Lompat ke isi

Baitulmaqdis

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Baitul-Maqdis (bahasa Arab: بيت المقدس, Rumah Suci) atau Baitul-Muqaddas (bahasa Arab: بَـيْـت الْـمُـقَـدَّس) adalah istilah yang digunakan untuk merujuk secara khusus untuk Masjid Al-Aqsha atau kota Yerusalem secara umum, tergantung sumber dan pendapat yang digunakan.

Latar belakang

Tanakh (kitab suci Yahudi) dan Alkitab (kitab suci Kristen) menyebutkan bahwa Sulaiman (Salomo) membangun tempat yang menjadi pusat ibadah Bani Israil, yakni Beit HaMikdash (bahasa Ibrani: בֵּית־הַמִּקְדָּשׁ‎) (disebut Bait Suci dalam bahasa Indonesia) di kota Yerusalem. Pada 587 atau 586 SM, Kekaisaran Babilonia Baru di bawah Nebukadnezar II menduduki kawasan Palestina dan menghancurkan Bait Suci.

Babilonia Baru runtuh dan digantikan Kekaisaran Akhemeniyah. Pada 538 SM, Kaisar Akhemeniyah Koresy Agung mengeluarkan surat perintah yang mengizinkan Bani Israil kembali ke Palestina dan membangun Bait Suci kedua.[1] Setelah terjadi Perang Yahudi-Romawi Pertama pada tahun 66-73 M, banyak umat Yahudi yang terbunuh dan dijadikan budak, sedangkan Bait Suci kembali dihancurkan.[2][3][4]

Kaisar Romawi Hadrianus kemudian membangun ulang kota Yerusalem dan menamainya Aelia Capitolina. Kota baru ini dibangun dan dipersembahkan untuk dirinya sendiri dan beberapa dewa Romawi, utamanya Dewa Yupiter,[5] dan berperan sebagai koloni Romawi dan digunakan untuk barak Legiuner.[6] Dalam bahasa Arab, kota ini disebut Iliya' (bahasa Arab: إِيْـلْـيَـاء), pelafalan Arab dari Aelia, kependekan dari Aelia Capitolina.[7] Batas kota Yerusalem diperluas seiring berjalannya waktu hingga masa modern dan kawasan yang dulunya disebut Iliya' (Aelia Capitolina) sendiri merujuk pada bagian kota tuanya yang dikelilingi tembok.

Pada tahun 610, Kekaisaran Sasania Persia mengalahkan Romawi dan merebut Palestina. Umat Yahudi diberi wewenang untuk mendirikan negara bawahan dan mulai membangun Bait Suci. Namun lima tahun kemudian, Romawi kembali mengambil alih Palestina dan umat Kristen menghancurkan Bait Suci yang belum selesai pembangunannya dan menjadikan tempat itu sebagai tempat pembuangan sampah.[8] Situs tersebut tetap berupa puing-puing sampai umat Muslim menguasai kawasan tersebut, kemudian membersihkan dan membangun beberapa bangunan di atas situs tersebut, seperti Jami' Al-Aqsha dan Kubah Shakhrah.

Masjid Al-Aqsha

Dalam Islam, tempat berdirinya Bait Suci disebut dengan Masjid Al-Aqsha (bahasa Arab: المسجد الاقصى, arti harfiah: "masjid terjauh") yang pada masa kekuasaan Muslim dibangun berbagai bangunan di tempat tersebut, di antaranya Jami' Al-Aqsha dan Kubah Shakhrah. Istilah masjid sendiri secara harfiah bermakna "tempat sujud"[9] dan secara syara dapat berarti semua tempat di bumi yang digunakan untuk beribadah kepada Allah,[10] sehingga Bait Suci juga disebut sebagai masjid dalam Al-Qur'an.[11]

Penggunaan Baitulmaqdis

Istilah Baitul-Maqdis (bahasa Arab: بيت المقدس) atau Baitul-Muqaddas (bahasa Arab: بَـيْـت الْـمُـقَـدَّس) telah dikenal sejak masa pra-Islam dan juga digunakan Nabi Muhammad sendiri dalam beberapa kesempatan. Secara harfiah, Baitul-Maqdis bermakna "rumah suci". Meski demikian, Baitul-Maqdis tidak mesti memiliki makna harfiah, sebagaimana lazimnya kawasan tersebut pada masa lalu yang menggunakan kata bait untuk nama tempat, seperti Bait Lahm (Bethlehem) tidak diterjemahkan secara harfiah menjadi "rumah daging".[12]

Meski populer dalam berbagai literatur Islam, istilah Baitul-Maqdis tidak pernah digunakan dalam berbagai berkas resmi. Meski demikian, nama ini sangat dikenal, utamanya terkait kandungan keagamaannya.[13] Nabi Muhammad dan beberapa sumber Islam awal menggunakan istilah Baitul-Maqdis untuk merujuk pada beberapa hal: Masjid Al-Aqsha, Iliya' (Yerusalem),[14] atau kota Yerusalem beserta kawasan di sekitarnya.[15]

Iliya'

Dalam sebuah hadits disebutkan bahwa Nabi Muhammad menceritakan perjalanan isra' mi'raj pada penduduk Makkah. Penduduk Makkah bertanya, "Ke mana?" Nabi Muhammad menjawab, "Baitul Maqdis." Penduduk Makkah bertanya kembali, "Maksudmu Iliya'?" Nabi Muhammad menjawab, "Ya."[16][17][18] Hal ini menunjukkan bahwa kaum kafir Makkah mengenal nama Baitul-Maqdis dan menyamakannya dengan Iliya' (Aelia).[19]

Setelah penaklukan Palestina oleh Muslim, nama Iliya' (Aelia) masih tetap digunakan untuk merujuk pada Yerusalem.[20] Walaupun begitu, ada kecenderungan untuk mendorong penggunaan nama Baitul-Maqdis untuk menggeser nama Iliya'. Upaya ini dialamatkan pada Ka'ab al-Ahbar, Yahudi Yamani yang menjadi Muslim dan sahabat Nabi. Sangat jelas penolakan Ka'ab menggunakan nama Iliya' berkonotasi keagamaan. Mu'awiyah bin Shalih (wafat 775) juga menyebutkan, "Jangan menyebut Madinah dengan Yatsrib dan Baitul-Maqdis dengan Iliya'."[13]

Masjid

Nama Baitul-Maqdis juga digunakan untuk merujuk pada Masjid Al-Aqsha secara khusus. Disebutkan bahwa Nabi Muhammad mengisahkan Yahya mengumpulkan Bani Israil di Baitul-Maqdis hingga penuh sampai ke teras, kemudian Yahya menyampaikan lima nasihat pada mereka.[21][22] Hadits ini menunjukkan bahwa yang dimaksud Baitul-Maqdis oleh Nabi Muhammad adalah masjid, yakni Masjid Al-Aqsha.[15] Hadits yang lain menyebutkan bahwa telaga Nabi Muhammad di hari kiamat seluas antara Ka'bah dan Baitul-Maqdis.[23] Lantaran disejajarkan dengan Ka'bah, Baitul-Maqdis yang dimaksud dalam hadits ini adalah Masjid Al-Aqsha.[24]

Ibnu 'Abbas meriwayatkan bahwa seorang wanita hendak pergi beribadah ke Baitul-Maqdis sebagai pemenuhan nazarnya bila telah sembuh dari penyakit. Namun Maimunah binti al-Harits mengatakan pada wanita itu untuk memakan perbekalannya saja dan beribadah di Masjid Nabi karena beribadah di masjid tersebut lebih utama dari masjid manapun, kecuali Masjid Al-Haram.[25] Riwayat ini menggandengkan Baitul-Maqdis dengan Masjid Nabawi dan Masjid Al-Haram, sehingga yang dimaksud Baitul-Maqdis dalam riwayat ini merujuk pada Masjid Al-Aqsha secara khusus.[26][27]

Nama lain

Nama Arab yang lebih sering digunakan untuk merujuk Yerusalem pada masa modern adalah Al-Quds (bahasa Arab: القُدس)[28][29] yang secara harfiah bermakna "kudus" atau "suci". Penggunaan pertama istilah ini terlacak pada abad ke-9 M, dua abad setelah Muslim mengambil alih kepemimpinan kawasan Palestina dan sekitarnya.

Pemerintah Israel sendiri menjadikan nama resmi Yerusalem dalam bahasa Arab adalah Ūršalīm (bahasa Arab: أُورُشَلِيمَ). Kata ini memiliki akar yang sama dengan nama resmi Yerusalem dalam bahasa Ibrani (יְרוּשָׁלַיִם, Yerusyaláyim) dan Inggris (Jerusalem).[30] Nama Ursyalim sendiri sudah dikenal bangsa Arab jauh sebelumnya. Seorang penyair yang meninggal di awal masa kenabian Muhammad, Maymun ibn Qais Al-A'sya, menyebutkan nama Ursyalim dalam syairnya.[31]

Rujukan

  1. ^ Ezra 1: 3–4
  2. ^ "The Great Revolt (66–70 CE)". www.jewishvirtuallibrary.org. 
  3. ^ Broshi, Magen (1979-10-01). "The Population of Western Palestine in the Roman-Byzantine Period". Bulletin of the American Schools of Oriental Research. 236 (236): 1–10. doi:10.2307/1356664. ISSN 0003-097X. JSTOR 1356664. 
  4. ^ Byatt, Anthony (1973-01-01). "Josephus and Population Numbers in First Century Palestine". Palestine Exploration Quarterly. 105 (1): 51–60. doi:10.1179/peq.1973.105.1.51. ISSN 0031-0328. 
  5. ^ Gray, John (1969). A history of Jerusalem. London: Hale. hlm. 59. ISBN 0709103646. OCLC 53301. 
  6. ^ Benjamin Isaac, The Near East under Roman Rule: Selected Papers (Leiden: Brill 1998)[halaman dibutuhkan]
  7. ^ Map of the early Arab dominions, showing Iliya
  8. ^ Karmi, Ghada (1997). Jerusalem Today: What Future for the Peace Process?. Garnet & Ithaca Press. hlm. 116. ISBN 0-86372-226-1. 
  9. ^ Hillenbrand, R. "Masdjid. I. In the central Islamic lands". Dalam P.J. Bearman, Th. Bianquis, C.E. Bosworth, E. van Donzel and W.P. Heinrichs. Encyclopaedia of Islam Online. Brill Academic Publishers. ISSN 1573-3912. 
  10. ^ Az Zarkasyi. I’laamus Saajid bi Ahkaamil Masajid.
  11. ^ Al-Isra' (17): 7
  12. ^ El-Awaisi 2011, hlm. 18-19.
  13. ^ a b El-Awaisi 2011, hlm. 19.
  14. ^ Carrol, James. "Jerusalem, Jerusalem: How The Ancient City Ignited Our Modern World", 2011. Retrieved on 24 May 2014.
  15. ^ a b El-Awaisi 2007, hlm. 88.
  16. ^ Ath-Thabrani (12/167-168)
  17. ^ Ibnu Abi Syaibah (7/422-423) (8/445)
  18. ^ Ibnu 'Asakir (41/235)
  19. ^ El-Awaisi 2011, hlm. 5.
  20. ^ El-Awaisi 2011, hlm. 12.
  21. ^ At-Tirmidzi (2/721-722)
  22. ^ Al-Hakim (1/204-205)
  23. ^ Ibnu Majah (2000/632)
  24. ^ El-Awaisi 2007, hlm. 105.
  25. ^ Muslim (1/565)
  26. ^ El-Awaisi 2007, hlm. 130.
  27. ^ El-Awaisi 2011, hlm. 21-22.
  28. ^ Bosworth, Clifford Edmund (2007). Historic cities of the Islamic world. The Netherlands: Koninklijke Brill NV. hlm. 225–226. ISBN 978-90-04-15388-2. Diakses tanggal 17 December 2011. 
  29. ^ Denise DeGarmo (9 September 2011). "Abode of Peace?". Wandering Thoughts. Center for Conflict Studies. Diarsipkan dari versi asli tanggal 26 April 2012. Diakses tanggal 17 December 2011. 
  30. ^ "The Official Website of Jerusalem". Municipality of Jerusalem. 19 September 2011. Diarsipkan dari versi asli tanggal 27 April 2007. 
  31. ^ El-Awaisi 2007, hlm. 86.

Daftar pustaka