Lompat ke isi

Reaksi berantai polimerase

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Revisi sejak 17 Maret 2021 10.48 oleh JumadilM (bicara | kontrib) (menambahkan konten dan referensi)
Alat pengatur suhu reaksi yang biasanya digunakan pada teknik reaksi berantai polimerase

Reaksi berantai polimerase adalah teknik yang digunakan untuk menyalin asam deoksiribonukleat (DNA) sebanyak jutaan kali atau melakukan rekayasa genetika ertentu. Kegunaan umum dari reaksi berantai polimerase ialah menambahkan situs enzim restriksi, memutasikan basa tertentu pada DNA, dan menentukan adanya fragmentasi DNA di perpustakaan DNA komplemen. Reaksi berantai polimerase dibedakan menjadi reverse transcriptase PCR (RT-PCR) untuk amplifikasi asam ribonukleat (RNA) dan real-time PCR (QPCR) yang memungkinkan untuk pengukuran kuantitatif dari DNA atau RNA.[1] Reaksi berantai polimerase lebih umum dikenal sebagai PCR (kependekan dari istilah bahasa Inggris: polymerase chain reaction).[2] Reaksi berantai polimerase melakukan perbanyakan DNA dengan memanfaatkan 7 bahan yaitu cetakan DNA, enzim DNA polimerase tahan panas, satu pasang primer DNA, dNTP, kofaktor Magnesium klorida, larutan dapar dan air.[3] Perbanyakan DNA melalui tahapan pra-denaturasi DNA polimerase, denaturasi DNA polimerase, penempelan primer DNA pada DNA polimerase, pemanjangan primer DNA dan pemantapan.[4] Paduan antara reaksi berantai polimerase dengan pengurutan DNA telah mengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, khususnya di bidang diagnosis penyakit genetik, evolusi molekuler dan kedokteran forensik.[5]

Penemu

Metode ini pertama kali dibuat pada tahun 1985 sebagai bagian dari rangkaian Proyek Genom Manusia.[6] Reaksi berantai polimerase disempurnakan oleh Kary Mullis pada tahun 1986 untuk pengembangan ilmu biologi molekuler, khususnya bagi kedokteran forensik.[7] Mullis memperoleh penghargaan Nobel Kimia pada tahun 1994 berkat temuannya tersebut.[8]

Prinsip kerja

Secara prinsip, PCR merupakan proses yang diulang-ulang antara 20–30 kali siklus sesuai kebutuhan. Setiap siklus terdiri atas tiga tahap. Berikut adalah tiga tahap kerja PCR dalam satu siklus:

  1. Tahap peleburan (melting) atau denaturasi. Pada tahap ini, ikatan hidrogen DNA terputus (denaturasi) dan DNA menjadi berberkas tunggal. Tahap ini berlangsung pada suhu tinggi, yaitu 94–96 °C. Biasanya, pada tahap awal PCR, tahap ini dilakukan agak lama (sampai 5 menit) untuk memastikan semua berkas DNA terpisah. Pemisahan ini menyebabkan DNA tidak stabil dan siap menjadi templat ("patokan") bagi primer. Durasi tahap ini 1–2 menit.
  2. Tahap penempelan atau annealing. Primer menempel pada bagian DNA templat yang komplementer urutan basanya. Ini dilakukan pada suhu antara 45–60 °C. Penempelan ini bersifat spesifik. Suhu yang tidak tepat menyebabkan tidak terjadinya penempelan atau primer menempel di sembarang tempat. Durasi tahap ini 1–2 menit.
  3. Tahap pemanjangan atau elongasi. Suhu untuk proses ini tergantung dari jenis DNA polimerase yang dipakai. Dengan Taq-polimerase, proses ini biasanya dilakukan pada suhu 76 °C. Durasi tahap ini biasanya 1 menit.

Lepas tahap 3, siklus diulang kembali mulai tahap 1. Akibat denaturasi dan renaturasi, beberapa berkas baru (berwarna hijau) menjadi templat bagi primer lain. Akhirnya terdapat berkas DNA yang panjangnya dibatasi oleh primer yang dipakai. Jumlah DNA yang dihasilkan berlimpah karena penambahan terjadi secara eksponensial.

Diagram siklus reaksi berantai polimerase (PCR)
Diagram siklus reaksi berantai polimerase (PCR)

Kegunaan

Analisis sampel forensik

Reaksi berantai polimerase dimanfaatkan pada analisis sampel forensik karena mampu memperbanyak DNA hingga jutaan sampai milyaran kali lipat. Metode ini hanya dilakukan jika jumlah sampel sangat sedikit pada otopsi mayat yang sudah lama meninggal. Reaksi berantai polimerase mampu menganalisis bahan yang sudah terdegradasi sebagian. Kemampuan ini digunakan pada analisis bercak darah, bercak mani, kerokan, atau kuku.[9]

Penanda molekuler

Reaksi berantai polimerase dimanfaatkan sebagai penanda molekuler berdasarkan DNA dengan dua jenis primer yang berbeda. Pertama, reaksi berantai polimerase dengan menggunakan urutan nukleotida sebagai primer. Jenis primernya terbagi menjadi dua yaitu Amplifikasi Acak Polimorfisme DNA dan polimorfisme panjang fragmen teramplifikasi. Kedua, reaksi berantai polimerase yang menggunakan primer hasil gabungan urutan komplementer spesifik DNA target. Jenis primer ini terdiri dari Sequence Tagged Sites (STS), Sequence Characterized Amplified Regions (SCARs), mikrosatelit, dan polimorfisme nukleotida tunggal.[10]

Diagnosis gejala klinis Covid-19

Uji reaksi berantai polimerase transkripsi-balik (rRTPCR) merupakan metode standar dalam diagnosis gejala klinis penyakit koronavirus 2019. Reaksi berantai polimerase dilakukan selama masa paparan virus hingga timbulnya gejala klinis yang berkisar antara 1–14 hari dengan rata-rata 5 hari. Reaksi berantai polimerase diterapkan pada bagian usap nasofaring atau sampel dahak dengan hasil yang dapat diketahui dalam beberapa jam hingga 2 hari.

Diagnosis leptospirosis

Pewarnaan umum dalam diagnosis laboratorium leptospirosis memanfaatkan reaksi berantai polimerase. Leptospira diberi warna perak melalui imunofluoresen DNA. Diagnosis leptospirosis dapat dilakukan dengan metode reaksi berantai plimerase konvensional (end-point PCR) maupun reaksi berantai polimerase waktu nyata (real-time PCR). Pemilihan metode yang digunakan ditentukan oleh lamanya fase klinis pada sampel klinis.[11]

Identifikasi genetik biota laut

Reaksi berantai polimerase dapat dimanfaatkan sebagai alat identifikasi genetik pada biota laut. Metode yang digunakan dapat berupa pengujian DNA maupun melalui kode batang DNA. Metode ini telah digunakan pada berbagai jenis terumbu karang keras, ikan terumbu karang dan invertebrata laut.[12]

Identifikasi begomovirus

Begomovirus dapat diketahui keberadaannya di dalam tanaman menggunakan reaksi berantai polimerase. Keberadaan virus diperoleh melalui patogen-patogen tanaman. Hasil yang dicapai oleh reaksi berantai polimerase berupa komposisi populasi patogen dan diversitas genetik virus.[13]

Identifikasi virus hepatitis C

Reaksi berantai polimerase digunakan sebagai metode standar dalam menentukan keberadaan virus hepaititis C. Pemanfaatan metode ini khususnya dilakukan selama periode jendela selama antibodi belum terbentuk setelah virus hepatitis muncul. Jenis reaksi berantau polimerase untuk deteksi asam rinobukleat ialah Reverse Transcriptase PCR. Reaksi berantai polimerase sesuai pada pasien yang mengalami imunosupresi seperti resipien transplantasi ginjal.[14]

Pembuatan protein rekombinan

Reaksi berantai polimerase telah digunakan sebagai salah satu cara pergantian genetik pada Pichia pastoris dan S. cerevisiase. Jenis DNA yang digunakan disesuaikan dengan kebutuhan dan kemampuan pembiayaan. Jenis DNA yang diubah ialah jenis DNA linear atau DNA sirkular. Metode pergantian gen ini menyediakan cara investigasi fungsi gen secara rinci. Setelah plasmid ekspresi dikonstruksi, fungsi dari gen dipelajari berdasarkan fenotipe dari strain mutan.[15]

Amplifikasi 16S rDNA

Fragemen 16S rDNA dapat memperoleh amplifikasi melalui reaksi berantai polimerase dengan volume reagen tertentu. Jenis reagen yang digunakan ialah dNTP hasil pencampuran antara basa nukleotida, primer pemaju (27F), primer pemundur (1496), enzim Taq polimerase, dan cetakan DNA. Setiap reagen dicampur bersama ke dalam tabung mikro dengan tambahan air bebas nukleasi. Pencampuran dilakukan dalam kondisi dingin dalam kotak es.[16]

Lihat pula

PCR waktu nyata

Referensi

  1. ^ Peristiowati, Y., dan Nurwijayanti (2018). Biologi Dasar Manusia dan Biologi Perkembangan (PDF). Sidoarjo: Indomedia Pustaka. hlm. 162. ISBN 978-602-6417-70-1. 
  2. ^ Pariang; et al. (2020). Panduan Praktis untuk Apoteker: Menghadapi Pandemi Covid-19 Edisi ke-2 (PDF) (edisi ke-2). PT. ISFI Penerbitan. hlm. xi. 
  3. ^ Budiarto, Bugi Ratno (2015). "Polymerase Chain Reaction (PCR): Perkembangan dan Perannya Dalam Diagnostik Kesehatan". BioTrends. 6 (2): 30. ISSN 1858-2478. 
  4. ^ Handoyo, D, dan Rudiretna, A. (2000). "Prinsip Umum dan Pelaksanaan Polymerase Chain Reaction (PCR)" (PDF). Unitas. 9 (1): 18. 
  5. ^ Sogandi (2018). Biologi Molekuler: Identifikasi Bakteri Secara Molekuler. Jakarta Utara: Universitas 17 Agustus 1945 Jakarta. hlm. 1. ISBN 978-602-53782-1-8. 
  6. ^ Murray, R.K., Granner, D.K., dan Rodwell, V.W. (2009). Biokimia Harper (PDF) (edisi ke-27). Jakarta: EGC. hlm. 89. ISBN 978-979-448-943-7. 
  7. ^ Yudianto, Ahmad (2019). Cell Free Fethal dan Metode Non Invasive dalam Pemeriksaan Identifikasi (PDF). Surabaya: Scopindo Media Pustaka. hlm. 12. ISBN 978-623-6500-10-1. 
  8. ^ Lisdiyanti, Puspita (1997). "Polymerase Chain Reaction: Cara Mudah Memperbanyak DNA" (PDF). Warta Biotek. XI (3-4): 1. ISSN 0215-2835. 
  9. ^ Asmadi, Erwin (2019). Ilmu Kedokteran Kehakiman (PDF). Medan: CV. Pustaka Prima. hlm. 111. 
  10. ^ Hanum; et al. (2018). Morfologi dan Molekuler Padi Lokal Sumatera Selatan (PDF). Palembang: CV. Amanah. hlm. 36. ISBN 978-602-447-191-0. 
  11. ^ Handayani; et al. (2019). Diagnosis Laboratoris Leptospirosis (PDF). Jakarta: Lembaga Penerbit Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. hlm. 4–5. ISBN 978-602-373-1602. 
  12. ^ Pertiwi, N.P.D., Mahardika, I.G.N.K., dan Watiniasih, N.L. (2015). "Optimasi Ampifikasi DNA Menggunakan Metode PCR (Polymerase Chain Reaction) pada Ikan Karang Anggota Famili Pseudochromidae (dottyback) untuk Identifikasi Spesies Secara Molekular". Jurnal Biologi. 19 (2): 53. 
  13. ^ Santoso; et al. (2013). "Aplikasi Teknik Polymerase Chain Reaction (PCR) Menggunakan Primer Degenerate dan Spesifik Gen AV1 untuk Mendeteksi Begomovirus pada Tomat (Lycopersicon esculentum Mill.)" (PDF). Jurnal Hortikultura Indonesia. 4 (3): 141–142. 
  14. ^ Lina, M.R, Budiman, B., dan S. Dadang. (17–18 Februari 2004). "Uji PCR: (Poymerase Chain Reaction) untuk Deteksi Virus Hepatitis C" (PDF). Risalah Seminar Ilmiah Penelitian dan Pengembangan Aplikasi Isotop dan Radiasi 2004: 222. 
  15. ^ Gaffar, Shabarni (2010). Produksi Protein Rekombinan dalam Sistem Ekspresi Pichia pastoris (PDF). Sumedang: Unpad Press. hlm. 81–82. ISBN 978-602-8743-23-5. 
  16. ^ Kanti; et al. (2018). Panduan Pengelolaan Koleksi Mikroorganisme Indonesian Culture Collection (InaCC). Jakarta: LIPI Press. hlm. 83. ISBN 978-979-799-983-4. 

Pranala luar