Lompat ke isi

Sindoedarsono Soedjojono

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Sindoedarsono Sudjojono
ꦱꦶꦤ꧀ꦢꦸꦢꦫ꧀ꦩꦱꦸꦗꦪꦤ
LahirSindudarsono Sudjojono
14 Desember 1913
Hindia Belanda Kisaran, Hindia Belanda
Meninggal25 Maret 1985(1985-03-25) (umur 71)
Jakarta, Indonesia
Sebab meninggalLung cancer
MakamTPU Pondok Rangon, Jakarta, Indonesia
Kebangsaan Indonesia
Nama lainPak Djon
Warga negara Indonesia
Pendidikan
Pekerjaan
Organisasi
  • Lembaga Kebudayaan Rakyat.
  • Persatuan Ahli Gambar Indonesia.
  • Seniman Indonesia Moeda (SIM) di Madiun, Jawa Timur, 1946.
  • S.Sudjojono Center.
Dikenal atasBapak Seni Rupa Modern Indonesia
Karya terkenal
  • Di Depan Kelambu Terbuka
  • Cap Go Meh
  • Kawan-kawan Revolusi
  • Pengungsi
  • Seko
  • Tetangga
  • Mia Istriku
  • Gerak Baru
Suami/istri
  • Mia Bustam
  • Rose Pandanwangi
Anak
  1. Tedjabayu
  2. Sri Nasti Rukmawati
  3. Watugunung
  4. Sekartunggal
  5. Lanang Daya
  6. Lanang Gawe
  7. Sri Shima
  8. Abang Rahino
  9. Pandanwangi
  10. Germania Menang Djuang
  11. Mariano Dara Putih
Orang tua* Sindhudarmo
  • Maridjem
KerabatSiti Aminah (adik angkat)
PenghargaanPiagam Anugerah Seni (Indonesia, 1970)

Sindoedarsono Soedjojono (lahir di Kisaran, Sumatra Utara 14 Desember 1913 – meninggal di Jakarta 25 Maret, 1985)[1] beliau merupakan pelukis legendaris di Indonesia.[2] Dengan diawali oleh Trisno Soemardjo, Sudjojono dijuluki sebagai Bapak Seni Rupa Modern Indonesia. Julukan ini diberikan kepadanya karena Sudjojono adalah senimaan pertama Indonesia yang memperkenalkan modernitas seni rupa Indonesia dengan konteks kondisi faktual bangsa Indonesia. Ia memperkenalkan jiwa ketok atau "jiwa tampak" sebagai identitas seni Indonesia. Ia biasa menulis namanya dengan “S. Sudjojono”.

Riwayat Hidup

Masa sekolah

Soedjiojono lahir dari keluarga transmigran asal Pulau Jawa. Ayahnya, Sindudarmo, adalah mantri kesehatan di perkebunan karet Kisaran, Sumatra Utara, yang beristrikan Marijem seorang buruh perkebunan. Ia lalu dijadikan anak angkat oleh seorang guru HIS, Joedhokoesoemo. Oleh bapak angkat inilah, Djon (nama panggilannya) diajak ke Jakarta (waktu itu masih bernama Batavia) pada 1925. Ia menamatkan HIS di Jakarta, lalu melanjutkan SMP di Cimahi, dan menyelesaikan sekolah guru di Taman Guru, Perguruan Taman Siswa, Yogyakarta. Di Yogyakarta itulah ia sempat belajar montir sebelum belajar melukis kepada RM Pirngadi selama beberapa bulan. Sewaktu di Jakarta, ia belajar kepada pelukis Jepang, Chioyi Yazaki.

Karier guru

Ia sempat menjadi guru di Taman Siswa seusai lulus dari Taman Guru di perguruan yang didirikan oleh Ki Hajar Dewantara itu. Ia ditugaskan oleh Ki Hajar Dewantara untuk membuka sekolah baru di Rogojampi, Banyuwangi, tahun 1931.

Pelukis

Namun ia kemudian memutuskan untuk menjadi pelukis. Pada tahun 1937, ia ikut pameran bersama pelukis Eropa di Bataviasche Kunstkring, Jakarta. Inilah awal namanya dikenal sebagai pelukis. Pada tahun itu juga ia menjadi pionir mendirikan Persatuan Ahli Gambar Indonesia (Persagi). Oleh karena itu, masa itu disebut sebagai tonggak awal seni lukis modern berciri Indonesia. Ia sempat menjabat sebagai sekretaris dan juru bicara Persagi. . Ia juga mendirikan SIM ( Seniman Muda Indonesia) bersama Trisno Sumardjo, Abdul Salam, Sunindyo, Subidio, dan Basuki Resobowo. Selain sebagai pelukis, ia juga dikenal sebagai salah satu kritikus seni rupa pertama di Indonesia. Lukisannya punya ciri khas kasar, goresan dan sapuan bagai dituang begitu saja ke kanvas. Objek lukisannya lebih menonjol kepada kondisi faktual bangsa Indonesia yang diekspresikan secara jujur apa adanya.

Pandangan Politik

Berkas:Arian Arifin Wardiman salah satu cucu S. Sudjojono yang mewarisi talenta seninya (foto oleh Arbi Sumandoyo).jpg
Arian Arifin Wardiman atau Arian 13 salah satu cucu S. Sudjojono yang mewarisi talenta seninya (foto oleh Arbi Sumandoyo)

Sebagai seorang kritikus seni rupa, ia dianggap memiliki jiwa nasionalis. Djon sering mengecam Basoeki Abdoellah sebagai tidak nasionalistis karena hanya melukis keindahan Indonesia sekadar untuk memenuhi selera pasar turis. Dua pelukis ini pun kemudian dianggap sebagai musuh bebuyutan. Sengketa ini mencair ketika Ciputra, pengusaha penyuka seni rupa, mempertemukan Djon, Basoeki Abdoellah, dan Affandi dalam pameran bersama di Pasar Seni Ancol, Jakarta. Pada masa Orde Lama, ia pernah ikut dalam Lekra dan bahkan Partai Komunis Indonesia serta sempat menjadi wakil partai di parlemen. Namun, pada tahun 1957 Ia dipecat dari partai dengan alasan resmi pelanggaran etik karena ketidaksetiaan kepada keluarga/istri. Pada tahun 1959 setelah didesak tuntutan Mia Bustam, istri pertamanya, Sudjojono resmi bercerai dari Ibu yang memberi delapan anak untuk pasangan ini, setelah secara sembunyi-sembunyi mencintai Rosalina Poppeck - seorang sekretaris dan penyanyi - selama beberapa tahun, yang kemudian dinikahinya sekaligus mengganti nama istri barunya menjadi Rose Pandanwangi.

Pameran

  • Pameran bersama pelukis Eropa di Batavia (1937)
  • Fukuoka Art Museum (Jepang, 1980)
  • Festival of Indonesia (USA, 1990–1992)
  • Gate Foundation (Amsterdam Belanda, 1993)
  • Singapore Art Museum (Singapura, 1994)
  • Center for Strategic and International Studies (Jakarta Indonesia, 1996)
  • ASEAN Masterworks (Kuala Lumpur Malaysia, 1997–1998)
  • Pameran Sketsa dan Peluncuran Buku "Hidup Mengalun Dendang" di Bentara Budaya Jakarta, 6-13 Juni 2017

Karya

Majalah Horison edisi mengenang S. Sudjojono.

Lukisan:[3][4]

  • "Batavia", - 1937
  • "Rumah di Tepi Laut", - 1938
  • "Di Depan Kelambu Terbuka", - 1939
  • "Tjap Go Meh", 1940 - cat minyak di atas kanvas - 73 x 51cm
  • "Ibuku", 1955 - cat minyak di atas kanvas - 60 x 39cm
  • "Ros Pandan Wangi Istriku", 1959 - cat minyak di atas kanvas - 120 x 85cm
  • "Potret Diri", - 1941
  • "Ibu Menjahit", 1944 - cat minyak di atas kanvas - 55,5 x 71cm
  • "Sayang Aku Bukan Anjing", - 1944
  • "Pengungsi", - 1947
  • "Di dalam Kampung", - 1952
  • "Potret Pejuang", 1953 - 39 x 28 x 50cm
  • "Potret Pertama Istri Saya", - 1956
  • "Pak Wakijo Memahat", - 1956
  • "Pemandangan Desa", - 1956
  • "Orang-Orang Berlalu", - 1967
  • "Pantai Bali", 1974 - cat minyak di atas kanvas - 100 x 140cm
  • "Pura Satria", 1960 - cat minyak di atas kanvas - 96 x 100cm
  • "Cap Go Meh",1963 - cat minyak di atas kanvas - 73 x 51cm
  • "Parodi", - 1974
  • "Pelawak", - 1975
  • "Ulah Raja Berana", - 1982
  • "Maya Sweet Seventeen", - 1983
  • "Sesudah Restorasi", - 1984

Buku:

  • Seni lukis, kesenian, dan seniman (1946)
  • Cerita Tentang Saya dan Orang-orang Sekitar Saya (2017)

Referensi

  1. ^ Tokoh Indonesia (8 Mei 2005). "Sindudarsono Sudjojono [Bapak Seni Lukis Indonesia Modern]". tokoh.id. Diakses tanggal 28 Februari 2022. 
  2. ^ "Pelaku Seni | S Sudjojono". arsip.galeri-nasional.or.id (dalam bahasa Inggris). Diarsipkan dari versi asli tanggal 2018-08-13. Diakses tanggal 2018-08-13. 
  3. ^ "Arsip Galeri Nasional Indonesia | Karya Pelaku Seni - S Sudjojono". arsip.galeri-nasional.or.id (dalam bahasa Inggris). Diarsipkan dari versi asli tanggal 2018-10-28. Diakses tanggal 2018-10-28. 
  4. ^ Yuliman, Sanento (2019). Estetika yang Merabunkan: Bunga Rampai Esai dan Kritik Seni Rupa 1969—1992. Jakarta: Dewan Kesenian Jakarta. ISBN 978-979-1219-12-9. 

Pranala luar