Lompat ke isi

Estetika agama

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Buku berjudul Aesthetica yang ditulis oleh Alexander Gottlieb Baumgarten.

Estetika adalah salah satu penanda dalam filsafat. Selain etika, estetika juga terlingkup ke dalam aksiologi. Kehidupan manusia sendiri tidak dapat dilepaskan dari estetika, bahkan bidang yang berkutat kepada keindahan ini dianggap sebagai puncak dari agama. Agama menjadi sempurna jika estetika termaktub di dalamnya. Tujuan agama adalah etika, sedangkan tujuan etika adalah rasa nyaman dan aman. Rasa di sini domainnya adalah estetika. Dengan kata lain, penilaian indah atau tidaknya sesuatu itu pasti akan terus ada dalam diri manusia karena potensi yang dimiliki manusia itu sendiri, baik indra, akal, dan hati nurani. Estetika dalam ranah filsafat memunculkan beberapa tokoh, yaitu Immanuel Kant, David Hume, Auguste Comte. Adapun buku pertama yang menjelaskan mengenai estetika adalah karya Alexander Gottlieb Baumgarten berjudul Aesthetica yang ditulis pada 1750.

Filsafat seni

Puja dan puji bagi Allah sendiri. Penyempurna segala alam perwujudan/penuh kasih, penuh ampunan/raja hari keputusan/hanya kepada-Mu kami semua sembah menghadap/hanya kepada-Mu kami semua palingkan harap/bimbinglah kami ke lebuh lempang/menjejaki siapa telah Kau beri hati/bukan yang Kau dera dengan kemurkaan/bukan yang hilang jalan ––––– Surah Al-Fatihah yang dipuiskan oleh Mohammad Diponegoro dalam Ulumul Qur’an No. 1, VII, 1996

Estetika sering disebut juga dengan filsafat seni. Seni sendiri adalah hasil oleh rasa seorang seniman. Logika modern memilah seni dengan reduktif. Seni dikerucutkan menjadi seni rupa (seni lukis dan seni pahat), seni pertunjukan (seni musik dan seni film), seni tari, dan seni sastra. Tentu banyak varian lain dari seni, seperti yang dapat dijumpai di daerah-daerah seluruh Nusantara. Seni di pelosok negeri sangat beragam, misalnya seni anyam yang ditemukan bisa berasal dari pandan, rotan, pohon teratai, dan lainnya.[1]

Esetetika.

Saat ini, para penikmat seni terhibur dengan hasil olah sastra Pramoedya Ananta Toer, Sapardi Djoko Damono, Dewi Lestari, atau Tere Liye. Adapun dalam seni lukis disuguhkan karya Affandi, S. Sudjojono, atau Djoko Pekik. Begitu juga dengan keseharian seseorang dari pagi hingga menjelang tidur, tidak dapat terlepas dari musik. Seni juga tidak bisa dilepaskan dari keindahan. Aristoteles mengatakan keindahan adalah sesuatu yang baik dan menyenangkan, sedangkan Kaum Sofis mengatakan keindahan adalah apa pun yang membuat senang. Sementara itu, Georg Wilhelm Friedrich Hegel menyatakan keindahan adalah identitas yang sempurna dari yang ideal dan nyata.[2]

Paramater keindahan meliputi unity (kesatuan atau keutuhan), harmony (keselarasan), symmetry (terpadu), balance (seimbang), dan contrast (berbeda, tetapi saling mendukung). Selain parameter, ada pula nilai dari sebuah keindahan, yaitu intrinsik dan ekstrinsik. Nilai intrinsik adalah nilai yang ada dalam bendanya, sedangkan nilai ekstrinsik ada dalam aspek luarnya, misalnya seseorang menyukai sebuah buku karena berkaitan dengan seseorang pada masa lalunya. Nilai keindahan yang lain juga disebut dengan nilai intelektual. Nilai ini berkaitan dengan teori objek yang diserap, misalnya sebuah patung dikatakan indah karena berkaitan dengan ulasan di buku tentang patung tersebut. Selain itu, ada juga nilai katarsis yang berkaitan dengan psikis seseorang dan nilai ekspresi yang berkaitan dengan kepuasan pembuat karya.[3]

Estetika tidak muncul di ruang hampa karena berkutat dengan ruang dan waktu. Ia hadir dan berkelindan dengan manusia yang dianggap sebagai “pusat” kosmos. Pada masa klasik, estetika berfokus kepada subjek dan senimanlah yang menjadi pembicaraan. Namun, pada era modern, subjek digantikan oleh objek – karya seniman. Adapun pada masa pascamodern, subjek dan objek dipadukan – tidak ada lagi pemilihan antara subjek dan objek.[4]

Estetika tidak bisa dilepaskan dari tokoh-tokoh pencetusnya. Merekalah yang membuat estetika menemukan tempat dalam ruang-ruang kefilsafatan. Plato, satu dari tiga filsuf terbesar selain Sokrates dan Aristoteles. Plato adalah filsuf yang “bemain-main” dalam dunia idea. Terkait estetika, cintalah yang menjadi sumber keindahan baginya. Cinta di sini adalah pengosongan diri, sehingga sesuatu dapat diserap secara maksimal. Level keindahan Plato dimulai dari yang fisik (tubuh dan tampilan luar), selanjutnya adalah intersubjektif (mencintai tubuh yang lain), kemudian spiritual, dan terakhir keindahan yang tidak terikat aspek jasmani. Keindahan non-jasmani ini terkait dengan ide, misalnya sifat seseorang yang toleran dengan sesama.[5] Sementara itu, Aristoteles setia dengan konsep realismenya. Sebagaimana diketahui bahwa dia adalah antitesis dari Plato yang mengatakan bahwa realitas adalah idea.[6] Dia mengatakan bahwa seni di dalam adalah mimesis (tiruan) dari alam, benda, dan manusia. Tiruan di sini adalah penciptaan yang baru, bukan meniru yang sudah ada.[7][8]

Filsuf lain dalam menerka estetika adalah Immanuel Kant. Filsuf yang berasal dari Kerajaan Prusia ini menguraikan estetika dengan menyebutnya sebagai "momen". Momen di sini bersifat hierarkis. Momen pertama adalah disinterestedness (tanpa campur tangan manusia). Sebagai contoh, laut yang dilihat dari puncak gunung terlihat indah tanpa adanya intervensi dari manusia. Momen kedua adalah keuniversalan. Universal di sini adalah tidak adanya standar dalam keindahan – sifatnya sama bagi semua orang. Sebagai contoh, jika A mengatakan seseorang itu jelek, B atau C juga mengatakan hal yang sama. Dia tidak dibatasi oleh budaya, agama, dan sekat-sekat kelompok lainnya. Momen berikutnya adalah esensialitas dan keterjangkauan – objek estetis yang dapat ditangkap oleh manusia. Manusia menyesuaikan dengan daya (jangkauan atau tangkapan) yang dimilikinya. Dengan kata lain, menyesuaikan dengan kemampuan. Momen yang terakhir adalah tujuan. Sebuah karya harus jelas tujuan estetikanya, misalnya tujuan dibuatnya sebuah telepon genggam adalah sebagai alat komunikasi.[9]

Estetika terakhir adalah perspektif Sokrates. Guru semua filsuf ini meneropong estetika secara berbeda. Menurut versinya, parameter keindahan adalah segala sesuatu yang menyenangkan dan memenuhi keinginan terakhir (idealitas). Ukurannya tergantung pribadi yang menyerap, misalnya adalah manisnya secangkir teh. Masing-masing orang mempunyai idealitas sendiri dari manisnya secangkir teh. Jadi, ukuran manisnya sudah ada dalam pribadi masing-masing orang.[10]

Lihat pula

Rujukan

  1. ^ Darwin (2015), hlm. 31
  2. ^ Darwin (2015), hlm. 32
  3. ^ Darwin (2015), hlm. 32–33
  4. ^ Darwin (2015), hlm. 33
  5. ^ Davies (2012), hlm. 31–32
  6. ^ Adib (2014), hlm. 28
  7. ^ Darwin (2015), hlm. 33–34
  8. ^ Davies (2012), hlm. 33–34
  9. ^ Darwin (2015), hlm. 34–35
  10. ^ Darwin (2015), hlm. 35

Daftar pustaka

Buku

  • Adib, Mohammad (2014). Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu Pengetahuan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. ISBN 978-602-8479-93-6. 
  • Darwin (2015). Filsafat dan Cinta yang Menggebu. Yogyakarta: The Phinisi Press. ISBN 978-602-7250-62-8. 
  • Davies, Paul (2012). Membaca Pikiran Tuhan: Dasar-Dasar Ilmiah dalam Dunia yang Rasional. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. ISBN 978-979-9483-87-4. 
  • Nurcholish, Ahmad; Dja'far, Alamsyah Muhammad (2015). Agama Cinta: Menyelami Samudra Cinta Agama-Agama. Jakarta: Elex Media Komputindo. ISBN 978-602-0265-30-8. 
  • Pals, Daniel L. (2011). Seven Theories of Religion: Tujuh Teori Agama Paling Komprehensif. Yogyakarta: Ircisod. ISBN 978-602-9789-08-9. 
  • Sujarwa (2001). Manusia dan Fenomena Budaya: Menuju Perspektif Moralitas Agama. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. ISBN 978-979-9075-69-7. 

Pranala luar