Lompat ke isi

Dataran tinggi Seko

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Hamparan sawah padi di dataran tinggi Seko.

Seko atau Wono adalah dataran tinggi yang terletak pada ketinggian ±1200–1800 mdpl, tepatnya di segitiga perbatasan antara provinsi Sulawesi Barat, Sulawesi Selatan, dan Sulawesi Tengah, Indonesia.[1]

Secara geografis, dataran tinggi Seko terbagi menjadi 3 bagian, yaitu Seko Padang di bagian paling timur, Seko Tengah, dan Seko Lemo. Dataran tinggi Seko berada di sekitar Pegunungan Tokalekaju yang diapit oleh Pegunungan Quarles dan Verbeek. Letaknya berada tepat di bagian tengah Pulau Sulawesi, sehingga daerah ini sering disebut sebagai "Jantung Sulawesi" (Hart van Celebes). Secara keseluruhan, dataran tinggi Seko memiliki luas sekitar 2.109,19 km². Dataran tinggi Seko termasuk kedalam wilayah administratif kecamatan Seko yang merupakan kecamatan terluas dan terjauh dengan jarak sekitar 120 km dari ibu kota Kabupaten Luwu Utara. Kecamatan ini berpenduduk sekitar 14.000 jiwa yang terdiri dari 12 desa yang semuanya sudah berstatus definitif. Kecamatan Seko berada pada ketinggian antara 1.113–1.485 mdpl, dengan topografi sebagian besar wilayahnya berbukit-bukit.

Sarana transportasi untuk mencapai Seko dari kecamatan terdekat, Masamba, dapat dilakukan melalui jalur udara dengan pesawat perintis, atau jalur darat menggunakan ojek.[1] Jalur darat yang dilalui ojek masih berupa jalan tanah yang memiliki banyak rintangan seperti lebar jalan yang sempit dan kondisi tanah basah sehingga cenderung sulit dilalui kendaraan biasa. Perjalanan menggunakan ojek dapat menghabiskan waktu 2-3 hari. Kesulitan untuk menuju Seko menyebabkan ongkos transportasi menggunakan ojek mencapai Rp 1 juta per-orang.[1]

Di dataran tinggi Seko terdapat 9 wilayah adat yang dihuni oleh suku Seko, yakni Hono', Lodang, Turong, Singkalong, Ambalong, Hoyane, Pohoneang, Kariango, dan Beroppa'. Wilayah-wilayah adat ini dikenal sebagai wilayah yang memiliki sumber daya alam melimpah, mulai dari hasil hutan, mineral, ternak, pertanian, dan perkebunan.

Setidaknya terdapat empat bahasa yang termasuk rumpun bahasa Seko, yaitu Seko Padang, Seko Tengah, Panasuan, dan Budong-Budong.[2] Penutur bahasa-bahasa tersebut berada di sepanjang aliran Sungai Karama.[2]

Kekayaan daerah dan potensi wisata

Seko terbagi dalam tiga budaya dan adat istiadat, yaitu:

Seko Lemo

Disebut Seko Lemo karena masyarakatnya adalah keturunan anak suku sub suku To Rongkong yang bermigrasi ke daerah ini sekitar tahun 1700-an. Asal para migran ini dari Kampung Kanandede, sebuah daerah di Kecamatan Rongkong, Kabupaten Luwu Utara.

Tipologi Seko Lemo adalah perbukitan dengan hasil utama kopi arabika dan robusta, cokelat, padi, dan jagung. Suhu rata-rata per tahun 18°–22 °C. Budaya dan adat istiadat merupakan akulturisasi adat istiadat Toraja dan masyarakat asli Seko. Tidak ada transportasi khusus selain berjalan kaki menelusuri jalan setapak dari kampung ke kampung. Untuk membawa barang biasanya dipakai kuda. Dialek dan idialek bahasa sehari-hari Seko Lemo mirip Toraja tapi halus seperti gaya orang Jawa berbicara. Masyarakat membangun rumah di tebing-tebing atau di kaki-kaki bukit. Objek wisata yang bisa dinikmati di sini antara lain adalah wisata alam dan cross-country.

Seko Tengah

Disebut seko tengah karna berada ditengah yang diapit oleh seko padang dan seko lemo. nama ini menindikasikan bahwa seko tengah adalah gabungan dari dua etnis suku yang ada di seko, secara turun temurun seko tengah terbagi menjadi beberapa desa, Yaitu: Amballong, Lambiri, Longga, Pohoneang, Hoyane.

Rujukan

  1. ^ a b c "Naik Ojek Termahal di Indonesia Menuju Seko". Kompas.com. Diakses tanggal 28 Juni 2014. 
  2. ^ a b (Inggris) Laskowske, Tom. "The Seko Languages of South Sulawesi: a Reconstruction*" (PDF). SIL International.