Lompat ke isi

Sisingamangaraja XII: Perbedaan antara revisi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Konten dihapus Konten ditambahkan
Kris Simbolon (bicara | kontrib)
Tag: Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler Suntingan seluler lanjutan
Kris Simbolon (bicara | kontrib)
Tohonannya disebut Singamangaraja, yg memegang tohonan disebut Si Singamangaraja, dengan "Si" sebagai penunjuk persona dlm bahasa Batak.
Tag: gambar rusak Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler Suntingan seluler lanjutan
Baris 14: Baris 14:
|spouse 4 =
|spouse 4 =
|royal house =
|royal house =
|house=[[Berkas:Bendera Sisingamangaraja XII.svg|25px]] Sisingamangaraja
|house=[[Berkas:Bendera Sisingamangaraja XII.svg|25px]] Singamangaraja
|father =Raja Sohahuhaon Sinambela
|father =Raja Sohahuhaon Sinambela
|mother =[[Situmorang|boru Situmorang]]
|mother =[[Situmorang|boru Situmorang]]

Revisi per 29 September 2022 01.57

Sisingamangaraja XII
Maharaja Toba
Lukisan Sisingamangaraja XII berdasarkan lukisan yang dibuat oleh Augustin Sibarani, kemudian tercetak di uang Rp 1.000
Berkuasa1876–1907 M
PendahuluRaja Sohahuaon Sinambela (Sisingamangaraja XI)
KelahiranPatuan Bosar Sinambela
(1845-02-18)18 Februari 1845
Bakkara, Toba
Kematian17 Juni 1907(1907-06-17) (umur 62)
Si Onom Hudon, Dairi
Pemakaman
Pasangan
Keturunan
  • Patuan Nagari Sinambela
  • Patuan Anggi Sinambela
  • Lopian br. Sinambela
  • Raja Buntal Sinambela
  • Raja Sabidan Sinambela
  • Raja Barita Sinambela
  • Pangarandang Sinambela
  • Raja Pangkilim Sinambela
  • Rinsan br. Sinambela
  • Purnama Rea br. Sinambela
  • Sunting Mariam br. Sinambela
  • Saulina br. Sinambela
  • Tambok br. Sinambela
  • Mangindang br. Sinambela
  • Sahudat br. Sinambela
  • Nagok br. Sinambela
Nama lengkap
Patuan Bosar Sinambela gelar Ompu Pulo Batu
Wangsa Singamangaraja
AyahRaja Sohahuhaon Sinambela
Ibuboru Situmorang

Sisingamangaraja XII dengan nama lengkap Patuan Bosar Sinambela gelar Ompu Pulo Batu (18 Februari 1845 – 17 Juni 1907) adalah seorang raja di Negeri Toba dan pejuang yang berperang melawan Belanda. Ia diangkat oleh pemerintah Indonesia sebagai Pahlawan Nasional Indonesia pada tanggal 9 November 1961 berdasarkan SK Presiden RI No 590/1961.

Semula, ia dimakamkan di Tarutung, Tapanuli Utara, lalu dipindahkan ke Soposurung, Balige, Toba pada tahun 1953.[1]

Nama dan gelar

Sisingamangaraja XII dilahirkan dengan nama Patuan Bosar Sinambela. Ia naik tahta sebagai pada tahun 1876 untuk menggantikan ayahnya, Sisingamangaraja XI yang bernama Raja Sohahuaon Sinambela. Sebagai seorang Sisingamangaraja, Patuan Bosar Sinambela juga berperan sebagai raja-imam. Dari Patuan Anggi Sinambela, Sisingamangaraja XII mendapatkan pahompu panggoaran bernama Pulo Batu Sinambela sehingga ia digelari sebagai Ompu Pulo Batu Sinambela. [butuh rujukan]

Asal usul

Sisingamangaraja adalah keturunan seorang pejabat yang ditunjuk oleh raja Pagaruyung yang sangat berkuasa ketika itu, yang datang berkeliling Sumatra Utara untuk menempatkan pejabat-pejabatnya.[2] Dalam sepucuk surat kepada Marsden bertahun 1820, Raffles menulis bahwa para pemimpin Batak menjelaskan kepadanya mengenai Sisingamangaraja yang merupakan keturunan Minangkabau dan bahwa di Silindung terdapat sebuah arca batu berbentuk manusia sangat kuno yang diduga dibawa dari Pagaruyung.[3] Sampai awal abad ke-20, Sisingamangaraja masih mengirimkan upeti secara teratur kepada pemimpin Minangkabau melalui perantaraan Tuanku Barus yang bertugas menyampaikannya kepada pemimpin Pagaruyung.[4]

Sementara itu, sumber dari Pemerintah Daerah setempat menyebutkan bahwa dinasti Sisingamangaraja bermula dari seorang yang bernama Si Raja Batak yang memiliki keturunan bernama Raja Oloan. Raja Oloan memiliki enam orang putra yakni Raja Naibaho, Raja Sihotang, Toga Bakkara, Toga Sinambela, Toga Sihite, dan Toga Simanullang. Putra keempatnya, Toga Sinambela memiliki tiga orang putra. Putra bungsu Toga Sinambela, yakni Raja Bona ni onan gelar Raja Mangkutal adalah ayah kandung dari Sisingamangaraja I, leluhur awal Dinasti Sisingamangaraja.[5]

Penobatan

Penobatan Sisingamangaraja XII sebagai maharaja di Negeri Toba bersamaan dengan dimulainya open door policy (politik pintu terbuka) Belanda dalam mengamankan modal asing yang beroperasi di Hindia Belanda, dan yang tidak mau menandatangani Korte Verklaring (perjanjian pendek) di Sumatra terutama Kesultanan Aceh dan Toba, di mana kerajaan ini membuka hubungan dagang dengan negara-negara Eropa lainya. Di sisi lain Belanda sendiri berusaha untuk menanamkan monopolinya atas kerajaan tersebut. Politik yang berbeda ini mendorong situasi selanjutnya untuk melahirkan Perang Tapanuli yang berkepanjangan hingga puluhan tahun.[5]

Perang melawan Belanda

Berkas:Toba Expedition 1878.jpg
Peta Ekspedisi Toba 1878

Pada 1824 Perjanjian Belanda Inggris (Anglo-Dutch Treaty of 1824) memberikan seluruh wilayah Inggris di Sumatra kepada Belanda. Hal ini membuka peluang bagi Hindia Belanda untuk meng-aneksasi seluruh wilayah yang belum dikuasai di Sumatra.[butuh rujukan]

Pada tahun 1873 Belanda melakukan invasi militer ke Aceh (Perang Aceh, dilanjutkan dengan invasi ke Tanah Batak pada 1878. Raja-raja huta Kristen Batak menerima masuknya Hindia Belanda ke Tanah Batak, sementara Raja Bakara, Si Singamangaraja yang memiliki hubungan dekat dengan Kerajaan Aceh menolak dan menyatakan perang.[butuh rujukan]

Pada tahun 1877 para misionaris di Silindung dan Bahal Batu meminta bantuan kepada pemerintah kolonial Belanda dari ancaman diusir oleh Singamangaraja XII. Kemudian pemerintah Belanda dan para penginjil sepakat untuk tidak hanya menyerang markas Si Singamangaraja XII di Bakara tetapi sekaligus menaklukkan seluruh Toba. Pada tanggal 6 Februari 1878 pasukan Belanda sampai di Pearaja, tempat kediaman penginjil Ingwer Ludwig Nommensen. Kemudian beserta penginjil Nommensen dan Simoneit sebagai penerjemah pasukan Belanda terus menuju ke Bahal Batu untuk menyusun benteng pertahanan[butuh rujukan]. Namun kehadiran tentara kolonial ini telah memprovokasi Sisingamangaraja XII, yang kemudian mengumumkan pulas (perang) pada tanggal 16 Februari 1878 dan penyerangan ke pos Belanda di Bahal Batu mulai dilakukan.[butuh rujukan]

Pada tanggal 14 Maret 1878 datang Residen Boyle bersama tambahan pasukan yang dipimpin oleh Kolonel Engels sebanyak 250 orang tentara dari SibolgaPada tanggal 1 Mei 1878, Bakara pusat pemerintahan Si Singamangaraja diserang pasukan kolonial dan pada 3 Mei 1878 seluruh Bangkara dapat ditaklukkan namun Singamangaraja XII beserta pengikutnya dapat menyelamatkan diri dan terpaksa keluar mengungsi. Sementara para raja yang tertinggal di Bakara dipaksa Belanda untuk bersumpah setia dan kawasan tersebut dinyatakan berada dalam kedaulatan pemerintah Hindia Belanda.[butuh rujukan]

Walaupun Bakara telah ditaklukkan, Singamangaraja XII terus melakukan perlawanan secara gerilya, tetapi sampai akhir Desember 1878 beberapa kawasan seperti Butar, Lobu Siregar, Naga Saribu, Huta Ginjang, Gurgur juga dapat ditaklukkan oleh pasukan kolonial Belanda.[butuh rujukan]

Di antara tahun 1883-1884, Singamangaraja XII berhasil melakukan konsolidasi pasukannya. Kemudian bersama pasukan bantuan dari Aceh, secara ofensif menyerang kedudukan Belanda antaranya Uluan dan Balige pada Mei 1883 serta Tangga Batu pada tahun 1884.[butuh rujukan]

Cap Mohor Sisingamangaraja XII

Kematian

Singamangaraja XII tewas pada 17 Juni 1907 saat disergap oleh sekelompok anggota Korps Marsose – sebuah pasukan khusus Belanda. Penyergapan tersebut dipimpin oleh Hans Christoffel di kawasan sungai Aek Sibulbulon, di suatu desa bernama Si Onom Hudon, di perbatasan Kabupaten Humbang Hasundutan dengan Kabupaten Dairi.[1] Sisingamangaraja XII menghadapi pasukan Korps Marsose sambil memegang senjata Piso Gaja Dompak. Kopral Souhoka, seorang penembak jitu pasukan Marsose, mendaratkan tembakan ke kepala Sisingamangaraja XII tepat di bawah telinganya.[6] Menjelang napas terakhir dia tetap berucap, Ahu Sisingamangaraja (bahasa Indonesia: Aku Sisingamangaraja). Turut gugur bersamanya adalah kedua putranya, Patuan Nagari dan Patuan Anggi, serta putrinya, Lopian. Sementara keluarganya yang tersisa ditawan di Tarutung. Sisingamangaraja XII kemudian dikebumikan Belanda secara militer pada 22 Juni 1907 di Silindung, setelah sebelumnya mayatnya diarak dan dipertontonkan kepada masyarakat Toba.[butuh rujukan] Makamnya kemudian dipindahkan ke Makam Pahlawan Nasional di Soposurung, Balige sejak 14 Juni 1953, yang dibangun oleh Pemerintah, Masyarakat dan keluarga.[butuh rujukan]

Gelar pahlawan

Sisingamangaraja XII digelari Pahlawan Nasional Indonesia dengan Surat Keputusan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 590 Tahun 1961. Surat ini tertanggal 19 November 1961.[7]

Warisan sejarah

Sebilah pedang dari etnik Batak yang diinformasikan diduga sebagai pedang yang digunakan oleh Sisingamangaraja. Foto diambil 1907.

Pasca-gugurnya Sisingamangaraja, pasukan Belanda menemukan sebilah pedang yang diduga digunakan oleh Sisingamangaraja. Kini, pedang tersebut telah menjadi koleksi Nationaal Museum van Wereldculturen, Belanda.

Kegigihan perjuangan Sisingamangaraja XII ini telah menginspirasikan masyarakat Indonesia, yang kemudian Sisingamangaraja XII diangkat sebagai Pahlawan Nasional Indonesia. Selain itu untuk mengenang kepahlawanannya, nama Sisingamangaraja juga diabadikan sebagai nama jalan di seluruh kawasan Republik Indonesia.

Referensi

  1. ^ a b Sidjabat, Bonar W. Prof. Dr. (2007), Aku Sisingamangaraja, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, ISBN 979-416-896-7.
  2. ^ Brenner, J.F. von. Besuch bei den Kannibalen Sumatras: erste Durchquerung der unabhangigen Batak-Lande. Wurzburg: Wurl. 
  3. ^ Raffles, Stamford (1830). Memoir of the life and public services of Sir Thomas Stamford Raffles. London: John Murray. 
  4. ^ Schrieke, Bertram Johannes Otto (1929). The Effect of Western Influence on Native Civilisations in the Malay Archipelago (dalam bahasa Inggris). G. Kolff & Company. 
  5. ^ a b Sejarah Daerah Sumatera Utara, 1978
  6. ^ Okezone (2020-06-17). "Saat Peluru Marsose Menembus Sisingamangaraja XII yang Terkenal Kebal Senjata : Okezone Nasional". Okezone. Diakses tanggal 2021-03-19. 
  7. ^ Natalia, S. F., dan Aditya, M. F. (2019). "Dampak Perang Batak pada Tahun 1878 - 1907 Terhadap Penyebaran Agama Kristen di Sumatera Utara". Tsaqofah: Jurnal Agama dan Budaya. 17 (1): 43.