Lompat ke isi

Linguistika historis

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Linguistik historis atau disebut juga linguistik historis komparatif adalah cabang linguistik yang mengkaji perkembangan dan perbandingan antara bahasa-bahasa. Bidang ini kadang disebut linguistik diakronis (dari bahasa Latin: dia- 'melalui' dan chronos 'waktu') sebagai lawan dari linguistik sinkronis yang mengkaji bahasa pada suatu waktu tertentu. Kajian bidang ini antara lain meliputi kajian sejarah satu bahasa, bagaimana dan mengapa perubahan bahasa terjadi, perubahan dengan perbandingan terhadap bahasa lain yang serumpun (linguistik komparatif), perkembangan dialek bahasa (dialektologi), serta sejarah kata (etimologi).

Dalam pertumbuhannya, linguistik historis komparatif bukanlah hasil dari sekelompok sarjana yang terkoordionasi secara institusional melainkan hasil temuan-temuan sarjana dengan titik tolak dan orientasi studi yang tidak selalu sejalan dan bahkan saling bertentangan. Satu-satunya penyatu mereka adalah gairah atau jiwa bahasa (meminjam istilah Humbolt dan Grimm yaitu Sprachgeist atau Spiritlanguage 'jiwa bahasa') yang sama untuk menggali silsilah bahasa dan mengomparasikan bahasa-bahasa tersebut untuk menyusun dan memahami peta bahasa-bahasa dan upaya memahami satu bahasa untuk kebutuhan ril.[1]

Teori Timbulnya Bahasa

Pengkajian tentang proses kelahiran bahasa manusia sudah dimulai sejak 2500 tahun lalu, yakni zaman Plato dan Aristoteles. Mereka mempertanyakan apakah bahasa itu? Lalu bagaimana bahasa dapat terbentuk dan lahir? Apakah bahasa berasal dari alam (fisei) ataukah berasal dari konvensional atau kesepakatan (nomos) penuturnya?[2]

Di awal abad ke-18, para filsuf tergerak lagi untuk mempertanyakan asal-usul bahasa. Karena tidak adanya data-data yang tertulis mengenai sejarah timbulnya bahasa manusia, maka beberapa pakar menyatakannya dalam bentuk teori. Ada dua teori tradisional yang menyatakan timbulnya bahasa, yakni hipotesis monogenesis dan poligenesis.[3]

Hipotesis monogenesis

Penyelidikan antropologi telah membuktikan bahwa kebanyakan kebudayaan primitif meyakini keterlibatan Tuhan atau Dewa dalam permulaan sejarah berbahasa. Sebelum abad ke-18, teori-teori asal bahasa ini dikategorikan sebagai divine origin atau berdasarkan kepercayaan. Menurut kepercayaan agama-agama samawi, yaitu Yahudi, Kristen, dan Islam bahwa bahasa itu pemberian Tuhan. Di dalam kitab injil, menurut para penulis Barat, dikemukakan bahwa Tuhan telah melengkapi pasangan manusia pertama di dunia, yaitu Adam dan Hawa (Eva) dengan kemampuan alam (kodrati) untuk berbahasa dan bahasa inilah yang diteruskan kepada keturunan mereka.[3]

Hipotesis monogenesis berasal dari kata mono 'tunggal' dan genesis 'kelahiran', yaitu hipotesis yang mengatakan semua bahasa di dunia ini berasal dari satu bahasa induk. Namun hipotesis ini ditentang oleh J.G. von Herder karena menurutnya tidak mungkin bahasa itu begitu buruk dan tidak selaras dengan logika jika benar bahasa itu berasal dari Tuhan yang mahasempurna.[4]

Hipotesis poligenesis

Hipotesis poligenesis adalah hipotesis yang mengatakan bahwa bahasa-bahasa yang berlainan lahir dari berbagai masyarakat, juga berlainan secara evolusi. F. von Schlegel juga menyatakan bahwa bahasa di dunia ini tidak mungkin berasal dari satu bahasa induk. Asal-usul bahasa itu sangat berlainan, bergantung pada faktor-faktor yang mengatur pertumbuhan bahasa itu. Ada bahasa yang dilahirkan oleh onomatope (misalnya bahasa Manchu), ada pula bahasa fleksi yang dilahirkan oleh kesadaran manusia (misalnya bahasa Sansekerta). Dari mana pun asalnya, akal manusialah yang membuatnya sempurna.[4]

Pada akhir abad ke-18, spekulasi asal-usul bahasa berpindah dari wawasan keagamaan, mistik, takhayul ke alam baru yang disebut organic phase atau fase organik.


Berikut ini merupakan teori-teori penting mengenai timbulnya bahasa.[5][3]

Teori Tekanan Sosial (The Social Pressure Theory)

Dikemukakan pertama kali oleh Adam Smith dalam bukunya The Theory of Moral Sentiments yaitu bertolak dari anggapan bahwa bahasa manusia timbul karena manusia primitif dihadapkan pada kebutuhan untuk saling memahami sehingga bila mereka ingin menyatakan obyek tertentu mereka terdorong untuk mengucapkan bunyi-bunyi tertentu pula.

Teori Onomatopetik atau Ekoik

Mula-mula dikemukakan oleh J.G. Herder yang mengatakan bahwa obyek-obyek diberi nama sesuai dengan bunyi-bunyi yang dihasilkan oleh obyek-obyek itu, misalnya bunyi-bunyi binatang atau peristiwa-peristiwa alam. Manusia berusaha meniru bunyi anjing, bunyi ayam, atau desis angin, debur gelombang, dan sebagainya akan menyebut obyek-obyek atau perbuatannya dengan bunyi-bunyi itu.

Teori Interyeksi atau Pooh-pooh

Teori pooh-pooh bertolak dari asumsi bahwa bahasa lahir dari ujaran-ujaran instingtif karena tekanan-tekanan batin, perasaan mendalam, rasa takut yang dialami manusia, teriakan kuat, atau seruan-seruan keras. Teori ini dikemukakan oleh Charles Darwin dalam Descent of Man (1871) dan banyak ditentang oleh banyak sarjana termasuk Edward Saphir.


instinktif karena tekanan-tekanan batin, perasaan mendalam,

rasa sakit yang dialami manusia, teriakan kuat, atau seruan-

seruan keras. Teori pooh-pooh

bertolak dari asumsi bahwa bahasa lahir ujaran-ujaran

alam,

rasa sakit yang dialami manusia, teriakan kuat, atau seruan-

seruan keras.

Teori Nativistik atau Tipe Fonetik

Teori ‘Yo-He-Ho’

Teori Isyarat

Teori Permainan Vokal

Teori Isyarat Oral

Teori Kontrol Sosial

Teori Kontak

Teori Hockett-Ascher

Dasar Perbandingan Bahasa

Perbandingan bahasa setidaknya dimulai ketika umat manusia mulai berusaha untuk menjelaskan teori-teori timbulnya bahasa umat manusia. Teori yang bisa diterima yang mampu menjelaskan pertumbuhan bahasa secara menyeluruh sebagai suatu sistem komunikasi adalah teori Hockett-Ascher yang dalam garis besarnya terdapat kesepakatan mengenai evolusi bahasa manusia dari teriakan (cry) atau panggilan (call) melalui tahap pra bahasa yang berbeda dari bahasa sesungguhnya karena kekurangan ciri kekembaran pola. Bahasa sesungguhnya diperkirakan baru timbul sekitar 100.000 – 40.000 tahun lalu.[5]

Untuk menjelaskan sejarah pertumbuhan itu maka dalam abad XIX telah dikembangkan bermacam-macam metode untuk menelusuri sejarah perkembangan bahasa itu. Namun metode-metode itu juga tidak bisa diharapkan untuk menjelaskan perkembangan sampai seratus ribu tahun yang lalu. Metode-metode tersebut kemudian disebut metode klasik.[5]

Aspek Perbandingan

Tiap bahasa memiliki aspek universal bahasa sebagai berikut.[5]

  1. Kesamaan dalam bentuk dan makna
  2. Tiap bahasa memiliki perangkat unit fungsional yang terkecil yaitu fonem dan morfem
  3. Tiap bahasa di dunia memiliki kelas-kelas kata tertentu, yaitu kata benda, kata kerja, kata sifat, dll.

Namun para peneliti kurang berminat atas ciri-ciri universal yang terdapat dalam semua bahasa. Mereka lebih tertarik dengan kesamaan-kesamaan yang terdapat pada bahasa-bahasa tertentu, atau hanya tertarik pada distribusi ciri-ciri tertentu pada sejumlah bahasa. Dengan kata lain, linguistik historis hanya mempergunakan kesamaan bentuk dan makna sebagai pantulan dari sejarah warisan yang sama.

Kesamaan Bentuk

Untuk mengadakan perbandingan yang sistematis, diperlukan metode perbandingan yaitu suatu alat yang menyusun perangkat ciri-ciri yang berkorespondensi dari unsur-unsur yang diperbandingkan dalam macam-macam bahasa.[5]

Kemiripan bentuk-makna yang terdapat dalam bahasa-bahasa sebagai berikut.

  1. karena warisan langsung (inheritance) oleh dua bahasa atau lebih di suatu bahasa proto yang sama. Bentuk yang sama tersebut dinamakan bentuk kerabat (cognate)
  2. karena folklor kebetulan (by chance)
  3. karena pinjaman (borrowing). Suatu kemiripan bentuk-makna yang terjadi karena suatu bahasa akseptor menyerap unsur tertentu dari sebuah bahasa donor akibat kontak dalam sejarah.

Penetapan Kata Kerabat

Kemiripan bentuk makna karena warisan langsung menjadi dasar penetapan kata-kata kerabat. Asumsi mengenai kata-kata kerabat yang berasal dari sebuah bahasa proto didasarkan pada hal-hal berikut.[5]

  1. Ada sejumlah besar kosakata dari suatu kelompok bahasa tertentu secara relatif memperlihatkan kesamaan yang besar bila dibandingkan dengan kelompok-kelompok lainnya. Kelompok bahasa Austronesia, yang distribusi geografisnya terbentang dari Madagaskar sampai ke Pulau Rapanui, dan dari Formosa sampai ke Pulau Selandia Baru, memperlihatkan kesamaan kata-kata yang sangat mencolok. Hal ini tidak bisa dikatakan sebagai suatu kebetulan atau karena pinjaman saja. Alasan logis yang bisa diterima adalah karena bahasa-bahasa itu berkembang dari suatu bahasa proto yang sama.
  2. Perubahan fonetis dalam sejarah bahasa-bahasa tertentu memperlihatkan pula sifat yang teratur. Keteraturan ini oleh Grimm disebut Hukum Bunyi. Pada bahasa Jawa Kontemporer dan bahasa Jawa Kuno, dapat diketahui perubahasan fonetisnya karena terdapat data mengenai tingkatan yang lebih tua berdasarkan naskah kuno yang ada. Misalnya: Jawa Kuno : anwam wwas wwang wwas Jawa  : anom wos wong woh 'mudah' 'beras' 'orang' 'buah'
  3. Bila semakin dalam kira menelusuri sejarah bahasa-bahasa kerabat, semakin banyak terdapat kesamaan antara pokok-pokok yang dibandingkan. Antara satu kelompok dengan kelompok yang lain, terdapat lagi kesamaan-kesamaan tertentu. Misalnya, bukan hanya terdapat kesamaan pada bahasa Inggris dan Jerman, tetapi juga terdapat kesamaan antara bahasa Inggris Kuno dan bahasa Latin, misalnya: Inggris: mouse, Inggris Kuno: mūs, Latin: mūs. Korespondensi yang teratur antarbahasa dapat dijelaskan sebagai akibat perubahan bunyi yang teratur antara bahasa-bahasa kerabat. Perubahan yang terjadi pada bahasa-bahasa kerabat sejauh yang dapat dicatat dalam naskah-naskah tua, kemudian dirumuskan dalam kaidah-kaidah teoretis sehingga tidak hanya mencakup zaman sejarah bahasa, tetapi juga pra-histori bahasa. Dasar yang diterima secara umum ini akhirnya dapat dipakai untuk menentukan pula pra-histori dari bahasa-bahasa yang tidak memiliki naskah-naskah tua yang dapat menggambarkan keadaan masa lampau.

Bibliografi

  1. ^ Pusposari, Dewi (2017). "Kajian Linguistik Historis Komparatif dalam Sejarah Perkembangan Bahasa Indonesia" (PDF). Jurnal Inovasi Pendidikan. Volume 1 (Nomor 1). 
  2. ^ M.S., Kaelan (1998). Filsafat Bahasa. Yogyakarta: Paradigma. 
  3. ^ a b c Sumarsono (2004). Buku Ajar: Filsafat Bahasa. Jakarta: Grasindo. 
  4. ^ a b Herniti, Ening (2010-06-17). "BAHASA DAN KELAHIRANNYA". Adabiyyāt: Jurnal Bahasa dan Sastra. 9 (1): 107–132. doi:10.14421/ajbs.2010.09106. ISSN 2549-2047. 
  5. ^ a b c d e f Keraf, Gorys. (1991). Linguistik bandingan historis. Gramedia. OCLC 36126176.