Lompat ke isi

Kontroversi ras Mesir kuno

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Keraguan tentang ras bangsa Mesir kuno diangkat secara historis sebagai produk dari konsep awal tentang rasial pada abad 18 dan 19 serta dikaitkan dengan model hierarki rasial yang didasarkan utamanya pada kraniometri dan antropometri. Beredar berbagai pandangan tentang identitas ras bangsa Mesir dan sumber kebudayaan mereka.[1] Beberapa cendekiawan berpendapat bahwa kebudayaan Mesir kuno, dipengaruhi oleh populasi yang berbahasa Afroasiatik lainnya di Afrika Utara, Tanduk Afrika atau Timur Tengah, sementara yang lain menunjukkan pengaruh dari berbagai kelompok atau populasi Nubia di Eropa. Beberapa waktu belakangan ini, beberapa penulis meragukan pandangan umum, yang beberapa di antaranya berfokus pada keraguan ras individu tertentu yang terkenal seperti raja yang mewakili Sfinks Agung Giza, firaun asli Mesir Tutankhamun, Ratu Mesir Tiye dan ratu Ptolemaik Yunani, Kleopatra VII.

Para cendekiawan menolak anggapan bahwa Mesir adalah peradaban kulit putih atau hitam, mereka berpendapat bahwa menerapkan gagasan modern ras hitam atau putih terhadap bangsa Mesir kuno, adalah anakronistik.[2][3][4] Selain itu, para cendekiawan juga menolak gagasan yang secara implisit dalam pendapat hipotesis Mesir berkulit hitam atau putih, bahwa Mesir Kuno adalah homogen secara rasial, alih-alih variasi warna kulit di antara masyarakat Mesir Hilir, Mesir Hulu dan Nubia, yang memegang tampuk kekuasaan pada era Mesir Kuno di berbagai zaman. Meskipun banyak terdapat invasi-invasi asing dalam sejarah Mesir, demografi tidak berubah secara substansial oleh migrasi besar-besaran.[5][6][7]

Latar belakang

Dalam komentar-komentar tentang ras bangsa Mesir kuno, pada abad ke-18, seorang filsuf dan sejarawan Prancis Constantin-François Chassebœuf, comte de Volney menulis bahwa, "Warna kulit yang sesuai bagi bangsa Mesir kuno adalah ras yang berasal dari golongan Koptik, karena warna kulitnya yang kekuningan....., yang bukan bangsa Yunani, Negro atau Arab dengan wajah yang penuh, mata yang gembung, hidung yang bengkok dan bentuk bibir yang tebal..., bangsa Mesir kuno sebenarnya adalah orang Negro, yakni orang dengan golongan yang sama dengan semua orang asli Afrika".[8] Volney juga mengatakan bahwa Sphinx memberinya kunci teka-teki mengapa semua orang Mesir yang ia lihat di seluruh negeri "memiliki wajah dan mata yang bengkak, hidung pesek, bibir tebal, secara singkat diutarakan, wajah asli mulatto." Ia menulis bahwa ia mencoba untuk mengaitkannya dengan kondisi iklim, tetapi saat mengunjungi Sphinx, penampilannya memberinya jawaban "dengan melihat kepala tersebut, umumnya negro dalam semua tampilannya",[9] Volney melihatnya sebagai "solusi sejati untuk teka-teki (tentang bagaimana orang Mesir modern memiliki penampilan 'mulatto' mereka)". Ia melanjutkan dengan menyimpulkan, "orang Koptik adalah" negro sejati "dari keturunan yang sama dengan semua orang asli Afrika" dan mereka "setelah beberapa abad bercampur ..., pasti telah kehilangan warna aslinya yang sepenuhnya gelap."[10] Arkeolog Jacques Joseph Champollion-Figeac mengkritik Volney dan menyebut kesimpulannya "jelas terlalu dipaksakan dan tidak dapat diterima".[11]

Seorang ilmuwan Prancis terkemuka abad ke-18, Georges Cuvier, menganggap bahwa orang Mesir adalah orang Kaukasia dan Ia sependapat dengan Augustus Granville, yang berpihak pada pembedahan dan otopsi ilmiah mumi Mesir kuno pertama yang dilakukan pada 1825.[12] Contoh awal lain dari kontroversi tersebut adalah sebuah artikel yang diterbitkan oleh majalah The New-England Magazine pada Oktober 1833, ketika para penulisnya membantah klaim bahwa "Herodotus diberikan otoritas atas keberadaan mereka sebagai negro." Mereka menunjukkan dengan mengacu kepada lukisan-lukisan yang terdapat dalam makam: "Dapat diamati bahwa corak laki-laki selalu merah, perempuan kuning; tetapi tidak satu pun dari mereka dapat dikatakan memiliki sesuatu dalam fisiognomi mereka yang mirip dengan wajah Negro." [13]

Pada 1839, Jean-François Champollion mengemukakan pendapatnya bahwa, "di Koptik Mesir, kami tidak menemukan satu pun ciri khas populasi Mesir kuno. Bangsa Koptik adalah hasil dari persilangan dengan seluruh bangsa yang berhasil menguasai Mesir. Adalah sebuah kesalahan untuk mencari ciri-ciri utama ras lama."[14]

Memoar ini dibuat dalam konteks suku pertama yang akan mendiami Mesir, pendapatnya diperhatikan setelah ia kembali dari Nubia. Klaim Champollion dan Volney dibantah oleh Jacques Joseph Champollion-Figeac pada tahun 1839, yang menyalahkan adanya kesalahpahaman orang-orang zaman dahulu, karena menyebarkan kesan yang salah tentang "Negro" Mesir, yang menyatakan "dua ciri-ciri fisik kulit hitam dan rambut yang keriting tidaklah cukup untuk menandakan suatu golongan sebagai ras negro"[10] dan "pendapat bahwa penduduk Mesir kuno termasuk ke dalam ras Negro Afrika, adalah kesalahan yang telah lama diterima sebagai kebenaran,.... Kesimpulan Volney tentang asal usul ras Negro dari peradaban Mesir kuno, terbukti dipaksakan dan tidak dapat diterima."[11]

Seorang ahli Mesir kuno abad ke-19 asal Prancis, Gaston Maspero menyatakan "para sejarawan Yunani kuno, hampir sepakat bahwa orang-orang Mesir Kuno termasuk ke dalam ras Afrika, yang menetap di Ethiopia."[15] Sementara ahli Mesir kuno abad ke-19 lainnya yang berasal dari Jerman, Heinrich Karl Brugsch, menyatakan "menurut etnologi, orang-orang Mesir sepertinya merupakan cabang ketiga dari ras Kaukasia... dan ini dapat dianggap pasti".[16] Kemudian ahli Mesir kuno abad ke-19 asal Inggris, EA Wallis Budge, berpendapat bahwa dalam sejarah Mesir "terdapat banyak hal dalam tata krama, kebiasaan beragama dan kebudayaan orang-orang Mesir yang menunjukkan rumah asli nenek moyang mereka sebenarnya terdapat di sebuah negara di sekitar Uganda dan Negeri Punt".[15]

Perdebatan tentang ras orang-orang Mesir kuno semakin meningkat dalam gerakan untuk menghapus perbudakan di Amerika Serikat pada abad ke-19, karena argumentasi yang berkaitan dengan pembenaran perbudakan, semakin menegaskan inferioritas historis, mental dan fisik orang-orang kulit hitam.[17] Sebagai contoh pada tahun 1851, John Campbell secara langsung meragukan klaim Champollion dan yang lainnya tentang bukti-bukti orang Mesir berkulit hitam, dengan menyatakan "terdapat satu kesulitan besar dan menurut saya kesulitan yang tidak dapat diatasi, yakni para pendukung peradaban negro Mesir tidak berusaha menjelaskan, bagaimana peradaban ini hilang,,.... Mesir berkembang dan mengapa, karena itu [adalah] Kaukasia."[18] Perdapat mengenai ras orang-orang Mesir menjadi lebih eksplisit sehubungan dengan perdebatan tentang perbudakan di Amerika Serikat, karena ketegangan semakin meningkat yang mengarah kepada terjadinya peristiwa Perang Saudara Amerika.[19]

Pada 1854, Josiah C. Nott bersama George Gliddon mengemukakan pembuktian "ras Kaukasia atau kulit putih dan ras Negro, berbeda pada masa yang sangat jauh dan bahwa, bangsa Mesir adalah ras Kaukasia."[20] Seorang dokter dan profesor anatomi, Samuel George Morton menyimpulkan sesungguhnya "Terdapat banyak orang-orang Negro di Mesir, tetapi kedudukan sosial mereka di zaman kuno sama dengan sekarang [di Amerika Serikat], yakni sebagai budak dan pelayan."[21] Pada awal abad ke-20, Flinders Petrie, seorang profesor ahli Mesir kuno dari Universitas London, berbicara tentang "ratu hitam" Ahmose-Nefertari, yang merupakan "leluhur dewa dari dinasti XVIII". Ia menggambarkannya secara fisik: "Ratu Ahmose Nefertari [yang berkulit hitam] memiliki hidung bengkok, panjang dan kurus serta merupakan golongan yang tidak terlalu menonjol".[22] Petrie adalah pendukung teori ras dinasti Mesir kuno. Ia meyakini bahwa "ras induk" penjajah dari timur, (misalnya Mesopotamia) bertanggung jawab atas pemaksaan peradaban terhadap penduduk asli Mesir yang "primitif" dan "sederhana".[23]

Kedudukan cendekiawan modern

Cendekiawan modern yang telah mempelajari sejarah populasi dan kebudayaan Mesir kuno, telah menanggapi kontroversi terhadap ras bangsa Mesir kuno dengan berbagai cara.

Pada seminar yang diselenggarakan UNESCO di Kairo tahun 1974, dalam "Simposium tentang kedudukan populasi Mesir Kuno dan uraian Naskah Meroitik", seorang antropolog yang bernama Cheikh Anta Diop mengajukan gagasan dan "Hipotesis Hitam" tentang populasi homogen di Mesir, melalui tulisannya yang bertajuk Origins of the Ancient Egyptians. Namun, "Sejumlah keberatan diajukan atas gagasan yang dikemukakan oleh Diop. Keberatan ini mengungkap banyaknya pertentangan yang menonjol, meskipun hal tersebut tidak disuarakan secara eksplisit. Pertentangan tersebut sebagian besar disebabkan oleh masalah yang terkait metodologis,[24] misalnya data yang tidak cukup memadai "untuk memungkinkan penarikan kesimpulan sementara, sehubungan dengan kedudukan populasi Mesir kuno dan urutan fase-fase yang mungkin telah dilalui".[25]

Seluruh argumentasi dari semua pihak, dicatat dalam sebuah publikasi UNESCO berjudul Sejarah Umum Afrika,[26] dengan bagian bab yang ditulis oleh Cheikh Anta Diop bertajuk Origin of the Egyptians, sebagai pendukung "Hipotesis Hitam".[27] Bagian bab yang ditulis oleh Diop kemudian dicantumkan dalam kesimpulan umum laporan simposium yang dibuat oleh reporter Komite Ilmiah Internasional, Jean Devisse,[28] sebagai "kontribusi yang diteliti dengan susah payah", yang berakibat "kurangnya keseimbangan" dalam diskusi di antara para peserta.[29][30] Dalam konferensi UNESCO tahun 1974, selain Diop dan Obenga, beberapa peserta menyimpulkan bahwa penduduk Mesir Neolitik adalah penduduk asli Sahara yang terdiri dari orang-orang dari wilayah utara dan selatan Sahara yang memiliki warna kulit beragam.[31][32] Mayoritas peserta konferensi tidak sependapat dengan pandangan Diop dan Obenga.[33] Demikian pula, tidak ada peserta yang menyuarakan dukungan untuk postulat sebelumnya bahwa orang Mesir berkulit "putih dengan pigmentasi gelap, bahkan hitam",[34] meskipun Profesor Ghallab menyatakan bahwa "penduduk Mesir pada zaman Paleolitik adalah Kaukasoid".[35]

Selanjutnya, para peninjau dalam debat simposium dan publikasi UNESCO tahun 1974 tersebut, telah menampilkan berbagai pandangan tentang hasil perbincangannya.[36][37][38][39] Menurut Larissa Nordholt, mayoritas peninjau pada saat itu melihat bagian yang ditulis oleh Diop sebagai suatu hal yang mendiskreditkan reputasi publikasi ilmiah, karena adanya "beban pada politik".[40] Larissa Nordholt juga berpendapat bahwa tulisan Diop memiliki motivasi politik, diterbitkan hanya karena sejalan dengan keharusan politik UNESCO, walaupun bertentangan dengan metode sejarah yang dapat diterima dan standar baku akademis.[41] Peter Shinnie yang meninjau Sejarah Umum Afrika, menulis bahwa "tampaknya UNESCO dan Mokhtar (editor) merasa malu dengan pandangan Diop yang tidak masuk akal dan tidak ilmiah, tetapi tidak mampu menolak kontribusinya".[42] Namun, seorang sejarawan asal Kenya dan editor Sejarah Umum Afrika (volume 5) yang diterbitkan UNESCO, Bethwell Allan Ogot menyatakan bahwa "Cheikh Anta Diop merebut peradaban Mesir dari ahli Mesir Kuno dan mengembalikannya ke arus utama sejarah Afrika".[43] Stephen Quirke mengutarakan pendapatnya bahwa konferensi tentang Sejarah Umum Afrika yang disponsori UNESCO pada tahun 1974, "tidak mengubah iklim penelitian Erosentris" dan kebutuhan untuk menggabungkan perpektif akademik pusat studi Afrika dan Eropa. Ia lalu menjelaskan bahwa "konferensi penelitian dan publikasi tentang sejarah dan bahasa Kemet [Mesir] tetap mendominasi, lebih dari 90%, oleh mereka yang dibesarkan dan dilatih dalam masyarakat dan bahasa Eropa, bukan Afrika (termasuk bahasa Arab)".[44]

Seiring dengan kemajuan ilmu genetika populasi manusia, sejak akhir abad ke-20, para antropolog biologi sebagian besar telah menolak gagasan ras sebagai validitas dalam studi biologi manusia.[45][46]

Dalam sebuah tulisan tahun 1989, Frank J. Yurco menguraikan bahwa "Singkatnya, Mesir kuno, seperti Mesir modern, terdiri dari populasi yang sangat heterogen".[47] Kemudian pada 1990, ia juga menulis "Ketika Anda berbicara tentang Mesir, tidak benar untuk berbicara tentang hitam atau putih... Untuk menggunakan terminologi di sini, di Amerika Serikat dan mengaitkannya ke Afrika, secara antropologis tidaklah akurat". Yurco menambahkan bahwa "Kita menerapkan perpecahan rasial ke Mesir yang tidak akan pernah dapat mereka terima, Mereka akan menganggap alasan ini tidak masuk akal dan hal tersebut adalah sesuatu yang benar-benar dapat kita pelajari."[48] Yurco menulis pada tahun 1996 bahwa "orang-orang Mesir, Sudan dan sebagian besar Afrika Timur Laut umumnya dianggap sebagai kontinuitas Nilotik, dengan ciri fisik yang beragam (kulit terang hingga gelap, berbagai jenis rambut dan kraniofasial)".[49]

Pada 1990, Gamal Mokhtar, editor Sejarah Umum Afrika yang diterbitkan UNESCO, menulis bahwa "Kemungkinan besar bahwa strain Afrika hitam atau terang, dominan di Mesir Kuno, tetapi dalam pengetahuan kita saat ini, tidak mungkin kita untuk mengatakan lebih".[50]

Pada 1990, seorang ahli Mesir, Miriam Lichtheim menulis bahwa "Orang Mesir bukanlah orang Nubia dan orang asli Nubia, bukanlah orang yang berkulit hitam. Nubia berangsur-angsur menjadi orang yang berkulit hitam karena orang kulit hitam bermigrasi dari Afrika Tengah menuju utara".[51]

Kemudian pada 1993, Bernard R. Ortiz De Montellano menulis "Klaim atas semua orang Mesir atau bahkan seluruh firaun berkulit hitam, adalah tidak valid. Sebagian besar cendekiawan percaya, bahwa orang Mesir pada zaman dahulu adalah sama, sebagaimana yang terlihat pada saat ini, dengan gradasi warna kulit yang lebih gelap ke arah [warna kulit] orang Sudan".[5]

Tahun 1999, Nancy Lovell menulis bahwa studi tentang sisa-sisa kerangka menunjukkan, karakteristik fisik orang Mesir kuno bagian selatan dan Nubia, "dalam rentang variasi" orang-orang Sahara dan Afrika tropis, baik adat kuno maupun modern, serta distribusi karakteristik populasi "tampaknya mengikuti pola klinis dari selatan ke utara" yang dapat dijelaskan melalui seleksi alam serta aliran gen antara populasi yang berdekatan. Lovell menjelaskan "Secara umum, penduduk Mesir Hulu dan Nubia memiliki kedekatan biologis terbesar dengan orang-orang di Sahara dan wilayah yang lebih ke selatan". Ia juga menulis bahwa bukti arkeologis dan prasasti untuk kontak antara Mesir dan Siro-Palestina "menunjukkan bahwa aliran gen antara daerah ini sangat dimungkinkan" dan populasi awal Lembah Nil adalah "bagian dari garis keturunan Afrika, tetapi menunjukkan variasi lokal".[52]

Kemudian pada 2001 Stuart Tyson Smith menulis, "Setiap karakterisasi ras orang Mesir kuno bergantung pada definisi-definisi budaya modern, bukan berdasarkan studi ilmiah. Sehingga menurut standar Amerika modern, layak untuk menggolongkan orang-orang Mesir sebagai [berkulit] 'hitam', sambil mengakui bukti ilmiah untuk keberagaman fisik orang-orang Afrika." Ia melanjutkan: "Praktik Mesir kuno menunjukkan kesamaan yang kuat dengan kebudayaan Afrika modern termasuk menuhankan kerajaan, penggunaan sandaran kepala, seni tubuh, sunat dan ritual laki-laki dewasa, semuanya menunjukkan landasan dasar Afrika atau fondasi peradaban Mesir".[53] Pada 2004, Smith juga menulis "Seni Mesir menggambarkan orang Nubia dengan stereotipe kulit gelap, fitur wajah, gaya rambut dan pakaian, semuanya sangat berbeda dari orang Mesir dan dua kelompok etnis lainnya, [yakni] orang Asiatik dan Libya".[54] Ia juga menambahkan bahwa "tidak ada satu materi pun yang berkorelasi, tidak peduli seberapa banyak yang terwakili, secara jelas mencerminkan afiliasi kelompok etnis".[55]

Sonia Zakrzewski yang mempelajari tentang sampel-sampel kerangka sejak periode Badari hingga periode Kerajaan Pertengahan di Mesir Hulu, menulis pada tahun 2003, bahwa data mentah menunjukkan orang-orang Mesir Kuno pada umumnya memiliki "bentuk tubuh tropis" tetapi proporsi mereka sebenarnya adalah "super-negroid", yakni indeks tungkai yang relatif lebih panjang daripada banyak populasi "Afrika". Ia mengusulkan bahwa perkembangan nyata dari kerangka tubuh Afrika yang semakin meningkat dari waktu ke waktu, dimungkinkan juga karena dalam sampel Kerajaan Pertengahan, terdapat pula sampel para tentara bayaran Nubia. Meskipun, ia mencatat bahwa terlepas dari perbedaan panjang tibia di antara sampel-sampel Badari dan Dinasti Awal, bahwa "seluruh sampel relatif terkelompok dibandingkan dengan populasi lainnya". Zakrzewski menyimpulkan: "hasil harus tetap bersifat sementara, karena sampel yang berukuran relatif kecil dan kurangnya materi kerangka yang melintasi seluruh kelompok sosial dan ekonomi, dalam setiap periode waktu."[56]

Tahun 2004, Donald B. Redford mencatat, "Gagasan lama tentang gelombang "ras" yang mengalir di Lembah Nil, memengaruhi kemajuan dan perubahan kebudayaan, yang saat ini diketahui sebagai kekeliruan yang sederhana. Ide-ide baru tidak mesti datang melalui invasi: terkadang ide-ide tersebut asli dan mungkin bersamaan dengan penemuan-penemuan serupa di tempat lain yang sama sekali tidak berhubungan."[57]

Catatan Robert Morkot pada 2005 menyatakan, "Orang Mesir kuno bukanlah 'kulit putih' dalam pengertian Eropa, juga bukan 'Kaukasia'... kita dapat mengatakan bahwa populasi awal orang Mesir kuno termasuk orang Afrika dari hulu sungai Nil, orang Afrika dari wilayah Sahara dan Libya modern dan sejumlah kecil orang yang datang dari Asia barat daya dan kemungkinan dari semenanjung Arab."[58]

Referensi

  1. ^ Sanders 1969, hlm. 521–532.
  2. ^ Lefkowitz, Mary R.; Rogers, Guy Maclean (1996). Black Athena Revisited. hlm. 162. ISBN 9780807845554. Diakses tanggal 2016-05-28 – via Google Books. 
  3. ^ Bard, Kathryn A.; Shubert, Steven Blake (1999). Encyclopedia of the Archaeology of Ancient Egypt. hlm. 329. ISBN 9780415185899. Diakses tanggal 28 Mei 2016 – via Google Books. 
  4. ^ Howe, Stephen (1999). Afrocentrism: Mythical Pasts and Imagined Homes. hlm. 19. ISBN 9781859842287. Diakses tanggal 28 Mei 2016 – via Google Books. 
  5. ^ a b Montellano, Bernard R. Ortiz De (1993). "Melanin, afrocentricity, and pseudoscience". American Journal of Physical Anthropology (dalam bahasa Inggris). 36 (S17): 33–58. doi:10.1002/ajpa.1330360604. ISSN 1096-8644. 
  6. ^ "Slavery, Genocide and the Politics of Outrage". MERIP (dalam bahasa Inggris). 6 Maret 2005. Diakses tanggal 8 Maret 2020. 
  7. ^ Brace, C. Loring; Tracer, David P.; Yaroch, Lucia Allen; Robb, John; Brandt, Kari; Nelson, A. Russell (1993). "Clines and clusters versus 'Race': a test in ancient Egypt and the case of a death on the Nile". American Journal of Physical Anthropology. 36 (S17): 1–31. doi:10.1002/ajpa.1330360603. 
  8. ^ Chasseboeuf 1826, hlm. 131.
  9. ^ Diop 1974, hlm. 27.
  10. ^ a b Mokhtar 1990, hlm. 26.
  11. ^ a b Milton & Bandia 2009, hlm. 215.
  12. ^ Riggs, Christina (2014-04-10). Unwrapping Ancient Egypt (dalam bahasa Inggris). A&C Black. hlm. 71. ISBN 978-0-85785-677-7. 
  13. ^ "Original Papers: Ancient Egyptians". The New-England Magazine (dalam bahasa Inggris). 5 (4): 273–280. October 1833. 
  14. ^ Jacques Joseph 1839, hlm. 27.
  15. ^ a b Diop, Cheikh Anta; Meema Ngemi, Yaa-Lengi (1991). Civilization or barbarism : an authentic anthropology (dalam bahasa Inggris) (edisi ke-1). Brooklyn, New York: Lawrence Hill Books. hlm. 1–10 (Prakata). ISBN 978-1-55652-048-8. LCCN 90004141. OL 1852515M. 
  16. ^ Morkot, Robert (2005). The Egyptians: An Introduction (dalam bahasa Inggris). Psychology Press. hlm. 8. ISBN 978-0-415-27103-5. LCCN 2004015344. OL 3294411M. 
  17. ^ Baum 2006, hlm. 106–108.
  18. ^ Campbell 1951, hlm. 10–12.
  19. ^ Baum 2006, hlm. 105–108.
  20. ^ Baum 2006, hlm. 108.
  21. ^ Baum 2006, hlm. 105.
  22. ^ Petrie 1939, hlm. 155.
  23. ^ Wilkinson, Toby (1999). Early dynastic Egypt (dalam bahasa Inggris). London: Routledge. hlm. 15. ISBN 0415186331. LCCN 98035836. OL 374067M. 
  24. ^ Symposium 1979, hlm. 81–82.
  25. ^ Symposium 1979, hlm. 73–88.
  26. ^ Symposium on the Peopling of Ancient Egypt and the Deciphering of Meroitic Script (1974 Cairo, Egypt) (1978). The Peopling of ancient Egypt and the deciphering of Meroitic script; proceedings (dalam bahasa Inggris). Kairo. hlm. 3–134. ISBN 92-3-101605-9. LCCN 79310619. OL 4482132M. 
  27. ^ UNESCO Staff (1990). Ancient civilizations of Africa (dalam bahasa Inggris) (edisi ke-Abridged). London: James Currey Publisher. hlm. 43. ISBN 0-8525-5092-8. LCCN 89020358. OL 2199547M. 
  28. ^ Muḥammad Jamāl al-Dīn Mukhtār, ed. (1990). Ancient Civilizations of Africa (Unesco International Scientific Committee for the Drafting of a General History of Africa) (dalam bahasa Inggris). James Currey Publishing. hlm. 33–34. ISBN 978-0-85255-092-2. 
  29. ^ Abridged 1990, hlm. 43-46.
  30. ^ Symposium 1979, hlm. 86, 93–94, 99.
  31. ^ Mukhtār 1990, hlm. 46.
  32. ^ UNESCO 1978, hlm. 94–95.
  33. ^ Macgaffey, Wyatt (1991). "Who Owns Ancient Egypt?". The Journal of African History (dalam bahasa Inggris). 32 (3): 515–519. doi:10.1017/S0021853700031595. ISSN 1469-5138. The majority, especially the Egyptians, disagreed with the views of Diop and Obenga. 
  34. ^ Mokhtar 1990, hlm. 43.
  35. ^ Mokhtar 1990, hlm. 44.
  36. ^ Apena, Adeline (1 Oktober 1994). "G. Mokhtar, ed. UNESCO General History of Africa". Comparative Civilizations Review (dalam bahasa Inggris). 31 (31). ISSN 0733-4540. 
  37. ^ Brett, Michael (1982). "The UNESCO History: Volume Two". The Journal of African History (dalam bahasa Inggris). 23 (1): 117–120. doi:10.1017/S0021853700020284. 
  38. ^ Wilks, Ivor (1982). "Book Reviews: UNESCO General History of Africa". The International Journal of African Historical Studies (dalam bahasa Inggris). 15 (2): 283–285. doi:10.2307/218551. JSTOR 218551. 
  39. ^ Kamugisha, Aaron (Juli 2003). "Finally in Africa? Egypt, from Diop to Celenko". Race & Class (dalam bahasa Inggris). 45 (1): 31–60. doi:10.1177/0306396803045001002. ISSN 0306-3968. 
  40. ^ Nordholt, Larissa Schulte (2021) (dalam bahasa Inggris). Africanising African history: decolonisation of knowledge in UNESCO's general history of Africa (1964-1998) (Tesis PhD). Leiden University. p. 279. 
  41. ^ Schulte Nordholt, Larissa (2021). "Multiple Hamitic Theories and Black Egyptians: Negotiating Tensions between Standards of Scholarship and Political Imperatives in UNESCO's General History of Africa (1964–1998)". History of Humanities (dalam bahasa Inggris). 6 (2): 449–469. doi:10.1086/715866. ISSN 2379-3163. 
  42. ^ Shinnie, Peter L.; Jewsiewicki, B. (1981). Ki-Zerbo, J.; UNESCO; Mokhtar, G., ed. "The UNESCO History Project / L'Histoire-monument ou l'histoire conscience". Canadian Journal of African Studies (dalam bahasa Inggris). 15 (3): 539–551. doi:10.2307/484734. ISSN 0008-3968. JSTOR 484734. 
  43. ^ Ogot, Bethwell (2011). AFRICAN Historiography: From colonial historiography to UNESCO's general history of Africa (dalam bahasa Inggris). hlm. 72. 
  44. ^ Egypt in its African context : proceedings of the conference held at the Manchester Museum, University of Manchester, 2–4 October 2009 (dalam bahasa Inggris). Oxford: Archaeopress. 2011. hlm. 7–9. ISBN 978-1407307602. 
  45. ^ "American Anthropological Association Statement on Race". American Anthropologist (dalam bahasa Inggris). Arlington County: American Anthropological Association. 100. 1998.  (Occasionally re-included in other volumes afterwards.)
  46. ^ "Biological Aspects of Race". American Journal of Physical Anthropology (dalam bahasa Inggris). New York: John Wiley & Sons. 101. 1996. Diarsipkan dari versi asli tanggal 12 Maret 2017. 
  47. ^ "Were the Ancient Egyptians Black or White?". The BAS Library (dalam bahasa Inggris). September 1989. Diakses tanggal 2 Februari 2022. 
  48. ^ Specter, Michael (26 Februari 1990). "WAS NEFERTITI BLACK? BITTER DEBATE ERUPTS". Washington Post (dalam bahasa Inggris). ISSN 0190-8286. Diakses tanggal 22 Februari 2022. 
  49. ^ Yurco, Frank (1996). "An Egyptological Review". Dalam Lefkowitz, Mary R.; Rogers, Guy MacLean. Black Athena Revisited (dalam bahasa Inggris). The University of North Carolina Press. hlm. 62–100. 
  50. ^ Mokthar, Gamar (1990). Ancient Civilizations of Africa Vol 2 (Unesco General History of Africa (Abridged Edition)) (dalam bahasa Inggris). London: J. Currey. hlm. 1–30. ISBN 978-0852550922. 
  51. ^ Duhon-Sells, Rose M.; Pitts, Emma Thomas (1994). A Vision of Multicultural Education for the Year 2000 (dalam bahasa Inggris). E. Mellen Press. hlm. 30. ISBN 978-0-7734-9427-5. LCCN 93044824. OL 1433243M. 
  52. ^ Bard, Kathryn A.; Shubert, Steven Blake, ed. (1999). Encyclopedia of the archaeology of ancient Egypt (dalam bahasa Inggris). Routledge. hlm. 328–331. ISBN 0415185890. LCCN 98016350. OL 356505M. 
  53. ^ Smith, Stuart Tyson (2000). Redford, Donald, ed. The Oxford encyclopedia of ancient Egypt (dalam bahasa Inggris). 3. Oxford University Press. hlm. 27–28. ISBN 9780195102345. LCCN 99054801. OL 10133079M. 
  54. ^ Smith, Stuart Tyson (2004). Wretched Kush: Ethnic Identities and Boundries in Egypt's Nubian Empire (dalam bahasa Inggris). Routledge: Taylor & Francis Group. hlm. 5–8. ISBN 9-78113-420093-1. OL 38306590M. 
  55. ^ Tyson Smith 2004, hlm. 36.
  56. ^ Zakrzewski, Sonia R. (2003). "Variation in Ancient Egyptian Stature and Body Proportions" (PDF). American Journal of Physical Anthropology (dalam bahasa Inggris). 121 (3): 219–29. doi:10.1002/ajpa.10223. PMID 12772210. 
  57. ^ Redford 2004, hlm. 1.
  58. ^ Morkot 2005, hlm. 10-13.

Pustaka

Pranala luar