Lompat ke isi

Konfrontasi Cicak dan Buaya

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Berkas:Say no to buaya.jpg
salah satu contoh

Konfrontasi Cicak dan Buaya merupakan timbunan rasa ketidak kepuasan serta rasa ketidak percayaan terhadap bagian administrasi publik lembaga penegakan hukum di Indonesia yakni Kejaksaan dan Kepolisian[1][2] yang dipersonifikasi sebagai buaya sedangkan pihak yang berlawanan menyebut dirinya sebagai cicak, kedua personifikasi ini diciptakan oleh Susno Duadji ketika diwawancarai oleh majalah Tempo tercetak pada edisi 20/XXXVIII 06 Juli 2009 dengan mengatakan cicak kok mau melawan buaya… sebagai personifikasi KPK sebagai cicak sementara Kepolisian sebagai buaya [3]dan dalam perkembangan selanjutnya buaya berubah menjadi penganti tikus yang dahulu diidentikkan dengan para pelaku korupsi.

Pra kondisi

Berkas:Buaya-sejuta-cicak1.jpg
salah satu contoh

Bermula pada kasus Antasari Azhar beberapa kalangan mulai merasakan bahwa KPK mulai digembosi oleh berbagai pihak dengan mulai menyudutkan KPK antara lain pernyatakan Ahmad Fauzi seorang anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) meminta agar KPK dibubarkan saja [4], Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) meminta KPK agar libur saja dan tidak mengambil keputusan atau melakukan memproses penyelidikan korupsi sehubungan status salah satu ketuanya dalam hal ini Antasari Azhar [5], pada 24 Juni 2009, Susilo Bambang Yudhoyono ikut mengatakan bahwa KPK power must not go uncheck. KPK ini sudah powerholder yang luar biasa[6] diikuti pula pernyataan Susno Duadji yang mengatakan bahwa ibaratnya, polisi buaya KPK cicak. Cicak (KPK) kok melawan buaya (Polisi) [7], dan pernyataan Dewi Asmara, Ketua Panitia Khusus RUU Pengadilan tindak pidana korupsi (tipikor) mengatakan bahwa tidak akan meminta pemerintah mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang undang (perppu) jika RUU Pengadilan tindak pidana korupsi (tipikor) gagal disahkan maka peradilan tindak pidana korupsi (tipikor) akan dikembalikan ke Pengadilan Umum atau pengadilan Tipikor akan dikembalikan ke pengadilan umum [8] padahal masa sidang yang tersisa sampai dengan 30 September 2009[9] atau sesuai dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 012-016-019/PUU-IV/2006 setelah tenggat waktu jatuh pada 19 Desember 2009 pengadilan tindak pidana korupsi (tipikor) akan bubar dengan sendirinya dan peradilan tindak pidana korupsi (tipikor) akan dikembalikan ke pengadilan umum.

Garis waktu

  • 30 Januari 2008 , Komisi Pemberantasan Korupsi KPK melakukan penyidikan dan pencekalan terhadap sejumlah pejabat PT Masaro Radiokom seperti Anggoro Widjojo (Direktur Utama), Anggono Widjojo (Presiden Komisaris), David Angkowijaya (Direktur Keuangan) dan Putronevo A. Prayugo (Direktur) (Direktur utama) dugaan korupsi dalam proyek pelabuhan Tanjung Api-api, Musi Banyuasin, Sumatera Selatan[10].
  • 16 Juli 2008, Komisi Pemberantasan Korupsi KPK menahan Yusuf Erwin Faishal sebelumnya menjabat sebagai Ketua komisi IV (Kehutanan) dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) karena masalah menerima uang suap alih fungsi lahan Pelabuhan Tanjung Api-api, Musi Banyuasin, Sumatera Selatan[11].
Berkas:Cicak jangan diam.jpg
salah satu contoh
  • 21 Juli 2008, Komisi Pemberantasan Korupsi KPK melakukan monitoring dalam penyusunan APBN 2009 dalam persidangan-persidangan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)[12]
  • 23 Juli 2008 Anggodo Widjojo bersama Edy Sumarsono berangkat ke Singapura, menurut versi Edy Sumarsono hal ini berkaitan untuk mendengarkan langsung dari Anggoro Widjojo mengenai isu penyuapan, Anggoro Widjojo merasa terdzolimi dengan penggeledahan kantor PT Masaro oleh Komisi Pemberantasan Korupsi KPK dan mencari dukungan untuk menyelesaikan dengan Komisi Pemberantasan Korupsi KPK kemudian Anggoro Widjojo meminta pada Anggodo Widjojo yang memiliki teman bernama Ari Muladi yang diketahui memiliki kedekatan dengan sejumlah pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi KPK antara lain Ari Muladi kenal dengan Ade Rahardja Komisi Pemberantasan Korupsi KPK, Dari pembicaraan Anggoro Widjojo, Anggodo Widjojo dan Ari Muladi diketahui bahwa Ade Rahardja meminta atensi (uang) dalam penyelesaian kasus tersebut, masih dalam pembicaraan tersebut maka dikeluarlah Rp 3.750.000.000 terdiri dari Rp 1.500.000.000 untuk Bibit S Rianto, Rp 1.000.000.000 untuk M. Jasin, Rp 1.000.000.000 untuk Bambang Widyarmoko, dan Rp 250.000.000 untuk menutup media[13] (disebut pula dalam dokumen kronologis 20 Juli 2009 Ari Muladi(Ary Muladi)) dan sebagai klarifikasi awal untuk perencanaan pertemuan dengan Antasari Azhar (dikemudian hari dalam dokumen kronologis 15 Juli 2009 Anggodo Widjojo disebutkan bahwa Eddy Soemarsono yang memfasilitasi dan disebutkan adanya penyetoran uang untuk Antasari Azhar dan Chandra M. Hamzah masih menurut versi dari Anggodo Widjojo tersebut disebutkan bahwa Eddy Soemarsono turut menerima bagian. atas isi dokumen tersebut Eddy Soemarsono telah membatahnya secara tegas dengan mengatakan bahwa Anggodo Widjojo ngawur. tidak pernah ada pernah ada hal tersebut serta menyatakan pula bahwa Edy Sumarsono tidak kenal dengan Chandra M Hamzah)[14].
  • 28 Juli 2008 Hamka Yandu dalam kesaksiannya di pengadilan Tindak Pidana Korupsi {Tipikor) menyatakan semua anggota Komisi IX Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menerima aliran dana Bank Indonesia (BI), uang tersebut adalah uang untuk diseminasi Pemilu dan Undang Undang Bank Indonesia (BI) yakni Paskah Suzetta, MS Kaban, Ali Masykur Musa, Burhanudin Aritonang, Abdullah Zaini, Emir Moeis dan Endin Aj Sofihara[15].
  • 29 Juli 2008, Komisi Pemberantasan Korupsi KPK melakukan penggeledah ruang kerja Yusuf Erwin Faishal di gedung Masaro, Jl Talang Betutu 11-A, Kebon Melati, Tanah Abang, JAKARTA 10230 serta menyita sembilan dus yang berisikan dokumen-dokumen dan ikut melakukan penggeledahan terhadap sebuah di Pondok Indah yang diduga milik Angoro Wijaya/Anggoro Widjojo (kemudian hari menurut pernyataan Anggodo Widjojo, rumah tersebut adalah rumah miliknya), Direktur Utama Masaro Radiokom di daerah Pondok Indah[16].
  • 30 Juli 2008, Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi KPK Mochamad Jasin mengungkapkan bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menemukan kasus baru setelah penggeledahan di gedung Masaro yakni mengenai pengadaan alat Sistem Komunikasi Radio Terpadu (SKRT) di Departemen Kehutanan
  • 4 Agustus 2008 Mahkamah Konstitusi (MK) mencanangkan Pencanangan Pemantapan Komitmen Mewujudkan Good Governance dan Zona Anti Korupsi yang dihadiri oleh Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Jimly Asshiddiqie, Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Antasari Azhar dan Wakil Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Baharuddin Aritonang yang merupakan mantan anggota Komisi IX dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dalam acara tersebut Baharudin Aritonang berkali-kali membantah dirinya terlibat dalam kasus aliran dana BI serta mengata pula bahwa hasil audit pemerintah benar-benar kacau[17] dan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Antasari Azhar mengatakan bahwa dirinya seolah diajak berpolemik mengenai limapuluh dua anggota Komisi IX dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) periode 1999 - 2004 sebagaimana yang disebut oleh Hamka Yandu dalam kesaksiannya di pengadilan Tindak Pidana Korupsi {Tipikor) menerima dana Bank Indonesia (BI) dan Antasari Azhar mengaku bertahan dan tidak ingin menyikapi[18].
  • 15 Agustus 2008 Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan penggeledah terhadap kantor Departemen Kehutanan yang terfokus pada lantai tiga yang merupakan ruangan Sekretaris Departemen Kuhutanan dan para staf ahli Menteri Kehutanan [19]
  • 22 Agustus 2008 Komisi Pemberantasan Korupsi KPK mengumumkan kembali perpanjangan status pencekalan terhadap sejumlah pejabat PT Masaro Radiokom seperti Anggoro Widjojo (Direktur Utama), David Angkowijaya (Direktur Keuangan) dan Putronevo A. Prayugo (Direktur)[20] sedangkan terhadap Anggono Widjojo (Presiden Komisaris) tidak dicekal kembali karena yang bersangkutan dinyatakan telah meninggal dunia [21].
  • 11 September 2008 Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengeluarkan Surat perintah penyelidikan dugaan korupsi pengadaan Sistem Komunikasi Radio Terpadu (SKRT)[22]
  • 8 Oktober 2008 anggota Komisi IV (bidang Kehutanan) dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Tamsil Limrung diperiksa oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan mengatakan bahwa Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sebenarnya telah menolak program Sistem Komunikasi Radio Terpadu (SKRT) Departemen Kehutanan karena dianggap tidak efisien[23] dikemudian hari pada tanggal 9 Februari 2009 Tamsil Limrung melalui kesaksiannya dalam perkara Yusuf Erwin Faishal di pengadilan Tindak Pidana Korupsi {Tipikor) mengaku menerima uang sebesar Rp 120.000.000 berupa cek perjalanan dari mantan Ketua Komisi IV dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Yusuf Erwin Faishal yang diberikan melalui sekretaris Tamsil Limrung yang berkaitan dengan alih fungsi hutan lindung di proyek pelabuhan Tanjung Api Api dan Bintan dan menerima Rp 5.000.000, 2.000 dalam bentuk dollar AS, dan Rp 12.200.000 selain itu, Tamsil Limrung mengakui turut menerima sejumlah uang dari Anggoro Widjojo dan pada pertemuan kedua Tamsil Limrung diberikan amplop akan tetapi tidak tahu jumlahnya karena sudah kembalikan sedangkan Yusuf Erwin Faishal sendiri diduga menerima uang senilai Rp 125.000.000 juta berikut 220.000 dalam bentuk dollar AS dari Anggoro Anggoro Widjojo dan David Angkowijaya[24]
  • 10 Oktober 2008 Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Antasari Azhar, Edy Sumarsono bersama Anggodo Widjojo berangkat ke Singapura bertemu dengan Anggoro Widjojo,


Lihat pula

Referensi

Pranala luar