Lompat ke isi

Orang Arab Indonesia

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Suku Arab-Indonesia
Berkas:Tuanku Imam Bondjol.jpg Berkas:Habib Abubakar bin Ali Syahab.jpg
Berkas:K.H. Hasan Gipo.jpg Berkas:AR Baswedan.Pas Foto.1970an.jpg
Berkas:Menteri Fadel Muhammad.jpg
Berkas:Achmad Albar.jpg Berkas:Nabila Syakieb.jpg Berkas:Shireen Sungkar.jpg
Daerah dengan populasi signifikan
Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Maluku.
Bahasa
Bahasa Arab, Bahasa Indonesia dan bahasa-bahasa daerah lainnya.
Agama
Islam Sunni
Kelompok etnik terkait
Hadhrami, Arab, Diaspora Arab, Arab-Malaysia, Arab-Singapura

Suku Arab-Indonesia adalah penduduk Indonesia yang memiliki darah Arab dan Pribumi Indonesia. Pada mulanya mereka umumnya tinggal di perkampungan Arab yang tersebar di berbagai kota di Indonesia[1]. Pada zaman penjajahan Belanda, mereka dianggap sebagai bangsa Timur Asing bersama dengan suku Tionghoa-Indonesia dan suku India-Indonesia. Tapi seperti kaum etnis Tionghoa dan India, tidaklah sedikit kaum Arab-Indonesia yang berjuang membantu kemerdekaan Indonesia.

Sejarah kedatangan

Setelah terjadinya perpecahan besar di antara umat Islam yang menyebabkan terbunuhnya khalifah keempat Ali bin Abi Thalib, mulailah terjadi perpindahan (hijrah) besar-besaran dari kaum keturunannya ke berbagai penjuru dunia. Ketika Imam Ahmad Al-Muhajir hijrah dari Irak ke daerah Hadramaut di Yaman, keturunan Ali bin Abi Thalib ini membawa serta 70 orang keluarga dan pengikutnya.[2]

Sejak itu berkembanglah keturunannya hingga menjadi kabilah terbesar di Hadramaut, dan dari kota Hadramaut inilah asal-mula utama dari berbagai koloni Arab yang menetap dan bercampur menjadi warganegara di Indonesia dan negara-negara Asia lainnya. Selain di Indonesia, warga Hadramaut ini juga banyak terdapat di Oman, India, Pakistan, Filipina Selatan, Malaysia, dan Singapura.

Terdapat pula warga keturunan Arab yang berasal dari negara-negara Timur Tengah dan Afrika lainnya di Indonesia, misalnya dari Mesir, Arab Saudi, Sudan atau Maroko; akan tetapi jumlahnya lebih sedikit daripada mereka yang berasal dari Hadramaut.

Perkembangan di Indonesia

Kedatangan koloni Arab dari Hadramaut ke Indonesia diperkirakan terjadi dalam 3 gelombang utama.

Lukisan tentang Ampel, kawasan Arab di Surabaya

Abad 9-11 Masehi

Catatan sejarah tertua adalah berdirinya kerajaan Perlak I (Aceh Timur) pada tanggal 1 Muharram 225 H (840 M)[3]. Hanya 2 abad setelah wafat Rasulullah, salah seorang keturunannya yaitu Sayyid Ali bin Muhammad Dibaj bin Ja'far Shadiq hijrah ke kerajaan Perlak. Ia kemudian menikah dengan adik kandung Raja Perlak Syahir Nuwi. Dari pernikahan ini lahirlah Abdul Aziz Syah sebagai Sultan (Raja Islam) Perlak I. Catatan sejarah ini resmi dimiliki Majelis Ulama Kabupaten Aceh Timur dan dikuatkan dalam seminar sebagai makalah 'Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Aceh' 10 Juli 1978 oleh (Alm) Professor Ali Hasymi.[4]

Abad 12-15 Masehi

Masa ini adalah masa kedatangan para datuk dari Walisongo yang dipelopori oleh keluarga besar Syekh Jamaluddin Akbar al-Husaini dari Gujarat[5][6], masih keturunan Syekh Muhammad Shahib Mirbath dari Hadramaut. Ia besama putra-putranya berdakwah jauh ke seluruh pelosok Asia Tenggara hingga Nusantara dengan strategi utama menyebarluaskan Islam melalui pernikahan dengan penduduk setempat yang utamanya dari kalangan bangsawan Kerajaan Hindu.[7][8][9]

Abad 17-19 Masehi

Seorang Arab pada masa Hindia Belanda (litografi berdasarkan gambar oleh Auguste van Pers, 1854)

Abad ini adalah gelombang terakhir ditandai dengan hijrah massalnya para Alawiyyin Hadramaut yang menyebarkan Islam sambil berdagang di Nusantara. Kaum pendatang terakhir ini dapat ditandai keturunannya hingga sekarang karena berbeda dengan pendahulunya, tidak banyak melakukan kawin campur dengan penduduk pribumi. Selain itu dapat ditandai dengan marga yang kita kenal sekarang seperti Alatas, Assegaf, Al Jufri, Alaydrus, Syihab, Syahab, Al Haddad, dan lainnya[10][11]. Hal ini dapat dimengerti karena marga-marga ini baru terbentuk belakangan. Tercatat dalam sejarah Hadramaut, marga tertua adalah As Saqqaf (Assegaf) yang menjadi gelar bagi Syekh Abdurrahman bin Muhammad Al Mauladdawilah setelah ia wafat pada 731 H atau abad 14-15 M. Sedangkan marga-marga lain terbentuk bahkan lebih belakangan, umumnya pada abad 16. Biasanya nama marga diambil dari gelar seorang ulama setempat yang sangat dihormati. Berdasarkan taksiran pada 1366 H, jumlah mereka sekarang tidak kurang dari 70 ribu jiwa. Ini terdiri dari kurang lebih 200 marga.[12][13][14]

Mulai 1870 hingga setelah 1888

Pada tahun 1870 Terusan Suez mulai dibuka, sehingga kapal dari Eropa ke Timur termasuk Hindia Belanda bisa langsung melalui Suez. Kemudian pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta Utara mulai dibangun tahun 1877 secara modern, selanjutnya KPM (Koninklijke Paketvaart Maatschappij) sebuah perusahaan pelayaran Belanda dioperasikan tahun 1888 dengan rute Eropa - Hindia Belanda, sehingga memungkinkan orang Marga Arab Hadramaut atau Arab Mesir datang ke Hindia Belanda, dan berangsur-angsur mulai tahun 1870 hingga setelah tahun 1888 terjadi migrasi orang Arab dan Mesir ke Hindia Belanda, naik kapal api dari Suez, mereka tidak membawa keluarga sesuai tradisi Arab, bahwa wanita tidak boleh bepergian apalagi sejauh ke Hindia Belanda naik kapal berhari-hari. Keturunan pertama, tentunya dengan ibu Indonesia, yang lahir di Hindia Belanda misalnya adalah Abdurrahman Baswedan lahir Surabaya 1908 (kakek Anis Baswedan), Syech Albar lahir Surabaya 1914 (ayah Ahmad Albar).

Saat ini diperkirakan jumlah keturunan Arab Hadramaut di Indonesia lebih besar bila dibandingkan dengan jumlah mereka yang ada di tempat leluhurnya sendiri. Penduduk Hadramaut sendiri hanya sekitar 1,8 juta jiwa[14][13]. Bahkan sejumlah marga yang di Hadramaut sendiri sudah punah (seperti Basyeiban dan Haneman) di Indonesia jumlahnya masih cukup banyak. Perkampungan Arab banyak tersebar di berbagai kota di Indonesia, misalnya di Jakarta (Pekojan)[1], Bogor (Empang)[15][16][17], Surakarta (Pasar Kliwon), Surabaya (Ampel)[18][19], Gresik (Gapura), Malang (Jagalan), Cirebon (Kauman)[20], Tegal (Kauman), Pekalongan (Sugihwaras), Mojokerto (Kauman), Yogyakarta (Kauman)[21], Probolinggo (Diponegoro), Bondowoso, Palembang (Kampung Arab)[22] dan Banjarmasin (Kampung Arab), serta masih banyak lagi yang tersebar di kota-kota lainnya seperti Banda Aceh, Sigli, Medan, Lampung, Makasar, Gorontalo, Ambon, Mataram, Ampenan, Sumbawa, Dompu, Bima, Kupang, dan Papua. Keturunan Arab Hadramaut di Indonesia, seperti negara asalnya Yaman, terdiri 2 kelompok besar yaitu kelompok Alawi, dan kelompok Qabili. Di Indonesia, kadang-kadang ada yang membedakan antara kelompok Alawiyyin yang umumnya pengikut organisasi Jamiat al-Kheir, dengan kelompok Syekh atau Masyaikh yang biasa pula disebut Irsyadi atau pengikut organisasi al-Irsyad.[10]

Tokoh dan peranan

Masjid bercorak Jawa di kawasan Arab di Semarang di sekitar tahun 1930
Lihat pula: Marga Arab Hadramaut

Di Indonesia, sejak zaman dahulu telah banyak di kaum keturunan Arab yang menjadi pejuang, alim-ulama dan dai. Di antara para penyebar agama yang menonjol ialah Walisongo, yang diduga kuat (Van Den Berg, 1886) merupakan keturunan Arab Hadramaut dan/atau merupakan murid-murid mereka. Kaum Arab Hadramaut yang datang sekitar abad 15 dan sebelumnya mempunyai perbedaan mendasar dengan mereka yang datang pada gelombang berikutnya (abad 18 dan sesudahnya). Sebagaimana disebutkan oleh Van Den Berg, kaum pendahulu ini banyak berasimilasi dengan penduduk asli, terutama dari keluarga kerajaan Hindu. Hal ini dilakukan dalam rangka mempercepat penyebaran agama Islam, sehingga keturunan mereka sudah hampir tak bisa dikenali sebagai keturunan Arab Hadramaut.

Di antara marga-marga Hadramaut yang pertama-tama ke Indonesia adalah keluarga Basyaiban, yaitu Sayyid Abdul Rahman bin Abu Hafs Umar Basyaiban BaAlawi pada abad ke-17 Masehi.

Pada zaman kejayaan kesultanan-kesultanan Islam di Indonesia, beberapa keturunan Arab dirajakan oleh masyarakat setempat, antara lain di Jawa (Demak, Cirebon, dan Banten), Sumatera (Aceh dan Siak), dan Kalimantan (Sambas, Pontianak, Kubu, dan Pasir). Selain itu, sejak lama pula banyak sekali keturunan Arab yang menjadi pedagang, dan mereka tersebar di berbagai penjuru kepulauan Indonesia.

Kaum Arab Hadramaut yang datang pada abad ke-18 dan sesudahnya, tidak banyak melakukan pernikahan dengan penduduk asli sebagaimana gelombang kedatangan yang sebelumnya. Mereka datang sudah membawa nama marga-marga yang terbentuk belakangan (sekitar abad 16-17). Keturunan kaum Arab Hadramaut yang datang belakangan ini, masih mudah dikenali melalui nama-nama khas marga mereka. Warga Arab-Indonesia sampai saat ini turut berperan aktif dalam bidang keagamaan Islam dan berbagai bidang kehidupan lainnya di Indonesia.

Kepala masyarakat Arab di Tegal, Jawa Tengah, awal abad ke-20.

Lihat pula

Referensi

  1. ^ a b "Ulama Hadhrami di Tanah Betawi: Berdakwah dengan Sepenuh Hati". archive.is. 2014-07-14. Diakses tanggal 2017-04-18. 
  2. ^ "RootsWeb's WorldConnect Project: Naqobatul Asyrof Al-Kubro". wc.rootsweb.ancestry.com. Diakses tanggal 2017-04-18. 
  3. ^ "Masjid dan Makam Raja Negeri Peureulak Aceh Timur - Dari Samudra Pasai menuju Kebudayaan Islam Asia Tenggara". Dari Samudra Pasai menuju Kebudayaan Islam Asia Tenggara (dalam bahasa Inggris). 2014-08-10. Diakses tanggal 2017-04-18. 
  4. ^ atjehcyber. "Kesultanan Islam Peureulak". ATJEH CYBER WARRIOR. Diakses tanggal 2017-04-18. 
  5. ^ "1. Syaikh Maulana Jamaluddin Husein Akbar b. ~ 1310 d. ~ 1453 - Rodovid ID". id.rodovid.org. Diakses tanggal 2017-04-18. 
  6. ^ "Maulana Husain, Pelopor Dakwah Nusantara". Kanzunqalam's Blog. 2010-08-31. Diakses tanggal 2017-04-18. 
  7. ^ "Sepenggal Kisah Syeikh Jumadil Kubro". www.kompasiana.com (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2017-04-18. 
  8. ^ Budianto, Enggran Eko. "Napak Tilas Sayyid Hussein Jumadil Kubro, Bapak Wali Songo". detikTravel (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2017-04-18. 
  9. ^ (Haji), Ibrahim Ismail (1992-01-01). Syeikh Dawud al-Fatani: satu analisis peranan dan sumbangannya terhadap khazanah Islam di Nusantara (dalam bahasa Melayu). Akademi Pengajian Melayu. ISBN 9789839705317. 
  10. ^ a b "Dinamika Menelusuri Silsilah Para Habib". tirto.id. Diakses tanggal 2017-04-18. 
  11. ^ "Salah Kaprah Sebutan Habib di Masyarakat | Republika Online". Republika Online. Diakses tanggal 2017-04-18. 
  12. ^ "Mereka yang Habib dan yang Bukan Habib". tirto.id. Diakses tanggal 2017-04-18. 
  13. ^ a b "Keturunan Nabi Muhammad SAW di Indonesia – Satu Islam". satuislam.org (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2017-04-18. 
  14. ^ a b Muslim, Mbah. "Mengenal Keturunan Nabi Muhammad SAW di Indonesia". MusliModerat. Diakses tanggal 2017-04-18. 
  15. ^ "Kelurahan Empang Ditetapkan Sebagai Kawasan Wisata Religi Kampung Arab". TribunnewsBogor.com. Diakses tanggal 2017-04-18. 
  16. ^ Media, Kompas Cyber. "Arab Empang, Menapaki Perjalanan Si Rumah Panggung - Kompas.com". KOMPAS.com (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2017-04-18. 
  17. ^ "Napak Tilas Sejarah Kampung Arab Empang Bogor". Green TV. Diakses tanggal 2017-04-18. 
  18. ^ "Panggilan dari kampung Arab Ampel Surabaya - BBC Indonesia". BBC Indonesia. Diakses tanggal 2017-04-18. 
  19. ^ "Ahlan Wa Sahlan! Ini Dia Kampung Arab di Surabaya". detikTravel (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2017-04-18. 
  20. ^ Liputan6.com. "Kampung Arab Cirebon, dari Sentra Gerabah Jadi Pusat Pertokoan". liputan6.com. Diakses tanggal 2017-04-18. 
  21. ^ "Kampung Arab Jogja - Nggak Usah ke Timur Tengah, Jogja Punya Kebab Rp 20 Ribuan Bonus Sumsum". TribunTravel.com. Diakses tanggal 2017-04-18. 
  22. ^ Yamakasi, Madon. "Dinas Pariwisata Kota Palembang". palembang-tourism.com (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2017-04-18. 

Pranala luar