Lompat ke isi

Pengguna:Abdulharisbooegies/Fadeli Luran

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Revisi sejak 7 Mei 2020 14.52 oleh Abdulharisbooegies (bicara | kontrib) (artikel baru)
(beda) ← Revisi sebelumnya | Revisi terkini (beda) | Revisi selanjutnya → (beda)
Presiden Soeharto dan Fadeli Luran


    Legenda datang silih berganti.  Berkelana dengan ide dan perjuangan.  Meninggalkan karya dan inspirasi.  Warisan mereka berlanglang, melintas zaman serta generasi.  Tokoh-tokoh berlabel the Great senantiasa menancapkan citra yang kuat untuk dikenang.  Sebab, mereka mengukir sukses cemerlang dengan gelimang prestasi eksplosif.  Para legenda mempersembahkan potensi demi masa depan.  Planet ini seolah tidak bisa berotasi tanpa mereka.

    Dari sejumlah legenda yang lahir di Sulawesi Selatan, sosok Fadeli Luran tergolong figur yang acap dibincangkan penuh takzim.  Visinya menjadi pilar perubahan positif.  Segenap aksesori pencitraannya cuma karya dan inspirasi.  Warisan Fadeli Luran berupa Pesantren Modern IMMIM tak lapuk diterpa inovasi teknologi, fluktuasi mata uang, dinamika sosial serta modernitas budaya.

    Fadeli Luran dan IMMIM (Ikatan Masjid Musalla Indonesia Muttahidah), ibarat koin.  Kedua sisi berbeda, tetapi, nilai sama.  Fadeli Luran tidak bisa dilepaskan dari IMMIM.  Begitu pun sebaliknya.  IMMIM tergolong pusaka supremasi Fadeli Luran sebagai tokoh historis.  IMMIM tak pudar diterpa zaman, tak padam ditembus peradaban.  Tetap kukuh di abad 21.

Die Hard

    Sebelum dan sesudah kehadiran IMMIM, terlihat sosok Fadeli Luran yang unik.  Motivasinya setegar karang sekaligus pantang menyerah.  Di garis finish hidupnya, ia dikenal sebagai orang kampung yang menjelma spesies super.  Idenya gemilang untuk disorot sejarah.  Alhasil, namanya bertabur tabik takzim.

    Fadeli Luran adalah die hard (pantang mengalah) seperti sosok Letnan John McClane (Bruce Willis) di film Die Hard.  Di sisi lain, Fadeli Luran juga figur yang tabah.  Ia tahu bagaimana menghayati sifat sabar.  Ia difitnah, diburu, disiksa serta dipenjarakan.  Semua ada ujungnya, batasnya dan akhirnya.  Saat kesabaran terus teruji, semuanya pun berubah berkat perputaran nasib.  Keberuntungan kemudian berpihak kepada insan sabar.  Fadeli Luran menggapai elemen eksistensi hidup yang selezat kurma Ajwa.  Semua mendadak indah sebagaimana pepatah Arab: "man shabara zhafira" (orang sabar pasti berjaya).

Bertaruh Salam

    Fadeli Luran serta Muhammad Jusuf Kalla pernah bertaruh tentang Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Dr Daoed Joesoef.  Keduanya bertaruh tentang salam "Assalamu Alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh".  Bila Daoed Joesoef mengucapkan salam, berarti Fadeli Luran yang menang.  Tentu saja, hadiahnya sekedar kebanggaan.

Fadeli Luran 1950

    Usai upacara Dies Natalis Universitas Hasanuddin, Daoed Joesoef pun bergegas ke Bandara Hasanuddin di Mandai.  Ketika akan naik ke pesawat.  Fadeli Luran menjabat tangan sang menteri sambil mengucap salam: "Assalamu Alaikum warahmatullahi wabarakatuh".  Mendengar itu, Daoed Joesoef hanya tersenyum.  Pendiri IMMIM itu mengulang lagi.  Jawaban Daoed Joesoef tetap tidak ada kecuali gumam kecil.  Gelagat yang diperlihatkan tokoh Centre for Strategic and International Studies (CSIS) tersebut membuat Fadeli Luran memegang erat tangan Daoed Joesoef seraya  meninggikan suara. "Assalamu alaikum warahmatullahi wabarakatuh".

Fadeli Luran di Gedung IMMIM

    Suasana yang menimbulkan keterpaksaan itu, mendorong Daoed Joesoef membalas salam Fadeli Luran.  Kalau tidak, jelas tangan Mendikbud tak bakal dilepas.

    Saat terjadi demonstrasi helm yang banyak menelan korban jiwa, massa mengerubungi rumah Fadeli Luran di Jalan Lanto Daeng Pasewang No 55.  Pasalnya, 1 November 1987 pada pukul 20.30, seorang penyiar TVRI Ujung Pandang, mengutip pernyataannya bahwa "memakai helm wajib hukumnya".  Mahasiswa yang marah atas tragedi helm, akhirnya berduyun-duyun mengerubuti rumahnya.  Padahal, Fadeli Luran tidak pernah melontarkan fatwa bahwa "memakai helm wajib hukumnya".

Ajal Menjemput

Bahar, Fadeli, Akbar

    Fadeli Luran wafat pada Ahad, 1 Maret 1992.  Ia menghembuskan nafas terakhir di Rumah Sakit Fatmawati, Jakarta.  Menjelang ajalnya, Fadeli Luran cuma mampu mengunyah empat sendok bubur yang diberikan Siti Rahmah, istri yang setia menemaninya dalam suka dan duka.

    Ketika seteguk air membasahi tenggorakannya, Fadeli Luran tiba-tiba batuk.  Mendadak di sekelilingnya berubah gelap.  Suster kemudian membantu detak jantungnya dengan alat pernafasan.  Di layar monitor elektrokardiogram (EKG), terlihat grafik denyut jantungnya redup menjadi garis tipis lurus pertanda kematian mulai menyongsong. Tangannya yang lemah lalu mencabut selang pernafasan yang melengket di hidung.  Dengan suara pelan, Fadeli Luran lantas menyebut asma Tuhan, "Allah...".

    Detik-detik mencekam tersebut berakhir dengan terhentinya detak jantung.  Nafas pun putus.  Legenda itu akhirnya menemui ujung perjalanan.  Ia pamit dari kefanaan di usia senja setelah mengukir momen-momen indah dalam hidupnya.  Innalillahi wa innailaihi rajiun.

Bukan TMP

    Pukul 07.30. WIB, Fadeli Luran meninggalkan segala hal yang telah dipejuangkan.  Pengagum Bung Hatta yang banyak meninggalkan monumen Islam tersebut, tak kuasa menahan ajalnya.

    Kesehatan Fadeli Luran menurun sejak operasi penyakit penyempitan pembuluh darah yang terdapat di kakinya di Rumah Sakit Academisch Medisch Centrum (AMC) di Universiteit van Amsterdam, Belanda pada 1987.  Selain menderita katarak, ia pun mengidap lever.

    Fadeli Luran wafat penuh kehormatan.  Tidak meninggalkan cemooh.  Tak ada lidah-lidah bergunjing jahat atas martabatnya di panggung sejarah.  Ia petarung kehidupan yang bekerja sampai tersungkur roboh.  Ia dimuliakan berkat karyanya yang abadi di panggung sejarah.  Fadeli Luran adalah mitos yang mendorong kualitas positif umat.

    Ketika jenazah disemayamkan, Rahmah dihampiri petugas militer.  Petugas menyampaikan bahwa seluruh keperluan penguburan di Taman Makam Pahlawan (TMP) segera disiapkan.

    "Bapak tidak pernah menyebut TMP", jelas Rahmah.

    Satu jam berikutnya, petugas lain ke rumah duka.  Ia hendak memastikan di mana Fadeli Luran akan dimakamkan.  "TMP atau Pekuburan Islam Panaikang".  Rahmah tegas memilih pekuburan Islam karena tidak ada wasiat perihal TMP.

Brilian

    Semasa hidupnya, sosok pria tinggi besar tersebut merupakan figur pemimpin yang brilian.  Arkian, ia sanggup menjabat berbagai posisi krusial di sejumlah organisasi.  Di samping Ketua Umum DPP IMMIM, Fadeli Luran juga diangkat menjadi Ketua Orpeha (Organisasi Persaudaraan Haji) maupun anggota Dewan Penyantun Unhas, Universitas Negeri Makassar, Universitas Muhammadiyah, UIN Alauddin serta Universitas Bosowa.

    Pada tahun 60-an, Fadeli Luran menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Gotong Royong (DPRD-GR) Kotapraja Makassar.  Kurun waktu 1965-1967, ia menjabat Ketua Umum Asosiasi Kontraktor Indonesia (AKI).  Pada 1967, Fadeli Luran yang punya kualitas kepribadian individu

diserahi tugas oleh Andi Pangerang Pettarani sebagai Ketua Yayasan Badan Wakaf UMI Makassar.  Bahkan, ia pun pernah ditunjuk sebagai penasehat lembaga drama.  Ini membuktikan bahwa Fadeli Luran cakap dalam aneka pokok bahasan.  Sebab, mengutamakan ketelitian logika.  Berpikir, sesudah itu beraksi.

Satyalencana

    Lembaran atribut Fadeli Luran, marak pula dengan pelbagai prestasi di kemiliteran.  Kendati mengakhiri karier ketentaraannya dengan pangkat Letnan II, namun, ia pernah mengabdi sebagai Wakil Komandan Batalyon.  Di Kabapaten Pangkajene dan Kepulauan (Pangkep), Fadeli Luran pernah menjabat komandan kompi.  Sedangkan surat penghargaan yang diperolehnya ialah Satyalencana Bhakti 17 Agustus 1958, Bintang Gerilya 10 November 1958, Satyalencana Peristiwa Aksi Militer Kesatu 17 Agustus 1958 dan Satyalencana Peristiwa Aksi Militer Kedua 17 Agustus 1958.

    Pada 1980, Fadeli Luran bersama Jusuf Kalla, AT Salama serta H Ince Muhammad Ibrahim, membangun Rumah Sakit Faisal.  Rumah sakit yang dibiayai Kerajaan Arab Saudi tersebut, terletak di kawasan Gunungsari seluas lima hektar.  Dalam menopang keberadaannya, dibentuk pula Yayasan Rumah Sakit Faisal (Yasrif).

    Secercah harapan terlintas untuk membangun rumah sakit ketika Duta Besar Saudi Arabia Sheikh Bakr Alkhamais menjalin ukhuwah dengan Fadeli Luran.  Niat luhur tersebut akhirnya mendapat lampu hijau seterang kristal dari Kerajaan Arab Saudi.  Selain sebagai pionir pembangunan serta Ketua Yasrif, Fadeli Luran juga mendirikan Apotik Farida Rahmah pada 1980.

Murid Hamka

    Sekalipun banyak berkecimpung di bidang pendidikan, namun, pendidikan formal Fadeli Luran hanya kelas III Sekolah Dasar.  Jenjang pendidikan seumur jagung itu, justru tidak menghalanginya tampil meng-SK-kan lebih seribu sarjana.

    Fadeli Luran bukan cuma fasih bergelut di dunia pendidikan, ia pun aktif dalam berbagai kegiatan Islam.  Hingga, masyarakat menyebutnya ulama.  Fadeli Luran menampik predikat tersebut.  Ia lebih suka dirinya dianggap sebagai zuama (pemimpin informal) yang membina organisasi kaum Muslim.  Padahal, tempat Fadeli Luran mengkaji ilmu keislaman adalah Haji Abdul Malik Karim Amrullah (Buya Hamka) dan Mohammad Natsir.  Buya Hamka sebagai Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) pertama, malahan menganggapnya sebagai anak sendiri.

Kompilasi Pujian

    Kisah Fadeli Luran seolah koleksi hikayat dari kompilasi para legenda Tanah Air.  Sikap dan tindakannya memimpin organisasi, terekam dalam memori kolektif.  Mantan Walikota Makassar H Muhammad Daeng Patompo, memujinya.

    "Kepemimpinan Fadeli Luran sulit ditemukan saat ini.  Cuma sedikit orang yang bisa memiliki kharisma seperti Fadeli Luran.  Dia itu manusia ngotot.  Kengototannya, karena, bisa menghimpun umat Islam untuk ikut dalam masjid.  Apalagi, Fadeli Luran tidak pandang siang atau malam, yang jelas ia selalu berusaha menyelesaikan masalah yang dihadapi".

    H Ilham Aliem Bachrie, tokoh pemuda era 90-an, melihat figur Fadeli Luran sebagai insan agamis.

    "Rasa cinta kepada agamanya sangat tinggi.  Susah mencari orang seperti Fadeli Luran.  Sebab, ia ibarat gabungan tiga orang.  Idenya cemerlang serta mudah berkomunikasi dengan pelbagai golongan".

    "Fadeli Luran itu tegas sekaligus bijaksana.  Dalam beberapa hal, ciri leadership yang dimiliki bertipe paternalis.  Di sisi lain, juga demokratis.  Fadeli Luran ibarat sebuah ungkapan, katakan yang benar walau pahit".  Begitu tutur Baharuddin Daeng Massikki tentang Fadeli Luran.

    A Hamid Aly, rekannya saat masih kecil mengungkap kalau Fadeli Luran punya keistimewaan.

    "Ia memang sudah dikaruniai oleh Tuhan berupa ilham dan ilmu", tegas Hamid Aly.  Pernyataan ini menegaskan bahwa peran Fadeli Luran yang mutlak sudah ditakdirkan.

Fadeli Luran Award

    Waktu berputar, zaman berubah, tetapi, legenda tak habis dikenang.  Kini, tiap tahun diadakan pemberian Fadeli Luran Award.  Penghargaan ini diberikan kepada mubalig-mubalig agung Indonesia.  Penerima Fadeli Luran Award antara lain Prof Dr M Quraish Shihab dan Prof Dr Nasaruddin Umar.

    Nama Fadeli Luran terus tergiang-nyaring.  Di Pangkep, namanya diabadikan sebagai penanda pengguna lalu-lintas yang bolak-balik hilir-mudik.  Jalan Fadeli Luran terletak di Jalan Poros Minasate'ne.  Jalan Fadeli Luran merupakan akses alternatif bagi para karyawan yang berdomisili di Makassar, tetapi, bekerja di Pangkep.

    Riwayat Fadeli Luran mengindikasikan nobody to somebody.  From nothing to something.  From zero to hero.  Inilah yang menginspirasi sejumlah santri untuk menerbitkan buku bertajuk Fadeli Luran di Mata 100 Santri.

Joki Tenrisannae

    Fadeli Luran mengeak pertama kali di Dusun Bampu, Desa Talaga, Enrekang.  Ia lahir dari rahim Haji Rawe pada 2 Januari 1922.  Fadeli Luran merupakan anak kedua dari enam bersaudara.  Mereka adalah Misa, Fadeli, Kasim, Mastura, Hamida dan Sawedi.  Luran, ayahnya seorang penjual ikan di pasar kabupaten yang juga petani garapan.

    Bayi montok tersebut, tumbuh menjadi anak pemberani.  Saat di SD, keberaniannya menyentuh hati Tuan Guru Sahibe, kepala sekolahnya.  Mentalnya sudah siap jadi singa saat masih bocah.  Hingga, ia dipercaya menjadi joki kuda Sahibe yang bernama Tenrisannae (Tak Terduga).  Fadeli Luran yang menunggang Tenrisannae selalu juara satu.  Mereka berlomba di pacuan kuda yang terletak di kampung Patili.  Kepopuleran Tenrisannae bersama Fadeli Luran, mendorong Sahibe untuk memperkenankannya tinggal di rumahnya.

    Selain bersekolah, Fadeli Luran pun ikut mengaji di Dusun Bamba, dua kilometer dari Bampu.  Di sana, ia diajar tajwid oleh Wa' Baco.  Kemampuan Fadeli Luran membaca ayat suci al-Qur'an, ditunjang oleh suaranya yang nyaring melengking.  Bahkan, jika Wa' Bco berhalangan, maka, Fadeli Luran yang mengajar rekan-rekannya.  Hamid Aly, seorang di antaranya yang pernah diajar oleh Fadeli Luran.

    H Akhmad Sinau, teman sepermainan Fadeli Luran berkisah bahwa anak itu tergolong cerdas.  "Di masa kecil ia pandai.  Fadeli Luran fasih berbicara dan selalu menjadi pemimpin.  Saat masih bocah, saya serta Fadeli Luran sering ikut main bola.  Jeruk yang kami jadikan bola.  Kami dengan teman-teman main bola di tanah luas di bawah pohon kelapa".

Asmara Kandas

    Sesudah menetap selama dua tahun di rumah Sahibe, Fadeli Luran kemudian ke Maroanging.  Sejak itu, sekolah ia tinggalkan setelah duduk di kelas III SD.

    Di Maroanging, Fadeli Luran menetap di rumah Ye' Makka, pamannya.  Di kampung tersebut, ia membantu Ye' Makka yang mandor jalan.  Walau hidup di pedalaman tidak dinamis, namun, Fadeli Luran tidak pernah bersikap tercela atau berulah ugal-ugalan.  Ia tetap tekun dan tabah.  Ini sangat mengesankan Lim Keng Yong.  Kepala Dinas Pekerjaan Umum yang keturunan Tionghoa itu, akhirnya mengajak Fadeli Luran untuk tinggal di kediamannya di Bamba.

    Ketika menetap di rumah Lim Keng Yong, Fadeli Luran jatuh cinta dengan putri seorang bangsawan.  Perjalanan asmara tersebut, putus sesudah orangtua sang gadis keberatan.  Atas desakan keluarga ningrat itu, maka, Fadeli Luran akhirnya meninggalkan Bamba.

Wiraswasta

    Fadeli Luran kemudian berdagang bahan pokok sehari-hari.  Dari Enrekang, ia membawa beras dan jagung untuk dijual di Makassar.  Saat balik, ia membawa kain, merica, bawang putih, sabun serta beberapa keperluan dapur.  Barang itu kemudian dibeli oleh para penjual eceran di pasar.

    Siklus perdagangan dari Enrekang ke Makassar, menempa wawasan Fadeli Luran mengenai dunia wiraswasta.  Papa Tensi, pamannya yang jongos Belanda, tempat Fadeli Luran menginap bila ke Makassar, sangat bangga melihat potensi keponakannya.

    Fadeli Luran lalu merantau ke Balikpapan untuk mengadu nasib demi pengembangan usaha.  Ia ikut dengan Mama Cimba, tantenya untuk mengadu nasib.  Dalam kegairahan baru di Balikpapan, Fadeli Luran menjadi polisi.  Selain sebagai abdi negara yang setia kepada negara, ia juga berdagang gula merah serta keperluan rumah tangga lainnya. Bahkan, ia pun belajar qasidah dan barzanji.

    Figur Fadeli Luran tidak sudi membiarkan ada lowongan yang mubazir.  Ia punya setengah karung tips dan trik dalam menakhodai bahtera hidupnya.  Ia polisi, pedagang, pegiat seni serta aktif menekuni ilmu agama.  Sosoknya merupakan manusia langka yang banyak akal dalam mengarungi terjangan hidup keras di masa penjajahan.

    Pada 1940, Fadeli Luran menikah dengan Hatijah.  Dari pernikahan itu, mereka dikaruniai Abdul Rahman, Cahyani dan Sultani.  Sesudah bercerai, Fadeli Luran menikah dengan Tanri.  Dari Tanri, ia memperoleh tiga anak; Ishak, Halifah serta Usman Thamrin.  Mahligai rumah tangga mereka akhirnya kandas.

Nasionalis

    Pada 24 Januari 1942, Jepang menginvasi Balikpapan.  Jepang tergiur dengan kota ini karena menjadi pelabuhan minyak utama di kawasan Asia Timur.

    Tekad Fadeli Luran kemudian menyala-membara untuk melihat Indonesia terlepas dari belenggu penjajahan.  Ia bergabung dengan Raden Achmad.  Di Berau, Raden Achmad, Sutan Baginda Husin bersama Muhammad Noor mendirikan Menuju Kemajuan Rakyat Indonesia Berau (Mekerib).  Organisasi ini bersikap moderat.

    Sepak-terjang Fadeli Luran yang dibalut rasa nasionalisme tinggi untuk bebas merdeka, berakhir tragis.  Pejuang gerakan bawah tanah itu ditangkap.  Fadeli Luran mendekam selama tujuh bulan di penjara.

Pejuang Perintis

    Pada 1945, Fadeli Luran bergabung dengan Abdoel Moethalib Sangadji di Samarinda.  Mereka bersinergi, bersatu-padu menyalakan optimisme di tengah rakyat.  Sangadji merupakan pejuang perintis kemerdekaan kelahiran desa Rohomoni yang terletak di pantai utara pulau Haruku, Maluku Tengah.

    Pada 1912, bersama Hadji Oemar Said Tjokroaminoto dan Hadji Agoes Salim (Masyhudul Haq), Sangadji turut dalam pendirian Syarekat Islam (SI), organisasi massa umat Islam terbesar di Indonesia.  SI sebelumnya dikenal sebagai Serikat Dagang Islam.  Tokoh komunis Tan Malaka pernah berkomentar.

Hegemoni Komunis

    Di Madiun pada 17-20 Februari 1923, kongres menyepakati untuk mengubah nama SI menjadi Partai Syarekat Islam (PSI).  Tjokroaminoto kemudian menggalang dukungan untuk menghadang sepak-terjang Semaoen, Alimin Prawirodirdjo, Raden Darsono Notosudirdjo dan Haji Merah alias Misbach.

    Kuartet ini diduga kuat hendak menancapkan simbol-simbol komunis ke SI demi memperkokoh hegemoni komunis di Indonesia.  Mereka diarahkan oleh aktivis komunis Belanda bernama Hendricus Josephus Franciscus Marie Sneevliet yang beken dengan nama Henk Sneevliet.

    Tokoh yang direkrut Tjokroaminoto sebagai pendukung guna menahan laju komunis antara lain Sangadji, Agoes Salim, Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo, Kiai Haji Ahmad Dahlan (Muhammad Darwisy), Mohammad Roem dan sastrawan Abdoel Moeis.

    Mereka kemudian mendirikan Partai Syarekat Islam Hindia Timur.  Partai ini akhirnya berubah menjadi Partai Syarekat Islam Indonesia (PSII) sekaligus menjadi organisasi politik pra-perang di Hindia Belanda.

    Kala Syarekat Islam retak, Sangadji yang tenar bergelar Jago Tua bersama Agoes Salim, mengundurkan diri.  Sangadji, Agoes Salim dan Mohammad Roem kemudian menggagas pendirian partai politik Pergerakan Penyadar.

Singa Podium

    Setelah mendengar berita Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, Sangadji bergerak ke Samarinda dan Banjarmasin.  Ia berpindah-pindah menjejakkan kaki di lusinan kampung.  Jalan hidupnya bercabang di persada Tanah Air.

    Sangadji kemudian berhasrat bertemu pemimpin Barisan Pemberontakan Rakyat Indonesia (BPRI) yang dibentuk Bung Tomo pada 12 Oktober 1945.  BPRI merupakan laskar pejuang Surabaya.

    Dalam perjalanan menemui pemimpin BPRI, Sangadji yang ternama sebagai singa podium, tak lelah menginformasikan bahwa Indonesia sudah merdeka.

    Di Puruk Cahu, Kabupaten Murung Raya, Kalimantan Tengah, mereka untuk pertama kalinya mengibarkan sang saka merah putih pada 3 Desember 1945.  Di hari itu pula, dinyatakan bahwa daerah Barito Hulu bergabung dengan Republik Indonesia.

    Di momen heroik itu, Sangadji ditemani Mahir Mahar dan Adonis Samad.  Mahir merupakan ikon etnis Dayak sekaligus tokoh pergerakan nasional.

Deklarasi Karang Langit

    Mahir, Tjilik Riwut dan George Obus tertoreh sebagai tiga serangkai pendiri Kalimantan Tengah dengan Ibu Kota Palangka Raya.  Provinsi ini berdiri pada 23 Mei 1957.

    Tokoh lain di Puruk Cahu yang mengibarkan bendera merah putih ialah Adonis.  Ia pejuang tangguh Kalimantan Tengah.  Adonis tertera sebagai pencetus Deklarasi Karang Langit yang menjadi cikal-bakal Kabupaten Barito Timur.

    Pada 10 November 1961, Adonis memperoleh penghargaan tertinggi dari Presiden Soekarno yang menjabat Panglima Tertinggi Angkatan Perang Republik Indonesia.

Karismatik

    Pada April 1946, rombongan Sangadji tiba di Marabahan, Kalimantan Selatan.  Mereka pun dibekuk polisi Belanda.  Selepas dari penjara di Banjarmasin, Sangadji ke Jogjakarta.  Ia memimpin pejuang Hizbullah.  Laskar ini dibentuk di Jakarta pada 14 September 1944.  Tujuannya membantu memenangkan perang Asia Timur Raya.

    Sangadji tewas tertembak tatkala Agresi Militer Belanda I (Operatie Product pada 21 Juli 1947 - 5 Agustus 1947) di Jogjakarta pada 1947.  Tokoh karismatik itu tercatat dengan tinta emas dalam sejarah perjuangan Indonesia sebagai Pahlawan Perintis Kemerdekaan.

Ekstremis

    Fadeli Luran yang sempat berjuang bersama Sangadji akhirnya tertangkap.  Setelah berkali-kali merepotkan posisi Belanda, perlawanan mereka pun terpatahkan.  Fadeli Luran bersama rekan-rekannya dimasukkan ke sel di Samarinda.

    Fadeli Luran disekap selama enam bulan.  Bergaul di ruang sempit dengan sesama ekstremis nasionalis.  Mereka sama rasa sama rata tanpa sengketa.  Sedangkan Sangadji saat itu dikirim ke Furcao, Borneo.  Borneo merupakan wilayah Brunei Darussalam dan Malaysia di pulau Kalimanan.

    Pada 18 September 1948, meletus pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI) di Madiun.  Soeparto alias Moesso atau Paul Mussotte yang dikenal pula sebagai Munawar Moesso atau Moesso Manowar tercatat sebagai arsitek aksi pengkhianatan kebangsaan di Madiun.  Waktu itu, Moesso menyamar sebagai sekretaris Soeripno, Duta Besar Indonesia di Praha, Cekoslowakia.  Soeripno juga merupakan gembong komunis alumnus Moskow.

    Pemberontakan PKI berhasil ditumpas.  Tokoh-tokohnya ditembak, termasuk Moesso.

Ikut Tentara

    Setelah peristiwa Madiun, Letnan I Muhammad Bahar Mattalioe bertemu Fadeli Luran.  Sesudah perjumpaan itu, terjadi Agresi Militer Kedua Belanda pada 19 Desember 1948.  Hingga, semua tentara Republik menyingkir ke pegunungan.  Apalagi, banyak kota yang direbut Belanda.

    Pada Agustus 1949, Letnan I Muhammad Akbar Syamsuddin bertemu pula dengan Fadeli Luran yang bersahabat dengan saudagar kaya Haji Mattalitti.  Saat itu, Syamsuddin akan memasuki Jogjakarta, Ibu Kota Republik Indonesia yang baru direbut dari Belanda.

    Kala itu, orang yang hendak ke Jogjakarta, harus sembunyi-sembunyi.  Mereka mengalami kerumitan level dewa untuk menembus masuk.  Sebab, di sekeliling Jogjakarta dikuasai Belanda.

    Ketika menuju ke Jogjakarta, Bahar dan Syamsuddin membawa pula Fadeli Luran besama Burhanuddin.  Seperti terkena sihir, keempat pria itu langsung cocok.  Siasat segera diatur.  Mereka merupakan pengikut yang bakal menggabungkan diri dengan satuan Brigade 16 Tentara Nasional Indonesia (TNI) pimpinan Letnan Kolonel Abdul Kahar Muzakkar.

Disergap Polisi Militer

    Dengan menumpang kapal laut, akhirnya tiba di Semarang.  Mereka kemudian mengontak Letnan Muda Mhd Amin.  Informasi yang diterima ternyata salah. Akibatnya, saat kereta api yang ditumpangi tiba di Stasiun Muntilan, keempatnya langsung berhadapan dengan sesuatu yang tak terbayangkan.  Mereka disergap Polisi Militer Belanda.

    Di perbatasan kekuasaan pasukan Belanda serta tentara Republik tersebut, mereka diperiksa.  Lalu dibawa ke Magelang lantaran dikira ekstremis potensial.  Selanjutnya diangkut ke Salatiga.

    Perilaku mereka yang baik sebagai pesakitan, memupus kecurigaan Belanda yang menuduhnya TNI atau DI/TII (Darul Islam/Tentara Islam Indonesia) pimpinan SM Kartosoewirjo.  Keempatnya berkeras mengaku pedagang di hadapan TIG (dinas intelijen militer Hindia Belanda).

    Mereka terpaksa mengakui sesuatu yang fiksi demi keselamatan jiwa.  Sepakat berkolusi guna membenarkan dusta.  Untungnya, semua ungkapan minus fakta itu dipercaya oleh Belanda.  Hingga, dalam menjalani pemeriksaan, mereka diperlakukan baik.

    Apes bagi Bahar gara-gara di tasnya ditemukan stempel DI/TII.  Ia segera dipisah dengan tahanan lain.  Bahar dicerca, dicecar dan digundul.

Obrolan Santai

    Tiap pagi dan petang, Fadeli Luran bersama Syamsuddin menunggu aba-aba untuk dikerjakan.  Keduanya berjalan sekitar satu kilometer membawa ransum untuk 100 lebih tahanan.

    Pada siang hari, keduanya berkebun di halaman rumah Komandan Tentara Belanda.  Waktu senggang usai bekerja, Fadeli Luran suka bercanda dengan istri cantik sang komandan.  Mereka bercengkerama seraya bertukar gosip atau sekedar basa-basi.  Obrolan kasual di sore hari itu acap diselingi tawa-renyah di antara keduanya.  Bincang santai dengan istri cantik komandan membuktikan bahwa Fadeli Luran piawai menciptakan kompromi.  Ia lugas menempatkan diri di mana saja.

    Fadeli Luran yang terampil bergaul akhirnya makin dipercaya sebagai orang bersih.  Ia tidak lagi dituding anggota gerakan pengacau keamanan.  Sekalipun diberi kebebasan dan kesempatan untuk berkebun, tetapi, pengawasan tetap ketat.  Mereka diinspeksi secara teliti.

Saudara Tua

    Di penjara Salatiga itu, Fadeli Luran dipandang sebagai "saudara tua".  Ia menularkan semangat positif dalam keseharian.  Mencuatkan petuah kepada tahanan yang dirundung kesedihan dan kesendirian agar bersabar dalam tekanan besar.  Tuturannya bagai sabda baginda raja.  Dipatuhi demi kebaikan bersama.

    Fadeli Luran pun mengajarkan pengetahuan agama (atta’limu diniyyan) dalam kamp tawanan tersebut.  Kepada para tahanan yang juga dicurigai sebagai orang-orang Republik, ia mengajarkan shalat lima waktu.  Fadeli Luran menjadi individu spiritual yang mempesona di penjara.

    Kurun waktu terus berlalu.  Hingga, tak terasa Fadeli Luran telah berhari-hari menjadi tahanan.  Ia terus menunggu waktu sambil menanti pembebasan untuk merasakan energi kemenangan.

Efek Positif KMB

    Pada 23 Agustus 1949, diadakan Konferensi Meja Bundar (de Nederlands-Indonesisch Ronde Tafel Conferentie) di ruang Ridderzaal, Den Haag, Belanda.  Pada 29 Oktober 1949, konferensi selesai yang ditandai penandatangan Konstitusi Verenigde Staten van Indonesie alias Republik Indonesia Serikat (RIS) di Scheveningen, Belanda.

    RIS merupakan negara federasi.  RIS berdiri pada 27 Desember 1949 sebagai hasil Konferensi Meja Bundar (De Ronde Tafel Conferentie).

    Pada 27 Desember 1949, diadakan upacara penyerahan kedaulatan (soevereiniteits overdracht) Kerajaan Belanda kepada RIS di Istana Dam, Amsterdam.

    Di hari yang sama, juga berlangsung penyerahan kedaulatan Kerajaan Belanda oleh Komisaris Tinggi Hindia Belanda Antonius Hermanus Johannes Lovink kepada Pemerintah RIS yang diwakili Sri Sultan Hamengkubuwana IX (Gusti Raden Mas Dorodjatun).

    Sehari berikutnya, Presiden Soekarno meninggalkan Jogjakarta menuju ke Jakarta. Soekarno yang terpilih dengan suara bulat, bergegas melaksanakan tugas sebagai Presiden RIS.

Nekat Terus

    Konferensi Meja Bundar (KMB) berdampak positif.   Fadeli Luran serta para sahabatnya terbebas dari kurungan penjajah.  Efek lain KMB ialah Belanda mundur dari Solo ke Semarang.

    Sesudah menjalani pemeriksaan terakhir, mereka pun dibolehkan memasuki wilayah RIS.  Dengan catatan, mesti pulang ke kampung asal masing-masing.  Pasalnya, kalau tetap mencoba menerobos ke Jogjakarta kemudian tertangkap lagi.  Resikonya ditembak mati oleh algojo Belanda.

    Mereka pun setuju dengan kehendak Belanda.  Persetujuan ini rupanya tidak terikat dengan janji yang diucapkan.  Mereka menganggap sepi ancaman serius Belanda.  Mereka justru bersenyawa melanjutkan perjuangan yang sudah dirintis.

    Sesudah tiba di Semarang, Fadeli Luran, Bahar, Syamsuddin serta Burhanuddin bergegas mencari penghubung untuk kembali menerobos pertahanan demi mencapai Jogyakarta, Ibu Kota perjuangan.

    Seperti James Bond, mereka mengorek petunjuk untuk berkomunikasi dengan sesama patriot.  Keempatnya mengitari segala kemungkinan guna merangkum serpihan informasi.  Mereka merencanakan seluruhnya secara sempurna.

Berbeda Jalur

    Ketika program penyusupan dirancang, terjadi silang-sengkarut.  Strategi yang silih-berganti ditawarkan justru menimbulkan pertentangan.  Bahar berubah arah tak terduga.  Kata sepakat sontak susah diselaraskan.  Ia menimbang kalau rencana ini tidak sempurna, justru punya sejumlah resiko.  Salah sedikit nyawa taruhannya.

    Bahar mengusulkan kembali ke Surabaya menunggu hari baik untuk menyelinap ke Jogjakarta.  Bahar tidak begitu optimistis dengan hasil akhir petualangan ini.  Ia khawatir terjebak dalam kegagalan yang sama.

    Fadeli Luran, Syamsuddin dan Burhanuddin tidak sudi mengoreksi niat.  Tekad sudah bulat untuk nekat menyusup.  Mereka ingin mengulang lagi petualangan mendebarkan yang membuat adrenalinnya memuncak.  Akhirnya, Bahar ke Surabaya.  Sedangkan trio heroik itu berjuang merangsek masuk ke Jogjakarta.

    Dengan semangat pantang menyerah, mereka terus berikhtiar.  Nyali dinyalakan.  Aksi waspada terus-menerus dijaga.  Mereka tidak ciut kalau ditangkap lagi untuk  dijebloskan ke hotel prodeo.

    Mereka kemudian menyewa mobil menuju ke Magelang.  Lalu menemui penghubung lain agar bisa diselundupkan ke Jogjakarta.  Sesudah mendapat perlindungan, mereka akhirnya menuju ke Ibu Kota.  Ketiganya menumpang dokar melewati desa-desa yang dikuasai Belanda.

    Perjalanan maut yang mendebarkan itu berakhir saat mereka berhasil sampai di pos perbatasan Belanda serta Indonesia.  Bahaya mematikan sirna berganti kegembiraan.  Asa langsung melambung setinggi langit ketujuh.

Tiba di Jogja

    Kapten Corps Polisi Militer (CPM) Muhammadong dan Letnan Maulwi Saelan yang menjadi komandan di Pos TNI, kemudian membawa mereka masuk ke Jogjakarta menuju Markas Brigade 16 yang dipimpin Kahar Muzakkar.

    Setelah melaporkan keterlambatannya akibat disergap Belanda, mereka pun beristirahat di Hotel Tentara di Jalan Tugu dekat Stasiun Jogjakarta.  Selama di Ibu Kota sejak Desember 1949, Fadeli Luran mengikuti Latihan Kilat Tentara.

    Sesudah menempuh basic training selama tiga bulan, Fadeli Luran pun berhak menyandang pangkat Letnan II.  Semangatnya pun kian bergelora untuk meneruskan perjuangan.

Pengawal Bung Karno

    Abdul Kahar Muzakkar merupakan sosok sarat pesona pada skala yang tak terbayangkan.  Di masa kecil, ia doyan main domino.  Kahar pun dipanggil La Domeng (Domino).

    Suatu waktu, Presiden Soekarno mencari pengawal khusus.  Kahar terpilih karena dikenal sebagai pemuda gigih yang tak memiliki urat takut.  Ia punya energi untuk bertarung.  Sejak itu, Kahar menjadi bodyguard istimewa Soekarno.  Ia bagian Batalyon Kesatuan Indonesia (BKI).

    Pada 19 September 1945, Kahar bersenjata parang mengawal Soekarno tatkala menghadiri pertemuan di Lapangan Ikada, Jakarta.  Di beberapa kesempatan, Kahar menjadi pembuka jalan di tengah kerumunan sekaligus tameng bagi Soekarno.

    Ketika memimpin satuan Brigade 16 di Jogjakarta, Letkol Kahar sering berdiskusi dengan Kolonel Zulkifli Lubis, yang pernah ikut pelatihan militer Jepang.  Kelak, Sang Kolonel tersohor sebagai penggagas Badan Istimewa, lembaga intelijen pertama.  

    Di Jogja, Kahar bersahabat pula dengan fotografer Frans Soemarto Mendur, kepala kantor Indonesian Press Photo Service (IPPHOS).  Kahar kerap ke kantor IPPHOS di Jogja untuk bertukar pikiran dengan Frans Mendur perihal spirit kebebasan, perjuangan, idealisme serta profesionalisme.

    Kahar menggaungkan perlawanan bersenjata lantaran 15 ribu eks pejuang Kesatuan Gerilya Sulawesi Selatan (KGSS) yang dipimpinnya ditolak menjadi brigade atau resimen untuk Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat (APRIS), kini TNI.  Panglima Tentara dan Teritorium (TT) VII/Wirabuana Alexander Evert Kawilarang menampik permohonannya pada 1 Juli 1950.  Grafik ketegangan langsung meninggi.  Inilah pemicu pemberontakan Kahar kepada Republik.

NIT vs RIS

    Usai ditempa di Markas Brigade 16 yang dipimpin Kahar Muzakkar, akhirnya Fadeli Luran resmi masuk jajaran Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat (APRIS), kini TNI.  Ia pun diberangkatkan ke Makassar lewat Surabaya.  Fadeli Luran bergabung dengan Komando Group Sulawesi Selatan (KGSS).  Pasukan dipimpin oleh Kapten Saleh Syahban.

    Misi yang diemban ialah meluluhlantakkan laskar Kapten Andi Abdoel Aziz yang membangkang terhadap RIS.  Pertempuran ini bakal dimulai dengan gas poll,  melaju kencang tanpa rem.  Sebab, Andi Azis bukan gladiator medioker.  Ia siap meledak kapan saja.

    Andi Azis adalah prajurit komando alumnus Inggris.  Pada 1945, ia lulus sebagai Sersan Kadet di Inggris.  Di Akademi Militer Inggris, Andi Azis satu kelas dengan Moshe Dayan, Menteri Pertahanan Israel (1967-1974).

    Andi Azis tertoreh sebagai orang Bugis yang terlibat dalam Perang Dunia II di front Barat Eropa.  Ia juga satu-satunya putra Bugis dengan pangkat paling tinggi di KNIL.

    Tujuan Andi Azis menggelorakan perlawanan yakni demi mempertahankan Negara Indonesia Timur (NIT).  Ia tak sudi berintegrasi dengan RIS.

    Pada malam 4 April 1950, Andi Azis ke kediaman Dr Christiaan Robbert Steven Soumokil, Jaksa Agung NIT (1945-1950).  Di rumah Soumokil (kelak dinobatkan Presiden Republik Maluku Selatan), lalu-lalang anggota KNIL Ambon.  Mereka bertekad bertempur bila Kapal Waikelo dan Bontekoe mendarat di Makassar.  Kapal milik Koninklijke Paketvaart Maatschappij itu membawa 900 serdadu APRIS dengan komandan Mayor Hein Victor Worang.

Komandan Peleton

    Pukul 05.00 pada 5 April 1950, Andi Azis menabuh genderang perang.  Ia melakukan blitzkrieg (serangan kilat) dengan nama“Gerakan Rabu Pagi”.  Andi Azis menyerang dengan metode perang secara cepat ke kompleks perwira Staf Kwartier APRIS di Coenenlaan serta asrama CPM di Klapperlaan (Jalan Robert Wolter Mongisidi).  Ia lalu menyandera Panglima Daerah Teritorial Indonesia Timur Letnan Kolonel Ahmad Yunus Mokoginto.

    Andi Azis mengambil alih kekuasaan militer pada 5 April 1950, di usia 25 tahun.  Tentara Andi Azis tidak terkendali.  Menggila dalam serangan, beringas dalam bertahan.  Aspek tersebut berkat keunggulan tempur KNIL yang dikomandani Andi Azis di atas standar militer reguler Belanda dan APRIS.

    Makassar yang jatuh ke tangan Andi Azis, memaksa pasukan Worang yang sudah berada di perairan Makassar, berbalik arah.  Mereka memutuskan mendarat di Jeneponto.

    Letnan II Fadeli Luran akhirnya tiba di Makassar.  Ia dipercaya memimpin satu peleton guna menumpas gerakan Andi Azis.  Laskar itu bersama prajurit lain segera beraksi.

    Di Jalan Mongisidi, mereka membombardir konvoi tank Koninklijk Nederlands-Indisch Leger (KNIL) yang menyokong Andi Azis.  Fadeli Luran bersama rekan-rekannya berhasil membebaskan Sekolah Guru Putri.  Para pelajar di sekolah tersebut terkurung selama dua hari dua malam.  Mereka terjebak akibat tembak-menembak antara APRIS dengan serdadu Andi Azis.

Komandan KNIL

    Tiada gading tak retak.  Nama besar Andi Azis bukan jaminan kemenangan.  Tentaranya mulai kedodoran dikepung dari empat penjuru mata angin.  Hingga, serbuan Andi Azis bisa dinetralisasi.  Kekalahan terjadi setelah pasukannya terpojok di Pandangpandang.

    Bukan Andi Azis jika ciut.  Sebagai keturunan ningrat Bugis Barru, ia tetap membara.  Andi Azis secara jantan bertanggung jawab penuh atas tindakannya.

    "Saya menyesal, namun, harus melakukannya", merupakan diktum paling terkenal serta menyentuh relung kalbu yang dituturkan Andi Azis.

    Karier militer Andi Azis begitu memukau.  Ia pernah bertempur melawan Jerman Nazi (NS-Staat) di Belanda.  Serangan bertubi-tubi tiada jeda laskar der Fuhrer Adolf Hitler memaksa Andi Azis menyeberang ke Inggris.

    Andi Azis sempat menjadi tenaga bantu prajurit Perancis di Kolombo, Srilanka maupun Calcutta di India.  Kerajaan Inggris lantas mengirim Andi Azis ke Singapura untuk melawan Jepang pada 1945.

    Di Makassar, Andi Aziz mengomandani 125 KNIL.  Serdadunya tergolong andal.  KNIL atau Serdadu Kerajaan Hindia Belanda merupakan tentara bayaran Belanda yang bergaji 300 gulden per bulan.  KNIL didominasi orang Indonesia.  Sisanya Jerman, Perancis, Swiss dan Belgia.  Tugas KNIL yaitu menjaga kedaulatan Hindia Belanda di Nusantara.

    Sekilas, KNIL tidak simpatik gara-gara menista anak negeri.  KNIL pribumi mengangkat senjata untuk melawan kaumnya sendiri.  Bumiputra dibidik sebagai mangsa oleh rekan sebangsa.  Pasukan khusus KNIL tak peduli siapa yang dirugikan selama terjaga kepentingan Belanda.

Instruktur Para

    Pada 1948, Andi Azis tertoreh sebagai instruktur di sekolah terjun payung School tot Opleiding voor Parachusten di Bandung.  Ia pernah pula ditunjuk sebagai ajudan muda Tjokorda Gde Raka Soekawati yang menjabat Presiden NIT selama 1946-1950.

    Kemilau prestasi yang diukir Andi Azis sebagai penerjung jempolan, membuat kekeliruannya berupa pengkhianatan terhadap Tanah Air, diampuni.  Pada 31 Agustus 1956, ia memperoleh grasi.

    Penghapusan kesalahan itu didasari oleh minat Bung Karno yang menghendaki Andi Azis menjadi Instruktur Para pada Cakrabirawa, pasukan pengawal presiden.  Andi Azis menolak.  Ia memilih menjadi pegawai di PT Pelayaran Samudera Indonesia.

Tertembak

    Dalam satu operasi penumpasan pengikut Andi Aziz, Fadeli Luran kena tembak di pundak dan paha.  Ia kemudian dibawa ke Rumah Sakit Pelamonia.

    Setelah sembuh, Fadeli Luran bersama Akhmad Sinau menghadap ke Letnan Kolonel Soeharto yang menjadi pimpinan Brigade Garuda Mataram di Jalan RW Mongisidi.  Ia menjelaskan keadaannya yang mustahil aktif di ketentaraan.  Fadeli Luran muskil maju terus menerjang sebagai patriot.  Ia lalu diberi surat oleh Soeharto.

    Fadeli Luran kemudian menghadap ke Kolonel Inf Alexander Evert Kawilarang, Panglima Tentara dan Territorium (TT)VII/Indonesia Timur (Kodam XIV/Hasanuddin).  Sejak itu, Fadeli Luran sebagai patriot diberhentikan dengan hormat dari dinas kemiliteran.  Walau pensiun, namun. gairah kebangsaannya tidak luntur, tidak pudar, apalagi padam.

Kembali Berbisnis

    Fadeli Luran kembali menekuni dunia usaha.  Ia mencurahkan pula tenaga serta pikiran di organisasi kemasyarakatan.

    Pada 1950, Fadeli Luran mendirikan organisasi orang Enrekang dengan nama Himpunan Kerukunan Massenrempulu Hijrah (Hikmah).  Ia pun didaulat sebagai ketua.  Organisasi itu mampu memiliki asrama sekaligus membangun masjid.  Bahkan, tercatat sebagai organisasi pertama di Makassar yang punya ambulance.

    Pada 1951-1953, ia bersama H Nonci Beddu (Nobe) menjadi leveransir yang menyuplai Angkatan Udara (AU).  Sesudah menjadi distributor untuk AU, Fadeli Luran berdagang kayu dari Makassar ke Samarinda.  Pekerjaan itu membuatnya untung banyak.

    Fadeli Luran lalu menikah dengan Hanisa.  Bahtera perkawinan tersebut tidak bertahan, kandas di tengah jalan.  C'est la vie, inilah hidup.  Ada suka ada duka, ada kawin ada cerai.  Walau rumah tangganya ruwet tidak awet, tetapi, bisnisnya melesat pesat.  Hingga, ia membuka koperasi sekaligus mendirikan Toko Buku Nirwana.

    Di saat yang sama, Fadeli Luran mendapat rumah di Jalan Sawerigading.  Dari Dinas Pekerjaan, Fadeli Luran pun memperoleh rumah di kecamatan Mariso atas jasanya terhadap bangsa dan negara.

Bisnis Mentereng

    Pada 10 Mei 1953, Fadeli Luran melangsungkan pernikahan dengan Rahmah, putri Residen Haji Alimuddin Daeng Mattaro.  Curahan kasih-sayang mereka membuahkan putra-putri.  Berturut-turut lahir Diana Hanum, Ahmad Dana Zulkifli, Ahmad Syahruddin, Nur Insani, Nur Hadliah, Ahmad Malangkapi, Ade Raheni, Ahmad Fathanah, Nur Fajriah serta Ahmad Fanani.

    Bisnis yang mentereng membuat Fadeli Luran mendirikan PT Dakota Raya pada 1953.  Dakota Raya yang fokus di jalur percetakan, memiliki cabang di Jakarta, Surabaya, Medan dan Manado.  Setahun berikutnya, didirikan CV Dana Trading Coy yang bergerak di bidang kontraktor serta perdagangan umum.

    Pada 1955, Fadeli Luran bersama Andi Hamid dan Makkawaru merintis pendirian Asosiasi Kontraktor Indonesia.  Wadah ini berfungsi sebagai organisasi para kontraktor.

Terciduk Intel

    Pada 13 April 1964, Fadeli Luran berceramah subuh dengan tema persatuan umat Islam di Masjid Nurul Amin, Makassar.  Ia tiba-tiba diimbau turun dari mimbar.  Desas-desus berhembus bahwa perintah agar ceramah tidak dilanjutkan berasal dari Dr Soebandrio, Kepala Badan Pusat Intelijen.

    Fadeli Luran lantas diangkut ke kantor polisi.  Di sana, ternyata sudah terciduk A Rasjid Ali serta Haji Lapangka, dua sahabatnya bersama 50 pesakitan.

    Penangkapan terhadap mereka gara-gara tuduhan memberi sumbangan ke DI/TII.  Padahal, sumbangan itu sebenarnya untuk Hikmah yang terletak di Barabaraya, Makassar.  Teka-teki sampai detik ini rumit terkuak, mengapa sumbangan itu dianggap masuk ke kelompok DI/TII.

    Di penjara Polda yang terletak di Jalan Jenderal Ahmad Yani, mereka dijaga ketat oleh polisi dengan senapan bayonet.  Sekalipun mereka diawasi siang-malam, namun, para penjaga tersebut akhirnya luntur keangkerannya.  Mereka kelihatan iba.  Sebab, mengawasi  orang-orang yang tidak jelas kesalahannya.  Akhirnya, polisi dengan senapan bayonet itu bisa berbaur dengan para tahanan.

Sorot Mata

    Dalam proses verbal, Fadeli Luran yang dituduh antek DI/TII, punya kenangan unik.  Sebab, jika diinterogasi, maka, wajahnya dihadapkan ke tembok.  Pasalnya, penyidik tak kuasa menatap sorot mata Fadeli Luran.  Tatapan matanya sangat tajam, seolah menembus jantung dan meremas ulu hati.

    Selama setahun lebih, Fadeli Luran, Rasjid Ali serta Lapangka, diperiksa.  Di dalam bui, Fadeli Luran jarang tidur.  Ia sangat tekun mengaji.  Perilakunya teramat tegas.

    Fadeli Luran tak putus menyemangati tahanan lain.  Bahkan, bersama saudara-saudara seiman, mereka mengislamkan enam etnis Tiongkok yang juga terciduk.

Cerek Emas

    Di suatu subuh yang dingin, Fadeli Luran memanggil Rasjid Ali.  Ia menceritakan peristiwa yang dilihatnya dalam mimpi.

    "Saya bermimpi semalam supaya sesudah usai musibah ini, membuat organisasi Islam.  Bunga tidur tersebut ibarat ilham bagi saya.  Dalam mimpi itu, saya sedang duduk tafakur.  Sebuah teko yang sangat indah berwarna keemasan mendadak keluar dari pundak saya.  Cerek itu seolah ada yang mengangkat.  Airnya lalu tumpah membasahi wajah.  Terminum oleh saya.  Terasa sejuk di kerongkongan".

    Sebenarnya, selain mimpi yang menjadi obsesi, juga fenomena umat Islam di Indonesia masa itu sering membuat Fadeli Luran gundah-gulana.  Ia gelisah melihat kaum Muslim terdiri atas beberapa firqah (golongan yang berbeda akidah).

     Hasrat Fadeli Luran kala itu cuma mempersatukan kelompok ke dalam sebuah wadah.  Ia ingin ada konsep yang mengatur tata-cara mengarungi kehidupan religius.  Di luar dugaan, sebelum niat itu terlaksana, ia meringkuk dalam tahanan akibat difitnah membantu DI/TII.  Bahkan, dituding PKI, sebuah tuduhan serius.

Bukti Otentik

    Dalam penjara, Lapangka yang merasa diri tak bersalah, sering histeris.  Ia stres karena merasa tak paham masalah sumbangan yang dituduhkan.  Alasan penahanannya menjadi horor tiada tara.  Seolah monster yang tak terkira.

    Kalau Lapangka tertekan, Fadeli Luran segera menenangkan.  Kalimat-kalimat lembut ia lafalkan agar hati yang merana serta meronta oleh ketidakadilan bisa jinak.  Keduanya kemudian saling mengisi dalam kebaikan.  Persentuhan tersebut akhirnya mengikat batin mereka.

    Tatkala bergelut dalam bui, Mayor Hamid Aly memperjuangkan kebebasannya.  Ia merupakan perwira intel di Operasi Kilat dengan Komandan Kolonel Solihin Gautama Purwanegara.  Mang Ihin sebagai Komandan Operasi Kilat bertekad menyapu gerombolan PKI.

    Hamid Aly melihat tuduhan terhadap Fadeli Luran bersama sahahabatnya tidak dilandasi bukti otentik.  Timbul dugaan ini semua gara-gara iri hati terhadap usaha Fadeli Luran, Rasjid Ali dan Lapangka yang berkembang pesat.

    Berkat kegigihan Hamid Aly yang menjadi Asisten I Operasi Kilat, maka, Fadeli Luran bersama rekan-rekannya akhirnya bebas.  Ia memperoleh surat pembebasan yang ditandatangani oleh Panglima Kodam XIV/Hasanuddin Letnan Kolonel Andi Muhammad Jusuf Amir.

Saudara Dunia-Akhirat

    Ketika keluar dari penjara, Lapangka menjabat erat tangan Fadeli Luran.  Mitra yang setara itu saling berpelukan penuh bahagia.  "Kita bersaudara dunia-akhirat", bisik Lapangka terharu.  Kelak, jalinan persaudaraan tersebut sempat terpatri oleh pernikahan antara putri Fadeli Luran dengan putra Lapangka.

    Hamid Aly kemudian menyarankan kepada Fadeli Luran, Rasjid Ali serta Lapangka agar tinggal sementara di Parepare demi menghindari kecurigaan.

    Mereka rawan kena serangkaian masalah baru.  Sebab, situasi tidak kondusif akibat sepak-terjang PKI yang bertekad mengomuniskan Indonesia.  Di saat itu pula, Hamid Aly diangkat sebagai Komandan Kodim di Parepare pada 1968-1973.

    Sesudah menjalani hukuman dalam penjara sekaligus liburan panjang di Parepare, Fadeli Luran pun turun gunung membenahi bisnisnya.  Kemarin terpuruk, kini ia berusaha bangkit.  Sejak itu pula, mimpinya di penjara Polda yang melahirkan alam impian kian menggebu-gebu untuk direalisasikan.  Ini mengusik pikiran, emosi serta kesadaran.  Makan dan tidur malahan ikut terganggu.

Strategi Perlawanan

    Kala angan-angan Fadeli Luran memuncak untuk menyatukan umat Islam, ternyata PKI sudah mendobrak di mana-mana.  Dengan kelihaiannya, PKI sanggup berjalan seiring dengan aparat Pemerintah.  Sebab, mendapat perlindungan dari pusat pemerintahan.  Hingga, punya kesempatan dan fasilitas.

    Ini membuat kegiatan-kegiatan PKI leluasa diadakan.  Di sisi lain, kaum Muslim dikucilkan.  Di samping menekan insan beriman, komunis menyensor pula media massa.

    Fadeli Luran, Patompo dan Andi Baso Amir melihat bahwa umat Islam bisa menjadi komunis akibat kebodohannya.  Tekanan kejahiliaan yang dihembuskan penganut ateis itu, bisa membuat pengikut ajaran Maharasul Muhammad terkotak-kotak sampai mudah diadu domba.

    Trio itu kemudian bertekad membuat satu strategi untuk melawan PKI.  Mereka menghendaki sebuah organisasi yang bisa menampung aspirasi kaum Muslim.  Apalagi, komunis sudah masuk ke masjid dan organisasi-organisasi Islam.

    "Mereka lebih fasih dari umat Islam.  Mereka lebih pintar.  Sebab, mereka mempelajari Islam.  Sedangkan kita ini cuma Islam turunan.  Tidak mendalami ilmu agama", kenang Patompo yang menjadi penopang eksistensi IMMIM di awal berdirinya.

    Melihat fenomena umat Islam yang berada di bawah bayang-bayang komunis, akhirnya Fadeli Luran, Patompo serta Baso Amir mendatangi masjid-masjid untuk memberikan dakwah sebagai bentuk perlawanan terhadap komunis yang menyamar sebagai Muslim.  Ketiganya laksana api berkobar-kobar yang berkoar-koar mengingatkan umat perihal bahaya laten komunis.

Realisasi Impian

    Ramadan pada 1963 di kediaman Baso Amir di Jalan Gunung Latimojong No 22, berkumpul 50 pengurus masjid dan musalla se-Makassar.  Dalam acara ramah-tamah itu, Fadeli Luran menjelaskan adanya keragaman dalam penafsiran fikih (hukum Islam).  Masalah shalat, umpamanya, terlihat pelaksanaannya berbeda dengan mazhab lain.

    Perbedaan cara shalat, bukan hanya kasus Indonesia.  Sebab, saat Fadeli Luran naik haji pada 1962, pelbagai "kelainan" sejenis banyak ditemukan.  Hal ini bisa menggoyahkan iman seseorang.  Alhasil, Fadeli Luran terpanggil untuk mengembalikan pemahaman aneh itu ke sumber asli.  Ia berhasrat merangkai iman umat selaras konsep langit.

    Gagasan ini radikal.  Sebab, Fadeli Luran mencuatkan paradigma dan orientasi baru.  Ia  berkehendak mengubah kelompok menjadi umat.

    Fadeli Luran tidak menawarkan etika alternatif terbaik, tetapi, menggali ajaran asli.  Konsep orisinal tentu tak sepalsu sulap.  Prinsip ini jelas mengantar umat pada kesadaran baru.  Hingga, terbentang titian untuk melangkah menuju pintu peradaban baru.

IMMIM Lahir

    Pada 1 Januari 1964, berdiri secara resmi organisasi nonpolitik yang dinamakan Ikatan Masjid Musalla Indonesia (IMMI).  Fadeli Luran yang punya strategi terukur pun dibaiat sebagai ketua.  Eksistensi IMMI menempatkan Fadeli Luran pada posisi yang menanjak menuju kemuliaan.

    Kehadiran IMMI kemudian secara perlahan menghapus pertentangan golongan dan mazhab.  Bahkan, pengurus kelompok-kelompok itu menjadi sokoguru kukuh IMMI.  Ini di luar dugaan.  Sebab, menghasilkan harapan lebih dari yang disadari.

    Pada 1966, dilangsungkan musyawarah kerja IMMI pertama di Markas Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) di Jalan Chairil Anwar.  Dalam musker tersebut, Fadeli Luran menyerahkan secara simbolis bendera IMMI ke segenap pengurus masjid serta musalla se-Makassar di Masjid Nurul Amin.  Ditegaskan oleh Fadeli Luran bahwa bendera IMMI merupakan lambang yang menandakan adanya kegiatan umat Islam.

    Musker ini memaparkan kerja keras Fadeli Luran.  Ia memikirkan konsep dan implementasi program secara komprehensif.  Hasilnya jelas, pesan maksimal untuk pembangunan spiritual umat.

Markas IMMIM

    Pada 25-29 Juli 1967 dalam musker kedua, IMMI makin kuat.  Musker yang dihadiri 278 peserta itu, berhasrat memperluas wilayah IMMI.  Gagasan itu seiring perubahan IMMI menjadi IMMIM (Ikatan Masjid Musalla Indonesia Muttahidah).

    Patompo yang merupakan eksponen 45 Sulsel, lalu menginginkan IMMIM tampil lebih intensif.  Ia pun menghibahkan rumah di Jalan Jenderal Sudirman untuk dijadikan markas komando.

    Rumah itu milik Dinas Pekerjaan Umum yang penghuninya kemudian dipindahkan setelah dibayar dengan uang zakat dari Pemerintah Daerah senilai Rp 750 ribu.  Di samping itu, juga ada tanah milik seorang warga Enrekang.  Hingga, atas kesediaannya, maka, tanah tersebut dibebaskan.  Sedangkan pendirian Gedung IMMIM tidak lepas dari jasa H Ince Naim Daeng Mamangun.  Gedung IMMIM kemudian diresmikan oleh Pangkowilham IV Mayor Jenderal Ahmad Kemal Idris pada 23 April 1970.

    Di gedung yang dijadikan markas itu, banyak dilakukan kegiatan-kegiatan seperti diskusi, musyawarah serta rapat untuk membangkitkan api Islam dalam dada generasi muda.  Aneka kegiatan itu membantu Pemerintah Orde Baru dalam pengembangan agama, pemerintahan maupun pemeliharaan stabilitas.

Dinamika IMMIM

    Kehadiran IMMIM seolah anugerah yang membanggakan.  Sebab, semua pejabat di Makassar merestui kehadirannya.  Bahkan, menyokong segala kebutuhan primer.  Hingga, fungsi IMMIM menjadi markas Islam.  Apalagi, IMMIM berhasil mengadakan kursus mubalig yang menyebar ke seluruh masjid di Sulawesi Selatan.

    Dalam perkembangannya, IMMIM didukung oleh Yayasan Dana Islamic Centre (Yasdic).  Wadah itu bertujuan menunjang kegiatan Dewan Pengurus IMMIM.  Sebagai institusi yang mengolah sekaligus menggali sumber dana, maka, yayasan nonprofit tersebut menggariskan langsung ke unit-unit usaha IMMIM.  Alhasil, IMMIM mampu melebarkan sayap ke Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Maluku dan Papua (Irian Jaya).  Pada akhirnya, IMMIM dapat merambah sampai ke seluruh pesosok Indonesia Timur.

    Kehadiran IMMIM yang potensial, sangat berpengaruh di berbagai kalangan.  Semua berkat program yang dirancang matang.  Bahkan, mendapat respons positif dari Presiden Soeharto pada 1970.  Pak Harto bersilaturahmi ke Islamic Centre IMMIM untuk bersua ulama se-Sulawesi Selatan yang dipimpin Fadeli Luran.

    Pada 3 Juli 1978, saat mubes IMMIM kedua berlangsung, tercetus pendirian Dewan Pimpinan Pusat (DPP) IMMIM.  Anggota DPP IMMIM periode pertama ialah Fadeli Luran, HM Quraisy Shihab, A Rahman Rahim, Kiai HM Nur, Halide, Baharuddin DM, Muhammad Ahmad, Abdullah Basir serta Nur Abdurrahman.

    Selain mengoordinasikan masjid, IMMIM juga melihat pendidikan sebagai masalah yang mutlak diutamakan.  Fadeli Luran pun terus berbenah bersama IMMIM.  Di sini terlihat sosoknya yang tangguh.  Ia berdaya-upaya demi menggapai hasil signifikan dalam berkarya.  Fadeli Luran berpikir kritis guna mengurai persoalan-persoalan kompleks yang dihadapi umat Islam.

Ide Pesantren

    Gagasan Fadeli Luran yang teramat cemerlang yaitu Pesantren Modern IMMIM.  Apalagi, pondok keagamaan itu menjadi obat penenang baginya.

    "Bila Bapak pusing-pusing, ia ke pesantren.  Begitu tiba kembali di rumah, hatinya pun senang", papar Rahmah, sang istri.

    Terbetiknya ide Fadeli Luran untuk mendirikan pesantren bermula ketika ia melihat banyak orangtua dari Indonesia Timur menyekolahkan anaknya di pesantren-pesantren yang bertebar di Jawa.  Bahkan, Zulkifli serta Usman, putranya juga menuntut ilmu di Pondok Modern Darussalam, Gontor, Ponorogo, JawaTimur.

    Di pesantren tersebut, Fadeli Luran banyak melihat pernak-pernik kehidupan santri.

    "Pada 1968, saya telah mengenal Fadeli Luran.  Sebab, ia diajak berkeliling kampus Gontor oleh KH Umar Zarkasyi.  Sesudah melihat Pesantren Gontor, Fadeli Luran kemudian salat seraya memohon petunjuk Allah supaya diberi kekuatan untuk mendirikan pesantren", ungkap Prof Dr Azhar Arsyad MA.

Perang Pikiran

    Perasaan yang merasuk batin Fadeli Luran ialah segera mendirikan pesantren.  Pondok keagamaan merupakan lumbung generasi-generasi ulung untuk menghadapi perang pikiran (ghazwul fikr) di masa depan.  Apalagi, perang pikiran atau konsep lebih berbahaya dibandingkan modus operandi

Christiaan Snouck Hurgronje.

    Pada 14 Januari 1975, Fadeli Luran bersama Halide, Rahman Rahim, Nur Aburrahman, Muhammad Ahmad, Fachrul Islam dan Ince Ibrahim, mendirikan Pesantren Modern IMMIM.  Selain membangun di Tamalanrea, Makassar, untuk putra, dibangun pula di Minasate'ne, Pangkep, untuk putri.

    Tamalanrea merupakan area pendidikan tinggi terpadu.  Kini, di kawasan itu berderet lembaga pendidikan negeri serta swasta.  Nama Tamalanrea berasal dari bahasa Makassar: "Tama'lanrea" atau "Tama'lanre".  Kata itu merujuk kepada sesuatu yang memberi kesan nyaman sekaligus tidak membosankan.

    Sementara penentuan lokasi Pesantren IMMIM Putri di Minasate'ne berkat jasa Bupati Pangkep (Purn) HM Arsyad B (1966-1979).

    Nama Minasate'ne berasal dari bahasa Makassar.  Terdiri dua kata.  "Minasa" artinya harapan.  Sedangkan "Te'ne" adalah manis.  Jadi, Minasate'ne merupakan "harapan indah" bagi penduduk setempat.

    Bupati lantas mengimbau tiap kecamatan mengirim wakil untuk ditempa sebagai santri-santriwati.  Hingga, rata-rata santri-santriwati adalah anak pejabat lokal di Pangkep.

    Pada 17 Februari 1975, Pesantren IMMIM Putri memulai aktivitas sebagai sebuah lembaga pendidikan modern yang memadukan Tsanawiyah-Aliyah dengan SMP-SMA.

Pondok Petromax

    Di lahan pesantren dibangun Pondok A (santri asal Kecamatan Pangkajene). Pondok B (Kecamatan Ma'rang), Pondok C (Kecamatan Bungoro), Pondok D (Kecamatan Labbakkang), Pondok E (Kecamatan Balocci), Pondok F (Kecamatan Segeri) dan Pondok G (Kecamaan Kepulauan).  Pondok G yang terpisah jauh acap disebut sebagai Pondok Tai.  Sebab, tiap hari bernaung di sekitarnya hewan ternak.  Akibatnya, banyak berserakan kotoran sapi, kerbau serta kambing.

    Semua pondok beratap nipah dengan dinding anyaman bambu, kecuali Pondok Segeri yang dibangun dengan kayu.  Pondok yang cukup besar ini ditempati oleh santriwati.  Pondok Segeri bersebelahan dengan dapur yang juga berbahan kayu.  Selain pondok Segeri, juga pondok Balocci dikhususkan bagi santriwati.  Pondok Bungoro istimewa berkat dijadikan musalla.  

    Tiap pondok terdiri empat kamar.  Bilik bisa menampung dua atau tiga santri.  Semua pondok memiliki ketua alias penguasa.  Santri yang ingin pindah kamar harus seizin ketua.

    Semua serba minim di masa awal Pesantren IMMIM Putri di Minasate'ne.  Listrik belum ada.  Lampu petromax minyak tanah hanya satu.  Lampu itu dinyalakan di dapur kalau santri-santriwati makan malam.  "Saya yang menyalakan petromax itu", kenang Zainal Abidin, tokoh ikonik alumni pertama.

Putra di Putri

    Keunikan pesantren putri karena ada putra.  Ide agar putra digabung dengan putri lantaran masalah keamanan. Bupati bersama pengurus IMMIM khawatir ada penjahat masuk ke pesantren.  Jika ada putra, maka, gangguan pihak luar bisa diminimalkan, bahkan nihil.

    Tahun berikutnya, tidak lagi menerima putra kecuali putri.  Putra khusus di Tamalanrea.  Pada penerimaan santriwati kedua, muncul masalah.  Pasalnya, tidak ada pondok yang kosong untuk santriwati baru.  Mereka pun diinapkan di kelas yang kosong.

    Pada 1976, 50 santri-santriwati Minasate'ne ke Tamalanrea menghadiri penerimaan santri kedua. Mereka takjub melihat perkembangan santri Tamalanrea.  Bahkan, terkagum-kagum dengan keterampilan bahasa Arab santri Tamalanrea yang menyambut mereka dengan pidato bahasa Arab.

    Pada 1977, santri Minasate'ne bergabung ke Tamalanrea setelah bersama santriwati selama dua tahun enam bulan.  Mereka berbaur sesama putra kelas tiga.  Santri Minasate'ne tidak langsung ditempatkan di asrama, tetapi, tinggal di mes yang terletak di bagian depan kampus.

Arabisasi

    Pesantren IMMIM dengan ciri madrasi/ribati (modern) yang berdiri di antara kemajuan fisik material itu, juga diimbangi pembagunan mental spiritual keagamaan.  Apalagi, program Arabisasi bahasa yang diterapkan dalam kampus, membuat seluruh aktivitas sehari-hari para santri marak dengan percakapan bahasa Arab.  Dari penguasaan bahasa tersebut, santri-santriwati diharap memiliki keandalan untuk memahami Islam dari sumbernya.

    Selain Arabisasi bahasa yang menjadi ciri khas, Pesantren IMMIM pun sukses menerapkan mata pelajaran umum.  Sebab, menggunakan kurikulum SMP/SMA dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan maupun kurikulum Tsnawiyah/Aliyah dari Kementrian Agama.  Arkian, hasil akreditasi 1989/1990 Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menetapkan tingkap SMP serta SMA IMMIM pada jenjang disamakan.

Kesan Tamu

    Dalam perjalanannya, Pesantren Modern IMMIM banyak dipuji para tamu yang datang bersilaturahmi.  Sebagai contoh, Jacob Vredenbregt (Guru Besar Tamu Unhas) yang berkunjung pada 13 Juli 1978 mengatakan: "Sangat mempesonakan!"

    Pada 22 Oktober 1978, Prof Teuku MASDESW Syahrir Mahyudin CLMSc (Pimpinan Tertinggi International Black Panther Karate Indonesia) menulis kesan bahwa: "Sangat bangga dan kagum setelah melihat keadaan anak-anak yang berlatih.  Semoga lebih berhasil lagi".

    Pada 6 Februari 1979, Anwar Ibrahim dari Himpunan Pemuda Islam Sedunia mengatakan: "Semoga rencana mendidik anak-anak dapat menghasilkan insan akademis yang bertakwa kepada Allah".

    Pada 9 Mei 1979, Buya Hamka berkunjung ke Pesantren IMMIM.  "Pekerjaan yang mulia dan tulus.  Moga-moga diberkahi Tuhan", begitu komentar Buya Hamka saat menyaksikan aktivitas para santri.

    Julie Paulsen (pelajar AFS) berkunjung ke Pesantren IMMIM pada 18 Februari 1980.  Ia terkesan dengan model pesantren.

    "Saya kira the school here is a very special school.  I think it's great that the students learn bahasa English and Arab.  The student are all well behaved and very friendly.  Thanks for my change for another experience and another place to get to know people".

IAPIM

    Kini, Pesantren IMMIM telah melahirkan alumni yang tergabung dalam Ikatan Alumni Pesantren IMMIM (IAPIM).  Sejumlah alumni melanjutkan pendidikan di berbagai belahan planet biru ini.  Mereka mengembara mencari pengetahuan di Amerika Serikat, Kanada, New Zealand, Belanda, Australia, Arab Saudi, Mesir, Yaman, Lebanon, Libya, Syria, Pakistan dan Malaysia.

   "Selain menuntut ilmu di mancanegara, juga alumni Pesantren IMMIM berkiprah di berbagai aspek kehidupan seperti akademisi, ekonom, usahawan, diplomat, jurnalis, eksekutif, legislator, yudikatif dan TNI-Polri.  Sampai tahun 2020, alumni di TNI-Polri antara lain Kombes Pol Imam Setiawan, Letkol TNI Abdul Malik, Letkol TNI AL As'ad Ismail dan Mayor TNI Ikbal Said", tutur Lukman Sanusi, alumnus 1986.

Ulama Intelek

    Pada 1980, Fadeli Luran berdiri bak menara yang menjulang di depan para santrinya di Masjid ath-Thalabah di kompleks Pesantren IMMIM.  Pantulan wibawanya menembus kalbu. Ia menggemakan motivasi yang saripatinya menegaskan bahwa orang hebat tidak takut dengan resiko.

    "Ananda ditempatkan di mana saja tidak akan kesulitan.  Sebab, ananda dibekali pengetahuan umum dan agama.  Apalagi, ananda bisa berbahasa Arab dan Inggris.  Di sini ananda dididik menjadi ulama intelek".

    Fadeli Luran terobsesi mencetak alumni sebagai Mahaputra Utama.  Ia berharap alumni menjadi pilar Islam dalam menyongsong era mutakhir selanjutnya.

    Indikasi terbentang kalau perjuangan umat Islam di masa depan, akan banyak mengalami benturan dengan sains dan teknologi.  Di sinilah diktum Fadeli Luran tentang "ulama intelek" diuji.  Mantra "ulama intelek" mutlak mengantisipasi perubahan bagi kelangsungan dakwah Islamiah.

Tugu Monumental

    Santri yang mendengar refleksi pikiran Fadeli Luran tentang "ulama intelek", kontan hanyut dalam kebahagiaan.  Hati menggelembung oleh kebanggaan.  Mereka terinspirasi untuk merintis reputasi seraya merebut prestasi.

    Semua tafakur untuk melambungkan potensi diri sebagai santri die hard (pantang mengalah) dan sabar.  Jangan kalah oleh sifat malas.  Sebab, di ujung perjuangan dan kesabaran, ada kesuksesan yang menanti.  Dengung pepatah Arab membahana: "man shabara zhafira" (orang sabar pasti berjaya).

    Pesantren Modern IMMIM merupakan tugu monumental Fadeli Luran, "sang Legenda".  Dari monumen agung itu diharap muncul tokoh garda akidah umat.  Hingga, santri serta alumni wajib memegang filosofi IMMIM:  "Bersatu dalam aqidah, toleransi dalam furu'iyah dan khilafiah".