Lompat ke isi

Efek media massa

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Revisi sejak 23 September 2015 09.11 oleh Fannyfadiahs (bicara | kontrib)


Media Massa atau Pers

Media Massa atau Pers adalah suatu istilah yang mulai digunakan pada tahun 1920-an untuk mengistilahkan jenis media yang secara khusus didesain untuk mencapai masyarakat yang sangat luas. Dalam pembicaraan sehari-hari, istilah ini sering disingkat menjadi Media.

Masyarakat dengan tingkat ekonomi rendah memiliki ketergantungan dan kebutuhan terhadap media massa yang lebih tinggi daripada masyarakat dengan tingkat ekonomi tinggi karena pilihan mereka yang terbatas. Masyarakat dengan tingkat ekonomi lebih tinggi memiliki lebih banyak pilihan dan akses banyak media massa, termasuk bertanya langsung pada sumber atau ahli dibandingkan mengandalkan informasi yang mereka dapat dari media massa tertentu.

Pengertian Pers menurut Para Ahli

UU No. 40 tahun 1999 tentang Pers
Pers adalah lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik yang meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan gambar, serta data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, media elektronik, dan segala jenis saluran yang tersedia.
R Eep Saefulloh Fatah
Pers merupakan pilar keempat bagi demokrasi (the fourth estate of democracy) dan mempunyai peranan yang penting dalam membangun kepercayaan, kredibilitas, bahkan legitimasi pemerintah
Oemar_Seno_Adji
  1. Pers dalam arti sempit, yaitu penyiaran-penyiaran pikiran, gagasan, atau berita-berita dengan kata tertulis
  2. Pers dalam arti luas, yaitu memasukkan di dalamnya semua media mass communications yang memancarkan pikiran dan perasaan seseorang baik dengan kata-kata tertulis maupun dengan lisan.
Kamus Umum Bahasa Indonesia
Pers berarti:
  1. alat cetak untuk mencetak buku atau surat kabar
  2. alat untuk menjepit atau memadatkan
  3. surat kabar dan majalah yang berisi berita
  4. orang yang bekerja di bidang persurat kabaran.
Kustadi Suhandang
Pers adalah seni atau ketrampilan mencari, mengumpulkan, mengolah, menyusun, dan menyajikan berita tentang peristiwa yang terjadi sehari-hari secara indah, dalam rangka memenuhi segala kebutuhan hati nurani khalayaknya
Wilbur Schramm
Dalam bukunya Four Theories of the Press yang ditulis oleh Wilbur Schramm dkk mengemukakan 4 teori terbesar pers, yaitu the authotarian, the libertarian, the social responsibility dan the soviet communist theory. Keempat teori tersebut mengacu pada satu pengertian pers sebagai pengamat, guru, dan forum yang menyampaikan pandangannya tentang banyak hal yang mengemuka ditengah tengah mesyarakat
McLuhan
Pers sebagai the extended man, yaitu yang menghubungkan satu tempat dengan tempat lain dan peristiwa satu dengan peristiwa lain pada moment yang bersamaan
Raden Mas Djokomono
Pers adalah yang membentuk pendapat umum melalui tulisan dalam surat kabar. Pendapatnya ini yang mampu membakar semangat para pejuang dalam memperjuangkan hak hak Bangsa Indonesia masa penjajahan Belanda

Sejarah Pers Di Indonesia

Masa Penjajahan Belanda

Pada tahun 1615 atas perintah Jan Pieterzoon Coen, yang kemudian pada tahun 1619 menjadi Gubernur Jenderal VOC, diterbitkan “Memories der Nouvelles”, yang ditulis dengan tangan. Dengan demikian, dapatlah dikatakan bahwa “surat kabar” pertama di Indonesia ialah suatu penerbitan pemerintah VOC.

Pada Maret 1688, tiba mesin cetak pertama di Indonesia dari negeri Belanda. Atas intruksi pemerintah, diterbitkan surat kabar tercetak pertama dan dalam nomor perkenalannya dimuat ketentuan-ketentuan perjanjian antara Belanda dengan Sultan Makassar. Setelah surat kabar pertama kemudian terbitlah surat kabar yang diusahakan oleh pemilik percetakan-percetakan di beberapa tempat di Jawa. Surat kabar tersebut lebih berbentuk koran iklan. fungsinya untuk membantu pemerintahan kolonial belanda

Masa Pendudukan Jepang

Pada masa ini, surat kabar-surat kabar Indonesia yang semula berusaha dan berdiri sendiri dipaksa bergabung menjadi satu, dan segala bidang usahanya disesuaikan dengan rencana-rencana serta tujuan-tujuan tentara Jepang untuk memenangkan apa yang mereka namakan “Dai Toa Senso” atau Perang Asia Timur Raya. Dengan demikian, pada zaman pendudukan Jepang pers merupakan alat Jepang. Kabar-kabar dan karangan-karangan yang dimuat hanyalah pro-Jepang semata.

Masa Revolusi Fisik

Peranan yang telah dilakukan oleh pers kita di saat-saat proklamasi kemerdekaan dicetuskan, dengan sendirinya sejalan dengan perjuangan rakyat Indonesia. Bahkan tidak sedikit dari para wartawan yang langsung turut serta dalam usaha-usaha proklamasi. Semboyan “Sekali Merdeka Tetap Merdeka” menjadi pegangan teguh bagi para wartawan. Periode tahun 1945 sampai 1949 yang biasa dinamakan periode “revolusi fisik”, membawa coraknya tersendiri dalam sifat dan fungsi pers kita. Dalam periode ini pers kita dapat digolongkan ke dalam dua kategori, yaitu pertama, pers yang terbit dan diusahakan di daerah yang dikuasai oleh pendudukan sekutu, kemudian Belanda, dan kedua pers yang terbit diusahakan di daerah yang dikuasai oleh RI yang kemudian turut bergerilya.

Masa Demokrasi Liberal

Dalam aksi-aksi ini peranan yang telah dilakukan oleh pers republik sangat besar. Republik Indonesia Serikat yang tidak sesuai dengan keinginan rakyat akhirnya bubar dengan terbentuknya kembali Negara Kesatuan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1950. Pada masa ini untuk memperoleh pengaruh dan dukungan pendapat umum, pers kita yang pada umumnya mewakili aliran-aliran politik yang saling bertentangan, menyalahgunakan kebebasan pers (freedom of the press), yang kadang-kadang melampaui batas-batas kesopanan.

Masa Demokrasi Terpimpin

Periode yang terjadi pada masa demokrasi terpimpin sering disebut sebagai zaman Orde Lama. Periode ini terjadi saat terbentuknya Kabinet Kerja yang dipimpin oleh Presiden Soekarno, sebagai tindak lanjut dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 hingga meletusnya Gerakan 30 September 1965.

Masa Orde Baru

Ketika alam Orde Baru ditandai dengan kegiatan pembangunan di segala bidang, kehidupan pers kita pun mengalami perubahan dengan sendirinya karena pers mencerminkan situasi dan kondisi dari kehidupan masyarakat di mana pers itu bergerak. Pers sebagai sarana penerangan/komunikasi merupakan salah satu alat yang vital dalam proses pembangunan. Pada masa Orde Baru, ternyata tidak berarti kehidupan pers mengalami kebebasan yang sesuai dengan tuntutan dan aspirasi masyarakat. Terjadinya pembredelan pers pada masa-masa ini menjadi penghalang bagi rakyat untuk menyampaikan aspirasi dan memperjuangkan hak-hak asasinya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Masa Reformasi

Salah satu jasa pemerintahan B.J. Habibie pasca Orde Baru yang harus disyukuri ialah pers yang bebas. Pemerintahan Presiden Habibie mempunyai andil besar dalam melepaskan kebebasan pers, sekalipun barangkali kebebasan pers ikut merugikan posisinya sebagai presiden.

Perkembangan Pers Di Indonesia

    * Perkembangan pers di Indonesia berawal pada penerbitan surat kabar pertama, yaitu Bataviasche Novelles en Politique Raisonemnetan yang terbit 7_Agustus 1774.
    • Kemudian muncul beberapa surat kabar berBahasa_Melayu, antara lain Slompet Melajoe, Bintang Soerabaja (1861), dan Medan Prijaji (1907).
    • Majalah tertua ialah Panji Islam (1912-an)
    • Surat kabar terbitan peranakan Tionghoa pertama kali muncul adalah Li Po (1901), kemudian Sin Po (1910).
    • Surat kabar pertama di Indonesia yang menyiarkan teks Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, pada tanggal 18 Agustus 1945 adalah surat kabar Soeara Asia.
    • Sesudah itu, surat kabar nasional yang memuat teks proklamasi adalah surat kabar Tjahaja (Bandung), Asia Raja (Jakarta), dan Asia Baroe (Semarang).
    • Corak kehidupan politik, ideologi, kebudayaan, tingkat kemajuan suatu bangsa sangat mempengaruhi sistem pers di suatu negara.
    Pada masa orde baru, pers Indonesia mengalami masa kelam, karena begitu banyak intervensi dan campur tangan dari pemerintahan, sehingga media massa atau pers di Indonesia tergolong tidak bebas. Pers tidak dapat dengan mudah memberitakan informasi kepada masyarakat karena pemerintah sangat mengontrol isi berita yang disampaikan oleh pers, sehingga berita atau informasi yang disampaikan kepada masyarakat tersebut hanya yang mendukung pemerintahan Secara umum, di seluruh dunia terdapat pola kebijakan pemerintah terhadap pers yang otoriter dan demokratis. Diantara keduanya terdapat variasi dan kombinasi, bergantung tingkat perkembangan masing-masing negara. Ada yang quasi otoriter, ada yang quasi demokratis, dan sebagainya.

    Jenis-jenis Media Massa

    Media Massa Tradisional

    Media massa tradisional adalah media massa dengan otoritas dan memiliki organisasi yang jelas sebagai media massa. Secara tradisional media massa digolongkan sebagai berikut: Surat_kabar, Majalah, Radio, Televisi, film (layar lebar). Dalam jenis media ini terdapat ciri-ciri seperti:

    1. Informasi dari lingkungan diseleksi, diterjemahkan dan didistribusikan
    2. Media massa menjadi perantara dan mengirim informasinya melalui saluran tertentu.
    3. Penerima pesan tidak pasif dan merupakan bagian dari masyarakat dan menyeleksi informasi yang mereka terima.
    4. Interaksi antara sumber berita dan penerima sedikit.

    Media Massa Modern

    Seiring dengan berjalannya waktu dan perkembangan teknologi dan sosial budaya, telah berkembang media-media lain yang kemudian dikelompokkan ke dalam media massa seperti Internet dan telepon selular. Dalam jenis media ini terdapat ciri-ciri seperti:

    1. Sumber dapat mentransmisikan pesannya kepada banyak penerima (melalui SMS atau internet misalnya)
    2. Isi pesan tidak hanya disediakan oleh lembaga atau organisasi namun juga oleh individual
    3. Tidak ada perantara, interaksi terjadi pada individu
    4. Komunikasi mengalir (berlangsung) ke dalam
    5. Penerima yang menentukan waktu interaksi

    Fungsi Pers

    Berdasarkan ketentuan pasal 33 UU No. 40 tahun 1999 tentang pers, fungsi pers adalah sebagai media informasi, pendidikan, hiburan dan kontrol sosial. Sementara itu Pasal 6 UU Pers nasional melaksanakan peranan sebagai berikut ;

    • Memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui menegakkan nilai nilai dasar demokrasi dan mendorong terwujudnya supremasi hukum dan hak asasi manusia. Selain itu pers juga harus menghormati kebinekaan mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat dan benr melakukan pengawasan. [1]
    • Sebagai pelaku Media Informasi

    Pers itu memberi dan menyediakan informasi tentang peristiwa yang terjadi kepada masyarakat, dan masyarakat membeli surat kabar karena memerlukan informasi.

    • Fungsi Pendidikan

    Pers itu sebagi sarana pendidikan massa (mass Education), pers memuat tulisan-tulisan yang mengandung pengetahuan sehingga masyarakat bertambah pengetahuan dan wawasannya.

    • Fungsi Hiburan

    Pers juga memuat hal-hal yang bersifat hiburan untuk mengimbangi berita-berita berat (hard news) dan artikel-artikel yang berbobot. Berbentuk cerita pendek, cerita bersambung, cerita bergambar, teka-teki silang, pojok, dan karikatur.

    • Fungsi Kontrol Sosial

    Fungsi ini terkandung makna demokratis yang didalamnya terdapat unsur-unsur sebagai berikut:

    1. Social participation (keikutsertaan rakyat dalam pemerintahan)
    2. Social responsibility (pertanggungjawaban pemerintah terhadap rakyat)
    3. Social support (dukungan rakyat terhadap pemerintah)
    4. Social control (kontrol masyarakat terhadap tindakan-tindakan pemerintah)
    • Sebagai Lembaga Ekonomi

    Pers adalah suatu perusahaan yang bergerak di bidang pers dapat memamfaatkan keadaan di sekiktarnya sebagai nilai jual sehingga pers sebagai lembaga sosial dapat memperoleh keuntungan maksimal dari hasil prodduksinya untuk kelangsungan hidup lembaga pers itu sendiri.

    Pengaruh Media Massa pada Budaya

    Menurut Karl Erik Rosengren pengaruh media cukup kompleks, dampak bisa dilihat dari:

    1. skala kecil (individu) dan luas (masyarakat)
    2. kecepatannya, yaitu cepat (dalam hitungan jam dan hari) dan lambat (puluhan tahun/ abad) dampak itu terjadi.

    Pengaruh media bisa ditelusuri dari fungsi komunikasi massa, Harold Laswell pada artikel klasiknya tahun 1948 mengemukakan model sederhana yang sering dikutip untuk model komunikasi hingga sekarang, yaitu :

    1. Siapa (who)
    2. Pesannya apa (says what)
    3. Saluran yang digunakan (in what channel)
    4. Kepada siapa (to whom)
    5. Apa dampaknya (with what effect)

    Model ini adalah garis besar dari elemen-elemen dasar komunikasi. Dari model tersebut, Laswell mengidentifikasi tiga dari keempat fungsi media.

    Fungsi-fungsi Media Massa pada Budaya

    1. Fungsi pengawasan (surveillance), penyediaan informasi tentang lingkungan.
    2. Fungsi penghubungan (correlation), dimana terjadi penyajian pilihan solusi untuk suatu masalah.
    3. Fungsi pentransferan budaya (transmission), adanya sosialisasi dan pendidikan.
    4. Fungsi hiburan (entertainment) yang diperkenalkan oleh Charles Wright yang mengembangkan model Laswell dengan memperkenalkan model dua belas kategori dan daftar fungsi. Pada model ini Charles Wright menambahkan fungsi hiburan. Wright juga membedakan antara fungsi positif (fungsi) dan fungsi negatif (disfungsi).

    Pengaruh Media Massa pada Pribadi

    Secara perlahan-lahan namun efektif, media membentuk pandangan pemirsanya terhadap bagaimana seseorang melihat pribadinya dan bagaimana seseorang seharusnya berhubungan dengan dunia sehari-hari [2]

    • Pertama, media memperlihatkan pada pemirsanya bagaimana standar hidup layak bagi seorang manusia, dari sini pemirsa menilai apakah lingkungan mereka sudah layak, atau apakah ia telah memenuhi standar itu - dan gambaran ini banyak dipengaruhi dari apa yang pemirsa lihat dari media.
    • Kedua, penawaran-penawaran yang dilakukan oleh media bisa jadi memengaruhi apa yang pemirsanya inginkan, sebagai contoh media mengilustrasikan kehidupan keluarga ideal, dan pemirsanya mulai membandingkan dan membicarakan kehidupan keluarga tersebut, dimana kehidupan keluarga ilustrasi itu terlihat begitu sempurna sehingga kesalahan mereka menjadi menu pembicaraan sehari-hari pemirsanya, atau mereka mulai menertawakan prilaku tokoh yang aneh dan hal-hal kecil yang terjadi pada tokoh tersebut.
    • Ketiga, media visual dapat memenuhi kebutuhan pemirsanya akan kepribadian yang lebih baik, pintar, cantik/ tampan, dan kuat. Contohnya anak-anak kecil dengan cepat mengidentifikasikan mereka sebagai penyihir seperti Harry Potter, atau putri raja seperti tokoh Disney. Bagi pemirsa dewasa, proses pengidolaaan ini terjadi dengan lebih halus, mungkin remaja ABG akan meniru gaya bicara idola mereka, meniru cara mereka berpakaian. Sementara untuk orang dewasa mereka mengkomunikasikan gambar yang mereka lihat dengan gambaran yang mereka inginkan untuk mereka secara lebih halus. Mungkin saat kita menyisir rambut kita dengan cara tertentu kita melihat diri kita mirip "gaya rambut lupus", atau menggunakan kacamata a'la "Catatan si Boy".
    • Keempat, bagi remaja dan kaum muda, mereka tidak hanya berhenti sebagai penonton atau pendengar, mereka juga menjadi "penentu", dimana mereka menentukan arah media populer saat mereka berekspresi dan mengemukakan pendapatnya.

    Penawaran yang dilakukan oleh media bisa jadi mendukung pemirsanya menjadi lebih baik atau mengempiskan kepercayaan dirinya. Media bisa membuat pemirsanya merasa senang akan diri mereka, merasa cukup, atau merasa rendah dari yang lain.

    Kebebasan Pers di Indonesia

    Dengan adanya kebebasan media massa maka akhirnya mengalami pergeseran ke arah liberal pada beberapa tahun belakangan ini. Ini merupakan kebebasan pers yang terdiri dari dua jenis : Kebebasan Negatif dan Kebebasan Positif.

    • Kebebasan negatif merupakan kebebasan yang berkaitan dnegan masyarakat dimana media massa itu hidup. Kebebasan yang dimaksud adalah kebebasan dari interfensi pihak luar organisasi media massa yang berusaha mengendalikan, membatasi atau mengarahkan media massa tersebut.
    • Kebebasan positif merupakan kebebasan yang dimiliki media massa secara organisasi dalam menentukan isi media. Hal ini berkaitan dengan pengendalian yang dijalankan oleh pemilik media dan manajer media terhadap para produser, penyunting serta kontrol yang dikenakan oleh para penyunting terhadap karyawannya. [3]

    Kedua jenis kebebasan tersebut, bila melihat kondisi media massa Indonesia saat ini pada dasarnya bisa dikatakan telah diperoleh oleh media massa kita. Memang kebebasan yang diperoleh pada kenyataannya tidak bersifat mutlak, dalam arti media massa memiliki kebebasan positif dan kebebasan negatif yang kadarnya kadang-kadang tinggi atau bisa dikatakan bebas yang bebas-sebebasnya tanpa kontrol sedikitpun.

    Hubungan antara Pers dan Jurnalistik

    Pers dan jurnalistik merupakan suatu kesatuan yang bergerak dalam bidang penyiaran informasi, hiburan, keterangan, dan penerangan. Artinya adalah bahwa antara pers dan jurnalistik mempunyai hubungan yang erat. Pers sebagai media komunikasi massa tidak akan berguna apabila sajiannya jauh dari prinsip-prinsip jurnalistik. Sebaliknya karya jurnalistik tidak akan bermanfaat tanpa disampaikan oleh pers sebagai medianya, bahkan boleh dikatakan bahwa pers adalah media khusus untuk digunakan dalam mewujudkan dan menyampaikan karya jurnalistik kepada khalayak (Kustadi Suhandang, 2004:40).

    Pengertian Media Massa

    Media massa merupakan alat yang digunakan di dalam penyampaian pesan dari sumber kepada khalayak (penerima) dan dengan menggunakan alat-alat komunikasi mekanis seperti: surat kabar, radio, televisi dan film. [4]

    Karakteristik Media Massa

    Terdapat beberapa karakteristik media massa yaitu sebagai berikut:[4]

    1. Bersifat melembaga: pihak yang mengelola media terdiri dari banyak orang. Mulai dari pengumpulan, pengelolaan hingga pada penyajian informasi itu sendiri.
    2. Bersifat satu arah: komunikasi yang dilakukan kurang memungkinkan terjadinya dialog antar pengirim pesan atau informasi dengan penerima pesan atau informasi. Apabila terjadi reaksi ataupun umpan balik, biasanya memerlukan waktu dan tertunda.
    3. Meluas dan serempak: dapat mengatasi rintangan jarak dan juga waktu. Media massa memiliki kecepatan dalam proses penyampaian suatu pesan atau informasi kepada khalayaknya. Bergerak secara luas dan simultan, yaitu pesan atau informasi yang disampaikan dapat diterima oleh banyak orang pada saat yang bersamaan.
    4. Menggunakan peralatan teknis atau mekanis, yaitu seperti: surat kabar, televisi, radio, dan lain-lain.
    5. Bersifat terbuka: pesan dapat diterima oleh siapa saja dan di mana saja tanpa mengenal usia, jenis kelamin maupun suku bangsa.

    Karakteristik media komunikasi yang bersifat massa adalah yang diterima oleh mata dan telinga; umpan balik tidak langsung; kode tertulis dan lisan; arus pesan biasanya satu arah; liputan banyak dan tanpa batas; efek media massa biasanya rendah pada sikap namun tinggi pada kognitif; kecepatan penyampaian pesan atau informasi sangat cepat dan luas; khalayaknya adalah massa yang tak terbatas; muatan pesan sangat banyak; media yang digunakan seperti televisi, radio, film, surat kabar.

    Pengertian Efek Media Massa

    Efek media massa adalah perubahan pada pengetahuan, sikap, emosi, atau tingkah laku setiap individu atau seseorang yang mengkonsumsi media tersebut sebagai hasil dari paparan media massa yang dilakukan secara terus-menerus.[5]

    Theories of Media Impacts

    Terdapat beberapa alternatif Teori yang biasa digunakan untuk menjelaskan mengenai efek-efek atau dampak dari media, yaitu sebagai berikut: [5]

    Teori Jarum Suntik (Teori Model Peluru)

    Media massa digambarkan sebagai sesuatu yang sangat kuat karena, memiliki kemampuan di dalam menggoyahkan pikiran khalayak, dengan dampak seperti menyerupai peluru yang melesat cepat atau seperti sebuah suntikan dari jarum suntik. Teori ini mengemukakan bahwa pesan yang disampaikan melalui media massa seolah seperti jarum yang disuntikkan kepada khalayaknya, sehingga mampu mengubah pikiran, pandangan, maupun perilaku khalayaknya secara langsung, yang mendapatkan pesan dari media tersebut.

    Model Aliran Bertahap

    Hampir kebanyakan orang menerima informasi dan terpengaruh dari media secondhand, yaitu melalui pengaruh personal dari pemimpin opini. Model komunikasi ini juga disebut sebagai model komunikasi two-step flow, karena pesan komunikasi terjadi melalui dua langkah. Teori ini berpendapat bahwa efek media tidak dirasakan secara langsung oleh khalayaknya.

    Proses Selektif

    Melalui model ini, khalayak menerima suatu pesan atau informasi dengan proses yang selektif yaitu mereka memilih pesan atau informasi yang sesuai dengan apa yang mereka yakini atau percaya.

    Selektivitas Pesan

    Ada tiga macam selektivitas pesan yang dapat terjadi pada setiap penerima, yaitu sebagai berikut:[4]

    • Selective perception: penerima memberi arti pada pesan atau informasi yang diterimanya menurut persepsi mereka masing-masing. Persepsi adalah suatu proses ketika seseorang menyadari bahwa ada obyek yang menyentuh salah satu panca inderanya (mata atau telinga). Persepsi juga terbentuk karena, adanya rangsangan yang diorganisir lalu diberi interpretasi berdasarkan pengalaman, budaya, serta tingkat pengetahuannya.
    • Selective exposure: orang cenderung memilih informasi atau pesan berdasarkan pada liputan yang disukainya. Pilihan terhadap informasi atau pesan dapat berdasarkan ideologi, agama, suku dan juga pekerjaan.
    • Selective retention: pemilihan informasi atau pesan yang memberikan kesan tersendiri secara pribadi kepada khalayaknya (penerima).

    Teori Pembelajaran Sosial

    Teori ini menjelaskan bahwa pemirsa meniru apa yang mereka lihat di televisi melalui suatu proses yang dikenal dengan pembelajaran melalui observasi atau peninjauan langsung.

    Pemaparan suatu berita atau informasi yang dilakukan secara terus-menerus akan memupuk pandangan khalayak (penerima) terhadap realitas yang terjadi di dunia. Misalnya seperti; berita kriminal yang sering ditonton oleh anak kecil akan menimbulkan ketakutan terhadap pribadi anak tersebut, ketimbang anak yang suka menonton film yang sesuai di usianya seperti film kartun.

    Teori Priming

    Teori ini berpendapat bahwa gambaran yang ada pada media dapat menstimulasi pandangan yang berhubungan dengan apa yang ada di benak khalayaknya.

    Teori Agenda Setting

    Agenda setting adalah suatu proses dimana seorang publik figur atau acara penting dapat membantu di dalam pembentukan isi dari media tersebut.

    Teori Catharsis

    Teori ini berpendapat bahwa media yang menampilkan seks dan kekerasan memiliki dampak positif misalnya dengan membiarkan orang yang anti-sosial hidup bebas di dalam imajinasi mereka yang ada pada dunia nyata.

    Teori Kritis

    Teori kritis dari dampak atau efek media lebih fokus pada efek perilaku setiap individu dan selebihnya pada dampak atau efek terhadap budaya dalam skala yang besar.

    Media dan Perilaku Anti-Sosial

    Perilaku anti-sosial ini bertentangan dengan norma-norma yang berlaku dalam perilaku sosial yang ada di dalam masyarakat. Termasuk perilaku tidak taat hukum, seperti pembunuhan, benci terhadap tindak kriminalitas, pemerkosaan, penyalahgunaan narkotika dan obat-obatan terlarang, dan sama halnya dengan perilaku yang terjadi pada kebanyakkan anggota masyarakat yang menemukan objek meskipun hal tersebut ilegal, contohnya seperti mabuk-mabukan dan hubungan seksual. [6]

    Tindak Kekerasan

    Efek dari kekerasan yang ditampilkan pada televisi telah lebih banyak menarik perhatian para peneliti untuk dikaji lebih lanjut daripada berbagai macam tipe yang lainnya dari dampak media. Efek-efek yang terjadi pada anak-anak menjadi perhatian khusus, karena anak-anak yang masih muda mempunyai masalah di dalam membedakan antara dunia yang nyata dan dunia dalam lingkup yang lebih kecil. Misalnya saja: Bagi pemikiran anak-anak, apabila Scooby-Doo dipukul di bagian kepalanya dan ia cepat pulih maka, akan sama berlaku apabila dilakukan pada adik kecilnya. Pada media seperti televisi, komputer, dan video games, anak-anak menaruh banyak perhatiannya pada waktu bermain dengan layar, kebanyakan hal tersebut dibawah pengawasan orang tua, sehingga potensi yang ada adalah untuk kerusakan di dalam mempengaruhi pikiran anak muda. [7]

    Dapat dikatakan bahwa misalnya seperti: seksisme, rasisme dan juga segala macam bentuk tindakan yang tidak didasari dengan sikap toleransi dapat saja dipromosikan di dalam media itu sendiri. Penggambaran media yang seperti itu akan mendorong stereotip, yaitu membuat generalisasi mengenai sekelompok orang dengan berdasarkan informasi yang terbatas.Stereotip ini sangatlah berbahaya ketika mereka berkembang menjadi rasionalisasi untuk memperlakukan orang lain secara tidak adil. Stereotip negatif dapat di internalisasi oleh anggota dari kelompok-kelompok dimana mereka berada, dengan merusak diri mereka sendiri. Media sangat efektif dalam menciptakan stereotip, karena terkadang mereka adalah satu-satunya sumber informasi yang kita miliki tentang kelompok lain dan karena mereka sering menyajikan pandangan ataupun gambaran yang menyimpang dari kelompok-kelompok tersebut. [8]

    Perilaku Seksual

    Efek dari maraknya perilaku seksual yang ada di televisi, baik yang terdapat di dalam film, iklan ataupun perilaku publik figur-nya telah banyak menarik perhatian untuk dijadikan studi eksperimental. Studi tersebut menunjukkan bahwa ketika seorang laki-laki yang terus diekspos tentang pornografi yang ada di media massa, maka mereka akan sangat mungkin untuk mengekspresikan sikap negatifnya terhadap perempuan, misalnya untuk berpikir bahwa praktek seksual yang relatif jarang tersebar luas dan lebih toleran dengan pelaku pemerkosaan yang dalam suatu hipotesis kasus-kasus di pengadilan. Di dalam suatu eksperimen yang menguji dampak gabungan antara pornografi dan tindak kekerasan, subjek laki-laki lebih memungkinkan di dalam melakukannya daripada subjek perempuan yang terus-menerus terpapar pornografi dari media massa. [9]

    Penyalahgunaan Narkotika dan Obat-obatan Terlarang

    Satu generasi yang lalu ada kekhawatiran mengenai suatu film yang ditayangkan seperti Easy Rider menggambarkan suatu adegan narkotika dan obat-obatan terlarang dan memberikan kontribusi atas penggunaan obat-obatan ilegal diantara kalangan para mahasiswa. Media pada umumnya tunduk pada masalah ini, jika hanya karena film yang menyajikan narkotika dan obat-obatan terlarang tidak sama menguntungkannya dengan film yang menampilkan tindak kekerasan dan seks, dan karena distributor obat-obatan terlarang tidak dapat membeli iklan untuk produk mereka. Namun, untuk penyalahgunaan obat-obatan yang legal adalah cerita yang lain. Iklan rokok telah lama dihilangkan dari televisi oleh hukum yang berlaku. Iklan tidak lagi dapat menyajikan bahwa merokok adalah suatu hal yang membahagiakan, atau orang-orang glamor yang menghisap rokok. Peringatan dari ahli bedah mengenai bahaya merokok harus ditampilkan dan tentu saja tidak ada citra yang dirancang untuk menarik perhatian anak-anak. Iklan minuman keras sudah lama dihindari di televisi, meskipun saat ini sudah banyak perubahan, tetapi iklan bir dan anggur adalah salah satu sumber pendapatan utama bagi televisi, dan juga untuk iklan obat yang harus disertai dengan resep dokter telah mulai dapat banyak bermunculan di televisi. Para pengiklan mengklaim bahwa iklan tersebut tidak meningkatkan tingkat konsumsi alkohol dan rokok secara keseluruhan dan hanya mempengaruhi sebagian pangsa pasar yang menikmati merek tersebut. Namun, studi terbaru tentang tembakau (Slater et al., 2007) dan alkohol (Smith & Foxcroft., 2009) menggunakan indikasi di kalangan pemuda menunjukkan bahwa paparan iklan pada media massa yang dilakukan terus menerus akan sangat berperan penting untuk mereka memulai mengkonsumsi minuman alkohol dan rokok. [10]

    Media Komunikasi dan Perilaku Pro-Sosial

    Perilaku pro-sosial adalah kebalikan dari perilaku anti-sosial. Hal tersebut termasuk dalam perilaku-perilaku dan sifat-sifat yang positif yang ingin kita dorong agar anak-anak dan masyarakat kita mengikutinya, yaitu seperti: kerjasama, saling berbagi, saling mencintai, toleransi, saling menghormati, gizi yang seimbang, penggunaan alat kontrasepsi, kesehatan untuk diri sendiri, mengemudi yang aman, meningkatkan kemampuan membaca, dan lain-lain. [11]

    Kampanye Informasi

    Kampanye informasi menggunakan teknik hubungan masyarakat (humas) dan periklanan untuk “menjual” orang pada perilaku pro-sosial. Mereka berusaha untuk mencapai suatu perubahan tertentu yang terjadi pada khalayak mereka, misalnya saja seperti meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya masalah kesehatan dan juga masalah sosial, serta dapat mengubah sikap dan perilaku yang terkait. Mereka biasanya mengadopsi gaya informal dan menghibur untuk menarik penonton (khalayak). Mungkin manifestasi tentang kampanye informasi yang paling akrab adalah iklan layanan masyarakat yang ada di televisi pada larut atau tengah malam. Kampanye informasi ini memiliki beberapa catatan keberhasilannya. Studi eksperimental menunjukkan bahwa beberapa kampanye informasi yang dilakukan mempengaruhi kesadaran, sikap, dan perilaku khalayak mereka. Kampanye informasi dapat dikatakan berhasil apabila memiliki tujuan yang jelas dan dapat dengan tajam menentukan sasaran khalayak dan apabila mereka menemukan cara yang relevan untuk mengatasi ketidakpedulian (Rice & Atkins, 2000). [12]

    Pendidikan Informal

    Tanpa “pendengar” dari siswa yang berada di dalam ruang kelas, upaya pendidikan informal harus memiliki arti seni dan dikombinasikan dengan unsur pendidikan dan unsur hiburan. Contoh yang paling dikenal adalah Sesame Street. Sejak awal tahun 1969, Sesame Street telah terbukti menjadi sarana paling populer dan efektif untuk mempersiapkan anak bersekolah (Fisch & Truglio, 2001). [13]

    Pendidikan Formal

    Penyampaian kursus melalui media merupakan suatu hal formal yang lebih dikenal dengan sebutan pendidikan jarak jauh. Tren terbaru di dalam pendidikan jarak jauh adalah menaruh kursus pada web dunia, universitas virtual. Secara keseluruhan, kursus melalui web setidaknya efektif daripada instruksi yang didapatkan siswa di ruangan kelas dan mungkin lebih efektif (Means et al., 2009).[14]

    Dampak dari Periklanan

    Apabila media telah banyak memiliki kesuksesan di dalam mempengaruhi perilaku individu, mengapa begitu banyak periklanan? Jawabannya adalah bahwa pengiklan bahagia untuk mencapai dampak yang diterima lebih terbatas, setidaknya ketika menggunakan media massa konvensional. Sebagian besar pengiklan mengambil perilaku konsumtif kita sebagai sebuah pemberian bagi mereka. Mereka hanya berusaha untuk memperkuat kesadaran akan merek produk yang biasa kita gunakan, sehingga kita akan berpikir tentang produk mereka ketika kita sedang berada di toko, serta mempertahankan loyalitas merek produk yang kita gunakan agar suatu saat kita akan kembali untuk membelinya. Namun, alat penelitian tentang pasar konvensional memberikan wawasan yang terbatas di dalam keberhasilan kampanye iklan di media massa berdasarkan karakteristik demografi penonton (khalayak) serta media dan juga produk-produk yang mereka konsumsi (Stewart & Pavlou, 2008).[15]

    Referensi

    1. ^ http://www.scribd.com/kinjat/d/25964065-Fungsi-Dan-Peranan-Pers
    2. ^ (Inggris) Gamble, Teri and Michael. Communication works. Seventh edition.
    3. ^ Abdullah, Irwan, 2001, Seks, Gender dan Reproduksi Kekuasaan, Tarawang Press, Yogyakarta
    4. ^ a b c Cangara, Hafied., (2005). Pengantar Ilmu Komunikasi, Cetakan Keenam, Januari 2005. PT. Raja Grafindo Persada-Jakarta.
    5. ^ a b Straubhaar, J., LaRose, R. & Davenport R., (2011). Media Now: Understanding Media, Culture, and Technology, 2011 Update Seventh Edition. Thomson-Wadsworth.
    6. ^ Straubhaar, J., LaRose, R. & Davenport R., (2011). Media Now: Understanding Media, Culture, and Technology, 2011 Update Seventh Edition. Thomson-Wadsworth.
    7. ^ Straubhaar, J., LaRose, R. & Davenport R., (2011). Media Now: Understanding Media, Culture, and Technology, 2011 Update Seventh Edition. Thomson-Wadsworth.
    8. ^ Straubhaar, J., LaRose, R. & Davenport R., (2011). Media Now: Understanding Media, Culture, and Technology, 2011 Update Seventh Edition. Thomson-Wadsworth.
    9. ^ Straubhaar, J., LaRose, R. & Davenport R., (2011). Media Now: Understanding Media, Culture, and Technology, 2011 Update Seventh Edition. Thomson-Wadsworth.
    10. ^ Straubhaar, J., LaRose, R. & Davenport R., (2011). Media Now: Understanding Media, Culture, and Technology, 2011 Update Seventh Edition. Thomson-Wadsworth.
    11. ^ Straubhaar, J., LaRose, R. & Davenport R., (2011). Media Now: Understanding Media, Culture, and Technology, 2011 Update Seventh Edition. Thomson-Wadsworth.
    12. ^ Straubhaar, J., LaRose, R. & Davenport R., (2011). Media Now: Understanding Media, Culture, and Technology, 2011 Update Seventh Edition. Thomson-Wadsworth.
    13. ^ Straubhaar, J., LaRose, R. & Davenport R., (2011). Media Now: Understanding Media, Culture, and Technology, 2011 Update Seventh Edition. Thomson-Wadsworth.
    14. ^ Straubhaar, J., LaRose, R. & Davenport R., (2011). Media Now: Understanding Media, Culture, and Technology, 2011 Update Seventh Edition. Thomson-Wadsworth.
    15. ^ Straubhaar, J., LaRose, R. & Davenport R., (2011). Media Now: Understanding Media, Culture, and Technology, 2011 Update Seventh Edition. Thomson-Wadsworth.

    Pranala luar