Aksara Jawa
Aksara Jawa ꦲꦏ꧀ꦱꦫꦗꦮ | |
---|---|
Jenis aksara | Abugida
|
Bahasa | Jawa Sunda (sebagai Cacarakan) |
Periode | sekitar abad ke-16 hingga sekarang |
Arah penulisan | Kiri ke kanan |
Aksara terkait | |
Silsilah | Menurut hipotesis hubungan antara abjad Aramea dengan Brahmi, maka silsilahnya sebagai berikut:
Dari aksara Brahmi diturunkanlah:
|
Aksara kerabat | Bali Batak Baybayin Bugis Incung Lampung Makassar Rejang Sunda |
ISO 15924 | |
ISO 15924 | Java, 361 , Jawa |
Pengkodean Unicode | |
Nama Unicode | Javanese |
U+A980–U+A9DF | |
Aksara Jawa, atau dikenal juga sebagai Hanacaraka (ꦲꦤꦕꦫꦏ) dan Carakan (ꦕꦫꦏꦤ꧀), adalah salah satu aksara tradisional Nusantara yang digunakan untuk menulis bahasa Jawa dan beberapa bahasa daerah Indonesia lainnya. Tulisan ini berkerabat dekat dengan aksara Bali.
Bentuk kontemporer aksara Jawa terbentuk sejak masa kesultanan Mataram abad ke-17, dan bentuk tercetaknya muncul pada abad 19. Semenjak Perang Dunia II, penggunaannya mengalami penurunan dan sekarang bahasa Jawa lebih umum ditulis dengan aksara Latin. Aksara Jawa telah ditambahkan dalam Unicode versi 5.2 pada tahun 2009. Namun dari itu, kompleksitas aksara Jawa menyebabkan kesulitan rendering dalam komputer standar, dan hanya teknologi Graphite SIL pada program tertentu saja yang dapat memberi tampilan benar. Kurangnya nyamannya penggunaan aksara Jawa dalam lingkungan digital membuat penggunaannya tidak begitu luas.
Sejarah
Periode Hindu-Buddha
Tulisan Jawa dan Bali adalah varian modern dari aksara Kawi, salah satu aksara Brahmi hasil perkembangan aksara Pallawa yang berkembang di Jawa. Aksara ini dulu digunakan terutama untuk menulis terjemahan Sansekerta, berbagai literatur masa itu juga ditulis dengan Kawi. Tulisan ini kemudian bertransisi menjadi tulisan Jawa selama periode Hindu-Buddha.
Aksara Kawi dan Jawa sebenarnya mirip; keduanya memiliki ortografi yang sama, seperti ditulis tanpa spasi, bentuk pasangan untuk menulis klaster konsonan, dsb. Perbedaan terletak pada bentuk hurufnya, namun pembagiannya tidak begitu jelas karena prasasti-prasasti masa itu cendrung sangat bervariasi dari satu daerah ke yang lain. Aksara Kawi dan Jawa awal juga mempunyai aksara dasar (nglegena) yang lebih banyak, karena huruf murda serta mahaprana belum dibedakan seperti sekarang, dan merepresentasikan bunyi unik dalam Sansekerta.
Aksara Jawa pada masa ini disusun secara fonetis, berdasarkan pengaturan Panini, dan menjadi basis dalam penyusunan aksara Jawa dalam Unicode.
Periode Islam
Periode ini kurang lebih berlangsung dari zaman Kesultanan Demak hingga Pajang akhir, dan teks dari masa tersebut dapat diwakili dengan serat Suluk Wujil dan Serat Ajisaka. Pada masa ini, diperkenalkan urutan pangram hanacaraka untuk memudahkan pengikatan 20 konsonan yang digunakan dalam bahasa Jawa. Perlu diperhatikan bahwa aksara murda dan mahaprana tidak diikutsertakan dalam urutan tersebut. Hal ini disebabkan karena huruf-huruf murda dan mahaprana merepresentasikan bunyi yang tidak ada dalam bahasa Jawa asli dan lebih banyak berfungsi dalam terjemahan Sansekerta, karena itu penggunaannya menurun semenjak perkenalan Islam. Namun kedua jenis huruf tersebut masih dipertahankan untuk pengejaan.
Periode ini juga ditandai dengan ditemukannya aksara rekan untuk kata serapan bahasa Arab, yang mulai banyak digunakan sejalan dengan penyiaran Islam di Nusantara. Pada abad 17, tulisan Jawa telah dikenal dengan nama Carakan.
Periode Kolonial
Pada tahun 1926, sebuah lokakarya di Sriwedari, Surakarta menghasilkan Wewaton Sriwedari (Ketetapan Sriwedari), yang memberi landasan dasar bagi penulisan, pengejaan, serta ortografi seragam. Salah satu perubahan yang penting dari ketetapan tersebut adalah pengurangan penggunaan tanda baca taling-tarung. Perlu diperhatikan, vokal /o/ dan /ɔ/ (o Jawa) sering muncul dalam bahasa Jawa, namun tanda bacanya dianggap tidak efisien karena perlu ditulis sebelum dan sesudah konsonan dasar. Ditetapkan bahwa hanya vokal /o/ yang perlu ditulis dengan taling-tarung sementara vokal /ɔ/ dapat bertukar posisi dengan /a/ sebagai vokal inheren (lihat pengaturannya di bagian "Tanda baca vokal").
Aksara murda pada periode ini mulai diperlakukan sebagai "huruf kapital" dalam pengejaan nama.
Periode Modern
Periode ini adalah periode perkembangan aksara Jawa setelah kemerdekaan Indonesia hingga sekarang, yang dimulai dengan penerbitan buku Karti Basa oleh Kementrian Pengadjaran, Pendidikan dan Keboedajaan pada tahun 1946 yang berisi Patokan Panoelise Temboeng Djawa nganggo Aksara Djawa sarta Angka (Pedoman Penulisan Kata Jawa dengan Aksara Jawa serta Angka), serta Patokan Panoelise Temboeng Djawa nganggo Aksara Latin (Pedoman Penulisan Kata Jawa dengan Huruf Latin), yang kemudian diterbitkan terpisah sebagai Tatanan Njerat Basa Djawi oleh Tjabang Bagian Bahasa Djawatan Kebudajaan Kementerian P.P. dan K. Jogjakarta pada tahun 1955, yang telah disesuaikan dengan ejaan Soewandi.
Perubahan pada masa ini banyak diprakarsai oleh Kongres Bahasa Jawa (KBJ), sbb;
- KBJ I 1991, ditindak lanjuti oleh Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Propinsi DIY pada tahun anggaran 1992/1993, mengeluarkan pedoman yang membahas penyesuaian transliterasi bahasa Jawa dalam aksara Jawa dan latin, penulisan kata serapan, serta penulisan singkatan.
- KBJ II 1996 mengeluarkan Surat Kesepakatan Bersama (SKB) tiga gubernur (perda Jawa Tengah, No. 430/76/1996, DI Yogyakarta: No. 214/119/5280/1996, dan Jawa Timur No. 430/5052/0311/1996) yang menyelaraskan pengajaran tata cara penulisan di sekolah-sekolah di ketiga provinsi tersebut.[1].
- KBJ III 2001 menyederhanakan penulisan kata dasar + imbuhan
- KBJ IV 2006 berusaha meregistrasikan aksara Jawa dalam Unicode. Dibentuk tim khusus yang dikomandani oleh Hadiwaratama/Hadi Waratama (Bandung), Ki Sudarto HS/Ki Demang Sokowaten (Jakarta) dan Ki Bagiono Sumbogo/Djokosumbogo (Jakarta). Pada tanggal 1 Oktober 2009, aksara Jawa akhirnya diakui dalam standar Unicode versi 5.2 (tergabung dalam Amandemen 6).[2]
Bentuk aksara
Tulisan jawa adalah sebuah abugida. Setiap huruf konsonannya memiliki vokal inheren /a/ atau /ɔ/ dalam posisi terbuka, yang diubah dengan penempatan tanda baca tertentu, seperti halnya huruf Arab. Namun berbeda dengan huruf Arab, tanda baca vokal wajib ditulis jika diperlukan. Perlu diperhatikan bahwa tulisan Arab aslinya bersifat abjad, yakni hanya memiliki konsonan saja. Tanda baca dalam tulisan Arab hanya dipakai untuk teks penting, dan pengguna aslinya dapat membaca tulisan arab tanpa tanda baca.
Setiap huruf konsonan dalam aksara Jawa memiliki bentuk subskrip, disebut pasangan, untuk membentuk klaster konsonan. Beberapa huruf memiliki bentuk 'kapital', namun huruf ini hanya digunakan untuk nama orang atau tempat, tidak untuk awal sebuah kalimat. Terdapat sejumlah huruf yang diadaptasikan untuk kata serapan dan bunyi asing yang tidak terdapat dalam bahasa Jawa. Terdapat pula angka, sejumlah tanda baca yang berhubungan dengan surat-menyurat, tembang/puisi, serta tanda memulasi paragraf, koma, titik, kurung, kutip dan penanda angka.
Huruf Jawa ditulis miring ke kanan dan tanpa spasi (scriptio continua), karena itu pembaca harus mengenal tulisan dan bahasa Jawa untuk mengidentifikasikan batas antar kata.
Konsonan dasar (aksara nglegéna)
Untuk menulis bahasa Jawa modern, digunakan 20 konsonan dasar yang disebut sebagai aksara nglegena. Namun untuk menulis bahasa Jawa Kuno, digunakan 33 konsonan dasar. Huruf-huruf tambahan ini merepresentasikan suara yang tidak dipakai lagi dalam bahasa Jawa modern, yang kemudian digunakan sebagai huruf 'kapital' dalam ortografi kontemporer.
Tanpa sandhangan, sebuah konsonan dibaca dengan vokal inheren /a/ atau /ɔ/. Kapan kedua vokal tersebut digunakan bergantung pada posisi dan sifat aksara, yang diatur sebagai berikut:
- Konsonan dibaca dengan vokal /ɔ/ apabila huruf sebelumnya memiliki sandhangan swara.
- Konsonan dibaca dengan vokal /a/ apabila huruf setelahnya memiliki sandhangan swara.
- Konsonan awal sebuah kata umumnya dibaca dengan vokal /ɔ/, dengan pengecualian apabila dua huruf setelahnya merupakan huruf dasar tanpa sandhangan, maka konsonan tersebut dibaca dengan vokal /a/.
Huruf "ha" dapat merepresentasikan vokal kosong, yang digunakan dengan tanda baca untuk membentuk huruf vokal independen.
Pasangan
Tanda baca pangkon tidak boleh digunakan ditengah kalimat. Ketika sebuah konsonan kosong (konsonan yang vokal inherennya diihlangkan) muncul ditengah kalimat, huruf setelah konsonan kosong tersebut diubah menjadi bentuk subskrip yang bernama pasangan. Setiap huruf konsonan Jawa memiliki pasangan, dengan bentuk dan penataan yang beragam. Namun umumnya, pasangan berada dibawah garis penulisan dan bentuknya berbeda dari konsonan dasarnya.
Beberapa pasangan perlu disambungkan dengan huruf dasar (dengan cara yang sama seperti tanda baca suku) seperti na, wa, dan nya, beberapa ditulis segaris dengan huruf dasar, seperti pa, sa, dan ha. Pasangan ka, ta, dan la hanya memiliki bentuk unik apabila ditulis tanpa tanda baca menyambung. Ketika ditulis dengan suku atau pengkal semisal, bentuk kedua pasangan tersebut menjadi sama dengan huruf dasarnya, namun tetap ditulis dibawah garis. Huruf seperti ya dan ra memiliki bentuk pasangan yang persis sama seperti huruf dasarnya.
ha | na | ca | ra | ka |
da | ta | sa | wa | la |
pa | dha | ja | ya | nya |
ma | ga | ba | tha | nga |
Tanda baca konsonan
Terdapat dua macam tanda baca konsonan, yaitu tanda baca pengakhir konsonan (sandhangan panyigeging wanda) dan tanda baca penyisip konsonan (sandhangan wyanjana).
Tanda Baca Pengakhir Konsonan
Panyangga | Cecak | Wignyan | Layar | Pangkon |
kaṃ | kang | kah | kar | -k |
ꦏꦀ || ꦏꦁ || ꦏꦃ || ꦏꦂ || ꦏ꧀ |
Catatan:
- Panyangga biasanya hanya digunakan untuk silabel suci Hindu, Om.
- Pangkon digunakan untuk menghilangkan vokal inheren suatu vokal, namun hanya digunakan pada akhir kalimat. Apabila sebuah konsonan tanpa vokal muncul ditengah kalimat, digunakan bentuk pasangan (lihat bagian pasangan).
Tanda Baca Penyisip Konsonan
Cakra | Keret | Pengkal |
kra | kre | kya |
ꦏꦿ || ꦏꦽ || ꦏꦾ |
Catatan:
- Bentuk cakra yang ditunjukkan disini sebenarnya adalah bentuk ligatur yang telah menjadi standar.
- Cakra dan pengkal dapat digabungkan dengan tanda baca suku.
Konsonan tambahan
Beberapa huruf Jawa memiliki bentuk murda yang hampir setara dengan huruf kapital pada huruf latin. Namun murda hanya digunakan untuk menuliskan nama gelar, nama diri, nama geografi, atau nama lembaga, tidak untuk awal kalimat. Apabila sebuah nama ingin dikapitalisasi, suku kata pertamanya ditulis dengan aksara murda. Apabila tidak tersedia aksara murda untuk suku pertama, maka suku kata kedua yang dikapitalisasi. Apabila tidak tersedia aksara murda untuk suku kata kedua, maka suku kata ketiga yang dikapitalisasi, dan seterusnya. Jika diperlukan dan hurufnya tersedia, seluruh nama tersebut dapat ditulis dengan murda.
Mahaprana berarti "dibaca dengan hembusan besar". Huruf-huruf ini merepresentasikan bunyi yang digunakan dalam bahasa Jawa Kuno, namun tidak lagi dipakai dalam bahasa Jawa modern. Karena ortografi yang tidak terdefinisi dengan baik, sebagian huruf mahaprana kadang dianggap sebagai huruf murda [3].
Terdapat juga tiga konsonan tambahan yang tidak dikategorikan:
- Ra agung digunakan untuk menulis nama orang atau tempat yang dihormati. Fungsinya sama dengan aksara murda, namun huruf ini tidak dikategorikan sebagai murda.
- Pa cerek merepresentasikan suku kata "re", dan menggantikan kombinasi ra+pepet.
- Nga lelet merepresentasikan suku kata "le", dan menggantikan kombinasi la+pepet.
- Pa cerek dan Nga lelet kadang dikategorikan sebagai aksara ganten.
Aksara Murda | Aksara Mahaprana | Aksara lainnya | |||||||||||
---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|
Basic form | Pasangan | Font | Name | Basic form | Pasangan | Font | Name | Basic form | Pasangan | Font | Name | ||
ꦟ | Na | ꦞ | Da | ꦬ | Ra agung | ||||||||
Berkas:Cha-Jawa.png | ꦖ | Ca | ꦰ | Sa | ꦉ | Pa cerek | |||||||
ꦑ | Ka | ꦙ | Ja | ꦊ | Nga lelet | ||||||||
ꦡ | Ta | ꦜ | Tha | ||||||||||
ꦯ | Sa | ||||||||||||
ꦦ | Pa | ||||||||||||
ꦘ | Nya | ||||||||||||
ꦓ | Ga | ||||||||||||
ꦨ | Ba |
Rekan
Kebanyakan bunyi yang tidak terdapat dalam bahasa Jawa asli ditulis dengan huruf yang bunyinya mendekati ditambah tanda cecak telu. Huruf semacam ini disebut rekan atau rekaan, dan dapat dibagi menjadi dua jenis; rekan untuk menulis bunyi dari bahasa Arab, dan rekan untuk huruf latin dan bahasa-bahasa Eropa seperti bahasa Belanda. Terdapat dua jenis rekan lainnya yang kurang dikenal, yakni rekan untuk bahasa Sunda dan bahasa Cina. Rekan untuk bahasa Cina sangat jarang ditemui, dan tidak diikut-sertakan dalam range Unicode.
ꦥ꦳ || ꦐ || ꦮ꦳ || ꦗ꦳ | |||
fa | qa | va | za |
fa | qa | va | za |
ꦱ꦳ || ꦲ꦳ || ꦏ꦳ || ꦢ꦳ || ꦗ꦳ || ꦰ꦳ || ꦝ꦳ || ꦛ꦳ || ꦘ꦳ || ꦔ꦳ || ꦒ꦳ || ꦥ꦳ || ꦐ | ||||||||||||
tsa | ḥa | kha | dza | za | ṣa | ḍa | ṭa | ẓa | a' | gha | fa | qa |
θa | ħa | xa | ða | za | sˤa | ðˤa | tˤa | dˤa | ʔ | ɣa | fa | qa |
|| ꦉꦴ || ꦋ | ||
nya | reu | leu |
ɳa | rɤ | lɤ |
the | se | nie | hwe | yo | syo |
Vokal dasar (aksara swara)
Aksara swara adalah huruf yang merepresentasikan sebuah bunyi vokal mandiri, dimana terdapat lima untuk vokal dasar, tiga untuk vokal panjang, dua untuk diftong, dan satu variasi kuno dimasukkan ke range Unicode. Setiap hurufnya memiliki bentuk sandhangan untuk mengubah vokal inheren konsonan, dengan pengecualian sandhangan tarung, pêpêt dan tolong yang tidak mempunyai bentuk huruf mandiri.
Perlu diperhatikan bahwa huruf vokal mandiri dapat digantikan dengan aksara "ha" sebagai konsonan kosong, diikuti dengan tanda baca vokal yang sesuai. Bentuk vokal mandiri seperti pada tabel dibawah hanya digunakan untuk menuliskan nama atau kata serapan, sementara untuk kata asli bahasa Jawa, digunakan aksara "ha". Sebagai contoh, anak (anak) ditulis dengan aksara "ha" (ꦲꦤꦏ꧀), begitu halnya iwa (ikan), dengan tambahan tanda baca vokal "i" (ꦲꦶꦮ). Sementara itu, nama seperti Ali (ꦄꦭꦶ) dan Irawan (ꦆꦫꦮꦤ꧀) ditulis dengan bentuk vokal mandiri seperti pada tabel dibawah.
a | i | u | é | o |
/a/ atau /ɔ/ | /i/ | /u/ | /e/ atau /ɛ/ | /o/ |
ꦄ || ꦆ || ꦈ || ꦌ || ꦎ |
aa | ii | uu | ai | au |
/aː/ | /iː/ | /uː/ | /ai/ | /au/ |
ꦄꦴ || ꦇ || ꦈꦴ || ꦍ || ꦎꦴ |
Catatan:
- Vokal panjang aa, ii, dan uu tidak diromanisasi dengan tanda baca macron.
- Ai dan au masing-masing merepresentasikan diftong /ai/ dan /au/. Namun keduanya tidak dipakai dalam teks berbahasa Jawa karena bahasa Jawa tidak mengenal diftong. Kedua huruf ini berguna untuk mengtranskripsikan bahasa-bahasa seperti bahasa Indonesia dan Melayu.
Tanda baca vokal
Disebut sandhangan swara, tanda baca ini dipakai sebagai pengubah bunyi vokal dalam tulisan Jawa. Selain vokal yang terdapat pada bentuk mandiri, terdapat beberapa sandhangan yang tidak mempunyai bentuk mandiri unik. Sandhangan tersebut adalah tarung yang memperpanjang vokal, pepet untuk vokal /ə/, dan pepet-tarung yang digunakan dalam penulisan Sunda untuk vokal /ɤ/.
a | i | u | é | o | e |
/a/ atau /ɔ/ | /i/ | /u/ | /e/ atau /ɛ/ | /o/ | /ə/ |
- | Wulu | Suku | Taling | Taling-tarung | Pepet |
ꦏ || ꦏꦶ || ꦏꦸ || ꦏꦺ || ꦏꦺꦴ || ꦏꦼ |
aa | ii | uu | ai | au | eu |
/aː/ | /iː/ | /uː/ | /ai/ | /au/ | /ɤ/ |
ꦏꦴ || ꦏꦷ || ꦏꦹ || ꦏꦻ || ꦏꦻꦴ || ꦏꦼꦴ |
Angka
Sistem angka Jawa mempunyai numeralnya sendiri, yang hanya terdiri dari angka 0–9 sebagai berikut:
1 | 2 | 3 | 4 | 5 | 6 | 7 | 8 | 9 | 0 |
siji | loro | telu | papat | lima | enem | pitu | wolu | sanga | nol |
꧑ || ꧒ || ꧓ || ꧔ || ꧕ || ꧖ || ꧗ || ꧘ || ꧙ || ꧐ |
Untuk menulis angka yang lebih besar dari 9, gabungkan dua angka atau lebih diatas seperti halnya angka Arab. Misal, 21 ditulis dengan menggabungkan 2 dan 1 menjadi; ꧒꧑. Dengan cara kerja yang sama, 90 ditulis dengan ꧙꧐.
Beberapa angka Jawa memiliki bentuk yang sangat mirip dengan karakter silabel Jawa, semisal ꧖ (6) dengan ꦌ (aksara e), dan ꧗ (7) dengan ꦭ (la). Untuk menghindari kerancuan, angka yang muncul dalam teks ditandai dengan tanda pada pangkat, yang ditulis sebelum dan setelah angka. Misal, "Selasa 19 Maret 2013" ditulis dengan:
ꦱꦼꦭꦱ ꧇꧑꧙꧇ ꦩꦉꦠ꧀ ꧇꧒꧐꧑꧓꧇
Di beberapa kasus, angka Arab menggantikan peran angka Jawa.
Tanda Baca
Dengan diperkenalkannya tulisan Jawa baru, tanda baca (pada) baru juga diperkenalkan. Tanda baca dapat dibagi menjadi dua: umum dan khusus.
Nama | Gambar | Font | Fungsi |
---|---|---|---|
Pada adeg | ꧊ || Tanda kurung atau petik | ||
Pada adeg-adeg | ꧋ || Mengawali suatu paragraf | ||
Pada piseleh | ꧌ dan ꧍ || Berfungsi sama seperti pada adeg | ||
Pada lingsa | ꧈ || Koma | ||
Pada lungsi | ꧉ || Titik |
Terdapat dua peraturan khusus mengenai penggunaan koma.
1. Koma tidak ditulis setelah kata yang berujung pangkon.
2. Koma menjadi titik apabila tetap ditulis setelah pangkon.
Nama | Gambar | Font | Fungsi |
---|---|---|---|
Rerengan | ꧁ dan ꧂ || Mengapit judul | ||
Pada luhur | ꧅ || Menandakan judul | ||
Pada madya | ꧄ || Mengawali sebuah surat untuk orang yang lebih tua atau berderajat lebih tinggi | ||
Pada andhap | ꧃ || Mengawali sebuah surat untuk orang yang lebih muda atau berderajat lebih rendah | ||
Pada guru | ꧋꧆꧋ || Mengawali sebuah surat untuk orang yang sebaya atau berderajat sama | ||
Pada pancak | ꧉꧆꧉ || Mengakhiri surat | ||
Purwa pada | ꧅ ꦧ꧀ꦕ ꧅ || Mengawali sebuah tembang/puisi | ||
Madya pada | ꧅ ꦟ꧀ꦢꦿ ꧅ || Memulai bait baru dalam sebuah tembang/puisi | ||
Wasana pada | ꧅ ꦆ ꧅ || Mengakhiri suatu tembang/puisi |
Tanda baca khusus berasal dari naskah keraton yang sangat dekoratif, sehingga bentuknya lebih rumit dibanding tanda baca umum. Tanda baca ini juga memiliki banyak varian karena sifatnya yang ornamental, dihias berdasarkan selera dan kemampuan penulis.
Terdapat juga beberapa tanda baca yang tidak dikategorikan dalam dua pada tersebut:
Name | Font |
---|---|
Tirta tumétés | ꧞ |
Isen-isen | ꧟ |
Pada rangkep | ꧏ |
Tirta tumétés dan Isen-isen memiliki fungsi unik yang sekarang tidak ditemukan lagi dalam ortografi Jawa modern sebagai "tanda perbaikan". Apabila terjadi kesalahan penulisan, bagian yang salah diberikan salah satu dari dua tanda tersebut sebanyak tiga kali. Tirta tumétés digunakan oleh penulis Yogyakarta, sementara Isen-isen digunakan oleh penulis Surakarta. Sebagai contoh, seorang penulis dari Yogyakarta ingin menulis pada luhur namun salah tulis menjadi pada wu..., maka akan ditulis:
ꦥꦢꦮꦸ꧞꧞꧞ꦭꦸꦲꦸꦂ
Pada wu---luhur
Penulis dari Surakarta akan menulis:
ꦥꦢꦮꦸ꧟꧟꧟ꦭꦸꦲꦸꦂ
Pangrangkep pada dasarnya adalah angka Arab dua (٢) yang menandakan kata berulang. Menariknya, metode menggunakan angka untuk menandakan kata berulang bertahan dalam ortografi Bahasa Indonesia dengan tulisan latin. Metode ini menjadi tidak resmi sejak EYD tahun 1972, namun penggunaannya masih sering terlihat dalam bahasa tertulis masa kini, seperti "hati2" atau "anak2"
Urutan Huruf
Urutan paling umum dalam aksara Jawa adalah urutan hanacaraka, dimana 20 huruf dasar disusun membentuk puisi atau pangram sempurna, sebagai berikut;
ꦲꦤꦕꦫꦏ
ꦢꦠꦱꦮꦭ
ꦥꦝꦗꦪꦚ
ꦩꦒꦧꦛꦔ
yang penerjemahannya sebagai berikut:
Hana caraka Terdapat dua utusan/pembawa pesan
data sawala Yang berbeda pendapat
padha jayanya (Mereka berdua) sama kuat(jaya)nya
maga bathanga Inilah mayat mereka.
-
Hana caraka (Terdapat dua utusan)
-
Data sawala (Yang berbeda pendapat)
-
Padha jayanya (Mereka berdua sama kuatnya)
-
Maga bathanga (Inilah mayat mereka)
Puisi ini menceritakan tentang tokoh legendaris Aji Saka dan awal mula terciptanya aksara Jawa[4].
Aksara Jawa juga dapat disusun secara fonetis mengikuti kaidah Panini dan kasang disebut sebagai urutan kaganga berdasarkan tiga huruf pertamanya. Urutan ini dipakai untuk mengatur aksara Jawa di periode Hindu-Buddha, ketika aksara tersebut sering dipakai dalam terjemahan Sansekerta, dan sekarang masih dipakai sebagai urutan aksara Jawa dalam Unicode. Dengan urutan ini, setiap huruf dapat mewakili bunyi unik yang digunakan dalam bahasa Jawa kuno. bahasa Jawa modern memiliki bunyi yang lebih sedikit, terutama konsonan teraspirasi, karena itu beberapa huruf tidak dipakai lagi dan beberapa digunakan sebagai huruf kapital (lihat bagian murda dan mahaprana). Urutannya sebagai berikut:
ISO | k | kh | g | gh | ṅ | c | ch | j | jh | ñ | ṭ | ṭh | ḍ | ḍh | ṇ | t | th |
---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|
IPA | k | kʰ | ɡ | ɡʱ | ŋ | tʃ | tʃʰ | dʒ | dʒʱ | ɲ | ʈ | ʈʰ | ɖ | ɖʱ | ɳ | t̪ | t̪ʰ |
Javanese | ꦏ || ꦑ || ꦒ || ꦓ || ꦔ || ꦕ || ꦖ || ꦗ || ꦙ || ꦚ || ꦛ || ꦜ || ꦝ || ꦞ || ꦟ || ꦠ || ꦡ |
ISO | d | dh | n | p | ph | b | bh | m | y | r | l | v | ś | ṣ | s | h |
---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|
IPA | d̪ | d̪ʱ | n | p | pʰ | b | bʱ | m | j | ɾ | l | ʋ | ʃ | ʂ | s | ɦ |
Javanese | ꦢ || ꦣ || ꦤ || ꦥ || ꦦ || ꦧ || ꦨ || ꦩ || ꦪ || ꦫ || ꦭ || ꦮ || ꦯ || ꦰ || ꦱ || ꦲ |
Kalangan neo-konservatif Jawa juga mengemukakan urutan alternatif yang dengan ciri kedua urutan diatas. Huruf disusun berdasarkan sekuensi hanacaraka, namun huruf murda dan mahaprana diikutsertakan beserta bunyi aslinya sebagaimana dalam urutan kaganga. Hal ini dianggap memudahkan pelafalan dan berguna untuk menulis bahasa asing. Urutannya sebagai berikut:
ha | na | nna | ca | cha | ra | rra | ka | kha |
ꦲ|| ꦤ || ꦟ || ꦕ || ꦖ || ꦫ || ꦬ || ꦏ || ꦑ | ||||||||
da | dha | ta | tha | sa | sha | ssa | wa | la |
ꦢ || ꦣ || ꦠ || ꦡ || ꦱ || ꦯ || ꦰ || ꦮ || ꦭ | ||||||||
pa | pha | dha | ddha | ja | jha | ya | nya | jnya |
ꦥ || ꦦ || ꦝ || ꦞ || ꦗ || ꦙ || ꦪ || ꦚ || ꦘ | ||||||||
ma | ga | gha | ba | bha | tha | ttha | nga | |
ꦩ || ꦒ || ꦓ || ꦧ || ꦨ || ꦛ || ꦜ || ꦔ |
Gaya penulisan (Gagrag)
Berdasarkan Bentuk aksara Penulisan aksara Jawa dibagi menjadi 3 yakni:
- Ngetumbar
- Mbata Sarimbag
Berdasarkan Daerah Asal Pujangga/Manuskrip, dikenal gaya penulisan aksara Jawa :
- Jogjakarta
- Surakarta
- Lainnya
Berkas:Carakan Gagrag Pujakesuma.png
Berkas:Carakan Gagrag Linge.png
Penggunaan
Aksara jawa sampai sekarang masih diajarkan di sekolah-sekolah wilayah berbahasa Jawa[5] seperti Jawa Tengah, Jawa Timur, dan DI Yogyakarta, sebagai bagian dari muatan lokal kelas 3 hingga 5 SD.[6] Walaupun demikian, penggunaan sehari-hari, seperti dalam media cetak atau televisi, masih sangat terbatas dan terdesak oleh penggunaan aksara Latin yang lebih mudah diakses. Beberapa surat kabar dan majalah lokal memiliki kolom yang menggunakan aksara Jawa. Namun selain itu, usaha-usaha revivalisasi hanya bersifat simbolik dan tidak fungsional, seperti pada penulisan nama jalan. Salah satu penghambatnya adalah tidak adanya pengembangan ortografi dan tipografi aksara[6], serta digitalisasi komputer yang sulit dilakukan karena kompleksitas aksara Jawa.
Penggunaan diluar bahasa Jawa
Bahasa Sunda
Aksara Jawa juga dapat digunakan untuk menulis bahasa Sunda. Namun aksara dimodofikasi dan dikenal dengan nama Cacarakan. Salah satu perbedaann terlihat dari tidak digunakannya huruf dha dan tha, sehingga konsonan dasarnya hanya terdiri dari 18 huruf;
ha, na, ca, ra, ka, da, ta, sa, wa, la, pa, ja, ya, nya, ma, ga, ba, nga.
Perbedaan lain juga terlihat dari penggunaan kombinasi diakritik pepet-tarung untuk vokal /ɤ/, vokal tersebut tidak terdapat dalam bahasa Jawa, penyederhanaan tanda baca vokal /o/ menjadi satu diakritik yang disebut tolong, serta bentuk "nya" yang terdiri dari "na" dan pasangan "nya" (lihat bagian rekan untuk bahasa Sunda),
Bahasa Bali
Aksara Bali dan Jawa pada dasarnya hanyalah varian tipografik. Namun dari itu, huruf diperlakukan dengan berbeda, karena bahasa Bali tidak menganggap aksara murda dan mahaprana arkaik. Keduanya masih dipakai, dengan terbatas, untuk pengejaan kata yang berbunyi sama, serta dalam teks religius untuk mengtransliterasikan bahasa Sansekerta.
Hanacaraka gaya Jawa | Hanacaraka gaya Bali |
Bahasa Indonesia dan Asing
Karena sifatnya yang fonetis, aksara Jawa dapat dipakai untuk menulis bahasa Indonesia dan kata serapan bahasa asing, dan penggunannya banyak dipelopori oleh pengguna Aksara Jawa kalangan neo-konservatif. Hal ini dapat dilihat pada tempat-tempat umum wilayah berbahasa Jawa, terutama di Surakarta dan sekitarnya. Kata dari bahasa asing ditulis sebagaimana kata tersebut diucap, bukan berdasarkan pengejaannya. Sebagai contoh, "Solo Grand Mall" ditransliterasikan menjadi ꦱꦺꦴꦭꦺꦴꦒꦿꦺꦤ꧀ꦩꦭ꧀ yang secara harfiah ditransliterasikan kembali menjadi "solo gren mol".
Integrasi dalam sistem komputer
Aksara Jawa banyak digunakan dalam percetakan Hindia-Belanda abad 19, namun perkembangannya berhenti menjelang Perang Dunia II dan digantikan oleh sistem ortografi Latin yang dikenalkan Belanda[7]. Ketika sistem informasi elektronik muncul, terjadi sejumlah usaha revitalisasi aksara Jawa dengan mengintegrasikannya ke dalam sistem komputer, yang telah dilakukan sejak 1983 oleh peneliti dari Universitas Leiden (dipimpin Willem van der Molen) dan pada 1987 oleh Dinas Pendidikan dan Kebudayaan[8]. Integrasi ini diperlukan agar setiap karakter dalam aksara Jawa memiliki kode unik yang diakui di seluruh dunia. Namun karena penggunaan yang menurun dan kompleksitas rendering, upaya ini berjalan dengan lambat.
Unicode
Pada pertengahan tahun 1993 dan Maret 1998, Jeroen Hellingman mengajukan proposal untuk mendaftarkan aksara Jawa ke Unicode. Selanjutnya sekitar 2002, Jason Glavy membuat "font" aksara Jawa[9] yang diedarkan secara bebas dan juga mengajukan proposal ke Unicode. Namun kedua proposal ini tidak diterima, dan baru sejak awal 2005 dilakukan usaha bertahap yang nyata untuk mengintegrasikan aksara Jawa ke dalam Unicode setelah Michael Everson membuat suatu code table sementara untuk didaftarkan. Kelambatan ini terjadi karena kurangnya dukungan dari masyarakat pengguna aksara Jawa.
Pada Kongres Bahasa Jawa (KBJ) IV 2006, mulai terhimpun dukungan dari masyarakat pengguna serta usaha untuk meregistrasi aksara Jawa dalam standar Unicode mulai intensif dilaksanakan. Tim khusus Registrasi Unicode aksara Jawa berhasil dibentuk dengan dikomandani oleh Hadiwaratama/Hadi Waratama (Bandung), Ki Sudarto HS/Ki Demang Sokowaten (Jakarta) dan Ki Bagiono Sumbogo/Djokosumbogo (Jakarta). Kerja keras selama kurang lebih 3 tahun ini akhirnya membuahkan hasil dengan telah diterimanya aksara Jawa sebagai aksara yang diakui dalam standar Unicode versi 5.2 (tergabung dalam Amandemen 6) yang keluar pada tanggal 1 Oktober 2009.[10] Dalam pernyataan resmi di situs Unicode, disebutkan orang-orang yang terlibat dalam upaya penstandaran aksara Jawa ini adalah: Bagiono Djokosumbogo, Michael Everson (teknis), Hadiwaratama (ketua tim), Donny Harimurti, Sutadi Purnadipura, dan Ki Demang Sokowaten. [11][12]
Sebenarnya dalam aksara-aksara Nusantara, aksara Jawa merupakan yang ke-5 untuk diakui Unicode, setelah aksara Bugis, aksara Bali (keduanya sejak 5.0[13][14]), aksara Rejang dan aksara Sunda (keduanya sejak 5.1[15]) telah diakui. Dibandingkan dengan aksara Bali (aksara Nusantara lain dengan kompleksitas yang sama dilihat dari segi rendering) aksara Jawa perlu waktu pengembangan yang lebih lama hingga akhirnya diterima dalam Unicode.
Blok
Blok Unicode aksara Jawa terletak pada kode U+A980–U+A9DF. Sel abu-abu menunjukkan titik kode yang belum terpakai.
Javanese[1][2] Bagan kode resmi Unicode Consortium (PDF) | ||||||||||||||||
0 | 1 | 2 | 3 | 4 | 5 | 6 | 7 | 8 | 9 | A | B | C | D | E | F | |
U+A98x | ꦀ | ꦁ | ꦂ | ꦃ | ꦄ | ꦅ | ꦆ | ꦇ | ꦈ | ꦉ | ꦊ | ꦋ | ꦌ | ꦍ | ꦎ | ꦏ |
U+A99x | ꦐ | ꦑ | ꦒ | ꦓ | ꦔ | ꦕ | ꦖ | ꦗ | ꦘ | ꦙ | ꦚ | ꦛ | ꦜ | ꦝ | ꦞ | ꦟ |
U+A9Ax | ꦠ | ꦡ | ꦢ | ꦣ | ꦤ | ꦥ | ꦦ | ꦧ | ꦨ | ꦩ | ꦪ | ꦫ | ꦬ | ꦭ | ꦮ | ꦯ |
U+A9Bx | ꦰ | ꦱ | ꦲ | ꦳ | ꦴ | ꦵ | ꦶ | ꦷ | ꦸ | ꦹ | ꦺ | ꦻ | ꦼ | ꦽ | ꦾ | ꦿ |
U+A9Cx | ꧀ | ꧁ | ꧂ | ꧃ | ꧄ | ꧅ | ꧆ | ꧇ | ꧈ | ꧉ | ꧊ | ꧋ | ꧌ | ꧍ | ꧏ | |
U+A9Dx | ꧐ | ꧑ | ꧒ | ꧓ | ꧔ | ꧕ | ꧖ | ꧗ | ꧘ | ꧙ | ꧞ | ꧟ | ||||
Catatan |
Font
JG Aksara Jawa, oleh Jason Glavy |
Tuladha Jejeg, oleh R.S. Wihananto |
Aturra, oleh Aditya Bayu |
Adjisaka, oleh Sudarto HS/Ki Demang Sokowanten |
- dengan sampel teks baris pertama Pernyataan Umum tentang Hak-Hak Asasi Manusia dalam bahasa Jawa.
Dalam situsnya, Unicode memberikan kredit kepada Michael Everson dan Jason Glavy yang telah menyumbangkan font untuk aksara Jawa[16]. Saat ini terdapat beberapa font aksara Jawa yang banyak beredar, seperti Hanacaraka/Pallawa (oleh Teguh Budi Sayoga) yang berdasarkan ANSI[17][18], Adjisaka (oleh Sudarto HS/Ki Demang Sokowanten)[19], JG Aksara Jawa (oleh Jason Glavy)[20], Carakan Anyar (oleh Pavkar Dukunov)[21], serta Tuladha Jejeg (oleh R.S. Wihananto) yang berdasarkan teknologi font pintar Graphite SIL[22].
Dari segi teknis, semua font diatas memiliki kekurangannya masing-masing. Semisal, JG Aksara Jawa dapat menimbulkan konflik dengan sistem tulisan lain karena font tersebut menggunakan kode aksara-aksara seperti Limbu (1900-194F), Tai Le (1950-197F), New Tai Lu (1980-19DF), Simbol Khmer (19E0-19FF), Bugis/Lontara (1A00-1A1F), Tai Tham (1A20-1AAD), Bali (1B00-1B7F), dan Sunda (1B80-1BBF). Tidak mengherankan karena font JG Aksara Jawa dibuat tahun 2003, sebelum aksara Jawa masuk Unicode. Font Adjisaka juga memiliki masalah yang serupa. Sementara itu, font Tuladha Jejeg hanya dapat menampilkan pasangan dan bentuk kompleks lainnya di program yang memanfaatkan teknologi Graphite SIL, seperti browser Firefox, Thunderbird email client, dan beberapa prosesor kata open source.
Font lain yang beredar dengan cakupan tidak begitu luas adalah Surakarta.[23] yang dibuat Matthew Arciniega pada tahun 1992 sebagai screen font untuk Mac, dan Tjarakan yang dikembangkan sekitar tahun 2000 oleh perusahaan bernama AGFA Monotype.[24][25] Kemudian terdapat juga font Jawa berbasis simbol Aturra[26] yang dikembangkan oleh Aditya Bayu sekitar 2012-2013.
Program konversi
Selain itu sebelum terdaftar di Unicode, aksara Jawa juga pernah beredar font serta software aksara Jawa oleh Yanis Cahyono pada tahun 2001 yang diberi nama "Aljawi"[27], hampir bersamaan disusul Ermawan Pratomo membuat font hanacaraka pada tahun 2001[butuh rujukan]. Selain itu ada pula program pengkonversi font Carakan-Latin oleh Bayu Kusuma Purwanto (2006), yang dapat diekspor ke dalam html[28], dan Setya Amrih Prasadja yang membuat font Rama Setya yang berdasarkan Serat Rama Cirebonan[29] dan Hanacaraka JG Setya (turunan JG Aksara Jawa). Program konversi lain yang beredar antara lain adalah OnScreen Keyboard Jawa oleh Wisudyantoro [30][31]
Galeri
-
Halaman depan sebuah manuskrip Jawa.
-
Halaman dari Kisah Tiga Negara versi Jawa, dengan aksara yang ditulis tangan
-
Halaman dari Raden Sagara menggunakan bahasa Madura dan aksara yang dicetak
-
Halaman depan dari Mengelilingi Dunia Dalam 80 Hari versi Jawa, dengan aksara yang dicetak
-
Prasasti di masjid Sholihin, Surakarta
-
Nama jalan di Surakarta
-
Nama sebuah bank
-
Salah satu puisi-puisi dinding Leiden, Serat Kalatidha, dengan aksara Jawa
-
Lambang DI Yogyakarta
-
Lambang Kesultanan Yogyakarta.
-
Kaligrafi Jawa kontemporer
-
Huruf CHA (Ca Murdha)
Catatan kaki
- ^ Pedoman Penulisan Aksara Jawa
- ^ Unicode 5.2.0
- ^ http://omniglot.com/writing/javanese.htm
- ^ "Javanese Characters and Aji Saka". Joglosemar. Diakses tanggal 29 March 2012.
- ^ Bahasa Jawa? Ih, "Boring" Banget. Kompas daring 25-09-2006. Diakses 6-5-2009.
- ^ a b Abdul Wahab. Masa depan bahasa, sastra, dan aksara daerah. Nawala.
- ^ AGFA Monotype: Javanese
- ^ Ibu Sedyati: http://yulian.firdaus.or.id/2005/04/20/unicode-hanacaraka/comment-page-4/#comment-13818
- ^ http://yulian.firdaus.or.id/2005/04/20/unicode-hanacaraka/comment-page-4/#comment-3246
- ^ Unicode 5.2.0
- ^ http://www.unicode.org/acknowledgements/Unicode6.0.0/techcontrib.html
- ^ http://www.unicode.org/acknowledgements/Unicode6.0.0/editorial.html lebih lanjut tentang Michael Everson
- ^ http://www.unicode.org/versions/Unicode5.0.0/Acknowledge.pdf
- ^ Proses komputerisasi aksara Bali
- ^ http://www.unicode.org/acknowledgements/Unicode6.0.0/techcontrib.html
- ^ http://www.unicode.org/charts/fonts.html
- ^ http://hanacaraka.fateback.com/dok&down.htm
- ^ http://yulian.firdaus.or.id/2005/04/20/unicode-hanacaraka/comment-page-4/#comment-2759
- ^ http://www.adjisaka.com/
- ^ http://www.reocities.com/jglavy/asian.html
- ^ https://sites.google.com/site/hanacarakan/font
- ^ https://sites.google.com/site/jawaunicode/
- ^ http://luc.devroye.org/fonts-46330.html
- ^ AGFA Monotype: Javanese script
- ^ Aksara Jawa dalam Unicode
- ^ http://alteaven.deviantart.com/art/Aturra-Java-365645184
- ^ font aksara jawa standar yogyakarta (aljawi)
- ^ Carakan. Aplikasi pengkonversi Aksara Jawa Hanacaraka ke aksara Latin (vica versa)
- ^ http://smada-zobo.jimdo.com/unduhan/
- ^ http://wisudyantoro.blogspot.com/2010/05/onscreen-keyboard-jawa.html
- ^ keyboard jawa versi online dan transliterasi online oleh Yayong Ditya K