya. Karena kecantikannya tersebut, Tinung sempat dijadikan wanita simpanan oleh seorang Tionghoa kaya berperangai kasar yang bernama Tan Peng Liang (Moeljono). Tinung hidup dengan nyaman dan bahkan mengandung anak lagi. Namun kemudian Tinung melarikan diri karena tidak tahan dengan lingkungan rumah Tan Peng Liang yang diwarnai kekerasan.

Tinung kemudian melanjutkan profesinya sebagai wanita penghibur di Kalijodo, namun tak bertahan lama karena kondisinya yang berbadan dua. Saodah yang juga bekerja sebagai penari congkek kemudian membawa Tinung dan memperkenalkan Tinung ke dunia tari dan nyanyi congkek di bawah naungan Njoo Tek Hong (Chossy Latu) seorang musisi Tionghoa. Dalam sebuah festival, dia bertemu dengan Tan Peng Liang (Ferry Salim), seorang pengusaha tembakau tionghoa dari Semarang yang sangat berbeda dengan Tan Peng Liang sebelumnya, dan mereka berdua saling menyimpan perasaan.

Cerita berpindah ke Tan Peng Liang kedua yang namanya cepat melejit sebagai pengusaha tambakau sukses dan kaya di Batavia. Konflik persaingan pun mulai timbul antara Tan Peng Liang dengan Kong Koan, sebuah dewan pengusaha besar Tionghoa di Batavia yang beranggotakan antara lain oleh Oey Eng Goan (Joseph Ginting), Thio Boen Hiap (Robby Tumewu), Timothy Wu (Alvin Adam) dan pengacara Liem Kiem Jang (Henky Solaiman).

Tinung akhirnya menjadi seorang penari congkek dan sering menghibur di festival gambang kromong Betawi. Dia bertemu dengan Tan Peng Liang lagi dan akhirnya menerima tawarannya untuk menjadi wanita simpanan Tan Peng Liang, sementara perseteruan Tan Peng Liang dengan Dewan Kong Koan semakin memanas. Tinung dan Tan Peng Liang pun memulai jalinan kasih yang dilandasi cinta, walaupun mereka tak menikah secara resmi, karena di balik hubungan mereka, anak dan istri Tan Peng Liang di Semarang menentang keras hubungan berbeda kelas tersebut. Yang mendukung hubungan mereka hanyalah Ibu Tan Peng Liang (Maria Oentoe), seorang wanita Jawa yang bijaksana.

Cerita berpindah ke perseteruan Tan Peng Liang dan Dewan Kong Koan, dimana Tan Peng Liang dan tangan kanannya, Tan Soen Bie (Irgy A. Fahrenzi) menipu Thio Boen Hiap untuk menjual tembakaunya ke Tan Peng Liang. Cerita kemudian mengungkap bahwa Giok Lan lahir di tengah-tengah perseteruan bisnis Tan Peng Liang dengan Dewan Kong Koan. Tindakan penipuan Tan Peng Liang akhirnya diketahui oleh Thio Boen Hiap yang karena amarahnya akhirnya merencanakan untuk membakar gudang tembakau Tan Peng Liang. Rencana tersebut berhasil dihentikan oleh Tan Soen Bie yang menangkap basah orang suruhan Thio Boen Hiap, namun siapa sangka, karena dibakar amarahnya Tan Peng Liang malah menyuruh Tan Soen Bie untuk membunuh orang suruhan tersebut dan membakar gudang tembakaunya beserta isinya.

Kasus pembakaran tersebut diselidiki oleh kepolisian Hindia Belanda dan pers. Tan Peng Liang pun mulai menyogok mereka dengan uang suapan untuk menjebak Thio Boen Hiap. Tak lama setelah sidang, Thio Boen Hiap pun akhirnya dinyatakan bersalah, namun situasi justru berbalik menyudutkan Tan Peng Liang setelah wartawan Max Awuy (Ananda George) bersama Tja Wan Sen (Billy Glenn) mengungkap pemalsuan uang yang dilakukan Tan Peng Liang. Tan Peng Liang pun akhirnya ditangkap dan dipenjara di Cipinang. Dalam penjara terungkap bahwa Tan Peng Liang ternyata terlibat perjuangan kemerdekaan bersama Rahardjo Soetardjo (Alex Komang), sepupunya yang adalah orang jawa pribumi.

Cerita berpindah ke masa ini, dimana Giok Lan bertemu dengan Oey Eng Goan tua dan bertanya mengenai riwayat Tan Peng Liang. Oey Eng Goan ternyata masih membenci Tan Peng Liang lama setelah Dia mati. Dia bercerita bahwa tak lama setelah dipenjara, Tan Peng Liang melarikan diri ke Makau, Cina, dan menjadi semakin disegani dalam dunia bisnis, namun juga bercerita bahwa Tinung lah orang yang sebenarnya membuat Tan Peng Liang orang yang disegani.

Cerita berpindah lagi ke masa lalu, dimana Tinung menolak ajakan banyak pria untuk menjadi wanita simpanan mereka karena cintanya pada Tan Peng Liang. Dilanda kemiskinan, Tinung tidak dapat mengurus anak-anaknya. Dia terpaksa menyerahkan anak pertamanya dan Giok Lan kecil untuk diadopsi dan dibawa ke negeri Belanda dengan imbalan uang, walau dilanda perasaan bersalah sebagai seorang Ibu. Terungkap bahwa tak lama setelah diadopsi, anak pertamanya, Kakak Giok Lan, telah meninggal di Belanda, namun Tinung tidak mengetahui karena Ia buta huruf dan tak dapat membaca surat tentang kabar tersebut. Cerita kemudian mengungkap bahwa Tinung diculik oleh orang suruhan Tan Peng Liang pertama yang ternyata masih menyimpan perasaan kepada Tinung. Namun kisah penculikan tersebut tidak bertahan lama karena campur tangan Tan Soen Bie yang diakhiri dengan tewasnya Tan Peng Liang pertama di tangan Tja Wan Sen yang dendam kepada Tan Peng Liang pertama. Kematian Tan Peng Liang pertama tersebut menjadi keuntungan bagi Tan Peng Liang yang dapat memalsukan kematiannya sendiri.

Cerita berpindah ke kedatangan pasukan Jepang tahun 1942, dimana anggota Dewan Kong Koan akhirnya ditangkap dan Rahardjo Soetardjo dan Max Awuy menjadi rekan seperjuangan bawah tanah dalam pasukan Jepang. Di negeri Siam, Tan Peng Liang telah mengganti namanya menjadi Simon Chen. Dia memulai hubungan asmara disertai bisnis menyelundupkan senjata dengan seorang pejuang bawah tanah komunis merangkap pengusaha bernama Jeng Tut (Tutie Kirana). Cerita kemudian berpindah ke masa ini, dimana Oey Eng Goan tua bercerita bahwa untuk menghindar dari tangkapan Jepang, Thio Boen Hiap menghadiahkan Tinung yang cantik ke tentara Jepang sebagai seorang jugun ianfu di Rumah Panjang, Sukabumi. Di masa lalu, hilangnya Tinung memancing kemarahan Tan Soen Bie yang kemudian mengabarkan berita tersebut ke Tan Peng Liang.

Tan Peng Liang pulang dan berlabuh di Sunda Kelapa, Batavia, lalu bertemu dengan Rahardjo Soetardjo. Tan Peng Liang marah besar saat Rahardjo Soetardjo mengabarkan nasib Tinung dan perbuatan Thio Boen Hiap kepadanya. Dia kemudian berjanji akan membantu perjuangan pasukan Rahardjo Soetardjo asalkan dibantu untuk mendapatkan Tinung kembali. Tinung pun akhirnya dibebaskan keluar dari Rumah Panjang oleh Rahardjo Soetardjo. Dalam penantiannya di sebuah Rumah Sakit, Tinung menjadi hancur dilanda oleh perasaan bersalah dari peristiwa-peristiwa hidupnya selama itu, namun akhirnya pertemuan dengan Tan Peng Liang merubah hidupnya kembali ke normal. Cerita kemudian berpindah ke peran Tang Peng Liang dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. Tan Peng Liang akhirnya bergabung dengan Rahardjo Soetardjo dan Max Awuy sebagai pemasok senjata dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. Perannya tersebut ditentang oleh Dewan Kong Koan yang mengetahui bahwa Tan Peng Liang masih hidup, dan hubungannya dengan Jeng Tut yang mulai sulit karena pandangan ideologi mereka yang berbeda.

Di sisi lain, hubungan Tang Peng Liang dengan Tinung juga semakin renggang. Tinung merasa bahwa Ia tidak berguna untuk Tan Peng Liang karena tidak bisa mengandung anak lagi. Hal tersebut akhirnya memicu Tan Peng Liang untuk melampiaskan dendam lamanya kepada Thio Boen Hiap yang menyerahkan Tinung kepada pasukan Jepang sebelum kemerdekaan. Tan Peng Liang pun akhirnya menyerbu rumah Thio Boen Hiap dan dalam kemarahannya akhirnya mengeksekusi Thio Boen Hiap dengan tembakan ke kepala. Cerita berpindah ke Batavia yang sekarang bernama Jakarta pada tahun 1960, dimana Tan Peng Liang menjadi seorang pengusaha yang sangat kaya dan sukses, dibantu oleh teman seperjuangannya, Rahardjo Soetardjo dan Max Awuy yang kini mendapat posisi penting di pemerintahan Indonesia. Di sini Tan Peng Liang kembali menyatakan cintanya yang tulus kepada Tinung yang sekarang telah menjadi Istri sahnya. Namun dibalik layar, anggota Dewan Kong Koan yang telah bubar masih menyimpan dendam pada Tan Peng Liang, karena mereka tahu siapa yang membunuh Thio Boen Hiap.

Hidup Tan Peng Liang akhirnya berakhir tak lama kemudian. Dia meninggal setelah memakan durian beracun yang dibawakan oleh Jeng Tut dalam sebuah pertemuan bisnis di rumahnya. Tak lama setelah meninggalnya Tan Peng Liang, Tinung pun akhirnya menyusul karena dilanda kesedihan yang mendalam. Tak ada yang mencurigai bahwa Tan Peng Liang sebenarnya mati dibunuh, namun akhirnya Oey Eng Goan tua bercerita bahwa Dia lah yang sebenarnya merencanakan pembunuhan tersebut. Giok Lan sangat marah setelah mengetahui perbuatan tersebut, namun akhirnya memutuskan untuk memaafkan Oey Eng Goan dan melupakan kejadian tersebut, walau ditentang oleh saudaranya.

Film diakhiri dengan kedatangan Giok Lan ke sebuah kuburan Tionghoa, untuk berziarah ke makam kedua orang tuanya, Tan Peng Liang dan Siti Noerhajati yang diakhiri dengan pembelaan dan pembenarannya atas istilah Ca bau kan.


Pemeran

Soundtrack

Pranala Luar

Referensi