Lompat ke isi

Sejarah Daerah Istimewa Yogyakarta

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Revisi sejak 9 September 2007 05.11 oleh Den Mazze (bicara | kontrib)

Daerah Istimewa Yogyakarta termasuk salah satu propinsi tertua yang dibentuk oleh Pemerintah Pusat. Propinsi ini juga memiliki status istimewa, atau dengan bahasa saat ini otonomi khusus, bila dibandingkan dengan propinsi lainnya. Status otsus ini bukanlah turun begitu saja dari langit dan bukan pula, sepanjang tercatat oleh sejarah resmi, hasil dari upaya untuk meredam gejolak separatisme. Status ini boleh dikatakan merupakan sebuah “warisan” dari zaman sebelum kemerdekaan yang kemudian diakui oleh para founding fathers yang duduk dalam BPUPKI dan PPKI.

Status keistimewaan bagi Pemerintahan Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dapat dirunut jauh sekali ke belakang sebelum proklamasi Negara Indonesia. Pada tahun 1749, setelah menderita sakit parah yang berkepanjangan, Raja Mataram kesembilan, Susuhunan Paku Buwono II, menandatangani sebuah perjanjian pendek yang pada intinya “menitipkan” Kerajaan Mataram kepada VOC yang diwakili oleh Gubernur dan Direktur Jawa (lihat naskah di wikisource). Dengan demikian Kerajaan Mataram yang sejak tahun 1677 digerogoti Kompeni bukan lagi sebagai negara berdaulat penuh melainkan hanya semacam kerajaan protektorat dari VOC. Namun, perjanjian tersebut hanya di atas kertas belaka dan baru dilaksanakan sepenuhnya setelah kedatangan Gubernur Jenderal Perancis Daendels serta Letnan Gubernur Jenderal Inggris Sir Thomas Stamford Raffles.

Dengan status semacam protektorat itulah Kesultanan Yogyakarta (mulai 1812) dan juga Kadipaten Paku Alaman (mulai 1813/1829?) diberi hak oleh pemerintah penjajahan Inggris untuk memerintah daerahnya sendiri dengan pengawasan teramat ketat dari gubermen di Buitenzorg/Batavia. Keadaan ini diteruskan oleh Pemerintah Nederlands Indië yang menerima kekuasaan dari Inggris pada 1816 dengan sebutan Zelfbestuurende Lanschappen. Status inilah yang dapat dipandang sebagai asal-usul status istimewa atau otonomi khusus bagi Yogyakarta dalam ketatanegaraan Indonesia. Perlu dicatat bahwa daerah yang tidak memiliki status zelfbestuur hanyalah daerah administratif belaka yang tidak memiliki otonomi sedikitpun dan dikendalikan sepenuhnya oleh Batavia.

Predikat sebagai “Zelfbestuur” bagi dua monarki di Yogyakarta pada waktu itu tidak membawa permasalahan yang berarti karena Hindia Belanda maupun Nederland sama-sama berbentuk monarki. Tidak aneh dalam tata negara sebuah kerajaan kesatuan memiliki beberapa kerajaan vassal di bawahnya. Status ini tidak dihapus pada 1942 oleh Tentara Angkatan Darat XVI Jepang di Jawa, melainkan kedudukannya hanya dialihkan menjadi bagian dari Kekaisaran Jepang dan Asia Timur Raya dengan sebutan Koti/Kooti. Bahkan pada tahun 1943 Hamengkubuwono IX Yogyakarta Koo pernah mengajukan sebuah konsep Kemaharajaan Jawa kepada Dai Nippon di Betawi. Dalam sidang kedua Dokuritzu Zyunbi Tyoosakai 10-15 Juli 1945 disepakati bahwa kooti akan menjadi daerah (bukan negara!) yang memiliki “otonomi khusus” atau dalam bahasa saat itu “status istimewa”.

Sementara itu di Yogyakarta sendiri terjadi beberapa perubahan kecil namun cukup signifikan. Pertama, sejak 1942 Hamengku Buwono IX secara pelan namun pasti mengambil kekuasaan yang ada di tangan Pepatih Dalem (Chief of Administrative Officer, berfungsi semacam kepala pemerintahan sehari-hari) dengan cara memindahkan kantor Pepatih Dalem dari nDalem Kepatihan (Istana Perdana Menteri) ke Karaton (Kraton/Istana Kerajaan) Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat. Hal ini menyebabkan pihak Kooti Zimukyoku jika ingin berhubungan dengan Pepatih Dalem harus dengan izin Sultan. Dengan demikian Hamengku Buwono IX dapat mengetahui seluruh kegiatan pemerintahan sehari-hari yang diselenggarakan oleh Pepatih Dalem bersama-sama Koti Zimukyoku Tyookan. Kedua, ketika Pepatih Dalem KPHH Danurejo VIII diberhentikan dengan hormat atas permohonan sendiri pada 14 Juli 1945, Sultan Hamengku Buwono IX (HB IX) tidak mengangkat Pepatih Dalem untuk menggantikannya. Sultan HB IX lebih memilih untuk mengambil alih seluruh kekuasaan pemerintahan sehari-hari yang sebelumnya ada di tangan Pepatih Dalem. Untuk membantu melaksanakan kekuasaan tersebut Sultan HB IX membentuk beberapa Departemen Pemerintahan modern yang disebut dengan Paniradya yang dikepalai oleh Paniradyapati. Pembaruan pemerintahan ini diumumkan pada 1 Agustus 1945.

Pada Mulanya…

Daerah Istimewa Yogyakarta tahun 1945-1946

Yogyakarta sore hari tanggal 18 Agustus 1945, Sultan Hamengku Buwono IX dan Paku Alam VIII mengirimkan ucapan selamat kepada Soekarno-Hatta atas kemerdekaan Indonesia dan atas terpilihnya kedua beliau sebagai Presiden dan Wakil Presiden Indonesia. Selain itu juga dikirim ucapan terima kasih kepada KRT Rajiman Wediodiningrat (mantan ketua BPUPKI) dan Nampoo-Gun Sikikan Kakka dan Jawa Saiko Sikikan beserta stafnya. Keesokannya tanggal 19 di Jakarta terjadi pembicaraan yang hangat dalam sidang PPKI membahas kedudukan Kooti. Sebenarnya kedudukan Kooti sendiri sudah dijamin dalam UUD, namun belum diatur dengan rinci.



Pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil, dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan undang-undang, dengan memandang dan mengingati dasar permusyawaratan dalam sistem pemerintahan negara, dan hak-hak asal-usul dalam daerah-daerah yang bersifat istimewa. (Pasal 18 UUD 1945)


Dalam sidang itu BPH Puruboyo', wakil dari Yogyakarta Kooti meminta pada pemerintah pusat supaya Kooti dijadikan 100% zelf-standig dan perhubungan dengan Pemerintah Pusat secara rinci akan diatur dengan sebaik-baiknya. Usul tersebut langsung ditolak oleh Soekarno karena itu bertentangan dengan bentuk negara kesatuan yang sudah disahkan sehari sebelumnya. Puruboyo menerangkan bahwa banyak kekuasaan yang sudah diserahkan Jepang kepada Koti sehingga jika diambil kembali dapat menimbulkan kegoncangan. Ketua panitia kecil perancang susunan daerah dan kementerian negara, Oto Iskandardinata, mengemukakan bahwa soal Kooti memang sangat sulit dipecahkan sehingga panitia kecil tidak membahasnya lebih lanjut dan diserahkan kepada beleid Presiden. Akhirnya dengan dukungan Hatta, Suroso, Suryohamijoyo, dan Supomo kedudukan Kooti ditetapkan status quo sampai dengan terbentuknya Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah. Akhirnya Soekarno pada hari itu mengeluarkan piagam penetapan kedudukan bagi empat Ko Jawa. Piagam tersebut baru diserahkan pada 6 September setelah tahu sikap resmi dari para penguasa monarki.

Hari pertama bulan September Komite Nasional Indonesia Daerah (KNID) Yogyakarta dibentuk dengan merombak keanggotaan Yogyakarta Kooti Hookookai. Pada hari yang sama juga dibentuk BKR (Badan Keamanan Rakyat). Usai terbentuknya KNID dan BKR Sultan Hamengku Buwono IX, mengadakan pembicaraan dengan Paku Alam VIII (PA VIII) dan Ki Hajar Dewantoro serta tokoh lainnya. Setelah mengetahui sikap rakyat Yogyakarta terhadap Proklamasi barulah Sultan HB IX mengeluarkan dekrit kerajaan yang dikenal dengan Amanat 5 September 1945. Isi dekrit tersebut adalah integrasi monarki Yogyakarta ke dalam Republik Indonesia. Dekrit dengan isi yang serupa juga dikeluarkan oleh Paku Alam VIII pada hari yang sama. Dekrit integrasi dengan Republik Indonesia semacam itu sebenarnya juga dikeluarkan oleh berbagai monarki di Nusantara, walau tidak sedikit monarki yang menunggu ditegakkannya pemerintahan Nederlandsch Indische setelah kekalahan Jepang. Dekrit semacam itu mengandung resiko yang sangat besar. Seperti di daerah Sulawesi, Raja Kerajaan Luwu akhirnya terpaksa meninggalkan istananya pergi bergerilya melawan Sekutudan NICA untuk mempertahankan dekritnya mendukung Indonesia.

Pada saat itu wilayah kekuasaan Kasultanan Yogyakarta meliputi:

  1. Kabupaten Kota Yogyakarta dengan bupatinya KRT Hardjodiningrat,
  2. Kabupaten Sleman dengan bupatinya KRT Pringgodiningrat,
  3. Kabupaten Bantul dengan bupatinya KRT Joyodiningrat,
  4. Kabupaten Gunungkidul dengan bupatinya KRT Suryodiningrat,
  5. (e) Kabupaten Kulonprogo dengan bupatinya KRT Secodiningrat.

Sedang wilayah kekuasaan Kadipten Paku Alaman meliputi:

  1. (a) Kabupaten Kota Paku Alaman dengan bupatinya KRT Brotodiningrat,
  2. (b) Kabupaten Adikarto dengan bupatinya KRT Suryaningprang.

Kabupaten-kabupaten tersebut tidak memiliki otonomi melainkan hanya daerah administratif belaka. Bupati-bupati yang mengepalai masing-masing kabupatennya disebut dengan Bupati Pamong Praja. Mereka juga mengepalai birokrasi kerajaan yang disebut dengan Abdi Dalem Keprajan. Birokrasi kerajaan inilah yang akan menjadi tulang punggung utama Kabupaten dan Kota di DIY sampai tahun 1950. Dengan memanfaatkan momentum terbentuknya Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Daerah Yogyakarta pada 29 Oktober 1945 dengan ketua Moch Saleh dan wakil ketua S. Joyodiningrat dan Ki Bagus Hadikusumo, maka sehari sesudahnya, semufakat dengan Badan Pekerja KNI Daerah Yogyakarta, HB IX dan PA VIII mengeluarkan dekrit kerajaan bersama (dikenal dengan Amanat 30 Oktober 1945) yang isinya menyerahkan kekuasaan Legeslatif pada Badan Pekerja KNI Daerah Yogyakarta. Mulai saat itu pula kedua penguasa kerajaan di Jawa bagian selatan memulai reunifikasi dua kerajaan yang terpisah lebih dari 100 tahun. Semenjak saat itu dekrit kerajaan tidak hanya ditandatangani kedua penguasa monarki melainkan juga oleh ketua Badan Pekerja KNI Daerah Yogyakarta sebagai simbol persetujuan rakyat.

Pembaruan pemerintahan di Monarki Yogyakarta terus berlangsung. Pada saat itu terdapat beberapa birokrasi pemerintahan yang saling tumpang tindih (over lapping) antara bekas Kantor Komisariat Tinggi' (Kooti Zimukyoku), sebagai wakil pemerintah Pusat, Departemen Pemerintah Daerah (Kerajaan) Yogyakarta, dan Badan Eksekutif bentukan KNID Yogyakarta. Tumpang tindih itu tidak hanya berebut kekuasaan belaka tetapi menghasilkan benturan yang cukup keras di kalangan masyarakat yang menyebabkan terganggunya persatuan. Oleh karena itu pada 16 Februari 1946 dikeluarkan Maklumat No. 11 yang berisi penggabungan seluruh birokrasi yang ada ke Jawatan (Dinas) Pemerintah Daerah yang untuk sementara disebut dengan Paniradya. Selain itu melalui Maklumat No 7, 14, 15, 16, dan 17, monarki Yogyakarta mengatur tata pemerintahan di tingkat desa.

Sementara itu BP KNID juga menyelenggarakan sidang maraton untuk merumuskan RUU Pokok Pemerintahan Yogyakarta. RUU ini tidak kunjung selesai karena perbedaan yang teramat tajam antara BP KNID yang menghendaki Yogyakarta adalah daerah biasa seperti daerah yang lain dengan kedua Sri Paduka yang menghendaki Yogyakarta merupakan daerah istimewa. Akhirnya RUU yang terdiri dari 10 Bab tersebut dapat diselesaikan. Kesepuluh Bab tersebut adalah: I. Kedudukan Yogyakarta; II. Kekuasaan Pemerintahan; III. Kedudukan kedua Sri Paduka; IV. Parlemen Lokal (Dewan Daerah, Dewan Kota, Dewan Kabupaten, dan Dewan Kalurahan); V. Pemilihan Parlemen; VI. Keuangan; VII. Dewan Pertimbangan; VIII. Perubahan; IX. Aturan Peralihan; dan X Aturan Tambahan.