Lompat ke isi

Modal budaya

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Revisi sejak 14 November 2017 09.30 oleh Adeninasn (bicara | kontrib) (Dibuat dengan menerjemahkan halaman "Cultural capital")
(beda) ← Revisi sebelumnya | Revisi terkini (beda) | Revisi selanjutnya → (beda)

Dalam sosiologi, modal budaya terdiri dari aset sosial seseorang (pendidikan, kecerdasan, gaya bicara dan pakaian, dll.) yang mempromosikan mobilitas sosial dalam stratifikasi masyarakat.[1] Modal budaya berfungsi sebagai hubungan sosial dalam praktik ekonomi (sistem pertukaran), yang terdiri dari semua material dan barang simbolis, tanpa distingsi, apakah masyarakat menganggapnya langka dan bernilai.[2] Sebagai hubungan sosial dalam suatu sistem pertukaran, modal budaya termasuk akumulasi pengetahuan budaya yang memberikan status sosial dan kekuasaan.[3][4]

Dalam "Reproduksi Budaya dan Reproduksi Sosial" (1977), Pierre Bourdieu dan Jean-Claude Passeron merepresentasikan "modal budaya" untuk menjelaskan secara konseptual perbedaan tingkat kinerja dan prestasi akademik anak-anak dalam sistem pendidikan Perancis di tahun 1960-an; dan  konsep tersebut dikembangkan lebih lanjut dalam esai "Bentuk-Bentuk Modal" (1985) dan dalam buku Negara Bangsawan: Sekolah Elite di Bidang Kekuasaan (1996).

Jenis-jenis modal

Dalam esai soiologi dengan judul, "Bentuk-bentuk Modal" (1985), Pierre Bourdieu mengidentifikasi tiga kategori modal:

  1. Modal ekonomi: memerintah sumber daya ekonomi (uang, aset, properti).
  2. Modal sosial: aktualisasi dan potensi sumber daya yang terkait dengan kepemilikan jejaring yang bersifat tahan lama, dan dilembagakan dengan hubungan-hubungan saling kenal dan pengakuan.[5]
  3. Modal budaya: pendidikan seseorang (pengetahuan dan keterampilan intelektual) yang memberikan keuntungan dalam mencapai status sosial yang lebih status tinggi dalam masyarakat.[6]

Jenis-jenis

Ada tiga jenis modal budaya: (i) Modal budaya terkandung ; (ii) Objektifikasi modal budaya; dan (iii) Modal budaya terlembagakan:

  1. Modal budaya terkandung terdiri dari pengetahuan yang diperoleh dengan sadar dan secara pasif diwariskan, dengan cara sosialisasi lewat budaya dan tradisi. Berbeda dengan properti, modal budaya jenis ini tidak dapat ditransmisikan, tetapi diperoleh dari waktu ke waktu, karena bergantung pada habitus (karakter dan cara berpikir) seseorang, yang pada gilirannya, menjadi lebih mudah menerima pengaruh budaya serupa. Modal budaya linguistik adalah salah satu contoh modal budaya terkandung di mana penguasaan bahasa seseorang atas makna ketika berkomunikasi dan presentasi diri yang diperoleh dari budaya nasional.[7]
  2. Objektifikasi modal budaya terdiri dari properti seseorang (misalnya sebuah karya seni, instrumen ilmiah, dll.) yang dapat ditransmisikan sebagai keuntungan ekonomi (jual-beli) yang secara simbolis menyampaikan kepemilikan modal budaya tersebut, karena memiliki barang-barang tersebut. Namun, dalam kepemilikan sebuah karya seni (objektifikasi modal budaya), seorang pengguna atau pemilik karya seni (memahami makna budaya) dengan tepat landasan historis dari modal budaya sebelumnya. Oleh sebab itu, modal budaya jenis ini tidak dapat ditransmisikan lewat jual-beli karya seni, kecuali karena kebetulan atau alasan indipenden, ketika penjual menjelaskan signifikansi karya seni tersebut kepada pembeli.
  3. Modal budaya terlembagakan terdiri dari pengakuan lembaga formal atas modal budaya seseorang, biasanya kualifikasi akademis atau profesional. Peran sosial terbesar dari modal budaya terlembagakan adalah dalam pasar tenaga kerja (pekerjaan), di mana hal ini merupakan ekspresi modal budaya seseorang yang digunakan untuk mengukur modal budaya kualitatif dan kuatitatif seseorang (yang dibandingkan dengan ukuran modal budaya orang lain) Pengakuan institusi ini memfasilitasi .pertukaran modal budaya dengan modal ekonomi, dengan menyajikan solusi praktis di mana "penjual" dapat menggambarkan modal budayanya kepada "pembeli".[8]

Habitus dan ranah

Modal budaya seseorang terkait dengan habitus yang dimilikinya (kecenderungan-kecenderungan alamiah) dan ranah (posisi sosial), yang dikonfigurasi sebagai struktur hubungan sosial.[9] Ranah adalah tempat posisi sosial yang didasari konflik-konflik yang terjadi ketika kelompok-kelompok sosial berusaha membangun, serta mendefinisikan apa yang menjadi modal budaya baginya, dalam ruang sosial terberi; oleh karena itu, berdasarkan ranah sosial, suatu jenis modal budaya dapat sekaligus menjadi sah dan tidak sah. Dengan cara itu, legitimasi (pengakuan sosial) atas suatu jenis modal budaya dapat berubah-ubah dan diturunkan dari modal simbolis.

Habitus sesorang tersusun atas disposisi intelektual yang disematkan kepadanya oleh keluarga dan lingkungan kekeluargaan, dan termanifestasikan sesuai sifat alamiah orang tersebut.[10][11][12] dengan demikian, formasi sosial dari habitus seseorang dipengaruhi oleh keluarga,[13] akibat perubahan tujuan dalam kelas sosial,[14] dan juga akibat interaksi sosial dengan orang lain dalam kehidupan sehari-hari;[15] selain itu, habitus seseorang juga dapat berubah ketika dia mengubah posisi sosial di dalam ranahnya.[16]

Penelitian teoretis

Konsep "modal budaya" telah menerima perhatian luas di seluruh dunia, mulai dari teoritisi hingga para peneliti. Konsep ini sebagian besar digunakan dalam hubungannya dengan sistem pendidikan, juga beberapa telah digunakan dalam diskursus lain. Penggunaan konsep "modal budaya" Bourdieu dapat diurai ke dalam beberapa kategori dasar. Pertama, adalah mereka yang mengekplorasi teori ini sebagai alat eksplanasi kerangka kerja untuk penelitian. Kedua, adalah mereka yang menggunakannya untuk membangun atau memperluas teori ini. Ketiga, adalah mereka yang mencoba menyangkal temuan Bourdieu dalam mencari sebuah teori alternatif. Sebagian besar peneliti menggunakan teori Bourdieu untuk mempelajari hal-hal yang berkaitan dengan pendidikan, dan sebagian kecil menerapkan teorinya dalam kasus-kasus ketimpangan dalam masyarakat.


Kritik

Kritik atas konsep Bourdieu memuat banyak alasan, salah satunya adalah kurangnya kejelasan konseptual.[17] Hal ini menyebabkan para peneliti mengoperasionalisasikan konsepnya dalam cara-cara yang beragam, yang dapat dilihat dari kesimpulan mereka yang bervariasi. Sementara beberapa peneliti mungkin akan dikritik karena menggunakan pendekatan modal budaya yang hanya berfokus pada aspek-aspek tertentu dari budaya 'intelek', ini adalah kritik di mana konsep Bourdieu bekerja. Beberapa kajian telah dicobakan untuk memperbaiki pengukuran modal budaya, dalam rangka memeriksa aspek-aspek budaya kelas menengah mana saja yang benar-benar memiliki nilai dalam sistem pendidikan.[18][19][20][21]

Teori Bourdieu telah diamati, khususnya mengenai gagasan tentang habitus, yang sepenuhnya deterministik, sehingga tidak ada tempat bagi masing-masing individu atau bahkan kesadaran individu.[22][23] 

Bourdieu juga dikritik atas kurangnya perhatian akan gender. Kanter (dalam Robinson & Garnier, 1986) menunjukkan kurangnya minat Bourdieu dalam topik ketidaksetaraan gender di pasar tenaga kerja dalam karyanya. Namun, Bourdieu membahas topik gender dalam bukunya yang berjudul Dominasi Maskulin, yang diterbitkan tahun 2001. Dia juga menyatakan di halaman pertama pada pendahuluan buku tersebut, bahwa dominasi maskulin adalah contoh utama kekerasan simbolis.[24]

Lihat pula

Catatan kaki

  1. ^ J.P.E Harper-Scott and Jim Samson (2009). An Introduction to Music studies. Cambridge: Cambridge University Press. hlm. 52–55. 
  2. ^ The Dictionary of Human Geography, 5th Ed., (2009), p. 127.
  3. ^ Harker, 1990:13
  4. ^ The Sage Dictionary of Cultural studies by Chris Barker
  5. ^ Bourdieu, Pierre. "The Forms of Capital" (1985), Handbook of Theory of Research for the Sociology of Education (1986) p. 56.
  6. ^ Bourdieu, Pierre. "The Forms of Capital" (1985), Handbook of Theory of Research for the Sociology of Education (1986) pp. 46–58
  7. ^ Bourdieu, 1990:114.
  8. ^ Bourdieu, 1986:47
  9. ^ King, 2005:223
  10. ^ Harker, 1990, p. 10.
  11. ^ Webb, 2002, p. 37.
  12. ^ Gorder, 1980, p. 226.
  13. ^ Harker et al., 1990, p.11
  14. ^ King, 2005, p. 222.
  15. ^ Gorder, 1980, p. 226
  16. ^ Harker, 1990, p. 11.
  17. ^ Sullivan, A. (2002). "Bourdieu and Education: How Useful is Bourdieu's Theory for Researchers?". Netherlands Journal of Social Sciences. 38 (2): 144–166. 
  18. ^ Sullivan, A. (2001). "Cultural Capital and Educational Attainment". Sociology. 35 (4): 893–912. doi:10.1177/0038038501035004006. 
  19. ^ DiMaggio, P. (1982). "Cultural Capital and School Success" (PDF). American Sociological Review. 47 (2): 189–201. doi:10.2307/2094962. 
  20. ^ Crook, C. J. (1997). Cultural Practices and Socioeconomic Attainment: The Australian Experience. Westport, Connecticut: Greenwood Press. 
  21. ^ De Graaf, N. D.; De Graaf, P.; Kraaykamp, G. (2000). "Parental Cultural Capital and Educational Attainment in the Netherlands: A Refinement of the Cultural Capital Perspective". Sociology of Education. 73 (2): 92–111. doi:10.2307/2673239. 
  22. ^ DiMaggio, P. (1979). "Review Essay: On Pierre Bourdieu". American Journal of Sociology (Review). 84 (6): 1460–74. doi:10.1086/226948. 
  23. ^ King, A. (2000). "Thinking with Bourdieu Against Bourdieu: A 'Practical' Critique of the Habitus". Sociological Theory. 18 (3): 417–433. doi:10.1111/0735-2751.00109. 
  24. ^ Bourdieu, Pierre (2001). Masculine Domination. Stanford: Stanford University Press. hlm. 1. 

Referensi

Bacaan lanjut