Lompat ke isi

Takengon (kota)

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Takengon
Takengon
Pemandangan Takengon ke arah Danau Laut Tawar
NegaraIndonesia
ProvinsiAceh
KabupatenAceh Tengah
Ketinggian
1.200 m (3,900 ft)
Zona waktuUTC+7 (WIB)
Kode Pos
24500
Kode area telepon0643
Kode ISO 3166ID-AC[1]
Situs webhttp://www.acehtengahkab.go.id

Takengon merupakan ibu kota Kabupaten Aceh Tengah, Provinsi Aceh, Indonesia. Takengon terletak di sisi Danau Laut Tawar kecamatan Lut Tawar di tengah-tengah wilayah provinsi Aceh. Takengon merupakan dataran tinggi yang berhawa sejuk dengan ketinggian sekitar 1200 m di atas permukaan laut. Di sekitar Takengon banyak terdapat tempat wisata, di antaranya adalah Danau Laut Tawar di kecamatan Laut Tawar, kecamatan Bebesen dan kecamatan Kebayakan, Gua Puteri Pukes di kecamatan Kebayakan dan Pantan Terong di kecamatan Bebesen.

Penduduk Takengon terdiri dari beragam suku dan etnis. Mayoritas penduduk Takengon merupakan suku Aceh, Selain itu banyak pula suku-suku lain nya seperti suku Jawa, Suku Gayo, Suku Minangkabau, Suku Karo, Suku Mandailing dan Etnis keturunan Tionghoa. Suku Aceh merupakan penduduk asli takengon.

Sejarah

Takengon berasal dari bahasa aceh "Tikungan" yang arti nya kelokan karena untuk menuju ke kota kecil ini harus melewati tanjakan perbukitan dan menelusuri lereng lereng gunung dengan jalan berkelok kelok yang terjal dan curam penuh pepohonan lebat sepanjang jalan, untuk menuju ke ibu kota kabupaten Aceh Tengah ini bisa melalui jalan Lintas Timur Sumatra ex Jl KKA Aceh Utara atau melalui kabupaten Bireuen dan harus melewati 2 gunung aktif di kabupaten Bener Meriah.

Zaman Penjajahan Belanda

mohon ke kepada editor sebaik nya halaman ini di alihkan ke kabupaten Aceh Tengah. Di karena kan takengon bukan kota otonom atau wilayah otonom. Takengon hanya terdiri dari 2 kelurahan yakni takengon timur dan takengon barat yang masuk ke kecamatan lut tawar Kabupaten Aceh Tengah.

Takengon juga pernah dijadikan sebagai onderafdeeling oleh Pemerintah Kolonial Belanda. Sejak saat itu pula kota Takengon perlahan mulai maju. Infrastruktur seperti jalan raya, perumahan kolonial, pasar, sekolah dan yang lain mulai dibangun. Hal tersebut merupakan bagian dari politik Belanda agar bisa menguasai seluruh Tanah Gayo dan membuat hati masyarakat lunak. https://journal.unnes.ac.id/nju/index.php/paramita/article/view/21637 Iswanto, S., Nurasiah, N., & Kesuma, T. B. (2021). Dutch Colonial Infrastructure Development in Takengon, 1904-1942. Jurnal Sejarah Citra Lekha, 6(1), 15–25.

Menurut masyarakat gayo sendiri, takengon yang asal kata awalnya tan ku engon,yang artinya pertama kali kulihat. Ini menunjukkan bahwa penduduk pada zaman dulu melihat keindahan alam di kota takengon yang sangat indah.

Seni dan Budaya

Sebuah masjid dekat Takengon tahun 1910-1930

Salah satu acara yang sangat menarik perhatian masyarakat lokal atau pendatang adalah acara pacuan kuda di Pegasing, Aceh Tengah yang biasanya diadakan pada pertengahan bulan Agustus untuk menyambut dan merayakan hari Kemerdekaaan Indonesia yang butuh waktu setengah jam perjalanan dan pacuan kuda saat menyambut tahun baru di desa jadirejo, Bukit, Bener Meriah. acara nya juga tidak jauh dari Takengon, Aceh Tengah, hanya butuh waktu sekitar setengah jam perjalanan.

Prestasi

Takengon berhasil meraih piala adipura selama dua tahun berturut-turut, yakni pada 2016-2017. Pada 2016, piala adipura diserahkan oleh Menteri Lingkungan Hidup, Siti Nurbaya kepada Bupati Aceh Tengah, Nasaruddin di Kabupaten Siak, Provinsi Riau. Adapun pada 2017, piala adipura diserahkan di Jakarta bersama 40 kota lainnya di Indonesia.[2]

Referensi

  1. ^ [1], StandardFinden:ISO-Code.
  2. ^ AcehProv. "Pemerintah Aceh | Kota Takengon Kembali Raih Sertifikat Adipura". www.acehprov.go.id (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2017-09-25. 

3. https://journal.unnes.ac.id/nju/index.php/paramita/article/view/21637

3. https://takengon.id

4. Iswanto, S., Nurasiah, N., & Kesuma, T. B. (2021). Dutch Colonial Infrastructure Development in Takengon, 1904-1942. Jurnal Sejarah Citra Lekha, 6(1), 15–25. https://ejournal.undip.ac.id/index.php/jscl/article/view/29880