Kesultanan Palembang
Palembang Darussalam ڤالمبڠ دار السلام | |||||||||||
---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|
1659–1823 | |||||||||||
Bendera | |||||||||||
Ibu kota | Palembang | ||||||||||
Bahasa yang umum digunakan | Melayu, Palembang, Jawa | ||||||||||
Agama | Islam | ||||||||||
Pemerintahan | Monarki | ||||||||||
Sultan | |||||||||||
Sejarah | |||||||||||
• Didirikan | 1659 | ||||||||||
• Dihapus Belanda | 7 Oktober 1823 1823 | ||||||||||
| |||||||||||
Kesultanan Palembang Darussalam adalah suatu kerajaan Islam di Indonesia yang berlokasi di sekitar kota Palembang, Sumatra Selatan sekarang. Kesultanan ini diproklamirkan oleh Sri Susuhunan Abdurrahman, seorang bangsawan Palembang pada tahun 1659,[1] dan dihapuskan keberadaannya oleh pemerintah kolonial Belanda pada 7 Oktober 1823.
Malthe Conrad Bruun (1755-1826) seorang petualang dan ahli geografi dari Prancis mendeskripsikan keadaan masyarakat dan kota kerajaan waktu itu, yang telah dihuni oleh masyarakat yang heterogen terdiri dari Tiongkok, Siam, Melayu dan Jawa serta juga disebutkan bangunan yang telah dibuat dengan batu bata hanya sebuah vihara dan istana kerajaan.
Pendirian
Berdasarkan kisah Kidung Pamacangah dan Babad Arya Tabanan[2] disebutkan seorang tokoh dari Kediri yang bernama Arya Damar sebagai bupati Palembang turut serta menaklukan Bali bersama dengan Gajah Mada Mahapatih Majapahit pada tahun 1343. Sejarawan Prof. C.C. Berg menganggapnya identik dengan Adityawarman.[3] Begitu juga dalam Nagarakretagama, nama Palembang telah disebutkan sebagai daerah jajahan Majapahit serta Gajah Mada dalam sumpahnya yang terdapat dalam Pararaton juga telah menyebutkan Palembang sebagai sebuah kawasan yang akan ditaklukannya.
Selanjutnya berdasarkan kronik Tiongkok nama Pa-lin-fong yang terdapat pada buku Chu-fan-chi yang ditulis pada tahun 1178 oleh Chou-Ju-Kua dirujuk kepada Palembang, dan kemudian sekitar tahun 1513, Tomé Pires seorang petualang dari Portugis menyebutkan Palembang, telah dipimpin oleh seorang patih yang ditunjuk dari Jawa yang kemudian dirujuk kepada kesultanan Demak serta turut serta menyerang Malaka yang waktu itu telah dikuasai oleh Portugis. Kemudin pada tahun 1596, Palembang juga ditaklukan oleh VOC Seterusnya nama tokoh yang dirujuk memimpin kesultanan Palembang dari awal adalah Sri Susuhunan Abdurrahman tahun 1659. Walau sejak tahun 1601 telah ada hubungan dengan VOC dari yang mengaku Sultan Palembang.[4]
Kuto Gawang
Pada awal abad ke-17, Palembang menjadi pusat pemerintahan kerajaan yang bernuansa Islam dengan pendirinya Ki Gede ing Suro, bangsawan pelarian dari Kesultanan Demak akibat kemelut politik setelah mangkatnya Sultan Trenggana. Pada masa ini pusat pemerintahan di daerah sekitar Kelurahan 2-Ilir, di tempat yang sekarang merupakan kompleks PT Pupuk Sriwijaya. Secara alamiah lokasi keraton cukup strategis, dan secara teknis diperkuat oleh dinding tebal dari kayu unglen dan cerucup yang membentang antara Plaju dengan Pulau Kembaro, sebuah pulau kecil yang letaknya di tengah Sungai Musi. Keraton Palembang yang dibangunnya itu disebut Keraton Kuto Gawang yang bentuknya empat persegi panjang dibentengi dengan kayu besi dan kayu unglen yang tebalnya 30 x 30 cm/batangnya. Kota berbenteng yang di kemudian hari dikenal dengan nama Kuto Gawang ini mempunyai ukuran 290 Rijnlandsche roede (1093 meter) baik panjang maupun lebarnya. Tinggi dinding yang mengitarinya 24 kaki (7,25 meter). Orang-orang Tionghoa dan Portugis berdiam berseberangan yang terletak di tepi sungai Musi. Kota berbenteng ini sebagaimana dilukiskan pada tahun 1659 (Sketsa Joan van der Laen), menghadap ke arah Sungai Musi (ke selatan) dengan pintu masuknya melalui Sungai Rengas. Di sebelah timurnya berbatasan dengan Sungai Taligawe, dan di sebelah baratnya ber¬batasan dengan Sungai Buah. Dalam gambar sketsa tahun 1659 tampak Sungai Taligawe, Sungai Rengas, dan Sungai Buah tampak terus ke arah utara dan satu sama lain tidak bersambung. Sebagai batas kota sisi utara adalah pagar dari kayu besi dan kayu unglen. Di tengah benteng keraton tampak berdiri megah bangunan keraton yang letaknya di sebelah barat Sungai Rengas. Benteng keraton mempunyai tiga buah baluarti (bastion) yang dibuat dari konstruksi batu. Orang-orang asing ditempatkan/ber¬mukim di sebe¬rang sungai sisi selatan Musi, di sebelah barat muara sungai Komering (sekarang daerah Seberang Ulu, Plaju).
Beringin Janggut
Setelah Keraton Kuto Gawang dihancurkan VOC tahun 1659, oleh Susuhunan Abdurrahman pusat pemerintahan dipindahkan ke Beringin Janggut yang letaknya di sekitar kawasan Mesjid Lama (Jl. Segaran). Sayang data tertulis maupun gambar sketsa mengenai keberadaan, bentuk, dan ukuran keraton ini hingga saat ini tidak ada. Daerah sekitar Keraton Beringin Janggut diba¬tasi oleh sungai-sungai yang saling berhubungan. Kawasan keraton di¬batasi oleh Sungai Musi di selatan, Sungai Tengkuruk di sebelah barat, Sungai Penedan di sebelah utara, dan Sungai Rendang/Sungai Karang Waru di sebelah timur. Sungai Penedan merupakan sebuah kanal yang menghubungkan Sungai Kemenduran, Sungai Kapuran, dan Sungai Kebon Duku. Karena sungai-sungai ini saling berhubungan, penduduk yang mengadakan perjalanan dari Sungai Rendang ke Sungai Tengkuruk, tidak lagi harus keluar melalui Sungai Musi. Dari petunjuk ini dapat diperoleh gambaran bahwa aktivitas sehari-hari pada masa itu telah berlang¬sung di darat agak jauh dari Sungai Musi.
Kuto Tengkuruk
Kawasan inti Keraton Kesultanan Palembang-Darussalam pada masa pemerintahan Sultan Mahmud Badaruddin I luasnya sekitar 50 hektare dengan batas-batas di sebelah utara Sungai Kapuran, di sebelah timur berbatasan dengan Sungai Tengkuruk (sekarang menjadi Jl. Jenderal Soedirman), di sebelah selatan berbatasan dengan Sungai Musi, dan di sebelah barat berbatasan dengan Sungai Sekanak. Pada awalnya di areal tanah yang luasnya sekitar 50 hektare ini hanya terdapat bangunan Kuto Batu atau Kuto Tengkuruk dan Masjid Agung dengan sebuah menara yang atapnya berbentuk kubah. Pada saat ini batas kota Palembang kira-kira di sebelah timur berbatasan dengan Kompleks PT. Pusri, di sebelah selatan berbatasan dengan Sungai Musi, di sebelah barat berbatasan dengan Sungai Lambidaro (36 Ilir), dan di sebelah utara hingga sekitar Pasar Cinde.
Kuto Besak
Pada masa pemerintahan Sultan Muhamad Bahaudin (1776-1803), dibangun Keraton Kuto Besak. Letaknya di sebelah barat Keraton Kuto Tengkuruk. Kuto ini mempunyai ukuran panjang 288,75 meter, lebar 183,75 meter, tinggi 9,99 meter, dan tebal dinding 1,99 meter membujur arah barat-timur (hulu-hilir Musi). Di setiap sudutnya terdapat bastion. Bastion yang terletak di sudut barat laut bentuknya berbeda dengan tiga bastion lain, sama seperti pada bastion yang sering ditemukan pada benteng-benteng lain di Indonesia. Justru ketiga bastion yang sama itu merupakan ciri khas bastion Benteng Kuto Besak. Di sisi timur, selatan, dan barat terdapat pintu masuk benteng. Pintu gerbang utama yang disebut lawang kuto terletak di sisi sebelah selatan menghadap ke Sungai Musi. Pintu masuk lainnya yang disebut lawang buratan jumlahnya ada dua, tetapi yang masih tersisa hanya sebuah di sisi barat. Perang Palembang 1821 dan dibubarkannya institusi Kesultanan pada 7 Oktober 1823, bangunan Kuto Tengkuruk diratakan dengan tanah. Di atas runtuhan Kuto Tengkuruk, atas perintah van Sevenhoven kemudian dibangun rumah Regeering Commissaris yang sekarang menjadi Museum Sultan Mahmud Badaruddin II.
Ekonomi
Kesultanan Palembang berada kawasan yang strategis dalam melakukan hubungan dagang terutama hasil rempah-rempah dengan pihak luar. Kesultanan Palembang juga berkuasa atas wilayah kepulauan Bangka Belitung yang memiliki tambang timah dan telah diperdagangankan sejak abad ke-18.[5]
Peperangan
Pada tahun 1811, Sultan Mahmud Badaruddin II menyerang pos tentara Belanda yang berada di Palembang, tetapi ia menolak bekerja sama dengan Inggris, sehingga Thomas Stamford Bingley Raffles mengirimkan pasukan menyerang Palembang dan Sultan Mahmud Badaruddin II terpaksa melarikan diri dari istana kerajaan, kemudian Raffles mengangkat Sultan Ahmad Najamuddin II adik Sultan Mahmud Badaruddin II sebagai raja. Pada tahun 1813 Sultan Mahmud Badaruddin II kembali mengambil alih kerajaan namun satu bulan berikutnya diturunkan kembali oleh Raffles dan mengangkat kembali Sultan Ahmad Najamuddin II, sehingga menyebabkan perpecahan keluarga dalam kesultanan Palembang.[6]
Pada tahun 1818 Belanda menuntut balas atas kekalahan mereka sebelumnya dan menyerang Palembang serta berhasil menangkap Sultan Ahmad Najamuddin II dan mengasingkannya ke Batavia. Namun Kesultanan Palembang kembali bangkit melakukan perlawanan yang kemudian kembali dipimpin oleh Sultan Mahmud Badaruddin II. Lalu pada tahun 1819, Sultan mendapat serangan dari pasukan Hindia yang antara lain dikenal sebagai Perang Menteng (diambil dari kata Mungtinghe). Pada tahun 1821 dengan kekuatan pasukan lebih dari 4000 tentara, Belanda kembali menyerang Palembang dan berhasil menangkap Sultan Mahmud Badaruddin II yang kemudian diasingkan ke Ternate.[6] Kemudian pada tahun 1821 tampil Sultan Ahmad Najamuddin III anak Sultan Ahmad Najamuddin II sebagai raja berikutnya, tetapi pada tahun 1823 Belanda menjadikan kesultanan Palembang berada dibawah pengawasannya, sehingga kembali menimbulkan ketidakpuasan di kalangan istana. Puncaknya pada tahun 1824 kembali pecah perang, tetapi dapat dengan mudah dipatahkan oleh Belanda, pada tahun 1825 Sultan Ahmad Najamuddin III menyerah kemudian diasingkan ke Banda Neira.[6]
Para Penguasa Palembang (1455-1823)[7]
No | Nama Penguasa | Periode |
---|---|---|
1 | Ario Dillah/Ario Damar | 1455-1486 |
2 | Pangeran Sedo Ing Lautan | ? - 1528 |
3 | Ki Gede ing Suro Tuo | 1528-1545 |
4 | KI Gede ing Suro Mudo | 1546-1575 |
5 | Ki Mas Adipati | 1575-1587 |
6 | Pangeran Madi ing Angsoko | 1588-1623 |
7 | Pangeran Madi Alit | 1623-1624 |
8 | Pangeran Seda in Pura | 1624-1630 |
9 | Pangeran Seda ing Kenayan | 1630-1642 |
10 | Pangeran Seda Ing Pasarean | 1642-1643 |
11 | Pangeran Mangkurat Seda ing Rejek | 1643-1659 |
12 | Kiai Mas Hindi (Sultan Abdurrahman) | 1662-1706 |
13 | Sultan Muhammad (Ratu) Mansyur Jayo ing Lago | 1706-1718 |
14 | Sultan Agung Komaruddin Sri Teruno | 1718-1727 |
15 | Sultan Mahmud Badaruddin I Jayo Wikramo | 1727-1756 |
16 | Sultan Ahmad Najamuddin I | 1756-1774 |
17 | Sultan Muhammad Bahauddin | 1774-1803 |
18 | Sultan Mahmud Badaruddin II | 1803-1821 |
19 | Sultan Husin Dhiauddin/ Sultan Ahmad Najamuddin II
(adik Mahmud Badaruddin II) |
1812-1813 |
20 | Sultan Ahmad Najamuddin III
(putra Mahmud Badaruddin II) |
1819-1821 |
21 | Sultan Ahmad Najamuddin IV
(putra Sultan Ahmad Najamuddin II) |
1821-1823 |
Rujukan
- ^ Bruun, M.C. (1822). Universal geography, or A description of all the parts of the world. hlm. 441.
- ^ Darta, A.A. Gde, A.A. Gde Geriya, A.A. Gde Alit Geria, (1996), Babad Arya Tabanan dan Ratu Tabanan, Denpasar: Upada Sastra.
- ^ Berg, C.C., (1985), Penulisan Sejarah Jawa, (terj.), Jakarta: Bhratara.
- ^ Poesponegoro, M.D. Sejarah nasional Indonesia: Jaman pertumbuhan dan perkembangan kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia. hlm. 46.
- ^ Ricklefs, M.C. A history of modern Indonesia since c. 1300. hlm. 139.</
- ^ a b c Ricklefs, M.C. A history of modern Indonesia since c. 1300. hlm. 140.
- ^ Soetadji, Nanang S. (1996). “Kesultanan Palembang” Perang Palembang Melawan VOC. Palembang: Pemerintah Kotamadya Palembang. hlm. 27–30.
Bacaan Lanjut
- Bruun, M.C. (1822). Universal geography, or A description of all the parts of the world. Edinburgh: Balfour & Clarke.
- Andaya, B.W. (1993). To live as brothers: southeast Sumatra in the seventeenth and eighteenth centuries. University of Hawaii Press. ISBN 0-8248-1489-4.
- Ricklefs, M.C. (1993). A history of modern Indonesia since c. 1300. California: Stanford University Press. ISBN 0-8047-2194-7.
- Poesponegoro, M.D. (1992). Sejarah nasional Indonesia: Jaman pertumbuhan dan perkembangan kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia. jakarta: PT Balai Pustaka. ISBN 979-407-409-8.