Lompat ke isi

Sufisme

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Tasawuf (Tasawwuf) atau Sufisme (bahasa Arab: تصوف , ) adalah ilmu untuk mengetahui bagaimana cara menyucikan jiwa, menjernihan akhlaq, membangun dhahir dan batin, untuk memporoleh kebahagian yang abadi. Tasawuf pada awalnya merupakan gerakan zuhud (menjauhi hal duniawi) dalam Islam, dan dalam perkembangannya melahirkan tradisi mistisme Islam. Tarekat (pelbagai aliran dalam Sufi) sering dihubungkan dengan Syiah, Sunni, cabang Islam yang lain, atau kombinasi dari beberapa tradisi [butuh rujukan]. Pemikiran Sufi muncul di Timur Tengah pada abad ke-8, sekarang tradisi ini sudah tersebar ke seluruh belahan dunia.

Etimologi

Ada beberapa sumber perihal etimologi dari kata "Sufi". Pandangan yang umum adalah kata itu berasal dari Suf (صوف), bahasa Arab untuk wol, merujuk kepada jubah sederhana yang dikenakan oleh para asetik Muslim. Namun tidak semua Sufi mengenakan jubah atau pakaian dari wol. Teori etimologis yang lain menyatakan bahwa akar kata dari Sufi adalah Safa (صفا), yang berarti kemurnian. Hal ini menaruh penekanan pada Sufisme pada kemurnian hati dan jiwa. Teori lain mengatakan bahwa tasawuf berasal dari kata Yunani theosofie artinya ilmu ketuhanan.

Yang lain menyarankan bahwa etimologi dari Sufi berasal dari "Ashab al-Suffa" ("Sahabat Beranda") atau "Ahl al-Suffa" ("Orang orang beranda"), yang mana dalah sekelompok muslim pada waktu Nabi Muhammad yang menghabiskan waktu mereka di beranda masjid Nabi, mendedikasikan waktunya untuk berdoa.

Sejarah paham

Banyak pendapat yang pro dan kontra mengenai asal-usul ajaran tasawuf, apakah ia berasal dari luar atau dari dalam agama Islam sendiri. Berbagai sumber mengatakan bahwa ilmu tasauf sangat lah membingungkan.

Sebagian pendapat mengatakan bahwa paham tasawuf merupakan paham yang sudah berkembang sebelum Nabi Muhammad menjadi Rasulullah[1]. Dan orang-orang Islam baru di daerah Irak dan Iran (sekitar abad 8 Masehi) yang sebelumnya merupakan orang-orang yang memeluk agama non Islam atau menganut paham-paham tertentu. Meski sudah masuk Islam, hidupnya tetap memelihara kesahajaan dan menjauhkan diri dari kemewahan dan kesenangan keduniaan. Hal ini didorong oleh kesungguhannya untuk mengamalkan ajarannya, yaitu dalam hidupannya sangat berendah-rendah diri dan berhina-hina diri terhadap Tuhan. Mereka selalu mengenakan pakaian yang pada waktu itu termasuk pakaian yang sangat sederhana, yaitu pakaian dari kulit domba yang masih berbulu, sampai akhirnya dikenal sebagai semacam tanda bagi penganut-penganut paham tersebut. Itulah sebabnya maka pahamnya kemudian disebut paham sufi, sufisme atau paham tasawuf. Sementara itu, orang yang penganut paham tersebut disebut orang sufi.

Sebagian pendapat lagi mengatakan bahwa asal-usul ajaran tasawuf berasal dari zaman Nabi Muhammad SAW. Berasal dari kata "beranda" (suffa), dan pelakunya disebut dengan ahl al-suffa, seperti telah disebutkan diatas. Mereka dianggap sebagai penanam benih paham tasawuf yang berasal dari pengetahuan Nabi Muhammad [2].

Pendapat lain menyebutkan tasawuf muncul ketika pertikaian antar umat Islam di zaman Khalifah Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib, khususnya karena faktor politik.Pertikaian antar umat Islam karena karena faktor politik dan perebutan kekuasaan ini terus berlangsung dimasa khalifah-khalifah sesudah Utsman dan Ali. Munculah masyarakat yang bereaksi terhadap hal ini. Mereka menganggap bahwa politik dan kekuasaan merupakan wilayah yang kotor dan busuk. Mereka melakukan gerakan ‘uzlah , yaitu menarik diri dari hingar-bingar masalah duniawi yang seringkali menipu dan menjerumuskan. Lalu munculah gerakan tasawuf yang di pelopori oleh Hasan Al-Bashiri pada abad kedua Hijriyah. Kemudian diikuti oleh figur-figaur lain seperti Shafyan al-Tsauri dan Rabi’ah al-‘Adawiyah.[3]

Beberapa definisi sufisme:

  • Yaitu paham mistik dalam agama Islam sebagaimana Taoisme di Tiongkok dan ajaran Yoga di India (Mr. G.B.J Hiltermann & Prof.Dr.P.Van De Woestijne).
  • Yaitu aliran kerohanian mistik (mystiek geestroming) dalam agama Islam (Dr. C.B. Van Haeringen).

Pendapat yang mengatakan bahwa sufisme/tasawuf berasal dari dalam agama Islam:

  • Asal-usul ajaran sufi didasari pada sunnah Nabi Muhammad. Keharusan untuk bersungguh-sungguh terhadap Allah merupakan aturan di antara para muslim awal, yang bagi mereka adalah sebuah keadaan yang tak bernama, kemudian menjadi disiplin tersendiri ketika mayoritas masyarakat mulai menyimpang dan berubah dari keadaan ini. (Nuh Ha Mim Keller, 1995) [4]
  • Seorang penulis dari mazhab Maliki, Abd al-Wahhab al-Sha'rani mendefinisikan Sufisme sebagai berikut: "Jalan para sufi dibangun dari Qur'an dan Sunnah, dan didasarkan pada cara hidup berdasarkan moral para nabi dan yang tersucikan. Tidak bisa disalahkan, kecuali apabila melanggar pernyataan eksplisit dari Qur'an, sunnah, atau ijma." [11. Sha'rani, al-Tabaqat al-Kubra (Kairo, 1374), I, 4.] [5].

Pendapat yang mengatakan bahwa tasawuf berasal dari luar agama Islam:

  • Sufisme berasal dari bahasa Arab suf, yaitu pakaian yang terbuat dari wol pada kaum asketen (yaitu orang yang hidupnya menjauhkan diri dari kemewahan dan kesenangan). Dunia Kristen, neo platonisme, pengaruh Persi dan India ikut menentukan paham tasawuf sebagai arah asketis-mistis dalam ajaran Islam (Mr. G.B.J Hiltermann & Prof.Dr.P.Van De Woestijne).
  • (Sufisme)yaitu ajaran mistik (mystieke leer) yang dianut sekelompok kepercayaan di Timur terutama Persi dan India yang mengajarkan bahwa semua yang muncul di dunia ini sebagai sesuatu yang khayali (als idealish verschijnt), manusia sebagai pancaran (uitvloeisel) dari Tuhan selalu berusaha untuk kembali bersatu dengan DIA (J. Kramers Jz).
  • Al Quran pada permulaan Islam diajarkan cukup menuntun kehidupan batin umat Muslimin yang saat itu terbatas jumlahnya. Lambat laun dengan bertambah luasnya daerah dan pemeluknya, Islam kemudian menampung perasaan-perasaan dari luar, dari pemeluk-pemeluk yang sebelum masuk Islam sudah menganut agama-agama yang kuat ajaran kebatinannya dan telah mengikuti ajaran mistik, keyakinan mencari-cari hubungan perseorangan dengan ketuhanan dalam berbagai bentuk dan corak yang ditentukan agama masing-masing. Perasaan mistik yang ada pada kaum Muslim abad 2 Hijriyah (yang sebagian diantaranya sebelumnya menganut agama Non Islam, semisal orang India yang sebelumnya beragama Hindu, orang-orang Persi yang sebelumnya beragama Zoroaster atau orang Siria yang sebelumnya beragama Masehi) tidak ketahuan masuk dalam kehidupan kaum Muslim karena pada mereka masih terdapat kehidupan batin yang ingin mencari kedekatan diri pribadi dengan Tuhan. Keyakinan dan gerak-gerik (akibat paham mistik) ini makin hari makin luas mendapat sambutan dari kaum Muslim, meski mendapat tantangan dari ahli-ahli dan guru agamanya. Maka dengan jalan demikian berbagai aliran mistik ini yang pada permulaannya ada yang berasal dari aliran mistik Masehi, Platonisme, Persi dan India perlahan-lahan memengaruhi aliran-aliran di dalam Islam (Prof.Dr.H.Abubakar Aceh).
  • Paham tasawuf terbentuk dari dua unsur, yaitu (1) Perasaan kebatinan yang ada pada sementara orang Islam sejak awal perkembangan Agama Islam,(2) Adat atau kebiasaan orang Islam baru yang bersumber dari agama-agama non Islam dan berbagai paham mistik. Oleh karenanya, paham tasawuf itu bukan ajaran Islam walaupun tidak sedikit mengandung unsur-unsur ajaran Islam. Dengan kata lain, dalam agama Islam tidak ada paham Tasawuf walaupun tidak sedikit jumlah orang Islam yang menganutnya (MH. Amien Jaiz, 1980)[6].
  • Tasawuf dan sufi berasal dari kota Bashrah di negeri Irak. Dan karena suka mengenakan pakaian yang terbuat dari bulu domba (Shuuf), maka mereka disebut dengan "Sufi". Soal hakikat Tasawuf, hal itu bukanlah ajaran Rasulullah SAW dan bukan pula ilmu warisan dari Ali bin Abi Thalib Radiyallahu ‘anhu. Menurut Asy Syaikh Ihsan Ilahi Zhahir rahimahullah berkata: “Tatkala kita telusuri ajaran Sufi periode pertama dan terakhir, dan juga perkataan-perkataan mereka baik yang keluar dari lisan atau pun yang terdapat di dalam buku-buku terdahulu dan terkini mereka, maka sangat berbeda dengan ajaran Al Qur’an dan As Sunnah. Dan kita tidak pernah melihat asal usul ajaran Sufi ini di dalam sejarah pemimpin umat manusia Muhammad SAW, dan juga dalam sejarah para shahabatnya yang mulia, serta makhluk-makhluk pilihan Allah Ta’ala di alam semesta ini. Bahkan sebaliknya, kita melihat bahwa ajaran Sufi ini diambil dan diwarisi dari kerahiban Nashrani, Brahma Hindu, ibadah Yahudi dan zuhud Buddha" - At Tashawwuf Al Mansya’ Wal Mashadir, hal. 28.(Ruwaifi’ bin Sulaimi, Lc) [7].

Tokoh tasawuf di Indonesia

Tokoh –tokoh yang memengaruhi tasawuf di Indonesia yaitu: Syeikh ‘Abdullah Mubarok bin Nur Muhammad r.a (Abah Sepuh) Pendiri Pondok Pesantren Suryalaya, Hamzah Al-Fasuri, Nurddin Ar-Raniri, Syekh Abdurrauf As-Sinkili, Syekh Yusuf Al-Makasari]] dan Shohibul Faroji Azmatkhan Ba'alawi Al-Husaini,.[8]

Adapun tokoh-tokoh Tasawuf yang berpengaruh di Cirebon[2] diantaranya ialah Syekh Syarif Hidayatullah atau yang lebih populer dengan sebutan Sunan Gunungjati, Syekh Nurjati, guru dari Sunan Gunungjati, Syekh Abdullah Iman atau yang terkenal dengan sebutan Pangeran Cakrabuana, Syekh Mulyani atau yang terkenal dengan sebutan Syekh Royani yang melahirkan para ulama di Srengseng, sebuah desa yang terkenal di Kecamatan Krangkeng, Kabupaten Indramayu, Mbah Kriyan, Syekh Tholhah yang menjadi guru dari Syeikh 'Abdullah Mubarok bin Nur Muhammad r.a., Syekh Jauharul Arifin pendiri Pondok Pesantren Al-Jauhariyah Balerante, Palimanan, Kabupaten Cirebon, dan tokoh-tokoh Cirebon yang lain. [9]

Contoh paham

Berikut contoh paham Sufi atau paham tasauf:

Kedudukan syariat dalam empat tingkatan spiritual

Empat tingkatan kedalaman beragama

Syari'at dalam perspektif faham tasawuf ada yang menggambarkannya dalam bagan Empat Tingkatan Spiritual Umum dalam Islam, syariat, tariqah atau tarekat, hakikat. Tingkatan keempat, ma'rifat, yang 'tak terlihat', sebenarnya adalah inti dari wilayah hakikat, sebagai esensi dari kempat tingkatan spiritual tersebut.

Sebuah tingkatan menjadi fondasi bagi tingkatan selanjutnya, maka mustahil mencapai tingkatan berikutnya dengan meninggalkan tingkatan sebelumnya. Sebagai contoh, jika seseorang telah mulai masuk ke tingkatan (kedalaman beragama) tarekat, hal ini tidak berarti bahwa ia bisa meninggalkan syari'at. Yang mulai memahami hakikat, maka ia tetap melaksanakan hukum-hukum maupun ketentuan syariat dan tarekat.

Kita semua tahu bahwa ihsan merupakan salah satu komponen agama. Ihsan dalam implementasi kehidupan, merupakan pekerjaan para ulama Ahli Tasawwuf untuk menjelaskan dan mengekspresikannya. Amal dalam konteks mereka menjadi ‘percuma’ tanpa ihasan. Sementara ihsan dalam “batasan” hadis yang langsung diajarkan oleh Jibril kepada Rosulullah SAW] di hadapan para sahabat adalah menjalankan ibadah yang selalu berfokus kepada Allah SWT, "anta’budallaha ka annaka tarohu" . Dalam al Qur’an, ada satu ayat yang menerangkan tentang tujuan penciptaan jin dan manusia. Secara jelas Allah SWT menuturkan bahwa mereka (jin dan manusia) tidak diciptakan kecuali untuk beribadah kepadaNya, "wamaa kholaqtul jinna wal insa illa liya’buduniy" . Bagi orang-orang sufi, tak ada satu kegiatan pun di dunia yang tak bernilai ibadah. Dalam kaitan dengan ini, maka muncul istilah ibadah mahdloh dan ghoiru mahdloh. Jika kita sepakat, bahwa seluruh kegiatan yang kita jalani ini adalah ibadah, maka ihsan dalam setiap gerakan kita harus selalu kita tampilkan dan suasanakan. Kemudian, ihsan yang model mana yang hendak kita pahami dan lakukan. Bila ihsan merupakan renungan yang selalu kepada Allah SWT dalam setiap ibadah yang dilakukan, maka ada istilah dalam ilmu sufi yang muncul untuk memahami kondisi tersebut. Dalam hal ini, Para Ulama Sufi telah berusaha memberi pelajaran, penjabaran, batasan, dan pendidikan kepada umat tentang kondisi berihsan dengan kaidah musyahadah yang mashur. Musyahadah, secara bahasa, bermakna hal menyaksiakan Allah SWT. Dan secara kaidah sufi berarti; 1. Musyahadah bil Haq. Tingkatan Pertama ini kondisi dan batasannya adalah “melihat sesuatu dengan petunjuk tauhid”, 2. Musyahadah lil Haq. Tingkatan Kedua ini kondisi dan batasannya adalah “melihat al Haq (Allah SWT) dalam sesuatu”, dan 3. Musyahadah al Haq. Tingkatan Terakhir ini adalah hakikat yakin yang tak ada keraguan didalamnya” . Kami menduga, bahwa Sahadat Cerbon[4] berangkat dari pemahaman semacam ini, kemudian mereka, para pendahulu Cirebon, berfikir dan membuat suatu “bacaan” yang menggiring kita kepada kondisi musyahadah yang dikehendaki. Banyak cara dan tekhnik dilakukan oleh para Sufi terdahulu untuk menerjunkan pemikiran dan perasaan dalam kondisi ihsan, musyahadah yang bernilai makrifat.[5]

Paham kesatuan wujud

Paham kesatuan wujud adalah paham yang dibawa oleh Ibnu Arabi pada abad ke-3 Hijriah. Tokoh-tokohnya antara lain adalah Ibnu Arabi, Mansur al Hallaj, dan Jalaludin Rumi. Paham ini ditolak oleh Al Ghazali dan Ibnu Taymiah.

Ketika tidak ada gerak bagimu untuk dirimu sendiri maka sempurna yakinmu, dan ketika tidak ada wujudmu bagimu maka sempurna tauhidmu. [6] Maknanya: ketika kamu fana dari wujudmu karena tidak adanya pandanganmu terhadap wujudmu sama sekali, dengan cara kamu tidak melihat wujud bagi dirimu beserta wujud Gusti-mu Yang Maha Agung dan Mulia, maka sempuna tauhidmu. Hal itu, karena kamu telah menyatakan Gusti-mu dan kamu mempertimbangkan pandanganmu didalamnya. Maka kamu melihat wujudmu, yaitu semua amalmu dari Allah swt sebagi ciptaan, maka ketika ini, kamu tidak melihat wujud kecuali Allah swt Yang Maha Agung dan Mulia. Maka ketika itu telah sempurna tauhidmu. Karena hamba selagi melihat wujud dan amalnya sendiri, maka tidak sempurna tauhidnya menurut para muwahhidiin muhaqqiqiin para petauhid sempurna. Karena dia masih melihat dirinya dapat beramal yang amal itu keluar dari dirinya. Berbeda dengan muwahhidiin muhaqqiqiin (para petauhid sempurna), dia (mereka) telah hilang dari wujud dirinya yang majazi dan rusak dengan sebab wujud Allah swt yang Maha Ada yang kekal dan hakiki. Hal itu ketika Allah swt telah memberikan kenyataan padanya tentang hakikat-hakikat, lalu dia melihat dengan cahaya Tuhan-nya yang telah dititipkan pada relung hatinya, bahwa sesungguhnya Allah swt telah mewujudkan dirinya dengan anugerah-NYA dan menolongnya dengan kasih-NYA, kemudian dia tidak melihat dalam wujud selain Allah swt dan tidak melihat kasih selain Allah swt Yang Maha Agung dan Mulia, maka sempurnalah tauhidnya. [7]

Menurut al-Banjari, kaum wujudiyyah (orang-orang yang memahami tentang wahdatul wujud) itu ada dua golongan: wujudiyyah mulhid dan wujudiyyah muwahhid. wujudiyyah mulhid termasuk golongan yang sesat lagi zindiq. Wujudiyyah muwahhid, menurut dia, “yaitu segala ahli sufi yang sebenarnya”, mereka dinamakan kaum wujudiyyah ”karena bicaranya dan perkataannya dan itikadnya itu pada wujud Allah”. Ia tidak menjelaskan isi ajaran mereka, tetapi sebagai lawan dari wujudiyyah mulhid tadi, wujudiyyah muwahhid tentu tidak menganggap bahwa Allah tidak “tiada maujud melainkan di dalam kandungan wujud segala makhluk”, atau “bahwa Allah itu ketahuan zat (esensi)-Nya nyata kaifiat-Nya dari pada pihak ada. Ia waujud pada kharij dan pada zaman dan makan”, dan tidak pula membenarkan pernyataan-pernyataan seumpama “tiada wujudku, hanya wujud Allah”, dan sebagainya, yang mencerminkan pandagan wujudiyyah mulhid itu. Keterangan al-Banjari mengenai ajaran kaum wujudiyyah mulhid itu kelihatan sangat mirip dengan keterangan ar-Raniri, yang dalam abad sebelumnya menyanggah penganut-penganut di Aceh.

Berdasarkan penjelasan ini, pada dasarnya sama dengan ajaran wahdah al-wujud Ibnu Arabi. Ajaran ini juga memandang alam semesta ini sebagai penampakan lahir Allah dalam arti bahwa wujud yang hakiki hanya Allah saja -alam semesta ini hanya bayangan- bayang-Nya. Dari satu segi, ajaran ini kelihatan sama dengan ajaran tauhid tngkat tertinggi. Kedua ajaran itu memandang bahwa wujud yang hakiki hanya satu-Allah, tetapi dari lain segi wujudiyyah muwahhid dan wihdah al-wujud ini tidak sama dengan pandangan “bahwa yang ada hanya Allah” dalam ajaran yang terakhir ini hanya tercapai dalam keadaan yang disebut fana, yakni terhapunya kesadaran akan wujud yang lain, sedang dalam ajaran wihdah al-wujud, pandangan tersebut kelihatan sebagai hasil penafsiran atas fenomena alam yang serba majemuk ini.

Di samping itu, pandangan tauhid tingkat tertinggi itu, nampaknya didasarkan atas asumsi bahwa esensi Allah yang mutlak itu dapat dikenali secara langsung, tanpa melalui penampakan lahir-Nya, asumsi ini dibantah oleh Ibnu Arabi, karena menurut dia Allah hanya bisa dikenal melalui nama-nama dan sifat-sifat-Nya. (Naskah Klasik [9] Keagamaan Nusantara I Cerminan Budaya Bangsa, Departemen Agama RI, Badan Litbang Agama dan Diklat Keagamaan, Puslitbang Lektur Keagamaan, 2005: 49-50). [10]

Kekuatan tasawuf

Tasawuf merupakan suatu kekuatan. Hal itu karena jiwa kaum sufi tiada harganya di jalan Allah. Mereka merelakan jiwa mereka untuk menegakan kalimat Tuhan. Mereka membebani diri dengan kepayahan untuk menyebarkan agama (khususnya) Islam di wilayah-wilayah Afrika dan negeri-negeri yang belum di taklukan oleh pasukan Islam. Pengaruh mereka cukup besar dalam menyebarkan Islam di negeri Melayu (Indonesia, Malaysia, Thailand, Filipina). Juga negeri-negeri lainnya di dunia.[10]

Tasawuf dan ilmu pengetahuan

Ilmu pengetahuan yang di zaman Yunani kuno diberi citra, bahkan diidentikkan dengan filsafat. Tasawuf sebagai ilmu juga diarahkan untuk kepentingan agama (Kristiani), baru memperoleh sifat kemandiriannya semenjak adanya gerakan Renaissance dan Aufklarung. Semenjak itu pula manusia merasa bebas, tidak mempunyai komitmen dengan apa atau siapapun (agama, tradisi, sistem pemerintahan, otoritas politik dan lain sebagainya) selain komitmen dengan dirinya sendiri untuk mempertahankan kebebasannya dalam menentukan cara dan sarana menuju kehidupan yang hendak dicapai.[11]

Kesenian sufi

Sufisme telah menyumbang cukup banyak puisi dalam Bahasa Arab, Bahasa Turki, Bahasa Farsi, Bahasa Kurdi, Bahasa Urdu, Bahasa Punjab, Bahasa Sindhi, yang paling dikenal mencakup karya dari Jalal al-Din Muhammad Rumi, Abdul Qader Bedil, Bulleh Shah, Amir Khusro, Shah Abdul Latif Bhittai, Sachal Sarmast, Sultan Bahu, tradisi-tradisi dan tarian persembahan seperti Sama dan musik seperti Qawalli.

      • Kesenian Sufi Cirebon [11]***

Di Cirebon, kesenian yang berhubungan dengan Kesenian Sufi ini adalah Brai, Gembyung, Terbang, Genjring Santri, dan lainya. Kebanyakan Jenis Kesenian yang beredar di Cirebon terkait dengan perkembangan paham tasawuf tersebut.

Beberapa buku yang telah di tulis oleh para seniman, budayawan, dan sejarahwan Cirebon menguatkan anggapan ini. Buku-buku yang memuat tentang kesenian Cirebon yang berakar pada ajaran tasawuf ini diantaranya adalah Budaya Bahari Sebuah Apresiasi di Cirebon yang di tulis oleh Rokhmin Dahuri dkk pada tahun 2004 dan di cetak oleh PNRI. Selanjutnya buku Deskripsi Kesenian Cirebon yang di susun oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kaupaten Cirebon yang salah satu anggota penyusunnya adalah Bapak Kartani. Dalam banyak kesempatan Kartani selalu menjelaskan bahwa hal tersebut terjadi karena media kesenian sangat cocok untuk berdakwah pada saat itu Mertasinga 2004.

Jika seni dan kesenian dijadikan sebagai media dakwah, maka sangat munfisme/tasawuf yang selalu menitik beratkan pada niat baik dalam segala aktiitas yang dijalnkannya. [12]

tasawuf itu sulit didefinisikan agar dapat dipahami dengan mudah

Lihat pula

Catatan

  1. ^ Hakekat tasawuf oleh Qardhawi
  2. ^ Asal-usul Ajaran Sufisme
  3. ^ Solihin, M. Anwar, M Rosyid. Akhlak Tasawuf (Bandung: Nuansa 2005) hlm. 177
  4. ^ Place of Tasawwuf in Traditional Islam
  5. ^ Islamic Spirituality, the forgotten revolution
  6. ^ Masalah Mistik Tasawuf & Kebatinan, MH. Amien Jaiz, PT Alma'arif - 1980 Bandung
  7. ^ Hakekat Tasawuf dan Sufi[1]
  8. ^ Anwar, Rosihan. Akhlak Tasawuf (Bandung: CV Pustaka Setia 2009) hlm. 225
  9. ^ Referensi dari Cirebon
  10. ^ Mahmud, Abdul Halim. Tasawuf di Dunia Islam (Bandung: Pustaka Setia 2001) hlm. 298
  11. ^ Asmaran. Pengantar Studi Tasawuf (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada 2002) hlm.23

Pranala luar