Lompat ke isi

Kesultanan Jambi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Revisi sejak 30 November 2024 22.34 oleh EJHalfz (bicara | kontrib) (Peperangan)
(beda) ← Revisi sebelumnya | Revisi terkini (beda) | Revisi selanjutnya → (beda)
Kesultanan Jambi

كسلطانن جمبي
Kesultanan Jambi
1615–1904
Bendera Kesultanan Jambi
Kiri: Bendera Sultan dan bendera perang Jambi[1][2]
Kanan: Bendera Bangsawan Komersial Jambi (Bendera Raja Sehari)[1][3]
Peta Kerajaan Melayu Jambi, meliputi kawasan sebagian wilayah Riau dan semenanjung Palembang utara.
Peta Kerajaan Melayu Jambi, meliputi kawasan sebagian wilayah Riau dan semenanjung Palembang utara.
Ibu kotaTanah Pilih (sekarang Kota Jambi)
Bahasa yang umum digunakanMelayu Jambi
Agama
Islam
PemerintahanMonarki Kesultanan
Sultan 
• 1615–1643
Sultan Abdul Kahar
• 1900–1904
Sultan Thaha Saifuddin
Sejarah 
• Didirikan
1615
• dibubarkan Belanda
1904
Didahului oleh
Digantikan oleh
kslKesultanan
Melaka
kslKesultanan
Demak
Hindia Belanda
Indonesia
Sunting kotak info
Sunting kotak info • Lihat • Bicara
Info templat
Bantuan penggunaan templat ini

Kesultanan Jambi (Arab Melayu : كسلطانن جمبي) adalah sebuah kerajaan Melayu Islam yang pernah berdiri di provinsi Jambi, Indonesia.[4][5][6] Kesultanan ini sebelumnya bernama kerajaan Melayu Jambi yang didirikan oleh Datuk Paduko Berhalo bersama istrinya, Putri Selaras Pinang Masak,[7] di Jambi pada tahun 1460.[8][9] Dalam perkembangannya, pada tahun 1615 kerajaan ini resmi menjadi kesultanan setelah Pangeran Kedah naik takhta dan menggunakan gelar Sultan Abdul Kahar.[10][11] Kesultanan Jambi resmi dibubarkan oleh pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1906 dengan sultan terakhirnya, Sultan Thaha Saifuddin.[12][13]

Pendirian

[sunting | sunting sumber]

Wilayah Jambi dulunya merupakan wilayah Kerajaan Melayu. Berdirinya kesultanan Jambi bersamaan dengan bangkitnya Islam di wilayah Jambi. Pada 1616 Jambi merupakan pelabuhan terkaya kedua di Sumatra setelah Aceh. Pada 1670 kerajaan ini sebanding dengan tetangga-tetangganya seperti Johor dan Palembang.[14]

Masa kejayaan

[sunting | sunting sumber]
Koin timah yang pernah digunakan di wilayah Jambi dan Palembang, sekitar tahun 1804-1820

Sejak pertengahan abad ke-16, para penguasa Jambi mengadakan perdagangan lada yang menguntungkan dengan bangsa Portugis, Inggris, dan Belanda. Kegiatan perdagangan itu juga melibatkan bangsa China, Melayu, Makassar, dan Jawa. Kehidupan ekonomi Kesultanan Jambi yang makmur akibat kegiatan perdagangan inilah yang mampu membawa kerajaan menuju masa kejayaan di bawah Sultan Abdul Kahar.[butuh rujukan]

Sultan Jambi yang pertama ini berhasil membawa kerajaannya menjadi makmur berkat monopoli perdagangan lada dan pengenaan bea ekspor. Bahkan, pada 1616, ibu kota Jambi sudah dipandang sebagai pelabuhan terkaya kedua di Sumatera, setelah Aceh. Berdasarkan data VOC, Sultan Jambi meraup keuntungan 30-35 persen dari lada yang terjual. Sultan Abdul Kahar juga dikatakan sebagai penguasa yang kuat, bahkan tidak takut dengan tuntutan Raja Johor dan tidak pernah mau bekerja sama dengan VOC.[butuh rujukan]

Peperangan

[sunting | sunting sumber]

Selama abad ke-16, Jambi menjadi terkenal berkat lada yang ditanam di dataran tinggi. Pada tahun 1615 Kompeni Belanda dan Kompeni Inggris mendirikan pangkalan-pangkalan mereka masing-masing di kawasan tersebut. Pada masa itu, Jambi bersekutu dengan Johor, akan tetapi kemudian timbul sejumlah perselisihan ketika mereka menyatakan berhak mengendalikan Kuala Tungkal, yaitu sebuah kawasan di perbatasan Jambi dengan Indragiri yang merupakan jalan masuk ke kawasan pedalaman tempat lada ditanam.[butuh rujukan]

Sekitar tahun 1671 dan 1674, perselisihan yang berkepanjangan itu memuncak menjadi sebuah konflik terbuka, orang laut yang tunduk pada penguasa Jambi merompak kapal-kapal di perairan Johor, sementara orang laut dari Johor melancarkan aksi serupa di Jambi. Armada Johor bahkan berlayar masuk ke Sungai Batanghari dan mengancam ibukota Jambi. Namun, hubungan mereka kemudian membaik dan di tahun 1681 para penguasa Jambi dan Johor masih bersedia untuk membina suatu persekutuan guna menghadapi saingan bersama mereka yaitu Palembang. Orang Laut dari kedua kerajaan menyerang kapal-kapal dagang di perairan Palembang dan juga menjarah kawasan pesisir.[butuh rujukan]

Kemunduran

[sunting | sunting sumber]

Setelah VOC menyodorkan perjanjian dagang kepada Kesultanan Jambi, dengan tujuan melakukan monopoli. Sultan Abdul Kahar menolak perjanjian tersebut, memilih mengundurkan diri dari takhta dan kedudukannya digantikan oleh Pangeran Depati Anom atau Sultan Agung. Perjanjian pertama Kesultanan Jambi dengan VOC pun dilakukan, yang perlahan membawa kemunduran bagi kerajaan.[butuh rujukan]

Kejayaan Jambi tidak berumur panjang, pada tahun 1680-an, Jambi mulai kehilangan kedudukannya sebagai pelabuhan lada utama setelah pertempuran dengan pihak Johor. Selain itu, adanya penyelundupan dan utang, juga menjadi penyebab runtuhnya Kesultanan Jambi, yang diperparah dengan campur tangan Belanda dalam politik kerajaan.[butuh rujukan]

Keruntuhan

[sunting | sunting sumber]
Lukisan, penyerangan kapal Belanda di keraton Sultan Jambi, 8 september 1858

Berbeda dari penguasa sebelumnya, Sultan Thaha Saifuddin menolak keras perjanjian dengan Belanda. Bahkan utusan Belanda yang beberapa kali datang untuk menyodorkan perjanjian kepadanya selalu dihindari. Akibatnya Belanda marah dan melayangkan serangan pada 1858, hingga berhasil menguasai istana.[butuh rujukan]

Kediaman Sultan Ahmad Nazaruddin di Dusun Tengah (sekarang di desa Rambutan Masam, Batanghari), sekitar tahun 1877-1879

Dalam serangan itu Sultan Thaha melarikan diri, sehingga Panembahan Prabu kemudian diangkat oleh Belanda menjadi penguasa baru di Kesultanan Jambi dengan gelar Sultan Ahmad Nazaruddin. Masa itu kesultanan Jambi masih mengendalikan Ibukota (Kota Jambi), namun Sultan Ahmad Nazaruddin tinggal di Dusun Tengah, tiga atau empat hari perjalanan dari Ibukota, di sebuah rumah sederhana dari papan. Ketika Sultan Thaha dalam pelarian, Kesultanan Jambi sempat dipimpin oleh beberapa sultan di bawah pengaruh Belanda. Kesempatan datang ketika terjadi kekosongan kekuasaan pada 1899, setelah Sultan Zainuddin dicopot oleh Belanda.[butuh rujukan]

Pangeran Ratu Martaningrat menyerah kepada pihak Belanda, sekitar tahun 1903-1904

Pada tahun 1903, Pangeran Ratu Martaningrat, keturunan dari Sultan Thaha menyerah kepada Belanda. Kemudian Jambi digabungkan dengan keresidenan Palembang. Kesultanan Jambi benar-benar berakhir, saat Sultan Thaha dibunuh oleh Belanda di persembunyiannya pada 1904. Kesultanan Jambi resmi dibubarkan oleh pemerintah Hindia Belanda pada 1906 dan berhasilnya Belanda menguasai wilayah-wilayah Kesultanan Jambi, maka Jambi ditetapkan sebagai Keresidenan Jambi.[butuh rujukan]

Jambi berkembang di wilayah cekungan Batang Hari, sungai terpanjang di Sumatra. Sungai ini, dan anak-anak sungainya, seperti Batang Tembesi, Batang Tabir dan Batang Merangin, merupakan tulang punggung wilayah tersebut. Sungai Tungkal yang berbatasan dengan Indragiri memiliki cekungan tangkapan air sendiri. Sungai-sungai itu merupakan andalan transportasi utama Jambi.[butuh rujukan]

Kependudukan

[sunting | sunting sumber]

Penduduk Jambi relatif jarang. Pada 1852 jumlah penduduk diperkirakan hanya sebanyak 60.000 jiwa, dan Jambi Timur nyaris tidak berpenghuni. Etnis Melayu Jambi berdiam dipinggiran sungai Batang Hari dan Batang Tembesi. Orang Kubu menghuni hutan-hutan, sedangkan orang Batin mendiami wilayah Jambi Hulu. Pendatang dari Minangkabau disebut sebagai orang Penghulu, yang menyatakan tunduk pada orang-orang Batin.[butuh rujukan]

Pemerintahan

[sunting | sunting sumber]

Kesultanan Jambi dipimpin oleh raja yang bergelar sultan. Raja ini dipilih dari perwakilan empat keluarga bangsawan (suku): suku Kraton, Kedipan, Perban dan Raja Empat Puluh. Selain memilih raja keempat suku tersebut juga memilih pangeran ratu, yang mengendalikan jalan pemerintahan sehari-hari.[butuh rujukan] Dalam menjalankan pemerintahan pangeran ratu dibantu oleh para menteri dan dewan penasihat yang anggotanya berasal dari keluarga bangsawan. Sultan berfungsi sebagai pemersatu dan mewakili negara bagi dunia luar.[butuh rujukan]

Menurut R. Sahabuddin (1954) dalam buku Sejarah Kebangkitan Nasional Daerah Jambi (1978/1979), pemerintahan di pusat Kesultanan Jambi dipimpin oleh seorang sultan yang dibantu oleh pangeran ratu (putra mahkota) yang memimpin Rapat Dua Belas. Rapat Dua Belas terdiri atas dua bagian:[butuh rujukan]

  • Kerapatan Patih Dalam (Dewan Menteri Dalam)
  • Kerapatan Patih Luar (Dewan Menteri Luar)

Masing-masing kerapatan terdiri dari 6 orang, 1 orang ketua dan 5 orang anggota.[butuh rujukan]

Kerapatan Patih Dalam diketuai oleh Putra Mahkota yang bergelar Pangeran Ratu dengan para anggota yang diberi gelar :[butuh rujukan]

  • Pangeran Adipati
  • Pangeran Suryo Notokusumo
  • Pangeran Jayadiningrat
  • Pangeran Aryo Jayakusumo
  • Pangeran Notomenggolo atau Pangeran Werokusumo

Kerapatan Patih Dalam pada hakekatnya merupakan Majelis Kerajaan (Rijksraad) yang berfungsi sebagai lembaga legislatif (DPR) pada masa sekarang.[butuh rujukan]

Daftar penguasa

[sunting | sunting sumber]
Sultan Thaha Saifuddin, Sultan terakhir Kesultanan Jambi

Nama-nama dibawah menggunakan ejaan modern yang mungkin berbeda dari ejaan dalam dokumen asli. Nama nasab (patronim gaya Arab) juga tidak disertakan dalam daftar berikut.

No Periode Nama Penguasa Nama/Gelar Lain
Sebagai Kerajaan Melayu Jambi
1 1460 – 1480 Datuk Paduka Berhala dan Putri Selaras Pinang Masak Ahmad Salim, Ahmad Barus II
2 1480 – 1490 Orang Kaya Pingai Sayyid Ibrahim
3 1490 – 1500 Orang Kaya Kedataran Sayyid Abdul Rahman
4 1500 – 1515 Orang Kaya Hitam[15][16] Sayyid Ahmad Kamil
5 1515 – 1540 Panembahan Rantau Kapas Pangeran Hilang Diair
6 1540 – 1565 Panembahan Rengas Pandak
7 1565 – 1590 Panembahan Bawah Sawo
8 1590 – 1630 Panembahan Kota Baru
Sebagai Kesultanan Jambi
9 1615 – 1630 Pangeran Kedah Sultan Abdul Kahar[a]
10 1630 – 1679 Sultan Agung[b][17] Sultan Abdul Jalil, Pangeran Dipati Anom, Pangeran Ratu
11 1679 – 1687 Sultan Anom Ingalaga[17][18] Sultan Abdul Muhyi, Sultan Muhammad Syafi'i, Pangeran Anom, Pangeran Ratu, Raden Penulis
12a 1687 – 1719 Sultan Kiai Gede[19] Raden Cakra Negara, Pangeran Dipati
12 1691 – 1710 Pangeran Pringgabaya[c][20] Sri Maharaja Batu Johan Pahlawan Syah, Raden Julat
13 1719 – 1725 Sultan Astra Ingalaga[d][21][22] Sultan Surya Ingalaga, Raden Astrawijaya, Panembahan Puspanegara
14 1725 – 1726 Sultan Muhammad Syah Pangeran Suryanegara
(13) 1727 – 1742 Sultan Astra Ingalaga Sultan Surya Ingalaga, Raden Astrawijaya, Panembahan Puspanegara
15 1743 – 1770 Sultan Ahmad Zainuddin Anom Sri Ingalaga[21] Pangeran Sutawijaya
16 1777 – 1790 Sultan Mas’ud Badaruddin Ratu Sri Ingalaga[21]
17 1805 – 1826 Sultan Mahmud Muhyiuddin Agung Sri Ingalaga[23] Pangeran Wangsa, Raden Danting
18 1827 – 1841 Sultan Muhammad Fakhruddin Anom Sri Ingalaga[24] Pangeran Ratu Cakra Negara
19 1841 – 1855 Sultan Abdul Rahman Nasiruddin Ratu Anom Dilaga[24] Pangeran Ratu Martaningrat
20 1855 – 1858 Sultan Thaha Saifuddin Agung Sri Ingalaga[e][25] Pangeran Ratu Jayaningrat
21 1858 – 1881 Sultan Ahmad Nasiruddin Ratu Inga Dilaga[26] Panembahan Prabu
22 1881 – 1885 Sultan Muhammad Muhieddin bin Abdul Rahman
23 1885 – 1899 Sultan Ahmad Zainuddin Ratu Sri Ingalaga[27]
(20) 1900 – 1904 Sultan Thaha Saifuddin Agung Sri Ingalaga [f][g][28][29][30] Pangeran Ratu Jayaningrat
1906 Dibubarkan Belanda
Modern (Sebagai Simbol Adat)[h][31]
24 2012 – 2021 Sultan Abdurrahman Thaha Saifuddin[32][33]
25 2022 –Sekarang
  1. Sultan Fuad bin Abdurrahman Baraqbah[34][35]
  2. Sultan Raden Syafe’i Kertopati[36][37]
  1. Sayyid Fuad
  1. ^ Mukti Zubir (1987:29-30) menyatakan bahwa Sultan Abdul Kahar-lah yang pertama menggunakan gelar Sultan di Jambi dan mengubahnya menjadi kesultanan. Meski kerap dilansir, Arifullah (2015:130) menuturkan bahwa ini adalah pendapat modern yang tidak memiliki bukti sejarah kuat. Andaya (1993:59, 102, 315) mencatat bahwa Panembahan Kota Baru memerintah bersama putra mahkotanya hingga keduanya meninggal pada tahun 1630, namun ia tidak mencatat bahwa sang putra pernah memerintah sendiri atau dinobatkan sebagai Sultan. Menurut Andaya, cucu Panembahan Kota Baru-lah yang pertama kali memakai gelar Sultan pada tahun 1669.
  2. ^ Menurut Andaya (1993:72, 95), penggunaan gelar Sultan pertama di Jambi bermula dari Sultan Agung pada tahun 1669. Penggunaan gelar ini diprakarsai oleh putra Sultan Agung yang kemudian melanjutkan penggunaan gelar Sultan pada masa pemerintahannya.
  3. ^ Dicatat Andaya (1993:132-135, 152), Pangeran Pringgabaya adalah adik dari Sultan Kiai Gede yang tidak bersedia mengakui kekuasaannya. Ia mendirikan keraton pecahan yang dimimpin dirinya sendiri di wilayah Muara Tebo, Jambi
  4. ^ Sultan Astra Ingalaga adalah putra dari Pangeran Pringgabaya. Dicatat Andaya (1993:159), pada Januari 1725 massa yang dipimpin Raden Demang (cucu Kiai Gede) menuntut agar Sultan baru dinobatkan dari garis keturunan Kiai Gede dan menyekap Astra Ingalaga. Astra Ingalaga berhasil melarikan diri, namun kubu Raden Demang mengangkat Pangeran Suryanegara (putra Kiai Gede) sebagai Sultan Muhammad Syah. Posisi Astra Ingalaga baru bisa kembali dikukuhkan setelah Muhammad Syah meninggal akibat cacar pada tahun 1726.
  5. ^ Nama beliau seringkali ditulis dengan huruf Latin sebagai "Thaha Syaifuddin" dalam media Indonesia kontemporer, namun cap nama yang digunakan Thaha sendiri (lihat Gallop, 2019:242) menggunakan طاه سيفادين, bukan طاه شيفادين
  6. ^ Peneliti Jambi terdahulu menggunakan ejaan yang variatif untuk nama Thaha Saifuddin. Penulis memilih menggunakan ejaan tersebut, selanjutnya diringkas Thaha, merujuk pada penulisan aksara Arab pada stempel yang digunakan oleh sultan serta keumuman penulisan dalam institusi resmi di Jambi saat ini. Dalam stempel resmi kesultanan tertulis طه سيف الدين yang jika ditransliterasi ke dalam aksara Latin menggunakan Turabian style menjadi Taha Sayf al-Din. Dalam diskusi tahun 2016 lalu, Elsbeth Locher-Scholten menjelaskan alasannya menggunakan ejaan Taha merujuk pada penulisan dalam dokumen-dokumen Belanda.
  7. ^ Memang ada beberapa variasi penulisan nama pahlawan Jambi tersebut, misalnya Sultan (kadang ditulis Sulthan) Taha (ada yang menyebut Thaha) Saifuddin (Syaifuddin)
  8. ^ Bisa jadi ada lebih dari satu yang mengenakan gelar ini di waktu bersamaan. Gubernur Jambi menjelaskan, karena hanya sebagai simbol budaya, maka gelar ini tidak memiliki andil dalam pemerintahan di Provinsi Jambi.
  1. ^ a b "Jambi Arms". www.hubert-herald.nl. Diakses tanggal 2024-01-25. 
  2. ^ "Negara Adat Indonesia bagian 1". www.worldstatesmen.org. Diakses tanggal 2024-01-25. 
  3. ^ "MUSEUM PERJUANGAN RAKYAT JAMBI: Bendera Raja Sehari". MUSEUM PERJUANGAN RAKYAT JAMBI. Selasa, 27 Maret 2012. Diakses tanggal 2024-11-29. 
  4. ^ Sejarah Kerajaan Islam di Sumatera Pada gramedia.com diakses 19 Juni 2021
  5. ^ Kerajaan Jambi, Kerajaan Islam yang dikhianati VOC Pada merdeka.com 24 Maret 2016
  6. ^ Kesultanan Jambi: Sejarah, Wilayah, Dan Perkembangan Pada dgraft.com 28 Desember 2020
  7. ^ Ngebi Sutho Dilago Periai Rajo Sari (1982). Undang-undang, piagam, dan kisah negeri Jambi (dalam bahasa Melayu). Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah. 
  8. ^ Datuk Paduka Berhala Pangeran Turki Yang Mengislamkan Jambi Pada historyofcirebon 16 Oktober 2018
  9. ^ Datuk Paduka Berhala, Anak Raja Turki yang Persunting Putri Pinang Masak Pada melayupedia.com 30 Desember 2021
  10. ^ Sejarah Provinsi Jambi Pada Dinas Pendidikan Provinsi Jambi
  11. ^ Kesultanan Jambi / Prov. Jambi – Sumatera Pada sultanindonesiaeblog
  12. ^ Sultan Thaha, Pejuang Jambi yang Tak Lelah Melawan Belanda Pada sindonews.com 6 Juli 2015
  13. ^ Thaha Syaifuddin: Masa Muda, Kepemimpinan, dan Akhir Hidup Pada kompas.com 14 Juni 2021
  14. ^ Barbara Watson Andaya, "Laporan Tiga Penduduk Jambi tentang Ancaman dari sejumlah Kapal Perang Johor di Sungai Batanghari, 11 September 1714". Dalam: Harta Karun. Khazanah Sejarah Indonesia dan Asia-Eropa dari arsip VOC di Jakarta, dokumen 10. Jakarta: Arsip Nasional Republik Indonesia, 2013.
  15. ^ Orang Kayo Hitam, Penguasa Jambi yang Tak Bisa Ditaklukkan Raja Jawa Pada sindonews.com 29 Juni 2015.
  16. ^ Kisah Orang Kayo Hitam dan Keris Siginjai yang Melegenda, Hingga Terbunuhnya Pembuat Keris Sakti Pada tribunnews.com 2 Januari 2019.
  17. ^ a b Gallop 2019, hlm. 239.
  18. ^ Andaya 1993, hlm. 318.
  19. ^ Andaya 1993, hlm. 319.
  20. ^ Andaya 1993, hlm. 322.
  21. ^ a b c Gallop 2019, hlm. 240.
  22. ^ Andaya 1993, hlm. 315.
  23. ^ Gallop 2019, hlm. 241.
  24. ^ a b Gallop 2019, hlm. 242.
  25. ^ Profil Pahlawan Nasional Sultan Thaha Syaifuddin di merdeka.com
  26. ^ Gallop 2019, hlm. 243.
  27. ^ Gallop 2019, hlm. 244.
  28. ^ Abid, M. Husnul (2010). "Saifuddin atau Safiuddin?: atau Jambi di Pinggir Sejarah". Kontekstualita: Jurnal Penelitian Sosial Keagamaan. 25 (2): 37092. ISSN 1979-598X. 
  29. ^ Sagala, Ismawati (2021). Nugrahini, Karika Nurul, ed. Islam dan Adat dalam Sistem Pemerintahan Jambi (dalam bahasa Indonesia) (edisi ke-Revisi). Yogyakarta: Ombak. ISBN 6022585953. 
  30. ^ Sulindo, Redaksi (2020-07-21). "Sultan Thaha, Melawan Belanda hingga Darah Penghabisan - Koran Sulindo". Diakses tanggal 2024-11-27. 
  31. ^ "Rebutan Gelar Sultan Jambi, Muncul 2 Nama yang Ngaku Keturunan Sultan Thaha". kumparan. Diakses tanggal 2024-11-27. 
  32. ^ Raden Abdurrahman Dinobatkan Sebagai Sultan Jambi Pada kerajaannusantara.com 19 Maret 2019
  33. ^ Azzahro, Rara Khushshoh. "Raden Abdurrahman, Cicit Sultan Thaha Meninggal Dunia dan Dimakamkan pada Makam Raja-raja". Tribunnews.com. Diakses tanggal 2022-02-01. 
  34. ^ Sultan Jambi dilantik secara sah di lines.id
  35. ^ "Butuh 20 Tahun Penelitian, KDYMM Sayid Fuad Dinobatkan sebagai Sultan Jambi - News+ on RCTI+". RCTI+. Diakses tanggal 2024-11-27. 
  36. ^ Putra, Ara Permana (2022-02-09). "Raden Syafe'i Kertopati Sandang Gelar Sultan di Jambi Selanjutnya". Umum dan Segalanya (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2024-11-27. 
  37. ^ Prima, Jambi. "Kesepakatan Keluarga Keturunan Sultan Thaha untuk Gelar Sultan Selanjutnya - Jambi Prima - Info Terbaru dan Terpercaya". jambiprima.com (dalam bahasa Indonesia). Diakses tanggal 2024-11-27. 

Daftar Pustaka

[sunting | sunting sumber]

Pranala luar

[sunting | sunting sumber]