Lompat ke isi

Teuku Nyak Makam

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Revisi sejak 27 September 2022 05.50 oleh AABot (bicara | kontrib) (~ref)
(beda) ← Revisi sebelumnya | Revisi terkini (beda) | Revisi selanjutnya → (beda)

Teuku nyak Makam , adalah salah seorang panglima perang Kerajaan Aceh yang dikenal gigih melawan Belanda. Teuku Nyak Makam dilahirkan di Lamnga, Kabupaten Aceh Besar pada tahun 1838. lahir di desa Lamnga mukim XXVI Aceh Besar sekitar tahun 1838 M, ayahnya bernama Teuku Abbas gelar Ujong Aron bin Teuku Chik Lambaro, bin Imam Mansur, bin Imam Manyak bin Teuku Chik Mesjid, secara turun temurun pada zamannya menjadi Uleebalang dari mukim daerah Bibueh (Bebas) berstatus langsung di bawah Sultan Aceh, juga terdapat kekuasaannya suatu mukim Ie Meulee Sabang dengan 6 perkampungan yang luas. Ayahnya sendiri Abang kandungnya Teuku Ibrahim Ujong Aron, dan saudara sepupunya Teuku Chik Ibrahim suami Cut Nyak Dien. Beliau meninggal pada 21 Juli 1896.

Masa kecil

[sunting | sunting sumber]

Sejak usia 6 tahun Teuku Nyak Makam telah diserahkan menuntut ilmu di Pesantren Ulama Teuku Chik Abbas (adik ipar orang tuanya) di Lamnga, kemudian melanjutkannya pendidikan ke Lambada Gigieng pada pesantren Tgk.Lambada, di samping pelajaran agama, ia juga belajar pencak silat, Ilmu Sosial dan taktis gerilya pada Panglima Paduka Sinara, dan juga pembinaan Tuanku Hasyim Banta Muda. Pada usia 16 tahun Teuku Nyak Makam pergi ke Penang (Malaysia) menjumpai Teuku Paya (Ketua Panitia Delapan) sebagai keluarga ayahnya dan di Pulau Penang beliau telah dapat belajar bahasa Inggris, kemudian kembali ke Aceh.[1]

Konfik Aceh dan Belanda di Sumatera Timur

[sunting | sunting sumber]

Sultan Ibrahim Mansyursyah (1838-1870), merupakan Sultan Aceh terbesar di abad ke XIX, pada saat itu Sultan dan para pembesar-pembesarnya telah mengetahui maksud dan tujuan Belanda yang sedang berupaya untuk menguasai wilayah-wilayah kerajaan Aceh seluruhnya. Belanda pada saat itu hanya sedang menanti kesempatan yang baik dan waktu yang tepat untuk mewujudkan niat jahatnya untuk menguasai Kerajaan Aceh. Karena menurut Belanda selama kerajaan Aceh masih berdiri, Belanda tidak akan bisa leluasa menguasai sendiri perairan Selat Malaka. Oleh sebab itu mereka harus segera menduduki wilayah dan pusat kerajaan Aceh tersebut.

Menurut pendapat Belanda, mereka akan didahului oleh bangsa Eropa lainnya yang menjadi saingan, seperti Inggris, Prancis, Italia, dan yang paling mereka khawatirkan adalah Amerika. Untuk itu Belanda harus bertindak cepat menguasai kerajaan Aceh sebelum Bangsa lain mendahuluinya. Karena itulah makanya Sultan Alaiddin Ibrahim Mansyursyah dalam tahun 1854 telah memerintahkan kemanakannya Tuanku Pangeran Husain dengan mempergunakan 200 buah perahu pukat berikut sekitar 1000 orang prajurit Aceh untuk berangkat ke Sumatera Timur, guna mengadakan konsolidasi dan meyakinkan Raja-raja setempat (Asahan, Kota Pinang, Serdang, Deli, Langkat dan sebagainya), bahwa wilayah mereka adalah bahagian dari kerajaan Aceh, dan Belanda suatu ketika pasti akan mencaplok wilayah tersebut untuk dimasukan ke dalam jajahannya, dan sejak semula harus disadari bahwa Belanda itu adalah musuh Agama, musuh bangsa dan musuh setiap insan yang cinta merdeka.

Berkat penerangan dari Tuanku Pangeran Husein, akhinya Raja-raja setempat pun menyadari bahwa berhasilnya nenek moyang mereka menjadi raja dan orang besar di tempat tersebut adalah karena diangkat dan dibesarkan oleh Sultan Aceh, bukan oleh yang lainnya, dan merekapun mengakui bahwa dirinya adalah petugas dari Sultan Aceh. Untuk mengukuhkan kedudukan, Sultan Alaidin Ibrahim Mansyursyah memberikan kepada mereka sarakata pengangkatan yang baru, masing-masing dengan gelar, hak dan kekuasaan dan batas-batas daerah, serta diiringi dengan tanda-tanda kebesaran dan sebagainya.

Dalam tahun 1857, rupanya Belanda telah berhasil memaksa Raja Siak Seri Indrapura untuk menanda tangani sebuah surat pengakuan bahwa negerinya termasuk segala rantau dan jajahan takluknya, di mana dimasukkannya juga wilayah Asahan, Deli Serdang dan Langkat serta Tamiang ke dalamya untuk berada di bawah kedaulatan Belanda dan sebagian dari jajahan Belanda.

Karena apa yang diperkirakan sebelumnya telah benar-benar terbukti, maka Sultan Aceh Alaiddin Ibrahim Mansyursyah, pada awal tahun 1858 telah menunjuk dan mengangkat Tuanku Hasyim Banta Muda menjadi Timbalan (Viceroy) Sultan Aceh untuk wilayah-wilayah Aceh Timur, Langkat, Deli Serdang, di mana Tuanku Hasyim boleh memilih sendiri staf-stafnya. Kemudian Tuanku Hasyim segera berangkat ke tempat tugasnya, guna menghadapi, mematahkan, menggagalkan atau sekurang-kurangnya menghalangi niat busuk Belanda yang ingin menggeranyangi wilayah kerajaan Aceh yang jauh dari Ibu Kota, terutama wilayah subur di Sumatera Timur, padahal sebelumnya baik Inggris bahkan Belanda dari dulunya mengakui bahwa daerah itu adalah sah termasuk dalam kedaulatan Aceh Darussalam, malah menurut pengakuan Sultan Aceh sendiri wilayahnya sampai ke Tanah Putih Ayam Denak di Riau.

Untuk melaksanakan tugas yang dibebankan Sulthan, dan melihat Panglima Teuku Nyak Makam seorang yang berbakat serta cerdas, Tuanku Hasyim mengangkat Teuku Nyak Makam sebagai asisten dan pembantunya. Walaupun akhirnya seluruh daerah Sumatera Timur itu dapat dikuasai juga oleh Belanda, tetapi bukanlah berarti Tuanku Hasyim tidak sukses dalam tugasnya. Ini terbukti, kecuali Langkat sendiri yang didorong oleh ambisi dan kepentingan pribadinya yang terang-terangan menjemput Belanda ke Bengkalis, maka raja-raja yang lain sewaktu Residen Netscher dari Bengkalis mengadakan pemeriksaan ke Deli Serdang dan Asahan tidak ada satupun yang mengaku bahwa Siak berkuasa atas negeri mereka.

Tegasnya mereka menolak kedaulatan Belanda baik langsung maupun tidak langsung, apalagi melalui Siak atas negerinya. Kesimpulannya baik karena faktor Tuanku Hasyim atau faktor kesetiaan kepada Aceh dari Raja Deli, sehingga menyebabkan rencana Belanda untuk menguasai Sumatera Timur pada tahun 1862 itu telah gagal sama sekali, dan Belanda terpaksa pulang ke Bengkalis dengan tangan hampa.

Dalam tahun 1863 Tuanku Hasyim telah mendapat bantuan tenaga dari pusat dengan didatangkannya Laksamana Teuku Cut Lateh Raja Muda Meureudu, di mana Raja Muda Meureudu tersebut menyinggahi pula kedudukan raja demi raja di Sumatera Timur itu sampai ke Asahan. Kecuali Langkat sendiri, maka Deli apalagi Serdang, lebih lebih lagi Asahan segera menyambut baik kedatangan Panglima Aceh tersebut dengan perasaan gembira dan bangga.

Sebaliknya karena adanya Tuanku Hasyim Banta Muda yang telah menjadi menantu pangeran, Musa Langkat yang merupakan mertuanya yang sengaja memasukkan Belanda menjadi gagal untuk menandatangani surat penyerahan Langkat kepada Belanda. Untuk menghadapi kemungkinan serangan mendadak dan besar-besaran dari Belanda, maka Tuanku Hasyim bersama Teuku Mudah Cut Lateh, Tuanku Hitam (adik Hasyim) dan Panglima Nyak Makam membuat kubu-kubu pertahanan di Teluk Ham, Pulau Kampai, Pulau Sembilan, Kuala Gebang, Pangkalan Siantar, Bogak, Tualang Cut dan tempat-tempat strategis lainnya.

Saat itu Panglima Teuku Nyak Makam ditugaskan untuk mempertahankan Benteng Pulau Sembilan yang berseberangan dengan Pulau Kampai, sehingga sewaktu Residen Netscher mencoba menggempur benteng Aceh di tempat tersebut dengan mudah saja prajurit-prajurit Aceh memuntahkan pelurunya dari dua jurusan ke kapal perang Belanda tersebut, sehingga Netscher tersebut terpaksa lari ikut pulang ke pangkalannya.

Pada tahun berikutnya Belanda mencoba lagi menyerang pertahanan Aceh di Teluk Ham Pulau Kampai dan Pulau Sembilan, tetapi hasilnya buat Belanda ialah tewasnya beberapa orang serdadu lautnya. Sejak itu buat sementara Belanda telah mengalihkan perhatiannya ke Asahan dan Serdang yang dianggap Belanda keras kepala, karena setia kepada Aceh dan tak mau menyerahkan kedaulatan negerinya kepada Belanda. Pada tanggal 23 Mei 1863 Residen Netscher dari Bengkalis mengirimkan surat ancamannya kepada kedua Raja tersebut. Teuku Sultan Basyaruddin Syaiful Alamsyah Serdang menolak mentah-mentah untuk sekedar menerima surat tersebut, malah mengusir si pembawanya untuk segera berangkat dari hadapannya.

Sebaliknya Sultan Ahmad Syah Asahan, telah membalas dengan pedas surat Netscher itu dan mengatakan kepada pembawanya: “Saya sama sekali tidak mengerti kenapa Belanda begitu hebohnya kepada Asahan, kenapa mereka tidak berani langsung menyerang dan menaklukkan Aceh kalau mereka berkuasa“.

Dengan keputusan pemerintah Hindia Belanda tertanggal 25 Agustus 1865, tanggal 20 Agustus 1865 berangkatlah enam buah kapal perang Belanda dengan memuat 1000 orang serdadunya di bawah pimpinan Kapten P.A.van Rees, angkatan daratnya dipimpin oleh Mayor W.E.F.van Hemskreeck dan pimpinan politiknya langsung dipegang oleh Residen Riau Netscher. Tanggal 12 September 1865 mereka tiba di Asahan dan Residen Netscher langsung menyampaikan ultimatum perang kepada Sultan Asahan, yang ditulis di atas kapal Jambi tertanggal 12 September 1865. Isinya antara lain meminta kepada Sultan supaya memilih dua kemungkinan, yaitu menyerahkan kedaulatan negeri Asahan atau perang. Sulthan Asahan sedikitpun tidak menggubris dan menghiraukan ultimatum itu.

Akibatnya Belanda menggempur Asahan dari dua jurusan, sebagian mendarat di kampung Bogak Batubara menuju Asahan dan sepasukan lagi baru tanggal 17 September 1865 berhasil mendaratkan tentaranya di kampung Rawa. Setelah mengorbankan puluhan nyawa serdadu dan perwira-perwiranya dalam menghadapi perlawanan seru dari Sulthan dan rakyat Asahan, baru Belanda berhasil menduduki Asahan. Kemudian Sultan Ahmadsyah yang perkasa itu dan kedua adiknya dibuang Belanda ke Tanjung Pinang. Tapi atas desakan rakyat, Belanda terpaksa mendudukkan beliau kembali ke tahta. Setelah terlebih dahulu menaklukkan Asahan dari kedaulataan Aceh, maka pada tanggal 8 Oktober 1865 Residen Netsher dengan pasukan lengkap yang diangkut oleh beberapa kapal perang telah menggempur benteng-benteng Aceh di sekitar pulau Sembilan dan pulau Kampai, dan berlabuh di tengah laut sekedar melihat bendera Aceh yang berkibar dengan megahnya.

Raja Burhanuddin diutus ke darat untuk menjumpai Tuanku Hasyim, di situlah Belanda baru tahu bahwa Hasyim dengan sebagian prajurit-prajuritnya tidak ada di pulau Kampai karena telah berangkat ke Ibu Kota. Pertahanan di pulau Kampai dan sekitarya hanya dipercayakan kepada adiknya Tuanku Hitam. Tuanku Hitam diajak Raja Burhanuddin (yang juga dikenal sebagai Teuku Komando, pegawai setia Belanda di Betawi) untuk menjumpai Netscher ke kapal. Tuanku Hitam menolaknya. Walaupun dengan separuh lagi dari pasukan Aceh yang masih bertahan, namun demikian Belanda belum berani mendarat, dan mereka terpaksa kembali dulu ke Bengkalis.

Demikianlah, pada tanggal 8 Oktober 1865, Residen Netscher dengan pasukan lengkap yang diangkut oleh beberapa kapal perangnya, di mana turut juga Pangeran Musa dan prajurit-prajuritnya, telah menggempur benteng-benteng Aceh di sekitar pulau Kampai itu. Setelah menggempur mati-matian selama beberapa hari, pada tanggal 14 Oktober 1865 terpaksalah Tuanku Hitam, berikut Teuku Muda Cut Lateh Meureudu dan Panglima Teuku Nyak Makam mengundurkan diri ke Manyak Paet.

Pada tanggal 14 Oktober 1865 itu juga pasukan Belanda di bawah pimpinan Kapten Cattenberg komandan pasukan infanteri Belanda dengan dibantu oleh Letnan Laut van Thiel, juga Pangeran Musa Langkat, telah berhasil masuk ke sungai Temiang melalui sungai Kuruk, untuk mengantarkan Teungku Sulung Laut guna dirajakan di Seuruwey, sebagai Vice Roy Langkat dan boneka Belanda.

Sejak tanggal 18 Oktober 1865 itulah mulai berkibarnya bendera Belanda di salah satu sudut di Aceh, yaitu di pulau Seuruwey. Walaupun telah berhasil menguasai Seuruwey, namun Belanda hingga sekian puluh tahun belum berani menyerang daerah-daerah Aceh lainnya, sampai meletusnya perang resmi di bulan April 1873.

Setelah jatuhnya Seuruwey ke tangan Belanda, Panglima Teuku Nyak Makam mula-mula mundur ke Telaga Meuku, kemudian ke Peureulak di mana banyak terdapat kaum keluarga dan orang-orang sekampungnya. Beberapa hari di Peureulak dan berdiskusi dengan Teuku Chik Peureulak tentang situasi, kemudian melanjutkan perjalanan ke Simpang Ulim. Di sana beliau menemui Teuku Johan Lam Pase juga menyampaikan hal yang sama, dari Simpang Ulim beliau pergi ke pulau Penang, dari Pulau Penang pulang ke Lamnga, Aceh Besar.

Tetapi sewaktu pasukan Belanda mencoba memasuki sungai Yu, mereka telah dibantu oleh pasukan Maharaja Lubuk (Uleebalang Sungai Yu), malah sebuah bargas (kapal perang kecil dari besi) Belanda, berhasil ditenggelamkan oleh Datuk Panglima Muda, dengan hanya memuntahkan beberapa peluru meriam yang mengenai sasarannya. Seluruh personilnya turut tenggelam ke dasar sungai bersama dengan kapal-kapalnya.

Terhitung sejak tanggal 14 Oktober 1865, berakhirlah kekuasaan Aceh di Sumatera Timur, dan sejak tanggal 14 Oktober 1865 itu juga mulailah berkibar bendera Belanda. Sejak saat itu pula bertambah berkobarlah kebencian Panglima Teuku Nyak Makam kepada Belanda yang telah mulai di hadapinya sejak tahun 1862, yaitu 11 tahun sebelum perang resmi antara kerajaan Aceh Versus kerajaan Belanda, yaitu pada tahun 1873.

Perjuangan saat Perang Aceh

[sunting | sunting sumber]

Setelah Sultan memperhatikan prestasi demi prestasi yang telah berhasil dicapai baik dalam berpolitik, strategi militer dan kepemimpinan yang dimiliki oleh PanglimaTeuku Nyak Makam sejak mudanya, maka atas keputusan Sultan Muhammad Daud Syah di Markas Keumala Pidie (Lembah Pidie), pada tahun 1885 yang dihadiri Panglima Polem, Panglima Besar Tuanku Hasyim Banta Muda dan staff kerajaan lainnya diangkat lah Panglima Teuku Nyak Makam dengan resmi diangkat menjadi “Mudabbirusyarqiah” yakni penegak kedaulatan Aceh di bahagian Timur dan sekaligus sebagai panglima Mandala Kerajaan Aceh di Sumatera Timur dan Aceh Timur dengan wakilnya Teuku Nyak Muhammad (Nyak Mamad) dari Peureulak.

Panglima Teuku Nyak Makam di samping bertugas sebagai pemimpin pasukan gerak cepat dengan senjata lengkap, yang bertugas mengkoordinir barisan-barisan pejuang Aceh yang dipimpin oleh Uleebalang / Raja-raja setempat dari Sungai Jambo Ayee di Simpang Ulim hingga ke Deli Hulu dan Serdang Hulu. Adapun pasukan gerak cepat yang dipimpin langsung Teuku Nyak Makam dengan di dampingi oleh wakilnya Teuku Panglima Nyak Mamat itu, baik taktis atau administratisinya dibagi atas beberapa pasukan, di antara komandan-komandan pasukannya yang dapat diketahui antara lain, Panglima Perang Ben, Nyak Muhammad alias Teuku Tapa, Nyak Ali, Said Abdurrahman, Haji Abdullah, Teuku Muda Sulaiman, Panglima Perang Umar, Panglima Prang Ulim dan Teuku Mad Dia, Sultan Ulim dan lain-lain.

Adapun kesatuan-kesatuan pejuang lokal dalam bidang dan strategi langsung dikomandoi Teuku Nyak Makam sendiri sedangkan administratifnya di panglimai sendiri oleh ulee balang-ulee balang setempat antara lain, Teuku Panglima Perang Hakim Julok Cut, Teuku Bentara Peukan Juluk Rayeuk, Teuku Usuh Ulee Gajah Bagok, Teuku Panglima Perang Nyak Bugam dan kemanakannya, Teuku Syamsareh Idi Cut, Teuku Bukit Pala dan Teuku Nyak Bahrum Idi, Teuku Panglima Kaum Lam Baet dan Teuku Abu Peudawa Rayeuk, Teuku Tibang Muhammad Husin dan anaknya Teuku Nyak Gam dari Lintang Peureulak, Teuku Meurah Din dan Teuku Meudagu dari Peureulak, Nyak Umar dari Alur Nireh, Teuku Daud dari Lhok, Panglima Perang Beuni dari Bayeuen, Teuku Chik Bintara dan Teuku Panglima Meudeuhak dari Langsa, Tuanku Ibrahim (Putra Tuanku Hasyim Banta Muda Hasyim ) dan menantunya Said Ali ( Habib Rayeuk ) Manyak Paet, Teuku Banta Ahmad dan Datuk Panglima Dalam Muhammad Saleh Set Yu, Teuku Ujung Rimba Bendahara, Panglima Ibrahim di Kejuruan Muda, Teuku Ben Raja dan Teuku Raja Silang di Kejuruan Karam, Panglima Abdul Manaf di Serba Jadi, Datuk Sri Pahlawan di Damar Condong/Air Masin, Teuku Nyak Hasan di Pulau Kampai, Teungku Abdul Rahman dan adiknya Wan Muntok di Bahorok Langkat Hulu, Datuk Kecil, Datuk Jalil dan Datuk Sulung Barat di Sunggal dan puluhan panglima-panglima lainnya hingga sampai ke tanah Karo, Deli Hulu dan Serdang Hulu.

Sebagai gerak pertama setelah pengangkatannya menjadi Panglima Mandala kerajaan Aceh di Sumatera Timur dan Aceh bagian Timur, pada bulan November 1885 Panglima Teuku Nyak Makan dengan 140 orang anak buahnya yang terlatih rapi itu muncul di Tamiang untuk memulai operasinya, dalam operasinya tersebut telah menimbulkan kepanikan bagi seluruh pembesar sipil dan meliter Belanda apalagi bagi pengusaha-pengusahanya. Pada tanggal 18 Desember 1885 dengan kekuatan 50 orang prajurit Panglima Teuku Nyak Makam yang dipimpin oleh Nyak Ulim telah menggempur Tangsi Belanda di Seuruwey setelah berhasil dipancing keluar dari kandangnya. Dalam penyerangan tersebut seluruh kolonial itu telah dijadikan bulan-bulanan umpan peluru dari para pejuang.

Kemudian pada tanggal 28 malam 29 Desember 1885, pejuang Aceh yang dipimpin langsung oleh Teuku Nyak Makam sendiri telah menggempur Seuruwey yang dipertahankan oleh lebih kurang 300 serdadu Belanda yang lengkap dengan kaveleri, arteleri termasuk pasukan-pasukan marinir. Panglima Teuku Nyak Makam berhasil mengobrak-abrik rumah penjara di Seuruwey, selain kepala penjaranya sendiri beberapa orang serdadu Belanda tewas dalam pertempuran tersebut.

Dari Seuruwey Panglima Teuku Nyak Makam terus maju dengan pasukan gerak cepat guna menggempur kedudukan Belanda di Pulau Kampai dan berhasil merampas seluruh senjata yang ada pada Polisi dan Pabean tanpa ada kesempatan untuk memberikan perlawanan. Dengan berhasil menggempur kedudukan Belanda pada tanggal 2 Januari 1886 dari Pulau Kampai Nyak Makam kembali lagi kejurusan Temiang dan menggempur benteng-benteng Belanda di Seuruwey, untuk penggempuran ini pasukan gerak cepat Nyak Makam telah dibantu oleh raja Ma’an Raja Kejeruan Muda/Tamiang Hulu, dengan menggunakan pasukan khususnya.

Setelah menderita berbagai kerugian terutama kematian serdadunya, terpaksalah pertahanan Belanda di Seuruwey mendatangkan pasukan tambahan sebanyak 124 orang serdadu Mobiel Brigade termasuk tiga orang perwira disamping satu Peleton infanterinya. Dari Seuruwey PanglimaTeukuNyak Makam berangkat ke Besitang, mendengar bahwa pasukan Nyak Makam akan menyerang, mereka mengundurkan diri ke Pangkalan Siata, maka Nyak Makam dengan sebagian besar anak buahnya terus masuk ke sekitar Langkat Hilir dan di sana beliau mengganyang perkebunan-perkebunan Belanda di Glen Bervi (Paloh Muradi), Gerbang, Serapuh, Tamaran, Tarau dan Perkebunan lain di sekitar Langkat Hilir. Kejadian ini terjadi dalam bulan Februari 1886.

Sebahagian pasukan gerak cepat Nyak Makam di bawah pimpinan Nyak Ali, dikerahkan untuk menghantam perkebunan di Teluk Rubiah (sekarang termasuk kepenghuluan Pangkalan Siata Kecamatan Pangkalan Susu). Dalam penyerangan itu siapa saja yang berani melawan maka akan menjadi makanan santapan pasukan yang dikenal tanpa takut itu. Dari sini penyerangan diteruskan ke perkebunan Tungkam dan Sungai Dua. Setelah perkebunan di sungai Dua itu dibinasakan, para pejuang terus bergerak ke sungai Satu. Akibat dari penyerangan-penyerangan tersebut, perkebunan di Teluk Rubiah, Tungkam, Sungai Dua dan Sungai Satu terpaksa ditutup. Kejadian ini terjadi di bulan Februari hingga tanggal 11 dan 12 Maret 1886.

Dari Sungai Dua dan Sungai Satu pasukan Aceh yang dipimpin oleh Nyak Ali menggabungkan dirinya kembali dengan induk pasukan yang dipimpin langsung oleh Panglima Teuku Nyak Makam dan dibantu oleh Tuanku Ibrahim (Putra Tuanku Hasyim Banta Muda), kemudian mereka meneruskan perjalanannya ke Bahorok untuk bertemu dengan Teuku Abdurrahman guna melantik Kejreun Bahorok yang telah turun temurun itu menjadi panglima barisan sabilillah untuk wilayah Langkat Hulu dan mengadakan kerja sama untuk memerangi Belanda.

Dalam waktu yang relatif singkat Tgk. Aburrahman Raja Bahorok itu segera merealisir dan melaksanakan tugasnya dengan dibantu oleh adiknya Wan Mentok. Beliau terus menghubungi kepala-kepala daerah di Langkat Hulu itu agar turut berjuang mengusir Belanda yang telah menodai tanah Langkat yang mulai mencekamkan kukunya sejak tahun 1864.

Hasilnya sebagai akibat dari kerja sama Panglima Teuku Nyak Makam bersama pasukan gerak cepatnya dari Aceh dengan Teuku Abdurrahman Kejreun Bahorok, Belanda terpaksa menempatkan Garnizun militernya di Binjai, kemudian perkebunan Bekiun dan sekitarnya terpaksa dikosongkan. Belanda juga harus membayar ganti rugi sebanyak F.75.000,- (Tujuh puluh lima ribu gulden) kepada maskapai Harizon (Inggris) akibat tak sanggupnya Belanda menjaga keamanan di daerah yang katanya telah dikuasai mereka sepenuhnya. Kemudian serdadu mereka juga banyak yang mati.

Di saat-saat Belanda sibuk menghadapi pertempuran dengan pejuang-pejuang Aceh/Langkat di daerah Langkat Hulu itu dalam bulan April 1886 itu juga Panglima Teuku Nyak Makam telah menyerang perkebunan Belanda di Serapuh, yang letaknya persis di bawah hidung Belanda sendiri dan hanya beberapa kilometer saja dari Tanjung Pura. Setelah sempat beberapa puluh orang bangsa dan serdadunya mati, barulah Belanda teringat untuk memperkuat pertahanan dan menambah serdadunya di Tanjung Pura itu.

Dalam bulan mai 1886, di kala Belanda telah mulai tenang kembali, tiba-tiba Nyak Makam telah mengganyang perkebunan Belanda di sungai Sedapan (ke Hilir Besitang) yang baru saja dibuka. Akibatnya pengusaha Belanda terpaksa ambil langkah seribu, tak berani lagi menampakan dirinya lagi ke tempat semula dan menghentikan sama sekali rencananya.

Setelah lenyap dari daerah Besitang itu, tiba-tiba pasukan Nyak Makam di awal bulan Juni 1886 telah muncul kembali untuk menghadapi Belanda yang bermarkas di Tanjung Pura, di mana Nyak Makam telah menyerang perkebunan Tamaran yang terletak kurang lebih 3 Km di timur Tanjung Pura). Dalam pertempuran itu banyak sekali serdadu Belanda yang tewas, termasuk dua orang asisten kebunnya sendiri. Di kala serdadu Belanda ingin menyerang kembali ke tempat tersebut, Nyak Makam tidak mereka jumpai lagi.

Demikianlah, dalam masa 14 bulan itu (Maret 1885 s/d Juni 1886) menurut pengakuan Belanda sendiri di daerah Langkat Hilir dan Teluk Haru itu tidak kurang dari 25 kali pasukan sabilillah Nyak Makam mengadakan penyerangan, yang terpaksa mereka hadapi dengan pengorbanan yang tidak alang kepalang.

Sesudah menggemparkan dan mengejutkan Belanda selama 14 bulan itu, maka dalam bulan Juni 1886, Panglima Teuku Nyak Makam kembali pulang ke kampungnya Lamnga Aceh Besar untuk beristirahat di samping untuk bertemu dengan Sultan Alaiddin Muhammadsyah, Tuanku Hasyim Banta Muda dan Teuku Panglima Polem Ibrahim Muda Kuala, yang telah memindahkan kembali markas besarnya ke wilayah XXII mukim Aceh Besar.

Selanjutnya dalam bulan Juni 1886 itu juga Panglima Teuku Nyak Makam dengan diam-diam kembali ke markasnya beserta membawa 25 orang prajuritnya ahli gerilya yang dipimpin oleh Pang Abu. Hasil-hasil nyata yang telah diperoleh selama gerakan pertama Panglima Teuku Nyak Makam itu di daerah Langkat dan Aceh Timur, walaupun Panglima Teuku Nyak Makam tidak berhasil menguasai derah khusus di daerah Langkat, tetapi belasan onderming yang sedang membangun terpaksa gulung tikar dibuatnya, di mana tempat-tempat tersebut yang telah diterlantarkan oleh Belanda/raja Langkat menjadi hutan kembali sehingga tempat itu dapat dijadikan basis untuk gerakan Nyak Makam selanjutnya.

Sebaliknya di wilayah Tamiang, akibat munculnya Nyak Makam, Belanda yang telah menempatkan serdadunya sejak tahun 1865 di Seuruwey tidak berani memperluas daerahnya. Dalam arti kata mereka tetap terpulau di dalam tangsinya di dalam Peukan Seuruwey itu saja, sedangkan selebihnya seperti di daerah Kejuruan Muda, Bendahara, apalagi Kejreun Karang dan Sungai Yu, masih tetap di bawah kekuasaan Aceh sepenuhnya.[2]

Teuku Nyak Makam kembali ke Aceh Besar

[sunting | sunting sumber]

Setelah meninggalkan wilayah Tamiang, dalam perjalanan pulang, Panglima Teuku Nyak Makam tidak langsung pulang ke kampungnya di Lamnga, tetapi sambil berobat beliau menyempatkan diri singgah di tempat-tempat yang telah beliau tempatkan komandan-komandan pasukan sejak dari Peureulak, Idi, Keureuto, Nisam, Samalanga, Meureudu dan Pidie untuk berjumpa degan Sultan Panglima Polem, terutama bekas gurunya Tuanku Hasyim Banta Muda di Padang Tiji. Kemudian setelah mengadakan kontak dengan mertuanya Teuku Umar Meulaboh, barulah beliau pulang ke kampung halamannya di Lam Nga.

Karena menderita sakit Teuku Nyak Makam merencanakan untuk pulang ke kampung halamannya di Lamnga Aceh Besar dan perlawanan terhadap Belanda di wilayah timur selanjutnya di percayakan pada wakilnya Nyak Muhammad. Setelah itu Panglima Teuku Nyak Makam langsung berangkat menuju ke Aceh Besar. Banyak biaya yang dihamburkan Belanda untuk mata-mata, ketika mendengar kabar kepergiannya ke kampung halaman. Belanda mengharapkan bahwa dari pengkhianatan akan diperoleh informasi tentang keberadaan Panglima Teuku Nyak Makam supaya bisa dicegat. Tapi Panglima Teuku Nyak Makam selalu berhasil mempermainkan Belanda, karena Panglima Teuku Nyak Makam mengenal siapa pengkhianat itu, maka mudahlah baginya melangsir berita palsu mengenai di mana dia berada.

Sebuah berita “Aceh Courant” tanggal 14 Januari 1893 mengatakan bahwa Panglima Teuku Nyak Makam sudah berada di Aceh Besar, sementara sebuah berita “Deli Courant” disekitar masa itu mengatakan bahwa Panglima Teuku Nyak Makam berada di Peureulak. Lalu pasukan Belanda di berangkatkan ke Peureulak, tapi Panglima Teuku Nyak Makam masih berada di Tamiang, dan menghantam pasukan Belanda di bagian ini ketika Belanda memalingkan perhatiannya ke Peureulak.

Keberangkatan Panglima Teuku Nyak Makam ke Aceh Besar sebetulnya berlangsung pada minggu kedua bulan April 1893, tidak lama setelah serah terima jabatan Panglima Teuku Nyak Makam kepada Teuku Nyak Mamad mengenai pimpinan tugas perlawanan di Aceh Timur dan Langkat, Panglima Teuku Nyak Makam sebetulnya adalah teman akrab dengan Teuku Umar, dikaitkan lagi dengan Cut Nyak Dhien isteri abang sepupunya Teuku Chik Ibrahim yang gugur tanggal 29 Juni 1878, di samping pernah serumah di Lamnga juga Cut Nyak Dhien adalah sewali dengan Teuku Umar.

Teuku Umar simpati kepada Panglima Teuku Nyak Makam karena ketangkasannya berperang. Ada alasan untuk percaya bahwa Panglima Teuku Nyak Makam pergi ke Aceh Besar bukanlah karena kegagalan melawan Belanda di Aceh Timur, melainkan karena dipanggil oleh Teuku Umar sendiri ataupun karena ingin menambah bala bantuan atau untuk memperunding lebih jauh mengenai koordinasi dan strategi perlawanan semesta terhadap Belanda.

Sebagai fakta bahwa perlawanan di Aceh Timur tidak gagal dapat disaksikan dari kegiatan perang menghadapi Belanda pimpinan Teuku Nyak Muhammad. Suatu pertempuran yang mematahkan kekuatan Belanda di Bukit Kubu telah berlangsung pada tanggal 24 Mai 1893 ketika Teuku Nyak Muhammad dan pasukannya mengadakan serangan hebat. Perlawanan yang berarti sekitar masa itu berlangsung terus di antaranya di Upak, Tanjung, Seumanto dan Manyak Paet (Maja Pahit). Perlawanan, selanjutnya di bagian ini berlanjut hingga bertahun-tahun, bahkan pada memakan waktu yang lama dan semakin meningkat hebat tatkala pejuang-pejuang di bagian ini mendengar bahwa Teuku Umar telah balik lagi ke pangkuan Aceh.

Tahun-tahun berikutnya Teuku Nyak Muhammad mengaktifkan perlawanan gerilya di samping perlawanan yang masyhur dari Teuku pejuang Gayo dari Telong. Belanda yang sengaja telah melepaskan mata-mata untuk mengikuti langkah Panglima Teuku Nyak Makam, yang terkenal licin dan boleh disebut seorang intelligent yang terulung yang paling ditakuti oleh Belanda.

Dalam bulan November 1893 Panglima Teuku Nyak Makam masih berada di wilayah Pidie. Belanda sama sekali tidak berhasil walaupun telah menghabiskan dana yang besar untuk mengetahui di mana Panglima Teuku Nyak Makam berada, sehingga seperti orang yang ling-lung demikian lah tamsilan untuk Belanda ketika diberitahukan secara resmi oleh Teuku Umar bahwa Panglima Teuku Nyak Makam telah berada di Kula Gigieng. Teuku Umar ketika itu sudah menjadi Panglima Perang Besar Belanda dan dia mengatakan bahwa Panglima Teuku Nyak Makam telah diangkat menjadi pembantunya untuk me melihara keamanan di bagian XXVI mukim.

Demikianlah semenjak itu Panglima Teuku Nyak Makam telah berada ditempat asalnya di Lamnga, termasuk di XIII Mukim Tungkop. Panglima Teuku Nyak Makam tidak bisa diambil tindakan apa-apa oleh Belanda karena dilindungi oleh Teuku Umar. Belanda terpaksa menyimpan kemarahannya. Sebaliknya Kolonel A.H. Van de Poll yang berada di Medan hanya bisa mengurut dada untuk menahan kemarahannya.[3]

Dendam Belanda kepada Teuku Nyak Makam

[sunting | sunting sumber]

Demikianlah kejadian dalam penghujung tahun 1893, Komandan Militer Belanda di Medan amat kecewa terhadap Gubernur Militer di Aceh, Jenderal Deijkerhoff yang bersikap lunak terhadap musuh-musuh Belanda yang paling berbahaya seperti Panglima Teuku Nyak Makam itu. Padahal ia telah banyak menewaskan Belanda. Dia adalah penyerang yang sangat tangkas, orang yang ditakuti oleh administratur kebun, karena jiwa mereka senantiasa terancam, setiap saat dapat saja membakar dan mengadakan sabotase di perkebunan. Di mana sedang giat-giatnya Belanda membuka Perkebunan dan Tambang, maka disitulah Panglima Teuku Nyak Makam giat mengadakan sabotase dan penyerangan gerilya.

Menghadapi kenyataan ini Belanda tidak dapat berbuat apa-apa, tuntutan Belanda di Sumatera Timur supaya Panglima Teuku Nyak Makam di tangkap tidak diacuhkan sama sekali, sebab Belanda masa itu masih sangat mengharapkan bantuan Teuku Umar. Tapi dendam kusumat Belanda terhadap Panglima Teuku Nyak Makam tidak bisa hilang begitu saja. Dendam kesumat itu segera menonjol begitu Teuku Umar dalam bulan Maret 1896 balik arah untuk melawan Belanda.

Sebagai seorang kesatria yang tak mungkin dapat menahan diri dari berjuang, baru sembuh sedikit Panglima Teuku Nyak Makam telah menggabungkan dirinya dengan kesatuan yang dipimpin oleh Sultan, namun karena penyakitnya beliau hanya mampu bertindak sebagai penasihat saja.

Demikianlah, di triwulan pertama tahun 1896, karena penyakitnya semakin parah terpaksalah Panglima Teuku Nyak Makam kembali untuk beristirahat ke kampungnya di Lamnga, sesampai di sana ia sudah tidak sanggup bangun-bangun lagi, sehingga beliau tidak tahu bahwa Teuku Umar yang melindunginya telah kembali berjuang di pihak pembela bangsanya lagi.

Sebaliknya karena sangat tergesa-gesa Teuku Umar pun tak sempat pula memberitahukan mengenai kembalinya kepada menantunya yang sedang sakit itu. Lagi pula berdasarkan pengalaman terdahulu kampung Lamnga itu sepeninggal Panglima Teuku Nyak Makam dulu, hampir tidak pernah diserang atau dimasuki oleh serdadu Belanda terkutuk itu. Ternyata keadaan di mana bergabungnya kembali Teuku Umar kepada bangsanya sungguh tidak menguntungkan Panglima Teuku Nyak Makam. Dia sendiri dalam keadaan sakit, tidak dapat bergerak dari pembaringan sejak beberapa lamanya.[4]

Kematian Teuku Nyak Makam

[sunting | sunting sumber]

Demikianlah pada tanggal 21 Juli 1896 seorang cecunguk Belanda datang melaporkan kepada Belanda di Kutaradja (Banda Aceh sekarang) bahwa Panglima Teuku Nyak Makam yang sekian lama dibuntuti oleh Belanda itu kini sedang berada dalam keadaan sakit berat di Lam Nga dan jika diserang pasti dapat dihancurkan. Tanpa membuang waktu Belanda mengarahkan sejumlah besar tentaranya. Belanda sadar siapa lawannya, pengalaman pasukan Kolonel Van de Poll ketika berhadapan dengannya di Tamiang dulu telah meyakinkan Belanda bahwa Panglima Teuku Nyak Makam harus dihadapi dengan pasukan yang luar biasa besar.

Setelah mendengar berita tersebut jenderal Johannes Wouter Stemfoort Gubernur Sipil dan militer Belanda di Aceh terus saja memerintahkan bawahannya Letnan Kolonel G.F.Soeters mengerahkan serdadunya untuk menghancur leburkan Panglima Teuku Nyak Makam yang merupakan musuh utamanya.

Demikianlah di malam kelam yang gelap gulita, yaitu tepat pada Senin malam Selasa tanggal 21 menjelang 22 Juli 1896 M bertepatan dengan 9 jalan 10 safar 1314 H, berangkatlah Belanda ke kampung Lamnga di bawah pimpinan Letnan Kolonel G.F. Soeters. Pasukan ini terdiri dari berbagai gabungan Korps Marsose, satu batalyon Infantri ke tiga sebanyak 3 kompi dari batalyon infantri ke 6 sebanyak satu batalyon ke 12 sebanyak satu pasukan Kafeleri dengan 45 orang dari pasukan Zeni, pasukan ini didatangkan dengan mengatur kepungan serentak dan berkombinasi dengan satu detasemen dari batalyon yang ditempatkan (garnizun) di Kuala Gigieng yang berjumlah kurang lebih 2000 orang serdadu seluruhnya.

Dengan kekuatan sedemikian dahsyat itulah Belanda baru sanggup dan berani menghadapi seorang insan Aceh yang sedang sakit parah, tetapi Belanda mengerti berdasarkan pengalamannya bahwa setiap orang Aceh bernilai sama dengan 100 orang serdadu Belanda. Tapi terhadap diri Panglima Teuku Nyak Makam musuh utama dan yang paling ditakuti oleh Belanda ini, bernilai 10 kali lipat lagi, seorang baru sebanding dengan beliau sebanyak 1000 orang Belanda dan andai kata ada pengawalnya 10 orang, maka mereka harus diahadapi oleh 1000 orang Belanda yang lain lagi. Penilaian seperti ini pasti tidak pernah dicetuskan mereka melalui lidahnya, konon pula untuk menuliskan dalam buku-bukunya, tetapi fakta sejarah demikianlah kenyataannya.[5]

Demikianlah, kampung Lamnga yang sunyi sepi yang tak ada nilainya dari sudut strategi militer, terus dikepung rapat dengan ketat dan disekat dengan tiba-tiba, sehingga penduduknya yang rata-rata adalah kaum wanita, ditambah kakek-kakek yang telah tua renta dan bocah-bocah yang masih ingusan pastilah tak sanggup dan tidak ada kesempatan lagi melakukan sesuatu menghadapi sergapan mendadak dari serdadu Belanda. Konon pula untuk mengungsikan Panglima Teuku Nyak Makam yang sedang sakit parah dan tergeletak di pembaringannya.

Sedangkan Panglima Teuku Nyak Makam sendiri dalam keadaan seperti itu, apalagi di luar dugaannya pastilah pula tak ada kesempatan lagi berbuat sesuatu, apalagi dia sendiri tidak berdaya sedikitpun. Andaikata beliau masih sanggup bergerak pastilah beliau akan meluluhlantakkan beberapa orang Belanda sebelum beliau dapat disekap dan ditawan mereka. Karena itu sama sekali tidak mungkin lagi, maka selanjutnya dia serahkan dirinya kepada Allah dengan tulus tekad sepenuh hati. beliau rela berjuang dengan mempertaruhkan tubuhnya untuk menyambut seruan dan panggilan Tuhannya, Allah Robbul ‘izzati.

Penyerangan terhadap kediaman Panglima Teuku Nyak Makam berlangsung secara mengejutkan sebab tidak ada yang mengetahui dan mendengarnya. Yang ditemui oleh Belanda adalah Panglima Teuku Nyak Makam yang sedang sakit parah di pembaringan.Walaupun demikian cara Belanda yang betul-betul pengecut menawan Nyak Makam yang telah pucat pasi dan kurus kering dan betul-betul tanpa daya, persis laksana sekawanan besar monyet menyergap seekor ular besar yang kekenyangan sehabis menelan mangsanya.

Dengan serba kebengisan, Panglima Teuku Nyak Makam lalu ditangkap kemudian diangkat dan dinaikkan ke tandu, kemudian isteri serta seisi rumahnya digiring dengan sangkur terhunus kebadan mereka masing-masing. Teuku Nyak Makam dan isterinya digotong ke kampung Gigieng, di tempat Letnan Kolonel Soeter sedang menunggu dengan harap-harap cemas.

Melihat wajah Panglima Teuku Nyak Makam yang telah pucat pasi, kurus kering hanya tinggal kulit pembalut tulang tiba-tiba secara mendadak G.F.Soeters kehilangan akal. Diapun terus memancung putus kepala Panglima Teuku Nyak Makam dalam keadaan terikat dan terbaring di atas tandu. Selanjutnya tanpa tunggu perintah lagi, batang tubuh beliau dicincang-cincang lumat hingga hancur secara berebut-rebutan oleh serdadu-serdadu Belanda yang 2000 orang jumlahnya, masing-masing seakan takut tak dapat bagiannya. Peristiwa tersebut terjadi di hadapan mata dan disaksikan anak isteri dan penduduk Lam Nga yang sengaja digiring ke Kuala Gigieng itu agar mereka tahu betapa dan bagaimana biadab, kejam dan sadisnya Belanda yang tak malu-malu mengaku diri bangsa tersopan di dunia.[6]

Kebiadaban Penjajah Belanda

[sunting | sunting sumber]

Setelah melumatkan tubuh Panglima Teuku Nyak Makam, kepala beliaupun dijadikan bulan-bulanan tentara Belanda seperti bola sebagai tanda kemenangan. Selanjutnya, saat malam tiba kepala syuhada agung Aceh itu mereka angkut secara demonstrasi dengan bersorak-sorai kegirangan diiringi rasa bangga untuk mempersembahkan kepada Gubernur Jenderal J.W.Steemfoort di Kutaraja (Banda Aceh sekarang).

Besok paginya Selasa tanggal 22 juli 1896 kepala Panglima Teuku Nyak Makam itu, terus diarak untuk dipawaikan, diperagakan dan didemonstrasikan oleh suatu iringan-iringan besar serdadu Belanda, dengan melintasi seluruh jalan-jalan dan gang-gang penting di Kutaraja, dengan bertempik sorak tanda kesenangan karena mereka telah mengalahkan musuh bebuyutannya yang paling mereka takuti dan yang telah menewaskan ribuan serdadu bangsa mereka.

Tidak beberapa lama kemudian, kepalanya yang sudah terpisah dari tubuhnya yang sebelumnya telah dibalsem, lalu dikirim ke Batavia kepada Tuan Besar Gubernur Jendral, Panglima Besar (Leger Comandant) dan pembesar-pembesar Hindia Belanda yang berada di sana. Dari Batavia diteruskan ke Nederland untuk dipersembahkan kepada Sri Baginda Maharaja Ratu, para Menteri dan pembesar-pembesar mereka di Den Haag. Konon menurut sumber yang lain kepala Nyak Makam dikirimkan kembali ke Cimahi setelah dibalsem dalam toples. Dan pada tahun 1942 baru kemudian dikebumikan atas perintah angkatan perang Jepang untuk Indonesia. Sebelumnya Kepala yang di awetkan dalam botol besar dan di pamerkan di koridor rumah sakit militer Belanda di Kuta Alam (Kesdam sekarang) dan sebelum di kuburkan kepalanya tersimpan di Meseum Aceh-Belanda di negeri Belanda.[7]

Referensi

[sunting | sunting sumber]
  1. ^ Arief (2015-10-03). "Panglima Teuku Nyak Makam". Pikiran Merdeka. Diakses tanggal 2021-01-17. 
  2. ^ Putra (Tgk.), Lamkaruna (2001). Panglima Teuku Nyak Makam: pahlawan dua pusara. Titian Ilmu Insani. 
  3. ^ sinarpidie.co. "Dua Nisan di Kuta Pangwa". sinarpidie.co. Diakses tanggal 2021-01-17. 
  4. ^ tengkuputeh (2017-07-29). "TEUKU NYAK MAKAM, PAHLAWAN ACEH TANPA KEPALA". Tengkuputeh (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2020-06-25. 
  5. ^ Unknown (Selasa, 30 Januari 2018). "ATJEH GALLERY: PANGLIMA T NYAK MAKAM". ATJEH GALLERY. Diakses tanggal 2021-01-17. 
  6. ^ "Panglima Teuku Nyak Makam Headless Hero, Pahlawan Tanpa Kepala - PORTALSATU.com". portalsatu.com. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2020-05-03. Diakses tanggal 2021-01-17. 
  7. ^ Witkam, Jan Just (2019-04-15). "Teuku Panglima Polem's Purse". Journal of Islamic Manuscripts. 10 (1): 84–104. doi:10.1163/1878464x-01001006. ISSN 1878-4631.