Lompat ke isi

Hutan jati: Perbedaan antara revisi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Konten dihapus Konten ditambahkan
Wie146 (bicara | kontrib)
Baris 10: Baris 10:


Sampai dengan awal abad ke-19, VOC terus memperluas penguasaannya atas hutan-hutan jati di bagian utara [[Jawa Tengah]] dan [[Jawa Timur]]. Meskipun telah menguasai hutan jati selama tiga abad, boleh dikatakan belum ada pengelolaan hutan jati yang baik pada saat itu. VOC lebih banyak mengatur penebangan dan pengamanannya, untuk kepentingan pembuatan kapal-kapal dagang dan bangunan lainnya.
Sampai dengan awal abad ke-19, VOC terus memperluas penguasaannya atas hutan-hutan jati di bagian utara [[Jawa Tengah]] dan [[Jawa Timur]]. Meskipun telah menguasai hutan jati selama tiga abad, boleh dikatakan belum ada pengelolaan hutan jati yang baik pada saat itu. VOC lebih banyak mengatur penebangan dan pengamanannya, untuk kepentingan pembuatan kapal-kapal dagang dan bangunan lainnya.


'''Cikal bakal pengelolaan hutan di Indonesia'''

Ketika bangkrut karena korupsi pada paruh akhir abad ke-18, VOC telah mengeksploitasi habis jati di Jawa dan meninggalkan lahan hutan yang rusak parah. Ini bukanlah kerusakan secara meluas yang terakhir dalam sejarah hutan jati di Pulau Jawa.

Pemerintah Kolonial Hindia Belanda mengambil alih tanggung jawab VOC dan —terdorong oleh kebutuhan kayu jati sebagai bahan baku industri kapal di Belanda saat itu— berniat mengembalikan hutan jati Jawa seperti semula.

Gubernur Jenderal Willem Daendels (1808-1811) lantas mendirikan organisasi pertama untuk pengurusan hutan jati Jawa; tetap dengan memanfaatkan blandong. Pada 1847, pemerintah meminta dua rimbawan Jerman, Mollier dan Nemich, untuk merancang sistem budidaya hutan untuk Jawa. Pemerintah Kolonial Belanda kemudian memilih sistem monokultur (penanaman satu jenis pohon dominan) usulan Mollier. Mereka menolak sistem multikultur (penanaman banyak jenis pohon) usulan Nemich. Hal ini sejalan dengan tujuan menghasilkan keuntungan ekonomi bagi pemerintah kolonial saat itu.

Dapat dikatakan bahwa pengelolaan hutan secara modern pertama di Indonesia berawal dari pengelolaan hutan jati di Jawa ini. Namun, apa saja yang ditata oleh pemerintah kolonial selanjutnya?

Sejak pertengahan hingga akhir abad ke-19, Pemerintah Kolonial Hindia Belanda menetapkan daerah-daerah bukan pertanian dan bukan perkebunan sebagai kawasan hutan untuk ditanami dengan jati. Kawasan hutan terbatas pada tempat-tempat yang kurang subur dan curam, serta terletak jauh dari pusat-pusat pemukiman.

Sebuah undang-undang kehutanan diperkenalkan pada 1865. UU itu menghapuskan bentuk-bentuk kerja paksa. UU itu juga membagi tiga kawasan hutan Jawa: hutan jati di bawah pengurusan (negara), hutan jati tidak di bawah pengurusan, dan hutan rimba. Hutan rimba merupakan istilah untuk hutan dengan jenis pohon utama selain jati.

Pada 1874, terbitlah UU baru yang mencakup penyataan domein verklaring, yaitu semua tanah —termasuk kawasan hutan— dikuasai dan diurus oleh negara. Enam tahun kemudian, hutan-hutan produksi jati Jawa telah dibagi menjadi 13 ‘distrik hutan jati’ di bawah djatibedrijf (perusahaan jati negara).

Rencana perusahaan pertama selesai dibuat pada 1890 di bawah pimpinan rimbawan Bruisma. Tujuh tahun kemudian terbentuklah houtvestrij pertama, sementara yang terakhir baru selesai sekitar 1932. Houtvestrij merupakan pengelompokan luas lahan hutan tertentu sebagai suatu satuan perencanaan daur produksi, yaitu sejak tahap menanam pohon, ke tahap memelihara, hingga tahap dapat memanen pohon. Kita kini mengenal houtvestrij sebagai KPH (Kesatuan Pemangkuan Hutan).


Berpindahnya pengelolaan hutan dari VOC ke tangan Pemerintah Kolonial Belanda pada sekitar 1808, tidak menjadikan hutan jati lebih baik nasibnya. Hingga awal abad ke-20, eksploitasi tidak teratur dan kerusakan-kerusakan hutan terus terjadi. Baru pada sekitar awal abad-20 diletakkan dasar-dasar pengelolaan hutan jati modern: pembagian atas satuan-satuan wilayah pengelolaan hutan, penataan hutan, pengaturan hasil, dan penelitian-penelitian mengenai hutan.
Berpindahnya pengelolaan hutan dari VOC ke tangan Pemerintah Kolonial Belanda pada sekitar 1808, tidak menjadikan hutan jati lebih baik nasibnya. Hingga awal abad ke-20, eksploitasi tidak teratur dan kerusakan-kerusakan hutan terus terjadi. Baru pada sekitar awal abad-20 diletakkan dasar-dasar pengelolaan hutan jati modern: pembagian atas satuan-satuan wilayah pengelolaan hutan, penataan hutan, pengaturan hasil, dan penelitian-penelitian mengenai hutan.

Revisi per 25 Juli 2007 06.17

Hutan jati di Bojonegoro, Jawa Timur

Hutan jati adalah sejenis hutan yang dominan ditumbuhi oleh pohon jati (Tectona grandis). Di Indonesia, hutan jati terutama didapati di Jawa. Akan tetapi kini juga telah menyebar ke berbagai daerah seperti di pulau-pulau Muna, Sumbawa, Flores dan lain-lain.

Hutan jati merupakan hutan yang tertua pengelolaannya di Jawa dan juga di Indonesia, dan salah satu jenis hutan yang terbaik pengelolaannya.

Sejarah Pengelolaan

Para ahli menduga kuat, bahwa jati di Jawa dibawa oleh orang-orang Hindu dari India berabad-abad yang lampau. Akan tetapi beberapa ahli yang lain menyangkal, dan menyatakan bahwa tidak ada alasan yang cukup kuat untuk menyatakan bahwa jati bukan tumbuhan asli Jawa (Whitten dkk., 1999).

Sejauh ini, sejarah mencatat bahwa pada masa lalu, sebelum VOC datang ke Jawa, para bupati telah memberikan upeti kepada raja-raja dalam bentuk glondhong pengareng-areng. Demikian pula, ketika itu telah ada semacam jabatan yang disebut juru wana atau juru pengalasan (wana, alas bahasa Jawa berarti hutan). Pada abad ke-16 diketahui telah ada hutan jati yang dikelola baik di sekitar Bojonegoro, Jawa Timur, untuk kepentingan pembuatan bangunan-bangunan, benteng dan kapal-kapal.

Sampai dengan awal abad ke-19, VOC terus memperluas penguasaannya atas hutan-hutan jati di bagian utara Jawa Tengah dan Jawa Timur. Meskipun telah menguasai hutan jati selama tiga abad, boleh dikatakan belum ada pengelolaan hutan jati yang baik pada saat itu. VOC lebih banyak mengatur penebangan dan pengamanannya, untuk kepentingan pembuatan kapal-kapal dagang dan bangunan lainnya.


Cikal bakal pengelolaan hutan di Indonesia

Ketika bangkrut karena korupsi pada paruh akhir abad ke-18, VOC telah mengeksploitasi habis jati di Jawa dan meninggalkan lahan hutan yang rusak parah. Ini bukanlah kerusakan secara meluas yang terakhir dalam sejarah hutan jati di Pulau Jawa.

Pemerintah Kolonial Hindia Belanda mengambil alih tanggung jawab VOC dan —terdorong oleh kebutuhan kayu jati sebagai bahan baku industri kapal di Belanda saat itu— berniat mengembalikan hutan jati Jawa seperti semula.

Gubernur Jenderal Willem Daendels (1808-1811) lantas mendirikan organisasi pertama untuk pengurusan hutan jati Jawa; tetap dengan memanfaatkan blandong. Pada 1847, pemerintah meminta dua rimbawan Jerman, Mollier dan Nemich, untuk merancang sistem budidaya hutan untuk Jawa. Pemerintah Kolonial Belanda kemudian memilih sistem monokultur (penanaman satu jenis pohon dominan) usulan Mollier. Mereka menolak sistem multikultur (penanaman banyak jenis pohon) usulan Nemich. Hal ini sejalan dengan tujuan menghasilkan keuntungan ekonomi bagi pemerintah kolonial saat itu.

Dapat dikatakan bahwa pengelolaan hutan secara modern pertama di Indonesia berawal dari pengelolaan hutan jati di Jawa ini. Namun, apa saja yang ditata oleh pemerintah kolonial selanjutnya?

Sejak pertengahan hingga akhir abad ke-19, Pemerintah Kolonial Hindia Belanda menetapkan daerah-daerah bukan pertanian dan bukan perkebunan sebagai kawasan hutan untuk ditanami dengan jati. Kawasan hutan terbatas pada tempat-tempat yang kurang subur dan curam, serta terletak jauh dari pusat-pusat pemukiman.

Sebuah undang-undang kehutanan diperkenalkan pada 1865. UU itu menghapuskan bentuk-bentuk kerja paksa. UU itu juga membagi tiga kawasan hutan Jawa: hutan jati di bawah pengurusan (negara), hutan jati tidak di bawah pengurusan, dan hutan rimba. Hutan rimba merupakan istilah untuk hutan dengan jenis pohon utama selain jati.

Pada 1874, terbitlah UU baru yang mencakup penyataan domein verklaring, yaitu semua tanah —termasuk kawasan hutan— dikuasai dan diurus oleh negara. Enam tahun kemudian, hutan-hutan produksi jati Jawa telah dibagi menjadi 13 ‘distrik hutan jati’ di bawah djatibedrijf (perusahaan jati negara).

Rencana perusahaan pertama selesai dibuat pada 1890 di bawah pimpinan rimbawan Bruisma. Tujuh tahun kemudian terbentuklah houtvestrij pertama, sementara yang terakhir baru selesai sekitar 1932. Houtvestrij merupakan pengelompokan luas lahan hutan tertentu sebagai suatu satuan perencanaan daur produksi, yaitu sejak tahap menanam pohon, ke tahap memelihara, hingga tahap dapat memanen pohon. Kita kini mengenal houtvestrij sebagai KPH (Kesatuan Pemangkuan Hutan).

Berpindahnya pengelolaan hutan dari VOC ke tangan Pemerintah Kolonial Belanda pada sekitar 1808, tidak menjadikan hutan jati lebih baik nasibnya. Hingga awal abad ke-20, eksploitasi tidak teratur dan kerusakan-kerusakan hutan terus terjadi. Baru pada sekitar awal abad-20 diletakkan dasar-dasar pengelolaan hutan jati modern: pembagian atas satuan-satuan wilayah pengelolaan hutan, penataan hutan, pengaturan hasil, dan penelitian-penelitian mengenai hutan.

Pengelolaan Sekarang

Di masa kini, hutan-hutan jati terdiri atas hutan-hutan yang dikelola negara, dan hutan-hutan yang dikelola oleh rakyat. Umumnya, hutan-hutan jati dikelola dengan tujuan untuk produksi (hutan produksi), dengan beberapa perkecualian.

Hutan jati rakyat adalah salah satu bentuk hutan rakyat, yang umumnya dibangun di atas tanah milik dan dikelola dalam bentuk wanatani (agroforest).

Hutan jati yang diteres, siap ditebang, di KPH Bojonegoro

Hutan jati di atas tanah negara, atau yang biasa disebut kawasan hutan negara, di Jawa pengelolaannya dilakukan oleh Perum Perhutani. Akan tetapi dengan dibangunnya berbagai taman nasional dalam duapuluh tahun belakangan, sebagian hutan-hutan jati yang berbatasan atau menjadi satu kesatuan dengan wilayah taman nasional, pengelolaannya diserahkan kepada pihak taman nasional yang bersangkutan. Tentu saja hutan itu kini tidak lagi untuk produksi, melainkan sebagai bagian dari hutan suaka alam.

Satuan wilayah pengelolaan hutan menurut Perum Perhutani, adalah unit (kurang-lebih setingkat dengan propinsi), kesatuan pemangkuan hutan (KPH, setingkat kabupaten), bagian KPH (BKPH, setingkat kecamatan), hingga resort pemangkuan hutan (RPH, setingkat desa). Akan tetapi tidak selalu persis demikian. Misalnya, KPH Banten terletak di bawah Unit III Jawa Barat, dan meliputi hutan-hutan di wilayah Kabupaten Serang, Kabupaten Pandeglang dan Kabupaten Lebak.

Di samping hutan jati, Perhutani juga mengelola hutan-hutan tanaman yang lain, seperti hutan mahoni (Swietenia spp.), hutan tusam (Pinus merkusii), hutan kayu putih (Melaleuca leucadendron), dan hutan-hutan lindung.

Lihat pula

Jati (Tectona grandis L.F.)

Rujukan

T. Whitten, R.E. Soeriaatmadja, S.A. Affiff. 1999. Ekologi Jawa dan Bali. Hlm. 183 & 591