Lompat ke isi

Kontroversi ras Mesir kuno

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Revisi sejak 7 Agustus 2023 04.45 oleh Henri Aja (bicara | kontrib) (-> add section)

Keraguan tentang ras bangsa Mesir kuno diangkat secara historis sebagai produk dari konsep awal tentang rasial pada abad 18 dan 19 serta dikaitkan dengan model hierarki rasial yang didasarkan utamanya pada kraniometri dan antropometri. Beredar berbagai pandangan tentang identitas ras bangsa Mesir dan sumber kebudayaan mereka.[1] Beberapa cendekiawan berpendapat bahwa kebudayaan Mesir kuno, dipengaruhi oleh populasi yang berbahasa Afroasiatik lainnya di Afrika Utara, Tanduk Afrika atau Timur Tengah, sementara yang lain menunjukkan pengaruh dari berbagai kelompok atau populasi Nubia di Eropa. Beberapa waktu belakangan ini, beberapa penulis meragukan pandangan umum, yang beberapa di antaranya berfokus pada keraguan ras individu tertentu yang terkenal seperti raja yang mewakili Sfinks Agung Giza, firaun asli Mesir Tutankhamun, Ratu Mesir Tiye dan ratu Ptolemaik Yunani, Kleopatra VII.

Para cendekiawan menolak anggapan bahwa Mesir adalah peradaban kulit putih atau hitam, mereka berpendapat bahwa menerapkan gagasan modern ras hitam atau putih terhadap bangsa Mesir kuno, adalah anakronistik.[2][3][4] Selain itu, para cendekiawan juga menolak gagasan yang secara implisit dalam pendapat hipotesis Mesir berkulit hitam atau putih, bahwa Mesir Kuno adalah homogen secara rasial, alih-alih variasi warna kulit di antara masyarakat Mesir Hilir, Mesir Hulu dan Nubia, yang memegang tampuk kekuasaan pada era Mesir Kuno di berbagai zaman. Meskipun banyak terdapat invasi-invasi asing dalam sejarah Mesir, demografi tidak berubah secara substansial oleh migrasi besar-besaran.[5][6][7]

Latar belakang

Dalam komentar-komentar tentang ras bangsa Mesir kuno, pada abad ke-18, seorang filsuf dan sejarawan Prancis Constantin-François Chassebœuf, comte de Volney menulis bahwa, "Warna kulit yang sesuai bagi bangsa Mesir kuno adalah ras yang berasal dari golongan Koptik, karena warna kulitnya yang kekuningan....., yang bukan bangsa Yunani, Negro atau Arab dengan wajah yang penuh, mata yang gembung, hidung yang bengkok dan bentuk bibir yang tebal..., bangsa Mesir kuno sebenarnya adalah orang Negro, yakni orang dengan golongan yang sama dengan semua orang asli Afrika".[8] Volney juga mengatakan bahwa Sphinx memberinya kunci teka-teki mengapa semua orang Mesir yang ia lihat di seluruh negeri "memiliki wajah dan mata yang bengkak, hidung pesek, bibir tebal, secara singkat diutarakan, wajah asli mulatto." Ia menulis bahwa ia mencoba untuk mengaitkannya dengan kondisi iklim, tetapi saat mengunjungi Sphinx, penampilannya memberinya jawaban "dengan melihat kepala tersebut, umumnya negro dalam semua tampilannya",[9] Volney melihatnya sebagai "solusi sejati untuk teka-teki (tentang bagaimana orang Mesir modern memiliki penampilan 'mulatto' mereka)". Ia melanjutkan dengan menyimpulkan, "orang Koptik adalah" negro sejati "dari keturunan yang sama dengan semua orang asli Afrika" dan mereka "setelah beberapa abad bercampur ..., pasti telah kehilangan warna aslinya yang sepenuhnya gelap."[10] Arkeolog Jacques Joseph Champollion-Figeac mengkritik Volney dan menyebut kesimpulannya "jelas terlalu dipaksakan dan tidak dapat diterima".[11]

Seorang ilmuwan Prancis terkemuka abad ke-18, Georges Cuvier, menganggap bahwa orang Mesir adalah orang Kaukasia dan Ia sependapat dengan Augustus Granville, yang berpihak pada pembedahan dan otopsi ilmiah mumi Mesir kuno pertama yang dilakukan pada 1825.[12] Contoh awal lain dari kontroversi tersebut adalah sebuah artikel yang diterbitkan oleh majalah The New-England Magazine pada Oktober 1833, ketika para penulisnya membantah klaim bahwa "Herodotus diberikan otoritas atas keberadaan mereka sebagai negro." Mereka menunjukkan dengan mengacu kepada lukisan-lukisan yang terdapat dalam makam: "Dapat diamati bahwa corak laki-laki selalu merah, perempuan kuning; tetapi tidak satu pun dari mereka dapat dikatakan memiliki sesuatu dalam fisiognomi mereka yang mirip dengan wajah Negro." [13]

Pada 1839, Jean-François Champollion mengemukakan pendapatnya bahwa, "di Koptik Mesir, kami tidak menemukan satu pun ciri khas populasi Mesir kuno. Bangsa Koptik adalah hasil dari persilangan dengan seluruh bangsa yang berhasil menguasai Mesir. Adalah sebuah kesalahan untuk mencari ciri-ciri utama ras lama."[14]

Memoar ini dibuat dalam konteks suku pertama yang akan mendiami Mesir, pendapatnya diperhatikan setelah ia kembali dari Nubia. Klaim Champollion dan Volney dibantah oleh Jacques Joseph Champollion-Figeac pada tahun 1839, yang menyalahkan adanya kesalahpahaman orang-orang zaman dahulu, karena menyebarkan kesan yang salah tentang "Negro" Mesir, yang menyatakan "dua ciri-ciri fisik kulit hitam dan rambut yang keriting tidaklah cukup untuk menandakan suatu golongan sebagai ras negro"[10] dan "pendapat bahwa penduduk Mesir kuno termasuk ke dalam ras Negro Afrika, adalah kesalahan yang telah lama diterima sebagai kebenaran,.... Kesimpulan Volney tentang asal usul ras Negro dari peradaban Mesir kuno, terbukti dipaksakan dan tidak dapat diterima."[11]

Seorang ahli Mesir kuno abad ke-19 asal Prancis, Gaston Maspero menyatakan "para sejarawan Yunani kuno, hampir sepakat bahwa orang-orang Mesir Kuno termasuk ke dalam ras Afrika, yang menetap di Ethiopia."[15] Sementara ahli Mesir kuno abad ke-19 lainnya yang berasal dari Jerman, Heinrich Karl Brugsch, menyatakan "menurut etnologi, orang-orang Mesir sepertinya merupakan cabang ketiga dari ras Kaukasia... dan ini dapat dianggap pasti".[16] Kemudian ahli Mesir kuno abad ke-19 asal Inggris, EA Wallis Budge, berpendapat bahwa dalam sejarah Mesir "terdapat banyak hal dalam tata krama, kebiasaan beragama dan kebudayaan orang-orang Mesir yang menunjukkan rumah asli nenek moyang mereka sebenarnya terdapat di sebuah negara di sekitar Uganda dan Negeri Punt".[15]

Perdebatan tentang ras orang-orang Mesir kuno semakin meningkat dalam gerakan untuk menghapus perbudakan di Amerika Serikat pada abad ke-19, karena argumentasi yang berkaitan dengan pembenaran perbudakan, semakin menegaskan inferioritas historis, mental dan fisik orang-orang kulit hitam.[17] Sebagai contoh pada tahun 1851, John Campbell secara langsung meragukan klaim Champollion dan yang lainnya tentang bukti-bukti orang Mesir berkulit hitam, dengan menyatakan "terdapat satu kesulitan besar dan menurut saya kesulitan yang tidak dapat diatasi, yakni para pendukung peradaban negro Mesir tidak berusaha menjelaskan, bagaimana peradaban ini hilang,,.... Mesir berkembang dan mengapa, karena itu [adalah] Kaukasia."[18] Perdapat mengenai ras orang-orang Mesir menjadi lebih eksplisit sehubungan dengan perdebatan tentang perbudakan di Amerika Serikat, karena ketegangan semakin meningkat yang mengarah kepada terjadinya peristiwa Perang Saudara Amerika.[19]

Pada 1854, Josiah C. Nott bersama George Gliddon mengemukakan pembuktian "ras Kaukasia atau kulit putih dan ras Negro, berbeda pada masa yang sangat jauh dan bahwa, bangsa Mesir adalah ras Kaukasia."[20] Seorang dokter dan profesor anatomi, Samuel George Morton menyimpulkan sesungguhnya "Terdapat banyak orang-orang Negro di Mesir, tetapi kedudukan sosial mereka di zaman kuno sama dengan sekarang [di Amerika Serikat], yakni sebagai budak dan pelayan."[21] Pada awal abad ke-20, Flinders Petrie, seorang profesor ahli Mesir kuno dari Universitas London, berbicara tentang "ratu hitam" Ahmose-Nefertari, yang merupakan "leluhur dewa dari dinasti XVIII". Ia menggambarkannya secara fisik: "Ratu Ahmose Nefertari [yang berkulit hitam] memiliki hidung bengkok, panjang dan kurus serta merupakan golongan yang tidak terlalu menonjol".[22] Petrie adalah pendukung teori ras dinasti Mesir kuno. Ia meyakini bahwa "ras induk" penjajah dari timur, (misalnya Mesopotamia) bertanggung jawab atas pemaksaan peradaban terhadap penduduk asli Mesir yang "primitif" dan "sederhana".[23]

Kedudukan cendekiawan modern

Cendekiawan modern yang telah mempelajari sejarah populasi dan kebudayaan Mesir kuno, telah menanggapi kontroversi terhadap ras bangsa Mesir kuno dengan berbagai cara.

Pada seminar yang diselenggarakan UNESCO di Kairo tahun 1974, dalam "Simposium tentang kedudukan populasi Mesir Kuno dan uraian Naskah Meroitik", seorang antropolog yang bernama Cheikh Anta Diop mengajukan gagasan dan "Hipotesis Hitam" tentang populasi homogen di Mesir, melalui tulisannya yang bertajuk Origins of the Ancient Egyptians. Namun, "Sejumlah keberatan diajukan atas gagasan yang dikemukakan oleh Diop. Keberatan ini mengungkap banyaknya pertentangan yang menonjol, meskipun hal tersebut tidak disuarakan secara eksplisit. Pertentangan tersebut sebagian besar disebabkan oleh masalah yang terkait metodologis,[24] misalnya data yang tidak cukup memadai "untuk memungkinkan penarikan kesimpulan sementara, sehubungan dengan kedudukan populasi Mesir kuno dan urutan fase-fase yang mungkin telah dilalui".[25]

Referensi

  1. ^ Sanders 1969, hlm. 521–532.
  2. ^ Lefkowitz, Mary R.; Rogers, Guy Maclean (1996). Black Athena Revisited. hlm. 162. ISBN 9780807845554. Diakses tanggal 2016-05-28 – via Google Books. 
  3. ^ Bard, Kathryn A.; Shubert, Steven Blake (1999). Encyclopedia of the Archaeology of Ancient Egypt. hlm. 329. ISBN 9780415185899. Diakses tanggal 28 Mei 2016 – via Google Books. 
  4. ^ Howe, Stephen (1999). Afrocentrism: Mythical Pasts and Imagined Homes. hlm. 19. ISBN 9781859842287. Diakses tanggal 28 Mei 2016 – via Google Books. 
  5. ^ Montellano, Bernard R. Ortiz De (1993). "Melanin, afrocentricity, and pseudoscience". American Journal of Physical Anthropology (dalam bahasa Inggris). 36 (S17): 33–58. doi:10.1002/ajpa.1330360604. ISSN 1096-8644. 
  6. ^ "Slavery, Genocide and the Politics of Outrage". MERIP (dalam bahasa Inggris). 6 Maret 2005. Diakses tanggal 8 Maret 2020. 
  7. ^ Brace, C. Loring; Tracer, David P.; Yaroch, Lucia Allen; Robb, John; Brandt, Kari; Nelson, A. Russell (1993). "Clines and clusters versus 'Race': a test in ancient Egypt and the case of a death on the Nile". American Journal of Physical Anthropology. 36 (S17): 1–31. doi:10.1002/ajpa.1330360603. 
  8. ^ Chasseboeuf 1826, hlm. 131.
  9. ^ Diop 1974, hlm. 27.
  10. ^ a b Mokhtar 1990, hlm. 26.
  11. ^ a b Milton & Bandia 2009, hlm. 215.
  12. ^ Riggs, Christina (2014-04-10). Unwrapping Ancient Egypt (dalam bahasa Inggris). A&C Black. hlm. 71. ISBN 978-0-85785-677-7. 
  13. ^ "Original Papers: Ancient Egyptians". The New-England Magazine (dalam bahasa Inggris). 5 (4): 273–280. October 1833. 
  14. ^ Jacques Joseph 1839, hlm. 27.
  15. ^ a b Diop, Cheikh Anta; Meema Ngemi, Yaa-Lengi (1991). Civilization or barbarism : an authentic anthropology (dalam bahasa Inggris) (edisi ke-1). Brooklyn, New York: Lawrence Hill Books. hlm. 1–10 (Prakata). ISBN 978-1-55652-048-8. LCCN 90004141. OL 1852515M. 
  16. ^ Morkot, Robert (2005). The Egyptians: An Introduction (dalam bahasa Inggris). Psychology Press. hlm. 8. ISBN 978-0-415-27103-5. LCCN 2004015344. OL 3294411M. 
  17. ^ Baum 2006, hlm. 106–108.
  18. ^ Campbell 1951, hlm. 10–12.
  19. ^ Baum 2006, hlm. 105–108.
  20. ^ Baum 2006, hlm. 108.
  21. ^ Baum 2006, hlm. 105.
  22. ^ Petrie 1939, hlm. 155.
  23. ^ Wilkinson, Toby (1999). Early dynastic Egypt (dalam bahasa Inggris). London: Routledge. hlm. 15. ISBN 0415186331. LCCN 98035836. OL 374067M. 
  24. ^ Symposium 1979, hlm. 81–82.
  25. ^ Symposium 1979, hlm. 73–88.

Pustaka

Pranala luar