Lompat ke isi

Gereja Katolik Roma

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Gereja Katolik, yang juga disebut Gereja Katolik Roma,[note 1] adalah Gereja Kristen terbesar di dunia, dan mengklaim memiliki semilyar anggota, yakni kira-kira setengah dari seluruh umat Kristiani[note 2] dan seperenam dari populasi dunia. Gereja Katolik adalah sebuah komuni (persekutuan) dari Ritus Barat (Ritus Latin) dan 22 Gereja Katolik Timur (disebut gereja-gereja partikular), yang membentuk 2.795 keuskupan pada 2008.

Otoritas duniawi tertinggi Gereja ini dalam perkara iman, moral dan pemerintahannya adalah Sri Paus,[15] saat ini Paus Benediktus XVI, yang memegang otoritas tertinggi bersama-sama Dewan Uskup, yang diketuainya.[16][17][18] Sebuah komunitas Katolik terdiri atas seorang pelayan-umat tertahbis (rohaniwan) dan umat awam; baik rohaniwan maupun umat awam dapat pula menjadi anggota dari komunitas-komunitas religius.[19]

Gereja ini mendefinisikan bahwa misinya adalah memberitakan Injil Yesus Kristus, melayankan sakramen-sakramen dan melakukan karya amal.[20] Gereja ini menjalankan program-program dan lembaga-lembaga sosial di seluruh dunia, termasuk juga sekolah-sekolah, universitas-universitas, rumah-rumah sakit, misi-misi dan perumahan, serta organisasi-organisasi seperti Catholic Relief Services, Caritas Internasionalis dan Catholic Charities yang membantu kaum papa, keluarga-keluarga, orang-orang jompo, dan orang-orang sakit.[21]

Melalui suksesi apostolik, Gereja ini percaya bahwa dirinya merupakan kelanjutan dari komunitas Kristiani yang didirikan oleh Yesus dengan mentahbiskan Santo Petrus, sebuah pandangan yang juga dianut oleh banyak sejarawan.[22] Gereja ini menetapkan doktrin-doktrinnya melalui berbagai konsili ekumenis, meneladani para rasul pertama dalam Konsili Yerusalem.[23] Atas dasar janji-janji Yesus pada rasul-rasulNya yang tertera dalam Injil, Gereja ini percaya bahwa dia dituntun oleh Roh Kudus dan oleh karena itu terlindungi dari terjadinya kesalahan doktrin.[24][25][26]

Keyakinan-keyakinan Katolik didasarkan atas deposit iman (mencakup baik Kitab Suci maupun Tradisi Suci) yang diwarisi dari zaman Rasul-Rasul, dan yang diinterpretasi oleh Otoritas Pengajaran Gereja. Keyakinan-keyakinan tersebut terangkum dalam Kredo Nicea, dan secara resmi dirinci dalam Katekismus Gereja Katolik. Peribadatan Katolik yang formal, yang disebut liturgi, diatur oleh otoritas Gereja. Ekaristi, salah satu dari tujuh sakramen Gereja dan bagian penting dari setiap Misa Katolik atau Liturgi Suci Katolik Timur, adalah pusat dari peribadatan Katolik.

Dengan sejarah yang membentang sepanjang dua ribu tahun, Gereja ini adalah salah satu lembaga tertua di dunia[27] dan telah berperan penting dalam sejarah peradaban Barat sekurang-kurangnya sejak abad ke-4.[28] Pada abad ke-11, sebuah perpecahan besar, yang terkadang disebut Skisma Akbar, terjadi antara Kristianitas Timur dan Barat yang terutama diakibatkan oleh ketidaksepahaman mengenai primasi kepausan. Gereja-Gereja Timur yang tetap maupun yang kelak kembali menjalin persekutuan dengan Uskup Roma, Sri Paus, membentuk Gereja-Gereja Katolik Timur, dan Gereja-Gereja yang tetap berada di luar otoritas kepausan biasanya dikenal sebagai Gereja-Gereja Ortodoks Timur. Pada abad ke-16, juga sebagai tanggapan atas bangkitnya Reformasi Protestan di Eropa Barat, Gereja ini menyelenggarakan proses reformasi dan renovasi internal, yang dikenal sebagai Kontra-Reformasi.

Meskipun Gereja ini menyatakan bahwa dialah "Gereja yang satu, kudus, katolik, dan apostolik," didirikan oleh Yesus Kristus, tempat orang dapat menemukan kepenuhan sarana keselamatan,[29][30] Gereja ini pun mengakui bahwa Roh Kudus dapat menggunakan komunitas-komunitas Kristiani lainnya untuk membawa orang menuju keselamatan.[31][32] Gereja ini percaya bahwa dia dipanggil oleh Roh Kudus untuk mengupayakan kesatuan antar segenap umat Kristiani, sebuah gerakan yang dikenal sebagai ekumenisme.[32] Tantangan-tantangan moderen yang dihadapi Gereja ini mencakup bangkitnya sekularisme dan penentangan terhadap sikapnya mengenai aborsi, euthanasia, kontrasepsi, dan moralitas seksual.[33]

Asal-usul dan misi

Bagian dari sebuah fresko (1481–1482) karya Pietro Perugino dalam Kapel Sistina menggambarkan Yesus menyerahkan kunci-kunci surga kepada Santo Petrus.

Gereja Katolik merunut kembali asal-usulnya sampai pada Yesus Kristus dan keduabelas Rasul.[34] Gereja ini memandang uskup-uskupnya sebagai pengganti para Rasul, dan khususnya Sri Paus (Uskup Roma), sebagai pengganti Rasul Petrus, pimpinan para Rasul.[35][36] Umat Katolik menyitir perkataan Yesus dalam Injil Matius, untuk mendukung pandangan ini: "... engkau adalah Petrus, dan di atas batu karang ini Aku akan mendirikan jemaatKu, .... kepadamu akan Kuberikan kunci kerajaan sorga. Apa yang kauikat di dunia ini akan terikat di sorga dan apa yang kaulepaskan di dunia ini akan terlepas di sorga."[16][25][37] Menurut keyakinan Katolik, jemaat yang dijanjikan ini, yakni Gereja Katolik, sepenuhnya lahir ke dunia ketika Roh Kudus turun ke atas para Rasul dalam peristiwa yang dikenal sebagai Pentakosta.[36]

Banyak cendekiawan sepakat bahwa Gereja Katolik didirikan oleh Yesus, dan bahwa catatan sejarah mendukung perihal Tahta Keuskupan Kota Roma secara khusus dipandang sebagai otoritas ajaran agama Kristen sedari dulu.[38][39] Henry Chadwick mengutip sepucuk surat dari Paus Klemens I kepada jemaat di Korintus (sekitar tahun 95) sebagai bukti klerus Roma yang menjabat saat itu menjalankan otoritas atas seluruh gereja lokal lainnya yang termasuk dalam Gereja Katolik.[40] Cendekiawan lainnya tidak menerima interpretasi-interpretasi ini. Eamon Duffy misalnya, memastikan bahwa ada jemaat Kristiani di Roma dan bahwa Petrus dan Paulus pernah "hidup, berdakwah dan wafat" di sana,[41] namun meragukan bahwa ada uskup yang menjabat dalam Gereja Roma pada abad pertama, dan mempertanyakan konsep Katolik mengenai suksesi apostolik.[42]

Gereja ini percaya bahwa misinya didasarkan atas perintah Yesus kepada para pengikutNya untuk mendakwahkan keyakinan mereka ke seluruh dunia:[39] "Karena itu pergilah, jadikanlah semua bangsa muridKu dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus, dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu. Dan ketahuilah, Aku menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir zaman."[43][44][45] Paus Benediktus XVI merangkum misi tersebut menjadi tanggung jawab dalam tiga bidang, yakni memberitakan Firman Allah, merayakan sakramen-sakramen, dan melaksanakan pelayanan amal-kasih.[46] Sebagai bagian dari pelayanan amal-kasihnya, Gereja ini menjalankan Catholic Relief Services, Catholic Charities, Caritas Internationalis, Sosietas St. Vincentius de Paul, Marriage Encounter, sekolah-sekolah Katolik, universitas-universitas, rumah-rumah sakit, panti-panti asuhan, klinik-klinik perawatan, rumah-rumah singgah bagi para tuna wisma dan pelayanan kepada orang-orang miskin, serta pelayanan kepada keluarga-keluarga, perempuan-perempuan hamil, perempuan-perempuan korban "kekerasan" atau perundungan seksual, orang-orang jompo, korban AIDS, dan kaum pinggiran.[21]

Sejarah

Kekaisaran Romawi

Gereja Katolik menganggap Pentakosta sebagai permulaan sejarahnya.[47][48] Menurut para sejarawan, para Rasul melakukan perjalanan ke Afrika Utara, Asia Kecil, Arabia, Yunani, dan Roma untuk mendirikan jemaat-jemaat Kristiani perdana,[47][49] lebih dari 40 jemaat telah didirikan sekitar tahun 100.[50] Umat Kristiani purba menolak untuk mempersembahkan korban kepada dewa-dewa Romawi atau pun menyembah para penguasa Romawi sebagai dewata dan oleh karena itu mereka ditindas.[51] Penindasan ini dimulai pada masa pemerintahan Nero pada abad pertama dan dilanjutkan dengan penganiayaan besar-besaran oleh Diocletianus dan Galerius, yang dipandang sebagai sebuah upaya akhir untuk melenyapkan agama Kristen.[52] Sekalipun demikian, Kristianitas terus menyebar dan akhirnya menjadi legal pada 313 di masa pemerintahan Konstantinus I berkat Edictum Mediolanensium yang dikeluarkannya.[53]

Pembantaian umat Kristiani purba sebagai hiburan dalam Colosseum di Roma. Jean-Léon Gérôme, 1883.

Selama masa penganiayaan ini, Gereja purba berkembang baik dalam doktrin maupun strukturnya. Para Rasul menyelenggarakan konsili pertama dalam Gereja, Konsili Yerusalem, pada atau sekitar tahun 50 untuk menyelesaikan permasalahan-permasalahan seputar penginjilan bangsa-bangsa non-Yahudi.[54] Meskipun bentuk-bentuk Kristianitas yang saling bersaing tumbuh sedari awal, Gereja Roma mempertahankan praktek pertemuan dalam konsili ekumenis ini untuk memastikan bahwa perbedaan-perbedaan ajaran internalnya dapat lekas terselesaikan, sehingga pada gilirannya dapat memfasilitasi kesatuan ajaran yang lebih luas lagi bagi Gereja-Gereja arus utama.[55][56] Mulai abad pertama, Gereja Roma diakui sebagai sebuah otoritas doktrinal karena Gereja ini diyakini sebagai Gereja yang dipimpin oleh Rasul Petrus dan Rasul Paulus.[39][40][57] Konsep primasi Uskup Roma atas Gereja-Gereja lain perlahan-lahan diakui sebagian besar Gereja sekurang-kurangnya pada abad ke-2.[58][59] Sejak tahun 100 dan seterusnya, guru-guru seperti Ignatius dari Antiokhia dan Irenaeus mendefinisikan ajaran Katolik yang sangat bertolak belakang dengan Gnostisisme.[60] Ajaran-ajaran dan tradisi-tradisi Gereja dipengaruhi dari waktu ke waktu oleh para Bapa Gereja lainnya seperti Paus Klemens I, Yustinus Martir, Augustinus dari Hippo.[61] Pada 325, Konsili Nicea I diselenggarakan untuk menanggapi ancaman Arianisme, menghasilkan Kredo Nicea sebagai sebuah pernyataan dasar dari keyakinan Kristiani,[62] dan membagi Gereja ke dalam wilayah-wilayah geografis dan administratif yang disebut keuskupan.[63] Sekalipun konsili ini mengakui primasi dari tiga keuskupan—Roma, Aleksandria, dan Antiokhia—Roma punya kualitas-kualitas tertentu yang mentakdirkannya untuk memiliki keistimewaan khusus; Gereja Roma dipandang sebagai tahta Petrus dan Paulus, Gereja Roma berlokasi di ibu kota kekaisaran, para cendekiawan Gereja sangat ingin mendapatkan dukungan Uskup Roma dalam perbantahan-perbantahan doktrinal, serta Gereja Roma makmur dan masyhur karena bantuan-bantuannya bagi Gereja-Gereja lain di seluruh dunia.[64]

Kaisar Konstantinus I memerintahkan pembangunan Basilika Santo Petrus yang pertama dan beberapa situs yang masih penting artinya dalam Kristianitas sampai sekarang.[65] Pada masa itu, altar sudah dijadikan pusat gedung Gereja, tanda salib dan kalender liturgi pun sudah digunakan,[66] dan pada 380, Kristianitas dinyatakan sebagai satu-satunya agama kekaisaran.[67] Konsili Roma pada 382 menghasilkan Alkitab pertama ketika konsili ini menyusun daftar kitab-kitab Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru yang berterima.[68] Konsili Efesus pada 431[69] dan Konsili Kalsedon pada 451 mendefinisikan hubungan hakikat ilahi dan insani Kristus, yang mendorong perpecahan dengan kaum Nestorian dan Monofisit.[55] Konsili Kalsedon juga mengangkat status Tahta Keuskupan Konstantinopel ke posisi "kedua dalam kehormatan dan kuasa setelah Uskup Roma".[70][71]

Pra Abad-Pertengahan

Sesudah melewati suatu periode awal yang diwarnai penganiayaan secara sporadik namun intens, Kekristenan menjadi legal pada abad ke-4, ketika Kaisar Konstantinus I mengeluarkan Edicta Milano (Edik Milano) pada tahun 313. Konstantinus berperan penting dalam penyelenggaraan Konsili Nicea Pertama pada tahun 325, yang ditujukan untuk melawan bidaah Arianisme dan merumuskan Kredo Nicea yang digunakan oleh Gereja Katolik, Ortodoksi Timur, dan berbagai Gereja Protestan. Pada tanggal 27 Februari 380, Kaisar Teodosius I memberlakukan sebuah hukum yang menetapkan Kekristenan Katolik sebagai agama resmi Kekaisaran Romawi dan memerintahkan untuk menyebut yang lain dari pada itu sebagai bidaah.[72]

Halaman bergambar dari Book of Kells yang termasyhur itu, 800.

Setelah runtuhnya Kekaisaran Romawi, Gereja Katolik melewati suatu masa kegiatan dan ekspansi misi. Selama Abad Pertengahan Katolisisme menyebar di antara bangsa Jerman (pada awalnya bersaing dengan Arianisme), Viking, Polandia, Kroasia, Ceko, Slowakia, Hungaria, Lithuania, Latvia, Finlandia dan Estonia. Keberhasilan kehidupan monastik menumbuhkan berbagai pusat pembelajaran, teristimewa yang paling masyhur di Irlandia dan Gallia, serta berkontribusi bagi Abad Pencerahan Dinasti Carolingian (Carolingian Renaissance). Di kemudian hari yakni pada kurun waktu Abad Pertengahan, Sekolah-sekolah Katedral berkembang menjadi universitas-universitas (Universitas Paris, Universitas Oxford, dan Universitas Bologna), cikal bakal dari lembaga-lembaga pembelajaran Barat modern.

Skisma akbar

Dalam abad ke-11, melalui serentetan proses selama beberapa abad, Gereja mengalami skisma akbar di mana Gereja Katolik dan Gereja Ortodoks Timur terbelah akibat isu-isu administrasi, liturgi, dan doktrin, khususnya masalah klausa Filioque dan primasi jurisdiksi kepausan. Secara konvensional skisma ini berpenanggalan tahun 1054, ketika Patriark Konstantinopel dan Sri Paus mengeluarkan pernyataan saling mengucilkan. Baik Konsili Lyons II tahun 1274 maupun Konsili Basel tahun 1439 berusaha menyatukan kembali kedua Gereja, namun pihak Ortodoks menolak kedua konsili itu. Gereja Katolik dan Gereja Ortodoks Timur masih dalam keadaan skisma hingga hari ini, meskipun demikian dalam deklarasi bersama Katolik-Ortodoks tahun 1965 pernyataan pengucilan tersebut ditarik kembali baik oleh Roma maupun Konstantinopel, dan upaya-upaya mengakhiri skisma terus berlanjut. Beberapa Gereja Timur telah bersatu kembali dengan Gereja Katolik dengan menerima primasi kepausan, dan beberapa Gereja Timur lainnya mengaku tidak pernah keluar dari persekutuan dengan Sri Paus.

Perang Salib

Perang Salib adalah serangkaian perang militer sejak tahun 1092 di Tanah Suci dan tempat-tempat lain, direstui oleh kepausan, dimulai pada masa kepausan Urbanus II sebagai tanggapan terhadap permintaan bantuan dari Kaisar Byzantium melawan ekspansi Turki. Perang Salib ini serta perang-perang Salib selanjutnya akhirnya gagal meredakan agresi orang-orang Turki dan bahkan menimbulkan rasa benci antar umat Kristiani akibat penjarahan dan pendudukan kota Konstantinopel selama Perang Salib ke-4.

Inkuisisi

Sejak sekitar tahun 1184, dan berlanjut selama Reformasi Protestan, terjadi sejumlah kegiatan historis yang melibatkan Gereja Katolik, dan yang dikenal luas sebagai Inkuisisi, ditujukan untuk menyelamatkan kesatuan religius dan doktrinal dalam Kekristenan melalui pentobatan, dan kadang kala penganiayaan, orang-orang yang didakwa bidaah. Terbukti bidaah, yang dipandang sebagai pengkhianatan terhadap dunia Kristen, dapat mengakibatkan penerimaan hukuman yang berkisar dari hukuman ringan sampai hukuman mati (antara lain dibakar hidup-hidup) yang dilaksanakan oleh negara. Contoh dari langkanya pelaksanaan hukuman mati tersebut adalah, sejak tahun 1540 sampai 1700 dari semua perkara yang diajukan kepada Inkuisisi Spanyol hanya 2-3% yang berakhir dengan eksekusi mati, lebih rendah dari pada peradilan sekuler manapun secara virtual pada masa itu.[73] Menurut para sejarawan, Inkuisisi Abad Pertengahan, Inkuisisi Spanyol, Inkuisisi Roma, dan Inkuisisi Portugis adalah peristiwa-peristiwa historis yang berbeda. Cakupan dari aktivitas Inkuisisi, dan khususnya angka kematian yang tepat, telah menjadi bahan propaganda di kemudian hari.

Reformasi

Keretakan kedua dalam sejarah Kekristenan terjadi saat Reformasi Protestan, yang dimulai di Jerman pada abad ke-16. Selama kurun waktu tersebut pelbagai kelompok masyarakat, seringkali dengan dukungan pemerintah lokal, menolak primasi Sri Paus, kewajiban selibat bagi klerus, serta berbagai doktrin dan praktek Katolik lainnya, sekaligus penyelewengan-penyelewengan (semisal praktek simoni/praktek pembelian jabatan gerejawi) yang umum terjadi pada masa itu. Para reformator dalam Gereja Katolik meluncurkan Kontra Reformasi atau Reformasi Katolik, suatu periode klarifikasi doktrin, perbaikan klerus dan liturgi, dan re-evangelisasi yang dimulai dengan Konsili Trente.

Konsili Trente dan perbaikan-perbaikannya menghasilkan tema sentral untuk 300 tahun ke depan dari sejarah Katolik. Periode tersebut menitikberatkan karya katekese dan misi, bidang yang menjadi keunggulan bagi ordo Yesuit dan Fransiskan. Katolisisme menyebar ke seluruh dunia, seiring dengan kolonialisme bangsa Eropa: ke Amerika, Asia, Afrika, dan Oseania.

Zaman Modern

Gereja pada abad ke-18 dan ke-19 tidak hanya harus berhadapan dengan ajaran-ajaran Protestantisme, namun juga dengan ajaran-ajaran Pencerahan dan Modernisme mengenai hakikat pribadi manusia, negara, dan moralitas. Dengan terjadinya Revolusi Industri, dan meningkatnya keprihatinan akan kondisi-kondisi para buruh urban, Paus-Paus abad ke-19 dan ke-20 mengeluarkan ensiklik-ensiklik (teristimewa Rerum Novarum) yang memaparkan Ajaran Sosial Katolik.

Konsili Vatikan Pertama (1869–1870) menegaskan doktrin infabilitas kepausan yang diyakini umat Katolik sebagai kontinuitas dengan sejarah Supremasi Petrus dalam Gereja.

Reformasi Konsili Vatikan Kedua

Berkas:Vatican2.jpg
Konsili Vatikan II

Gereja Katolik melakukan salah satu dari perubahan-perubahan paling menyeluruh dalam sejarahnya selama Konsili Vatikan II (1962-1965) dan dasawarsa sesudahnya. Gereja Katolik, lebih dari pada sebelumnya, menekankan apa yang dipandangnya positif ketimbang apa yang dipandangnya negatif dalam komunitas-komunitas Kristiani lain, dalam agama-agama lain, dan dalam aspirasi-aspirasi umat manusia pada umumnya. Gereja mendorong pembaharuan yang mutakhir atas kehidupan religius. Dan Gereja memberi wewenang kepada konferensi-konferensi waligereja untuk melakukan penyesuaian-penyesuaian dalam disiplin-disiplin misalnya berpantang daging pada hari Jumat.

Konsili Vatikan II (1962–1965) yang diperhimpunkan oleh Paus Yohanes XXIII, terutama sebagai suatu konsili pastoral namun otoritatif,[74] untuk membuat ajaran-ajaran historis Gereja Katolik menjadi jelas bagi dunia modern. Konsili ini mengeluarkan dokumen-dokumen mengenai sejumlah topik, termasuk hakikat Gereja, misi awam, dan kebebasan beragama. Konsili ini juga mengeluarkan pengarahan-pengarahan bagi revisi liturgi, termasuk izin bagi ritus liturgi Latin untuk menggunakan bahasa setempat di samping Bahasa Latin dalam Misa dan sakramen-sakramen lainnya.[75]

Keyakinan

Crucifixus, salib dengan corpus, sebuah simbol yang digunakan dalam Katolisisme tidak seperti persekutuan-persekutuan Kristiani lainnya, yang menggunakan salib saja.

Katekesis Gereja Katolik mempergunakan Kredo Nicea dan Kredo para Rasul, yang merupakan rangkuman bagus dari poin-poin utama keyakinan Katolik. Katekismus Gereja Katolik menyajikan suatu "presentasi sistematis dari iman" dan suatu "paparan lengkap dari doktrin Katolik".[76] Kompendium Katekismus Gereja Katolik, yang pertama kali diterbitkan pada tahun 2005, merupakan suatu versi yang lebih singkat dari Katekismus tersebut, dalam bentuk tanya-jawab.

Selain poin-poin utama dari Kekristenan trinitarian ortodoks, umat Katolik secara khusus memberi tempat penting bagi Gereja sebagai suatu lembaga yang didirikan oleh Yesus dan dijaga dari kesalahan doktrinal oleh hadirat dan bimbingan Roh Kudus, dan sebagai sumber keselamatan bagi umat manusia. Ketujuh sakramen, terutama Ekaristi, adalah yang terpenting untuk memperoleh keselamatan.

Kitab Suci dan Tradisi

Sumber-sumber utama ajaran-ajaran Gereja Katolik adalah Kitab Suci (Alkitab), Tradisi Suci, dan Magisterium. Dalam surat ensiklikalnya yang dikeluarkan pada tahun 1943, Divino Afflante Spiritu, Paus Pius XII mendorong para sarjana Alkitab untuk giat mempelajari bahasa-bahasa asli kitab-kitab dalam Alkitab (Ibrani, Yunani, dan Aram untuk Perjanjian Lama; Yunani untuk Perjanjian Baru) serta bahasa-bahasa turunannya, sehingga dengan demikian dapat sampai kepada pengetahuan yang lebih dalam dan lebih penuh mengenai makna dari naskah-naskah tersebut, dengan mengungkapkan bahwa "naskah asli ... yang telah ditulis oleh sang penulis yang terilhami itu sendiri, memiliki otoritas yang lebih tinggi dan bobot yang lebih besar dari pada terjemahan manapun bahkan terjemahan yang paling baik sekalipun, baik yang kuno maupun yang modern."[77] Daftar Kanonikal kitab-kitab suci, beserta isinya, yang diterima oleh Gereja Katolik adalah kitab-kitab yang terdapat dalam Alkitab Bahasa Latin kuno edisi Vulgata.[78]

Ada beragam sumber bagi pengetahuan akan Tradisi Suci, yang menurut ajaran Gereja telah diterima dari para Rasul dalam bentuk tradisi lisan. Banyak dari tulisan-tulisan para Bapa Gereja awal yang merefleksikan ajaran-ajaran dari Tradisi Suci,misalnya Suksesi Apostolik.

Hakikat Allah

Katolisisme itu monoteistik: percaya bahwa Allah itu esa, abadi, maha kuasa (Omnipotens), maha tahu (Omnisciens), maha baik (Omnibenevolens), dan ada di mana-mana (Omnipresens). Allah eksis secara berbeda dan mendahului ciptaan-Nya (yakni, segala sesuatu yang bukan Allah, dan yang eksistensinya bergantung pada Allah) dan meskipun demikian tetap hadir secara intim dalam ciptaan-Nya. Dalam Konsili Vatikan Pertama Gereja Katolik mengajarkan bahwa, meskipun dengan akal budi alami manusiawi, Allah dapat dikenal dalam karya-Nya sebagai asal mula dan akhir segala ciptaan,[79] Allah telah memilih untuk mewahyukan diri-Nya sendiri dan kehendak-Nya secara supernatural dalam cara-cara yang tertera dalam Surat kepada umat Ibrani 1:1-2.

Katolisisme itu juga Trinitarian: percaya bahwa, meskipun Allah itu esa dalam hakikat, esensi, dan keberadaan, Allah yang esa ini eksis dalam tiga pribadi illahi, yang masing-masing identik dengan satu esensi, yang perbedaannya cuma dalam hubungan mereka satu sama lain: hubungan Bapa terhadap Putera, hubungan Putera terhadap Bapa, dan hubungan keduanya dengan Roh Kudus, menjadikan Allah yang esa sebagai Trinitas.

Umat Katolik dibaptis dalam nama (bentuk tunggal) Bapa dan Putera dan Roh Kudus — bukan tiga allah, melainkan satu Allah yang menetap dalam tiga Pribadi. Sekalipun satu esensi keillahianNya, Bapa, Putera, dan Roh Kudus itu berbeda, bukan sekedar tiga "topeng" atau manifestasi dari satu Pribadi. Iman Gereja dan tiap individu Kristiani didasarkan atas hubungan dengan ketiga Pribadi dari satu Allah tersebut.

Gereja Katolik percaya bahwa Allah mewahyukan diri-Nya sendiri kepada umat manusia sebagai Bapa bagi Putera tunggal-Nya, yang berada dalam persekutuan abadi dengan Sang Bapa (Matius 11:27).

Umat Katolik percaya bahwa Allah Putera, Sang Logos Illahi, Pribadi Allah yang kedua, berinkarnasi sebagai Yesus Kristus, seorang manusia, lahir dari Perawan Maria. Dia tetap sungguh-sungguh illahi dan pada saat yang sama sungguh-sungguh manusia. Dalam perkataan dan cara hidupnya, dia mengajar semua orang bagaimana untuk hidup, dan mewahyukan Allah sebagai Kasih, pemberi anugerah atau rahmat secara cuma-cuma.

Sesudah penyaliban dan kebangkitan Yesus, para pengikutnya, terutama kedua belas rasul, semakin ekstensif menyebarkan imannya dengan semangat yang menurut mereka berasal dari Roh Kudus, Pribadi Allah yang ketiga, yang diutus ke atas mereka oleh Yesus.

Dosa asal

Dalam keyakinan Katolik, manusia mula-mula diciptakan untuk hidup dalam persatuan dengan Allah. Karena ketidaktaatan manusia pertama, hubungan itu putus dan dosa serta maut datang ke dunia.[80] Kejatuhan tersebut menjadikan manusia berada dalam suatu status yang disebut dosa asal, yakni, keterpisahan dari status aslinya yang intim dengan Allah yang membawa maut melalui gagasan bahwa tiap jiwa manusia itu abadi. Namun ketika Yesus datang ke dunia, menjadi Allah sekaligus manusia, Dia mampu melalui pengorbananNya untuk mendamaikan umat manusia dengan Allah. Dengan bersatu dalam Kristus, melalui Gereja, umat manusia sekali lagi mampu untuk menjalin keintiman dengan Allah tetapi juga menawarkan suatu karunia yang lebih menakjubkan lagi: partisipasi dalam Hidup Ilahi di Bumi, yang kelak mencapai kepenuhannya di surga dalam Visi Beatifis. Sakramen Pembaptisan adalah satu-satunya sarana untuk memperoleh pengampunan atas dosa asal.

Gereja

Alkitab Gutenberg cetakan 1455. Menjelang akhir era 1400-an, orang-orang Katolik seperti Johann Gutenberg mengoperasikan 250 usaha percetakan di seluruh Eropa.

Gereja, sebagaimana yang dikatakan oleh Kitab Suci, adalah "tubuh Kristus,"[81] dan Gereja Katolik mengajarkan bahwa Gereja merupakan satu kesatuan tubuh dari umat beriman di dalam surga dan di atas bumi. Oleh karena itu hanya ada satu Gereja yang sejati, yang nampak dan yang bersifat fisik, bukannya beberapa Gereja. Dan bagi Gereja yang satu ini, yang awalnya didirikan oleh Yesus di atas Petrus dan para rasul, Yesus memberikan suatu mandat untuk menjadi pengajar dan penjaga yang berwenang dari iman. Untuk mentransmisikan wahyu ilahiah Kristus, para rasul diberi mandat untuk "memberitakan injil," yang mereka laksanakan baik secara lisan maupun tulisan, dan yang mereka lestarikan dengan meninggalkan para uskup sebagai penerus mereka. Katekismus menyatakan bahwa "pemberitaan rasuli, yang diekspresikan secara khusus dalam kitab-kitab yang terilhami, yang dilestarikan dalam rantai suksesi yang berkesinambungan hingga akhir zaman. Transmisi hidup ini, terselenggara dalam Roh Kudus, disebut Tradisi, karena berbeda dengan Kitab Suci, meskipun terkait erat dengannya." Gereja juga merupakan sumber rahmat ilahi yang diberikan melalui sakramen-sakramen (lihat di bawah). Gereja menyatakan diri tidak dapat keliru (infallibel) dalam mengajarkan iman, berdasarkan janji-janji Yesus yang alkitabiah bahwa Ia akan senantiasa menyertai Gereja-Nya, dan memeliharanya dalam kebenaran melalui Roh Kudus. Selanjutnya, Yesus menjanjikan perlindungan ilahi bagi ajaran-ajaran dan penilaian-penilaian para rasul, serta mereka yang menjadi penerus para rasul dalam jabatan mereka sebagai pengajar (yaitu para uskup). lagi pula, Yesus menetapkan Gereja sebagai mahkamah tertinggi bagi seluruh umat beriman: "dan jika dia menolak untuk mendengarkan mereka, sampaikanlah kepada Gereja; dan jika dia menolak pula untuk mendengarkan Gereja, biarlah dia menjadi bagimu seperti seorang asing dan seorang pemungut cukai." Dalam ayat alkitab ini, tampak bahwa Gereja mendasarkan doktrin-doktrinnya pada peninggalan apostolik yang tertulis, yaitu Perjanjian Baru, dan pada tradisi lisan yang diwariskan dari para rasul bagi para penerus mereka (para uskup) melalui kesaksian Gereja yang berkesinambungan.

Basilika Santo Yohanes Lateran, Katedral Keuskupan Roma, yakni Katedral Sri Paus.

Bagian ke-8 dari dekrit Konsili Vatikan II mengenai Gereja, Lumen Gentium menyatakan bahwa "Gereja Kristus yang tunggal yang dalam kredo diikrarkan sebagai satu, kudus, katolik dan apostolik" berada "dalam Gereja Katolik, yang dipimpin oleh penerus Petrus dan para uskup yang berada dalam persekutuan dengannya." (Istilah penerus Petrus bermakna Uskup Roma, Sri Paus).

Katekismus Gereja Katolik, 85 menyatakan bahwa interpretasi otentik dari Firman Allah dipercayakan kepda Magisterium Gereja yang hidup, yakni para uskup dalam persekutuan dengan penerus Santo Petrus. Teologi Katolik menempatkan wewenang interpretasi Kitab Suci pada tangan-tangan penilaian yang konsisten dari Gereja dari abad ke abad (hal yang senantiasa dan di mana saja diajarkan) bukannya pada penilaian pribadi perseorangan. Meskipun demikian, ,magisterium mendorong umat gembalaannya untuk membaca Kitab Suci.

Menurut Katekismus Gereja Katolik, "maksud utama Gereja adalah untuk menjadi sakramen persatuan batiniah antara manusia dengan Allah." Dengan demikian "struktur Gereja secara keseluruhan di diarahkan kepada kesucian anggota-anggota tubuh Kristus."

Keselamatan

Gereja Katolik mengajarkan bahwa keselamatan untuk kehidupan kekal adalah kehendak Allah bagi semua orang, dan bahwa Allah menganugerahkannya bagi para pendosa sebagai suatu anugerah yang cuma-cuma, suatu rahmat, melalui pengorbanan Kristus. "Sehubungan dengan Allah, sama sekali tidak ada hak atas kelayakan apapun di pihak manusia. Antara Allah dan kita terentang kesenjangan yang tak terkira, karena kita telah menerima segala sesuatu dari-Nya, Pencipta kita.Allahlah yang membenarkan, yakni, yang membebaskan dari dosa dengan karunia kekudusan yang cuma-cuma (rahmat pengudusan, yang disebut juga sebagai rahmat habitual atau rahmat pengilahian). Kita dapat menerima anugerah yang dikaruniakan Allah melalui iman dalam Yesus Kristus dan melalui pembaptisan,ataupun menolaknya. Peran serta manusia diperlukan, sejalan dengan kemampuan baru untuk berpegang teguh pada kehendak ilahi yang disediakan Allah.Iman seorang Kristiani bukannya tanpa perbuatan, karena tanpa perbuatan iman itu akan mati.Dalam pengertian ini, "dengan perbuatan manusia dibenarkan, dan bukan dengan iman semata-mata,"dan kehidupan kekal adalah, pada satu saat yang sama, rahmat dan upah dianugerahkan oleh Allah atas perbuatan baik dan kelayakan.Iman, dan oleh karenanya perbuatan, merupakan hasil dari rahmat Allah - oleh karena itu, hanya karena rahmat maka orang beriman dapat dipandang "layak memperoleh" keselamatan. Gereja Katolik mengajarkan bahwa melalui rahmat-rahmat yang diperoleh Yesus bagi umat manusia dengan mengorbankan dirinya sendiri di kayu salib, keselamatan dapat diterima bahkan oleh orang-orang yang berada di luar batas-batas yang nampak dari Gereja. Umat Kristiani dan bahkan non-Kristiani, jika dalam hidupnya mereka secara positif tanggap terhadap rahmat dan kebenaran yang disingkapkan Allah kepada mereka melalui belas kasihan Kristus, dapat diselamatkan (suatu sikap yang kerap disebut , dalam kasus umat non-Kristiani, sebagai "baptisan keinginan"). Hal ini kadangkala mencakup pula kesadaran akan kewajiban untuk menjadi bagian dari Gereja Katolik. Dalam kasus-kasus semacam itu, "maka barang siapa, yang mengetahui bahwa Gereja Katolik telah dijadikan perlu oleh Kristus, menolak untuk masuk atau tetap di dalamnya, tidak dapat diselamatkan.

Kehidupan Katolik

Ajaran sosial

Hidup manusia

Penciptaan Adam karya Michelangelo

Gereja Katolik menegaskan kesucian seluruh hidup manusia, sejak dalam kandungan hingga kematian secara alami. Gereja Katolik percaya bahwa tiap pribadi diciptakan menurut "gambar dan rupa Allah," dan bahwa hidup manusia tidak boleh diukur berdasarkan nilai-nilai lain seperti ekonomi, kenyamanan, preferensi pribadi, atau teknik sosial. Oleh karena itu, Gereja menentang aktivitas-aktivitas yang diyakininya menghancurkan atau menistakan hidup yang diciptakan suci itu, termasuk euthanasia, eugeniks dan aborsi.

Seksualitas

Gereja Katolik mengajarkan bahwa hidup manusia dan seksualitas manusia kedua-duanya tak terpisahkan dan suci. [82] Gereja mengajarkan bahwa Manikeisme, keyakinan bahwa roh bersifat baik sedangkan tubuh bersifat jahat, adalah bidaah. Oleh karena itu, Gereja tidak mengajarkan bahwa seks itu dosa atau merusak hidup yang penuh rahmat. Karena Allah menciptakan tubuh manusia menurut gambar dan rupa-Nya sendiri, dan karena Dia melihat bahwa segala sesuatu yang telah diciptakannya itu "sungguh baik," (Kejadian 1:31) maka demikian pula tubuh manusia dan seks itu baik adanya. Dalam Katekismus diajarkan bahwa "tubuh adalah alat keselamatan."[83] Sesungguhnya, Gereja menganggap ekspresi cinta antara suami istri sebagai aktivitas manusia yang paling luhur, yang mempersatukan, suami istri dalam penyerahan-diri yang seutuhnya satu sama lain, dan membuka hubungan mereka kepada kehidupan baru. “Aktivitas seksual, yang di dalamnya suami istri secara intim dan murni saling bersatu, dan yang melaluinya hidup manusia diturunkan, adalah, sebagaimana yang dikatakan oleh Konsili terakhir, ‘mulia dan layak.’”[84] Hanya dalam hal ekspresi seksual yang terjadi di luar pernikahan sakramental, atau dalam hal fungsi prokreasi dari ekspresi seksual dalam pernikahan secara sengaja dihalang-halangi, maka Gereja Katolik mengungkapkan keprihatinan moralnya.

Liturgi

Gereja Katolik secara mendasar bersifat liturgis dalam peribadatannya. Liturgi berasal dari kata Yunani yang artinya "pekerjaan masyarakat." Konsili Vatikan II menyatakan "karena liturgi, yang melaluinya karya penebusan kita terselesaikan,' terutama dalam kurban ilahi Ekaristi, merupakan sarana-sarana terbaik bagi umat beriman untuk dapat mengekspresikan dalam kehidupannya, dan memanifestasikan bagi sesama, misteri Kristus dan hakikat sejati dari Gereja yang benar."[85]

Sakramen

Katekismus Gereja Katolik, 1131 mengajarkan: "Sakramen-sakramen adalah tanda-tanda yang berfaedah dari rahmat, yang dilembagakan oleh Kristus dan dipercayakan kepada Gereja, yang dengannya kehidupan ilahi disalurkan bagi kita. Ritus-ritus yang terlihat yang dengannya sakramen-sakramen dirayakan menandai dan menghadirkan rahmat-rahmat sesuai dengan tiap sakramen. Sakramen-sakramen berbuah dalam diri mereka yang menerimanya dalam keadaan yang seharusnya."

Ketujuh sakramen adalah:

Kehidupan devosional Gereja Katolik

Selain sakramen-sakramen, yang dilembagakan oleh Yesus, terdapat pula banyak sakramental, yaitu tanda-tanda suci (upacara-upacara atau benda-benda) yang beroleh kuasa dari doa Gereja. Sakramental-sakramental melibatkan doa dengan tanda salib atau tanda-tanda lainnya. Contoh-contoh penting adalah pemberkatan-pemberkatan (yang didalamnya diangkat pujian bagi Allah dan memohon karunia-karunia-Nya), konsekrasi orang-orang, dan penyucian benda-benda yang digunakan untuk menyembah Allah. Devosi-devosi populer bukan bagian dari liturgi, namun jika dinilai otentik, maka didukung oleh Gereja. Devosi-devosi mencakup penghormatan relikwi-relikwi orang-orang kudus, kunjungan-kunjungan ke tempat-tempat suci, ziarah-ziarah, perarakan-perarakan (termasuk perarakan Sakramen Maha Kudus), ibadat jalan salib, ibadat harian (Holy Hours), Penyembahan Sakramen Maha Kudus, Pemberkatan Sakramen Maha Kudus, dan doa Rosario.

Doa pribadi

Selain itu, banyaknya varietas dari spiritualitas Katolik memungkinkan umat Katolik untuk berdoa sendiri dengan berbagai macam cara. Bagian ke-4 dan terakhir dari Katekismus meringkas tanggapan Katolik terhadap misteri iman: "Oleh sebab itu, misteri ini, mengharuskan supaya umat beriman meyakininya, supaya mereka merayakannya, dan supaya mereka hidup darinya dalam suatu hubungan yang bersifat vital dan pribadi dengan Allah yang hidup dan sejati. Hubungan itu adalah doa."[87]

Gereja partikular dalam Gereja Katolik

St. Efrem dari Syria, dihormati oleh umat Maronit, yang senantiasa berada dalam persekutuan dengan Roma.

Tidak seperti "persekutuan" atau "serikat" Gereja-Gereja yang terbentuk oleh saling pengakuan antar badan-badan gerejawi yang berbeda-beda, Gereja Katolik menganggap dirinya sebagai sebuah Gereja tunggal ("satu Tubuh") yang terbentuk dari sejumlah besar Gereja-Gereja partikular, yang masing-masing merupakan perwujudan dari Gereja Katolik yang esa. Gereja universal, diyakini merupakan "suatu realita yang secara ontologis dan temporal mendahului setiap Gereja Partikular secara individu."[88]

Meskipun demikian, Gereja Katolik menekankan pentingnya Gereja-Gereja partikular di dalamnya, yang arti signifikansi teologisnya diulas dalam Konsili Vatikan Kedua. Dibedakan dua penggunaan istilah Gereja partikular.

Hubungan dengan umat Kristiani lainnya

Meskipun mengaku sebagai Gereja yang didirikan oleh Yesus, Gereja Katolik mengakui bahwa banyak unsur-unsur keselamatan dalam Injil terdapat pula di dalam Gereja-Gereja dan komunitas-komunitas gerejawi lainnya. Dokumen Konsili Vatikan II, Lumen Gentium mengajarkan bahwa "Gereja Kristus yang esa yang dalam kredo dimaklumkan sebagai "yang satu, kudus, katolik dan apostolik..." terdapat dalam (Lumen Gentium menggunakan kata Latin "Subsistit in") Gereja Katolik, yang dipimpin oleh penerus Petrus dan oleh para uskup dalam persekutuan dengan beliau, meskipun banyak unsur-unsur pengudusan dan kebenaran terdapat di luar dari strukturnya yang tampak.[89] Dengan demikian, dokumen tersebut meneguhkan doktrin Extra Ecclesiam Nulla Salus[90] (tidak ada keselamatan di luar Gereja).

Sejak Konsili Vatikan II, Gereja Katolik telah menjangkau badan-badan Kristiani, mengusahakan rekonsiliasi yang semaksimal mungkin. Kesepakatan-kesepakatan penting telah dicapai mengenai Pembaptisan, Pelayanan, dan Ekaristi bersama para teolog Anglikan. Dengan badan-badan Lutheran telah dicapai kesepakatan serupa mengenai teologi pembenaran (justifikasi). Dokumen-dokumen penting ini telah makin mempererat ikatan persaudaraan dengan komunitas-komunitas gerejawi tersebut. Meskipun demikian, perkembangan-perkembangan terbaru, semisal pentahbisan wanita dan penerimaan terhadap pasangan homoseksual, menghadirkan hambatan-hambatan baru bagi rekonsiliasi dengan Gereja Lutheran, Gereja-Gereja Reformasi, dan khususnya Gereja Anglikan, .

Konsekuensinya, pada beberapa tahun terakhir, Gereja katolik memusatkan upayanya pada rekonsiliasi dengan Gereja-Gereja Ortodoks Timur, yang perbedaan teologisnya dengan Gereja Katolik tidaklah sedemikian besar. Hubungan-hubungan dengan Gereja-Gereja Ortodoks Rusia mengalami keretakan pada tahun 1990-an sehubungan dengan masalah-masalah properti di negara-negara bekas Uni soviet, masalah-masalah tersebut belum terselesaikan (khususnya paroki-paroki milik Gereja Katolik-Yunani Ukraina), sekalipun hubungan-hubungan persaudaraan dengan Gereja-Gereja Timur lainnya terus mengalami kemajuan.

Struktur hirarkis Gereja Katolik

Gereja Katolik memiliki sebuah struktur hirarkis, yang artinya sebuah urutan suci (bertolak belakang dengan struktur karismatis). Sifat hirarkis ini diterapkan dalam keseluruhan Gereja Katolik, meskipun sering dikaitkan hanya dengan para pelayan Gereja yang tertahbis, yang tergabung dalam salah satu dari tiga jenjang imamat suci: episkopat (para uskup), presbiterat (para imam), atau diakonat (para diakon).

Episkopat (jabatan uskup)

Para uskup, yang memiliki kepenuhan imamat Kristiani, merupakan sebuah badan Dewan Uskup, para penerus para Rasul [91] dan merupakan "para Gembala yang ditugaskan dalam Gereja, untuk menjadi para pengajar doktrin, para imam dalam peribadatan suci dan para pengurus dalam pemerintahan."[92]

Sri Paus, para kardinal, patriark, primat, uskup agung dan metropolitan semuanya adalah uskup dan anggota dari episkopat atau kolega para uskup Gereja Katolik.

Presbiterat (jabatan presbiter/imam)

St. Yohanes Maria Vianney, seorang imam praja yang masyhur karena hidupnya yang suci dan pelayanannya sebagai seorang konfesor (pendengar pengakuan dosa)

Para uskup dibantu oleh para imam dan diakon. Paroki-paroki, baik yang berbasis teritorial maupun orang, dalam sebuah keuskupan biasanya dipimpin oleh seorang imam yang dikenal sebagai imam paroki atau pastor.

Para imam dapat menjalankan banyak fungsi yang tidak langsung berkaitan dengan aktivitas pastoral biasa, seperti studi, penelitian, mengajar atau pekerjaan kantor. Mereka juga dapat menjadi rektor kapelan (imam pada lembaga tertentu misalnya dalam kemiliteran atau universitas), konfesor, kepala biara, atau dekan Katedral.

Dalam peraturan Ritus Latin, hanya pria selibat yang ditahbiskan menjadi imam, sedangkan dalam peraturan Ritus Timur, pria yang sudah menikah dapat pula ditahbiskan. Di antara Gereja-Gereja partikular Ritus Timur, Gereja Katolik Ethiopia hanya menahbiskan pria yang hidup selibat, namun juga memiliki imam-imam yang telah menikah yang dulunya ditahbiskan dalan Gereja Ortodoks. Gereja-Gereja Katolik Timur lainnya, yang menahbiskan pria yang sudah menikah, di beberapa negara misalnya di Amerika Serikat, tidak memiliki imam yang menikah. Ritus Barat atau Latin kadang-kadang, namun sangat jarang, menahbiskan pria-pria yang sudah menikah, biasanya mereka adalah klerus Protestan yang beralih menjadi Katolik. Semua ritus Gereja Katolik memelihara tradisi kuno yakni tidak mengizinkan pernikahan setelah pentahbisan. Bahkan jika isteri seorang imam yang menikah meninggal dunia, maka imam tersebut tidak boleh menikah lagi.

Diakonat (jabatan diakon)

Sejak Konsili Vatikan Kedua, Gereja Latin kembali menerima pria dewasa yang beristri untuk ditahbiskan menjadi Diakon. "Para diakon ditahbiskan sebagai suatu tanda sakramental bagi Gereja dan bagi dunia milik Kristus, yang datang 'untuk melayani dan bukan untuk dilayani.' Seluruh Gereja dipanggil oleh Kristus untuk melayani, dan diakon, karena tahbisan sakramentalnya dan melalui berbagai pelayanannya, menjadi seorang pelayan dalam Gereja-pelayan. Sebagai pelayan Sabda, para diakon memberitakan Injil, berkhotbah, dan mengajar dalam nama Gereja. Sebagai pelayan Sakramen, diakon membaptis, memimpin umat beriman dalam doa, menjadi saksi pernikahan, melaksanakan ibadat kematian dan pemakaman. Sebagai pelayan amal-kasih, diakon merupakan pemimpin dalam hal mengenali kebutuhan-kebutuhan orang lain, kemudian menggunakan sumber-sumber daya Gereja untuk menutupi kebutuhan-kebutuhan tersebut. Para diakon juga dibaktikan bagi penghapusan ketidakadilan dan ketidaksetaraan yang menimbulkan kebutuhan-kebutuhan tersebut."[93]

Para kandidat untuk diakonat menjalani suatu program formasi diakonal yang dirancang berdasarkan kebutuhan-kebutuhan mutakhir keuskupan mereka tetapi harus mencapai standar-standar minimum yang ditetapkan oleh konferensi waligereja di negara asal mereka. Setelah menyelesaikan program formasi mereka dan memperoleh persetujuan dari uskup setempat, para kandidat menerima sakramen imamat melalui pentahbisan. Umumnya, setelah ditahbiskan, seorang diakon ditempatkan oleh uskupnya pada sebuah paroki lokal di mana dia akan menjalankan pelayanannya dan melayani Gereja dan komunitas lokal tersebut.

Keanggotaan Gereja Katolik

Menurut Hukum Kanonik, seseorang menjadi anggota Gereja Katolik dengan cara dibaptis dalam Gereja Katolik atau dengan cara diterima ke dalam Gereja Katolik (dengan membuat suatu pernyataan iman, jika yang bersangkutan telah dibaptis).[94]

Apabila atas kemauan sendiri seseorang hendak memutuskan ikatan yuridis dengan Gereja Katolik, maka disyaratkan adanya suatu tindakan formal secara tertulis di hadapan Pejabat Gereja setempat atau imam paroki dari yang bersangkutan, yang akan menilai apakah tindakan tersebut tergolong murtad, bidaah atau skisma; tanpa tindakan keluar secara resmi ini, "bidaah (baik formal maupun material), skisma dan murtad tidak dengan sendirinya merupakan suatu tindakan keluar secara resmi, jika tidak secara eksternal diwujudnyatakankan dan dimanifestasikan kepada otoritas gerejawi dengan cara-cara yang disyaratkan."[95]

Mereka yang tidak melakukan tindakan ini dianggap masih terikat dengan Gereja Katolik dan "terus terikat oleh hukum-hukum gerejawi belaka." Seseorang yang keluar dari keanggotaan Gereja Katolik dapat diterima kembali di kemudian hari, setelah yang bersangkutan membuat suatu pernyataan iman.

Peranan Gereja Katolik dalam peradaban

Doktrin Gereja Dan ilmu pengetahuan

Para ahli sejarah ilmu pengetahuan, termasuk yang bukan beragama Katolik seperti J.L. Heilbron,[96] Alistair Cameron Crombie, David C Lindberg,[97] Edward Grant, Thomas Goldstein,[98] dan Ted Davis, berpendapat bahwa Gereja Katolik memiliki pengaruh positif yang penting terhadap perkembangan peradaban. Mereka yakin bahwa, bukan saja para biarawanlah yang menyelamatkan dan membudidayakan sisa-sisa dari peradaban kuno selama invasi-invasi kaum barbar, melainkan juga bahwasanya Gereja Katoliklah yang mendorong pembelajaran dan ilmu pengetahuan melalui dukungannya terhadap banyak universitas yang, di bawah kepemimpinannya, bertumbuh cepat di Eropa pada abad ke-11 dan ke-12. St. Thomas Aquinas, "teolog model" Gereja Katolik, tidak saja berpendapat bahwa akal budi itu bersesuaian dengan iman, beliau bahkan mengakui bahwa akal budi dapat berkontribusi bagi pemahaman wahyu Illahi, dan dengan demikian mendorong perkembangan intelektual. [99] Para imam-ilmuwan Gereja Katolik, yang kebanyakan adalah para Yesuit, dan yang merupakan para pelopor dalam ilmu astronomi, genetika, geomagnetisme, meteorologi, seismologi, and fisika matahari, menjadi "bapak-bapak" ilmu-ilmu pengetahuan tersebut. Perlu kiranya untuk disebutkan di sini, nama-nama para rohaniwan Katolik semisal Abbas Ordo St. Agustinus Gregor Mendel (pelopor dalam studi genetika) dan pastur Belgia Georges Lemaître (orang pertama yang mengedepankan teori Big Bang).

Sebuah peta universitas-universitas abad pertengahan memperlihatkan universitas-universitas yang didirikan Gereja Katolik di Eropa.

Kenyataan ini merupakan suatu kebalikan dari pandangan yang dipertahankan oleh beberapa filsuf abad pencerahan, bahwa doktrin-doktrin Gereja Katolik bersifat tahayul dan menghalang-halangi kemajuan peradaban.

Salah satu contoh terkenal yang diajukan oleh para kritikus tersebut adalah Galileo Galilei, yang pada tahun 1633, dikutuk karena berpegang teguh pada ajaran jagad raya yang heliosentris (jagad raya berpusat pada matahari), teori yang pertama kali dicetuskan oleh Nicolaus Copernicus, seorang imam Katolik. Setelah bertahun-tahun diinvestigasi, berkonsultasi dengan Paus, berjanji kemudian dilanggar oleh Galileo sendiri, dan akhirnya suatu pengadilan oleh Tribunal Inkuisisi Romawi dan Universal, Galileo didapati "dituduh sebagai bidaah" - bukan bidaah, sebagaimana yang seringkali secara keliru disebut-sebut. Meskipun ilmu pengetahuan modern membuktikan bahwa dua dari empat thesis ilmiah yang dikedepankan oleh Galileo sebenarnya keliru, yakni bahwasanya Matahari adalah pusat jagad raya, dan bahwasanya Bumi mengitari Matahari dalam orbit berbentuk lingkaran sempurna, Paus Yohanes Paulus II secara terbuka mengungkapkan penyesalan atas tindakan-tindakan orang-orang Katolik yang memperlakukan Galileo dengan buruk dalam pengadilan pada tanggal 31 Oktober 1992.[100] Sebuah abstraksi dari tindakan-tindakan dalam proses pengadilan terhadap Galileo dapat dijumpai di Arsip Rahasia Vatikan (Vatican Secret Archives), yang mereproduksi sebahagian arsip tersebut dalam situs web-nya. Kardinal John Henry Newman, pada abad ke-19, berkata bahwa orang-orang yang menyerang Gereja Katolik hanya mampu menunjukkan kasus Galileo, yang bagi banyak sejarawan tidaklah membuktikan adanya oposisi Gereja terhadap ilmu pengetahuan karena justru banyak rohaniwan Katolik pada masa itu yang didorong oleh Gereja untuk meneruskan penelitian mereka.[101]

Saat ini, Gereja Katolik telah dikritik karena ajarannya bahwa penelitian sel induk embrio manusia (embryonic stem cell research) merupakan suatu bentuk dari eksperimentasi pada manusia, dan mengakibatkan pembunuhan seorang manusia, dengan alasan bahwa ajaran ini menghalangi penelitian ilmiah. Gereja Katolik sebaliknya berpendapat bahwa kemajuan dalam ilmu pengobatan dapat terjadi tanpa perlu ada penghancuran manusia (yang masih dalam tahap kehidupan embrio); misalnya, dengan menggunakan sel induk dewasa (adult stem cell) atau sel induk tali pusat (umbilical stem cell) sebagai ganti sel induk embrio.

Gereja, seni, dan karya sastra

Mona Lisa karya Leonardo da Vinci, yang menurut beberapa penulis, merupakan suatu ilustrasi dari suka cita Kristiani.

Beberapa ahli sejarah menilai Gereja Katolik berjasa atas kegemilangan dan keagungan seni Barat. Mereka mengacu pada perlawanan gereja terhadap ikonoklasme (suatu gerakan yang menentang penggambaran visual dari yang ilahi), kegigihan Gereja dalam membangun gedung-gedung yang mendukung peribadatan, kutipan ayat Alkitab oleh Agustinus dari Hippo - dari kitab Kebijaksanaan 11:20 (Allah "menyuruh segala sesuatu diukur, dihitung, dan ditimbang") yang menuntun kepada konstruksi-konstruksi geometris dari arsitektur Gothik, sistem-sistem ilmiah yang koheren dari kaum Skolastik yang disebut Summa Theologiae yang mempengaruhi tulisan-tulisan yang konsisten secara ilmiah dari Dante, theologi penciptaan dan sakramental Gereja yang telah mengembangkan suatu imajinasi Katolik yang mempengaruhi para penulis seperti J. R. R. Tolkien[102], C.S. Lewis, dan William Shakespeare,[103] dan akhirnya, perlindungan yang diberikan para paus di masa Renaissance bagi karya-karya agung para seniman Katolik seperti Michelangelo, Raphael, Bernini, Borromini, dan Leonardo da Vinci.

Gereja dan perkembangan ekonomi

Francisco de Vitoria, seorang murid dari Thomas Aquinas dan seorang pemikir Katolik yang mempelajari hal-hal seputar hak-hak azasi manusia dari rakyat pribumi jajahan, diakui Perserikatan Bangsa-Bangsa sebagai seorang Bapak hukum internasional, dan kini juga diakui oleh para ahli sejarah ekonomi dan demokrasi sebagai cahaya terdepan bagi demokrasi Barat dan percepatan ekonomi.[104]

Joseph Schumpeter, seorang ahli ekonomi dari abad ke-20, menunjuk pada kaum skolastik, ketika menulis bahwa, "merekalah yang paling layak lebih dari kelompok manapun juga untuk disebut sebagai ‘pendiri’ ilmu ekonomi yang ilmiah."[105] Ahli-ahli ekonomi dan sejarah lainnya, seperti Raymond de Roover, Marjorie Grice-Hutchinson, dan Alejandro Chafuen, juga telah mengeluarkan pernyataan serupa. Sejarawan Paul Legutko dari Universitas Stanford mengatakan bahwa Gereja Katolik "berada pada pusat perkembangan nilai-nilai, gagasan-gagasan, ilmu pengetahuan, hukum, dan lembaga-lembaga yang membentuk apa yang kita sebut peradaban Barat."[106]

Keadilan sosial, keperawatan, dan sistem rumah sakit

Ahli sejarah rumah sakit, Guenter Risse, berujar bahwa Gereja Katolik mempelopori perkembangan suatu sistem rumah sakit yang ditujukan bagi kaum tersisih.

Menurut ahli sejarah rumah sakit, Guenter Risse, Gereja Katolik telah memberi sumbangsih bagi masyarakat melalui doktrin sosialnya (ajaran sosial Gereja) yang telah menuntun para pemimpin untuk mempromosikan keadilan sosial dan dengan membentuk sistem rumah sakit di Eropa abad pertengahan, yakni suatu sistem yang berbeda dengan keramah-tamahan dari masyarakat Yunani dan kewajiban-kewajiban berasaskan keluarga dari masyarakat Romawi. Rumah-rumah sakit tersebut didirikan untuk menyediakan pelayanan bagi kelompok masyarakat tertentu yang tersisihkan akibat kemiskinan, penyakit, dan usia lanjut."[107]

James Joseph Walsh menulis tentang kontribusi Gereja Katolik bagi sistem rumah sakit, sebagai berikut:

Selama abad ke-13 sejumlah besar rumah-rumah sakit [ini] didirikan. Kota-kota Italia merupakan pemimpin-pemimpin dari gerakan itu. Milan memiliki tidak kurang dari selusin rumah sakit dan Florence sebelum akhir abad ke-14 memiliki sekitar 30 rumah sakit. Beberapa diantaranya merupakan bangunan-bangunan yang sangat indah. Di Milan sebagian dari bangunan rumah sakit umum dirancang oleh Donato Bramante dan sebagiannya lagi dirancang oleh Michelangelo. Rumah sakit kaum tak berdosa di Florence untuk menampung anak-anak terlantar merupakan sebuah permata arsitektur. Rumah sakit di Sienna, yang didirikan sebagai penghormatan kepada Santa Katerina dari Siena, sejak semula sudah tersohor. Di seluruh Eropa gerakan rumah sakit ini menyebar di mana-mana. Virchow, Pathologis besar dari Jerman, dalam sebuah artikel mengenai rumah-rumah sakit, menunjukkan bahwa tiap kota di Jerman yang berpenduduk 5000 jiwa memiliki rumah sakit. Ia menelusuri gerakan rumah sakit ini sampai kepada Paus Innosentius III, dan meskipun bukan seorang pendukung kepausan, Virchow tanpa ragu-ragu memberikan pujian tertinggi bagi Paus tersebut untuk segala sesuatu yang telah dilakukannya demi kebaikan anak-anak dan umat manusia yang menderita.[108]

Keindahan dan efisiensi rumah-rumah sakit Italia bahkan mengilhami sebagian orang yang justru mengkritik Gereja Katolik. Sejarawan Jerman Ludwig von Pastor mengutip kembali kata-kata Martin Luther yang, tatkala melakukan perjalanan ke Roma saat musim dingin tahun 1510-1511, berkesempatan mengunjungi beberapa dari rumah-rumah sakit tersebut:

Di Italia, menurutnya, rumah-rumah sakit didirikan dengan megah, dan sungguh mengagumkan bahwa rumah-rumah sakit itu diperlengkapi dengan makanan dan minuman yang sangat baik, perhatian yang seksama dan tabib-tabib yang terpelajar. Tempat-tempat tidur dan perlengkapan tempat tidurnya bersih, dan dinding-dinding ditutupi dengan lukisan-lukisan. Bilamana seorang pasien dibawa masuk, pakaian-pakaiannya dilepaskan di hadapan seorang notaris yang menginventarisirnya dengan cermat, kemudian pakaian-pakaian itu disimpan dengan aman. Sehelai smock (jubah pasien) putih dikenakan padanya dan ia dibaringkan di atas sebuah dipan yang nyaman, dialasi linen yang bersih. Ada dua orang dokter yang mendatanginya, dan para pelayan membawakannya makanan dan minuman dalam gelas-gelas yang bersih, yang memperlihatkan padanya segala perhatian yang dapat diberikan.[109]

Gereja Katolik sebagai opus proprium, sebut Benediktus XVI dalam Deus Caritas Est, telah melaksanakan selama berabad-abad sejak awal mulanya dan terus melaksanakan berbagai pelayanan kasih — antara lain, rumah-rumah-sakit, sekolah-sekolah, dan program-program pemberantasan kemiskinan.

Kritik terhadap Gereja Katolik Roma

Skandal pelecehan seksual

Pada tahun 2002, Amerika Serikat dihebohkan oleh suatu skandal besar ketika serangkaian tuntutan, disertai bukti-bukti pendukung, ditujukan kepada para imam yang melakukan tindakan pelecehan secara seksual terhadap anak-anak sepanjang beberapa dasawarsa. Yang makin memparah keadaan adalah terungkapnya kenyataan bahwa Gereja mengetahui beberapa dari imam-imam pelaku pelecehan tersebut, dan pada mulanya memperlakukan mereka dengan cara menyangkal mengetahui kejahatan yang mereka lakukan dan memindahtugaskan mereka dari satu jemaat ke jemaat lain dari pada menindaki mereka. Skandal yang menjadi penyebab pengunduran diri Kardinal Bernard Law dari Keuskupan Agung Boston itu, merupakan pukulan yang menghancurkan citra Gereja di mata publik — Dalam salah satu survey sesudah mencuatnya skandal tersebut 64% dari responden setuju bahwa kebanyakan imam Katolik "kerap melakukan pelecehan terhadap anak-anak" (data mengindikasikan bahwa hanya 1,5-1,8% imam Katolik yang benar-benar telah dituntut karena melakukan pelecehan terhadap anak-anak.[110]).

Catholic News Service melaporkan:

Sekitar 4 persen dari para imam A.S. yang bekerja sejak tahun 1950 sampai 2002 dituduh melakukan pelecehan seksual terhadap anak di bawah umur, menurut studi nasional komprehensif menyangkut isu tersebut.

Studi tersebut mengatakan bahwa 4.392 rohaniwan—hampir semuanya imam—dituduh melakukan pelecehan terhadap 10.667 orang. 75 persen dari insiden-insiden tersebut terjadi antara tahun 1960 dan 1984.

Menurut studi tersebut, dalam kurun waktu yang sama terdapat 109.694 imam. Menurut studi yang telah dilakukan John Jay College of Criminal Justice di New York, biaya-biaya (cost) sehubungan dengan pelecehan seksual berjumlah total $573 juta. $219 juta dari jumlah itu ditalangi oleh perusahaan-perusahaan asuransi.

Studi tersebut menyusun daftar karakteristik-karakteristik utama dari insiden-insiden pelecehan seksual yang telah dilaporkan. Termasuk didalamnya:

-- Sebagian besar korban, yakni 81 persen, berjenis kelamin laki-laki. Korban paling lemah adalah anak-anak lelaki berusia 11 sampai 14 tahun, mewakili lebih dari 40 persen dari jumlah korban. Kenyataan ini melawan trend dalam masyarakat A.S. secara umum di mana masalah utama adalah pria dewasa mencabuli anak-anak perempuan.[111]

Kasus-kasus serupa telah muncul di negara-negara lain. Di Irlandia, sejumlah kasus pelecehan seksual yang mencuat pada anak-anak yang dilakukan oleh para imam dan biarawan Katolik, seperti yang dialami Andrew Madden, telah sangat memperlemah pengaruh Gereja pada beberapa tahun terakhir.

Sejak tahun 2001, kewenangan atas penyelesaian masalah pelecehan seksual yang dilakukan oleh klerus tidak lagi berada dalam kompetensi dari uskup setempat, akan tetapi diambil alih oleh Kongregasi Ajaran Iman di Roma, sesuai dengan isi Surat Apostolik Paus Yohanes Paulus II Sacramentorum sanctitatis tutela serta aturan-aturan pelengkapnya (kedua dokumen dalam Bahasa Latin). Di bawah Hukum Kanonik Gereja tahun 1983 klerus yang melakukan pelecehan seksual terhadap seorang anak di bawah umur dapat dikenai hukuman pencopotan status klerus ("laisisasi").[112]

Catatan kaki

  1. ^ "Concise Oxford English Dictionary" (online version). Oxford University Press. 2005. Diakses tanggal 10 April 2009. 
  2. ^ Marthaler, Berard (1993). "The Creed". Twenty-Third Publications. Diakses tanggal 9 May 2008.  hal. 303
  3. ^ a b McBrien, Richard (2008). The Church. Harper Collins. hal. xvii. Versi online tersedia di sini. Kutipan: Penggunaan adjektiva "Katolik" sebagai tambahan pada kata "Gereja" bersifat divisif hanya sesudah Skisma Timur-Barat ... dan Reformasi Protestan ... Dalam kasus pertama, pihak Barat mengklaim untuk dirinya gelar Gereja Katolik, sedangkan pihak Timur menggunakan nama Gereja Ortodoks yang Kudus. Dalam kasus kedua, pihak yang berada dalam persekutuan dengan Uskup Roma mempertahankan adjektiva "Katolik", sedangkan gereja-gereja yang memutuskan hubungan dengan Kepausan disebut Protestan.
  4. ^ Libreria Editrice Vaticana (2003). "Katekismus Gereja Katolik." Diakses pada: 2009-05-01.
  5. ^ Vatikan. Dokumen-dokumen Konsili Vatikan II. Diakses pada: 2009-05-04. Perhatian: Tanda tangan Paus tampak dalam cersi Latinnya.
  6. ^ Declaration on Christian Formation, diterbitkan oleh Konferensi Waligereja Amerika Serikat, Washington DC 1965, halaman 13
  7. ^ Whitehead, Kenneth (1996). ""How Did the Catholic Church Get Her Name?" Eternal Word Television Network. Diakses pada 9 Mei 2008.
  8. ^ Contoh: 1977 Persetujuan dengan Uskup Agung Donald Coggan dari Canterbury
  9. ^ Walsh, Michael (2005). Roman Catholicism. Routledge. hal. 19. Versi online tersedia di sini
  10. ^ Beal, John (2002). "New Commentary on the Code of Canon Law". Paulist Press. Diakses tanggal 13 May 2008.  hal. 468
  11. ^ The New Catholic Encyclopedia menyatakan: "Ada sebuah aspek yang lebih jauh mengenai istilah Katolik Roma yang perlu difahami. Gereja Roma dapat digunakan untuk menyebut, bukan Gereja universal yang memiliki seorang primat yakni Uskup Roma, melainkan untuk menyebut Gereja lokal di Roma, yang memiliki keistimewaan karena uskupnya juga menjabat sebagai primat bagi seluruh Gereja."
  12. ^ "Number of Catholics and Priests Rises". Zenit News Agency. 12 Februari 2007. Diakses tanggal 21 Februari 2008. 
  13. ^ "CIA World Factbook". United States Government Central Intelligence Agency. 2009. Diakses tanggal 6 Juli 2009. 
  14. ^ "Major Branches of Religions Ranked by Number of Adherents". adherents.com. Diakses tanggal 2009-07-05. 
  15. ^ Schreck, hal. 158–159.
  16. ^ a b Paulus VI, Paus (1964). "Lumen Gentium bab 3, bagian 22". Vatikan. Diakses tanggal 9 Maret 2008. 
  17. ^ Hukum Kanon, kanon 331 dan 336
  18. ^ Teaching with Authority, oleh Richard R. Gaillardetz, hal. 57
  19. ^ Schreck, hal. 153.
  20. ^ Barry, hal. 50–51.
  21. ^ a b Barry, hal. 98–99.
  22. ^ Wilken, hal. 281, kutipan: "Beberapa (Komunitas Kristiani) didirikan oleh Petrus, murid yang ditetapkan Yesus sebagai pendiri GerejaNya. ... Begitu kedudukan tersebut terlembagakan, para sejarawan meninjau kembali dan mengakui Petrus sebagai paus pertama Gereja Kristen di Roma"
  23. ^ Schreck, hal. 152.
  24. ^ Barry, hal. 37, hal. 43–44.
  25. ^ a b (Mat. 16:18–19)
  26. ^ (Yoh. 16:12–13)
  27. ^ O'Collins, hal. v (pengantar).
  28. ^ Orlandis, pengantar
  29. ^ Konsili Vatikan, Kedua (1964). "Lumen Gentium paragraf 14". Vatikan. Diakses tanggal 17 December 2008. 
  30. ^ Paragraf nomor 846 (1994). "Katekismus Gereja Katolik". Libreria Editrice Vaticana. Diakses tanggal 27 Desember 2008. 
  31. ^ Paragraf nomor 819 (1994). "Katekismus Gereja Katolik". Libreria Editrice Vaticana. Diakses tanggal 16 Mei 2009. 
  32. ^ a b Kreeft, hal. 110–112.
  33. ^ Shorto, Russel (8 April 2007). "Keeping the Faith". The New York Times. Diakses tanggal 29 Maret 2008. 
  34. ^ Bokenkotter, hal. 33–34.
  35. ^ Paragraf nomor 881 (1994). "Katekismus Gereja Katolik". Libreria Editrice Vaticana. Diakses tanggal 8 Februari 2008. 
  36. ^ a b Barry, hal. 46.
  37. ^ Duffy, hal. 1.
  38. ^ Derrett, hal. 480, kutipan: "... karya-karya Yesus, dan Paulus dari Tarsus, tidak dapat dipahami tanpa mengetahui keadaan dunia pada masa itu. Sebagaian orang percaya bahwa Kristianitas didirikan bukan oleh Yesus yang disebut Kristus itu, melainkan oleh Petrus bersama rekan-rekannya yakni para Rasul sesudah anastasis Yesus, yang biasanya disebut 'kebangkitan'. Keyakinan Petrus, dan selanjutnya keyakinan Paulus, adalah batu-batu karang yang di atasnya gereja-gereja purba didirikan. Posisi psikososiologis mereka di tingkat mana pun harus diketahui guna memahami their proceedings. Sebagian yang lain, termasuk penulis, menjadikan Yesus sebagai kekuatan yang menginspirasi gereja."
  39. ^ a b c Norman, hal. 11, hal. 14, kutipan: "Gereja didirikan oleh Yesus sendiri semasa hidupnya di dunia.", "Apostolat didirikan di Roma, ibu kota dunia di masa gereja menjadi resmi; jelas di sanalah universalitas ajaran Kristiani berpusat—Uskup-Uskup Romalah yang sedari awal mulai menerima permintaan-permintaan untuk memberikan keputusan atas hal-hal yang dipermasalahkan dari uskup-uskup lain." Kesalahan pengutipan: Tanda <ref> tidak sah; nama "Norman11" didefinisikan berulang dengan isi berbeda
  40. ^ a b Chadwick, Henry hal. 361, kutipan: "Menjelang akhir abad pertama, klerus Roma yang menjabat saat itu bernama Klemens menulis sepucuk surat mewakili Gerejanya untuk mengecam umat Kristiani Korintus ... Klemens tidak meminta maaf karena mengintervensi melainkan meminta maaf karena tidak bertindak lebih cepat. Selanjutnya, pada abad ke-2 kepemimpinan komunitas Roma terbukti tak segan memberikan sumbangan kepada jemaat-jemaat yang lebih miskin. Sekita tahun 165 mereka mendirikan monumen-monumen bagi Rasul-Rasul mereka yang gugur sebagai syuhada ... Para uskup Roma sudah sepenuhnya sadar akan tanggung jawab mereka sebagai penjaga tradisi yang asli atau penafsiran yang benar atas tulisan-tulisan apostolik. Dalam konflik dengan Gnostisisme, Roma memainkan peranan penting, demikian pula dalam perpecahan di Asia Kecil yang ditimbulkan oleh oleh nabi-nabi Montanis yang menyatakan diri sebagai alat-alat yang digunakan oleh Roh Kudus untuk berfirman secara langsung."
  41. ^ Duffy, hal. 6, kutipan: "Untuk semua alasan ini, sebagian besar cendekiawan menerima tradisi Kristiani purba bahwa Petrus dan Paulus wafat di Roma. Akan tetapi, meskipun mereka pernah hidup, berdakwah dan wafat di Roma, bukan berarti merekalah yang 'mendirikan' jemaat di sana. Surat Paulus kepada jemaat di Roma ditulis sebelum dia maupun Petrus menjejakkan kaki mereka di Roma, dan dialamatkan kepada sebuah komunitas Kristiani yang sebelumnya sudah eksis."
  42. ^ Duffy, hal. 7.
  43. ^ Injil Matius 28:19–20
  44. ^ Paragraf nomor 849 (1994). "Katekismus Gereja Katolik". Libreria Editrice Vaticana. Diakses tanggal 8 Februari 2008. 
  45. ^ Norman, hal. 12.
  46. ^ Benediktus XVI, Paus (2005). "Deus Caritas Est". Vatikan. Diakses tanggal 6 Mei 2008. 
  47. ^ a b Vidmar, hal. 19–20.
  48. ^ Schreck, hal. 130.
  49. ^ Bokenkotter, hal. 18, kutipan: "Kisah tentang bagaimana komunitas kecil orang-orang percaya ini menyebar ke banyak kota di Kekaisaran Romawi dalam waktu kurang dari satu abad sungguh merupakan bagian yang mengagumkan dalam lembaran sejarah umat manusia."
  50. ^ Wilken, hal. 281, kutipan: "Sekitar tahun 100, lebih dari 40 komunitas Kristiani sudah eksis di kota-kota seputar Laut Tengah, termasuk dua di Afrika Utara, di Aleksandria dan Kirene, dan beberapa di Italia."
  51. ^ Wilken, hal. 282.
  52. ^ Collins, p. 53–55.
  53. ^ Davidson, hal. 341.
  54. ^ Chadwick, Henry hal. 37, kutipan: "Dalam Kisah Para Rasul 15 Kitab Suci mencatat bahwa para Rasul mengadakan pertemuan dalam sebuah sinode untuk mengupayakan sebuah kebijakan bersama mengenai misi bagi bangsa-bangsa non-Yahudi."
  55. ^ a b Chadwick, Henry hal. 371, kutipan: "'Sinode' atau, dalam bahasa Latin, 'Konsili' (pembedaan di zaman moderen antara sinode dan konsili yang menjadikan sebuah sinode lebih rendah kedudukannya dari pada sebuah konsili tidaklah dikenal di zaman sebelum abad pertengahan) menjadi sebuah cara yang tak tergantikan untuk mengupayakan suatu kesepakatan bersama, dan membantu menjauhkan individu-individu berjiwa bebas dari kecenderungan sentrifugal. Selama abad ke-3, pemerintahan sinodal sangat berkembang sehingga sinode-sinode biasa diselenggarakan bukan hanya pada waktu-waktu krisis melaunkan secara berkala setiap tahun, normalnya antara Paskah dan Pentakosta." Kesalahan pengutipan: Tanda <ref> tidak sah; nama "McManners371" didefinisikan berulang dengan isi berbeda
  56. ^ Davidson, hal. 155, kutipan: "Karena sifat keterserakan dari Gereja-Gereja, sejumlah besar orang percaya di zaman apostolik berdiam di tempat-tempat yang sekitar seminggu perjalanan jauhnya dari salah satu pusat-pusat pergerakan agama Kristen: Yerusalem, Antiokhia, Roma, Efesus, Korintus, atau Filipi. Jemaat-jemaat secara teratur dikunjungi oleh para guru dan pemimpin keliling. Kesatuan ini difokuskan pada intisari-intisari keyakinan akan Yesus.
  57. ^ Vidmar, hal. 40–42, kutipan: "Beberapa serpihan bukti mengindikasikan bahwa Uskup Roma sesudah Petrus memiliki beberapa keistimewaan di antara uskup-uskup lainnya. ...(daftar beberapa dokumen sejarah) ... Tak satu pun dari dokumen-dokumen ini, secara sendiri-sendiri, akan cukup untuk membuktikan primasi pengganti Petrus dan Paulus. Akan tetapi jika disatukan bersama-sama, semua dokumen ini memperlihatkan otoritas Roma yang dalam Gereja diakui melebihi otoritas Gereja-Gereja lain."
  58. ^ Barker, hal. 846.
  59. ^ Schatz, hal. 9-20.
  60. ^ Davidson, hal. 169, hal. 181.
  61. ^ Norman, hal. 27–28, kutipan: "Suksesi yang mengagumkan dari para apologis teologi menambahkan otoritas intelektual ke dalam sumber-seumber daya yang berada di bawah pengaturan kepausan, tepat di saat perkembangan awalnya tatkala ketiadaan sebuah jawatan pengajaran yang tersentralisasi dapat memecah-belah kesaksian universal menjadi gagasan-gagasan yang berdiri sendiri-sendiri. Pada akhir abad pertama ada St. Klemens dari Roma, pengganti St. Petrus yang ketiga; pada abad ke-2 ada St. Ignatius dari Antiokhia, St. Irenaeus dari Lyons, dan St. Yustinus Martir; pada abd ke-4 ada St. Augustinus dari Hippo, teolog terbesar Gereja purba."
  62. ^ Herring, p. 60.
  63. ^ Wilkin, hal. 283
  64. ^ Bokenkotter, hal. 35–36.
  65. ^ Duffy, hal. 18.
  66. ^ Wilken, hal. 284.
  67. ^ Wilken, hal. 286.
  68. ^ Collins, hal. 61–62.
  69. ^ Duffy, hal. 35.
  70. ^ Bokenkotter, hal. 84–93.
  71. ^ Noble, hal. 214.
  72. ^ "It is our desire that all the various nations which are subject to our clemency and moderation should continue to the profession of that religion which was delivered to the Romans by the divine Apostle Peter, as it has been preserved by faithful tradition and which is now professed by the Pontiff Damasus and by Peter, Bishop of Alexandria, a man of apostolic holiness. ... We authorize the followers of this law to assume the title Catholic Christians; but as for the others, since in our judgment they are foolish madmen, we decree that they shall be branded with the ignominious name of heretics, and shall not presume to give their conventicles the name of churches." Halsall, Paul (1997). "Theodosian Code XVI.i.2". Medieval Sourcebook: Banning of Other Religions. Fordham University.  Teks "diakses 19 Sept. 2006" akan diabaikan (bantuan);
  73. ^ MacCulloch, Diarmaid (2003). The Reformation: A History. Penguin Group. hlm. 412. ISBN 978-0-7139-9370-7. ; MacCulloch adds "admittedly, that might not have been much consolation to those burned at the stake."; see also Kamen, Henry (1999). The Spanish Inquisition: A Historical Revision. Yale University Press. hlm. 59–60, 189–90, 203, 301. ISBN 0-300-07880-3. 
  74. ^ "In view of the pastoral nature of the Council, it avoided any extraordinary statement of dogmas that would be endowed with the note of infallibility, but it still provided its teaching with the authority of the supreme ordinary Magisterium. This ordinary Magisterium, which is so obviously official, has to be accepted with docility, and sincerity by all the faithful, in accordance with the mind of the Council on the nature and aims of the individual documents" (Paus Paulus VI, atGeneral Audience of 12 Januari 1966
  75. ^ "The use of the Latin language, with due respect of particular law, is to be preserved in the Latin rites. But since the use of the vernacular, whether in the Mass, the administration of the sacraments, or in other parts of the liturgy, may fequently be of great advantage to the people, a wider use may be made of it, especially in ... It is for the competent territorial ecclesiastical authority ... to decide whether, and to what extent, the vernacular language is to be used" (Sacrosanctum Concilium, 36).
  76. ^ John Paul II, Apostolic Letter Laetamur Magnopere
  77. ^ Pope Pius XII. "Divino Afflante Spiritu". Vatican.  para. 16.
  78. ^ Council of Trent Session IV; here an "edition" should not be confused with a "translation"
  79. ^ Roma 1:20
  80. ^ Roma 5:12
  81. ^ Efesus 1:22-23; cf. Roma 12:4-5
  82. ^ Katekismus Gereja Katolik, 2331–2400
  83. ^ Katekismus Gereja Katolik, 1015
  84. ^ "Humanae Vitae, no. 11"
  85. ^ Pope Paul VI (1963). "Sacrosanctum Concilium, 2". Vatican. Diakses tanggal 2006-09-15.  ; Catechism of the Catholic Church 1068-69
  86. ^ Catechism of the Catholic Church, 1423-1424
  87. ^ Catechism of the Catholic Church 2558
  88. ^ Joseph Card. Ratzinger, Alberto Bovone (1992). "Surat kepada para uskup Gereja Katolik mengenai beberapa aspek dari Gereja yang difahami sebagai Komuni, 9". Vatican. Diakses tanggal 2006-09-15. 
  89. ^ Lumen Gentium §8
  90. ^ Lumen Gentium §26
  91. ^ "Kanon 42". Kitab Hukum Kanonik Gereja-Gereja Timur. 
  92. ^ "Kanon 375". 1983 Kitab Hukum Kanonik. Vatican. 
  93. ^ Committee on the Diaconate. "Frequently Asked Questions About Deacons". United States Conference of Catholic Bishops. 
  94. ^ cf. Code of Canon Law, canon 11
  95. ^ Circular Letter 10279/2006 of 13 March 2006 from the Pontifical Council for Legislative Texts to Presidents of Episcopal Conferences (Canon Law Society of America)
  96. ^ "J.L. Heilbron". London Review of Books. Diakses tanggal 2006-09-15. 
  97. ^ Lindberg, David (2003). When Science and Christianity Meet. University of Chicago Press. ISBN 0-226-48214-6. 
  98. ^ Goldstein, Thomas (1995). Dawn of Modern Science: From the Ancient Greeks to the Renaissance. Da Capo Press. ISBN 0-306-80637-1. 
  99. ^ Pope John Paul II (1998). "Fides et Ratio (Faith and Reason), IV". Diakses tanggal 2006-09-15. 
  100. ^ Choupin, Valeur des Decisions Doctrinales du Saint Siege
  101. ^ "How the Catholic Church Built Western Civilization". Catholic Education Resource Center. 2005. 
  102. ^ Boffetti, Jason (2001). "Tolkien's Catholic Imagination". Crisis Magazine. Morley Publishing Group. 
  103. ^ Voss, Paul J. (2002). "Assurances of faith: How Catholic Was Shakespeare? How Catholic Are His Plays?". Crisis Magazine. Morley Publishing Group. 
  104. ^ de Torre, Fr. Joseph M. (1997). "A Philosophical and Historical Analysis of Modern Democracy, Equality, and Freedom Under the Influence of Christianity". Catholic Education Resource Center. 
  105. ^ Schumpeter, Joseph (1954). History of Economic Analysis. London: Allen & Unwin. 
  106. ^ "Review of How the Catholic Church Built Western Civilization by Thomas Woods, Jr". National Review Book Service. Diakses tanggal 2006-09-16. 
  107. ^ Risse, Guenter B (1999). Mending Bodies, Saving Souls: A History of Hospitals. Oxford University Press. hlm. 59. ISBN 0-19-505523-3. 
  108. ^ Walsh, James Joseph (1924). The world's debt to the Catholic Church. The Stratford Company. hlm. 244. 
  109. ^ von Pastor, Ludwig (1891). The History of the Popes from the Close of the Middle Ages (Volume V). B. Herder. hlm. 65.  cf. Luther, Martin. (1967). Luther's Works, American Edition, 55 vols. Helmut T. Lehmann, Theodore G. Tappert, editors, Concordia Publishing House and Fortress Press, Table Talk, vol. 54, p.296, No. 3930, ( recorded by Anthony Lauterbach, August 1, 1538 ). ISBN 0-8006-0354-0
  110. ^ Catholic League for Religious and Civil Rights (2004). "Sexual Abuse in Social Context: Catholic Clergy and Other Professionals". Diakses tanggal 2006-09-16. 
  111. ^ Bono, Agostino. "John Jay Study Reveals Extent of Abuse Problem". Catholic News Service. 
  112. ^ "Canon 1395". Code of Canon Law. Vatican. 

Catatan

  1. ^ Nama "Gereja Katolik" mengandung kerancuan, karena Gereja ini bukanlah satu-satunya lembaga yang menyatakan diri sebagai Katolik. Gereja ini disebut dan menyebut diri sendiri dengan berbagai cara, sesuai kondisi sekitarnya. Kata Yunani καθολικός (katholikos), asal dari kata "Katolik", artinya "universal".[1] Kata ini pertama kali digunakan untuk menyebut Gereja Kristen pada awal abad ke-2.[2] Pasca Skisma Akbar, Gereja Barat menggunakan nama "Katolik", sementara Gereja Timur menggunakan nama "Ortodoks".[3] Pasca Reformasi pada abad ke-16, Gereja yang berada dalam persekutuan dengan Uskup Roma menggunakan nama "Katolik" untuk membedakan dirinya dari berbagai Gereja Protestan.[3] Nama "Gereja Katolik", bukannya "Gereja Katolik Roma", adalah nama yang biasa digunakan Gereja ini dalam dokumen-dokumennya. Nama ini digunakan pada judul dari Katekismus Gereja Katolik.[4] Nama ini pula yang digunakan Paus Paulus VI tatkala menandatangani dokumen-dokumen Konsili Vatikan Kedua.[5][6][7] Khususnya di negara-negara berpenutur Bahasa Inggris, Gereja ini biasa disebut Gereja Katolik "Roma"; pada kesempatan-kesempatan tertentu Gereja ini juga menyebut diri dengan sebutan tersebut.[8] Pada beberapa waktu, sebutan ini dapat membedakan Gereja ini dengan gereja-gereja lain yang juga menyatakan diri Katolik. Istilah ini pun digunakan di judul dokumen-dokumen yang menyangkut hubungan-hubungan ekumenis. Meskipun demikian, nama "Gereja Katolik Roma" tidak disukai oleh banyak umat Katolik yang menganggapnya sebagai sebuah label yang disematkan pada mereka oleh pihak lain yang bermakna bahwa Gereja mereka hanyalah salah satu dari beberapa gereja katolik, dan bermakna bahwa kesetiaan mereka pada Sri Paus dalam satu lain hal menjadikan mereka dipandang tak layak dipercaya.[9] Dalam gereja ini, nama "Gereja Roma", dalam makna tersempitnya, berarti Keuskupan Roma.[10][11]
  2. ^ Buku tahunan kepausan 2007 menyatakan bahwa ada 1,115 milyar umat Katolik di seluruh dunia.[12] Data CIA juga memberikan perkiraan serupa.[13]
    Membandingkan jumlah keanggotaan yang diklaim oleh Gereja Katolik dengan statistik-statistik yang tersedia mengenai gereja-gereja Kristen lainnya menimbulkan kesulitan-kesulitan metodologis karena tidak terdapat definisi yang sama tentang keanggotaan untuk semua denominasi Kristen. Ada sebuah rentang estimasi yang menyebutkan bahwa warga Gereja Katolik merupakan 50% [14] dari jumlah umat Kristiani di seluruh dunia.


Daftar pustaka

Pranala luar


Templat:Link FA