Lompat ke isi

Sejarah perkeretaapian di Indonesia

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Pembangunan jembatan rel di wilayah Banyuwangi.

Sejarah perkeretaapian di Indonesia diawali dengan pencangkulan pertama pembangunan jalan kereta api di desa Kemijen, Jumat tanggal 17 Juni 1864, oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Mr. L.A.J Baron Sloet van den Beele. Pembangunan diprakarsai oleh "Nederlands-Indische Spoorweg Maatschappij" (NIS) yang dipimpin oleh Ir. J.P de Bordes dari Kemijen menuju desa Tanggung (26 Km) dengan lebar sepur 1.435 mm. Ruas jalan ini dibuka untuk angkutan umum pada hari Sabtu, 10 Agustus 1867.

Kereta listrik pertama beroperasi 1925, menghubungkan Weltevreden dengan Tandjoengpriok.

Keberhasilan swasta, NIS membangun jalan KA antara Samarang-Tanggung, yang kemudian pada tanggal 10 Februari 1870 dapat menghubungkan kota Semarang - Surakarta (110 km), akhirnya mendorong minat investor untuk membangun jalan KA di daerah lainnya. Tidak mengherankan, kalau pertumbuhan panjang jalan rel antara 1864 - 1900 tumbuh dengan pesat. Kalau tahun 1867 baru 25 km, tahun 1870 menjadi 110 km, tahun 1880 mencapai 405 km, tahun 1890 menjadi 1.427 km dan pada tahun 1900 menjadi 3.338 km.

Perkembangan di luar Jawa

Halte Si Loengkang di jalur Solok-Silungkang, ketika baru selesai dibangun.

Selain di Jawa, pembangunan rel KA juga dilakukan di Aceh (1874), Sumatera Utara (1886), Sumatera Barat (1891), Sumatera Selatan (1914), bahkan tahun 1922 di Sulawesi juga telah dibangun jalan KA sepanjang 47 km antara Makasar-Takalar, yang pengoperasiannya dilakukan tanggal 1 Juli 1923, sisanya Ujungpandang-Maros belum sempat diselesaikan. Sedangkan di Kalimantan, meskipun belum sempat dibangun, studi jalan KA Pontianak - Sambas (220 km) sudah diselesaikan. Demikian juga di pulau Bali dan Lombok, juga pernah dilakukan studi pembangunan jalan KA.

Pendudukan Jepang

Sampai dengan tahun 1939, panjang jalan KA di Indonesia mencapai 6.811 km. Tetapi, pada tahun 1950 panjangnya berkurang menjadi 5.910 km, kurang lebih 901 km raib, yang diperkirakan karena dibongkar semasa pendudukan Jepang dan diangkut ke Burma untuk pembangunan jalan KA di sana.

Jenis jalan rel KA di Indonesia dibedakan dengan lebar sepur 1.067 mm; 750 mm (di Aceh) dan 600 mm di beberapa lintas cabang dan tram kota. Jalan rel yang dibongkar semasa pendudukan Jepang (1942 - 1943) sepanjang 473 km, sedangkan jalan KA yang dibangun semasa pendudukan Jepang adalah 83 km antara Bayah - Cikara dan 220 km antara Muaro - Pekanbaru. Ironisnya, dengan teknologi yang seadanya, jalan KA Muaro - Pekanbaru diprogramkan selesai pembangunannya selama 15 bulan yang memperkerjakan 27.500 orang, 25.000 diantaranya adalah Romusha. Jalan yang melintasi rawa-rawa, perbukitan, serta sungai yang deras arusnya ini, banyak menelan korban yang makamnya bertebaran sepanjang Muaro - Pekanbaru.

Setelah kemerdekaan Indonesia diproklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945, karyawan KA yang tergabung dalam "Angkatan Moeda Kereta Api" (AMKA) mengambil alih kekuasaan perkeretaapian dari pihak Jepang. Peristiwa bersejarah yang terjadi pada tanggal 28 September 1945, pembacaan pernyataan sikap oleh Ismangil dan sejumlah anggota AMKA lainnya, menegaskan bahwa mulai tanggal 28 September 1945 kekuasaan perkeretaapian berada ditangan bangsa Indonesia. Orang Jepang tidak diperkenankan lagi campur tangan dengan urusan perkeretaapian di Indonesia. Inilah yang melandasi ditetapkannya 28 September 1945 sebagai Hari Kereta Api di Indonesia, serta dibentuknya "Djawatan Kereta Api Republik Indonesia" (DKARI).

Sejarah perkeretaapian Indonesia 1875-1925

Di bawah ini adalah sejarah perkeretaapian di Indonesia pada rentang tahun 1875-1925 dan dalam bentuk sketsa. [1]

Kereta api pertama di Indonesia dibangun tahun 1867 di Semarang dengan rute Semarang - Tanggung yang berjarak 26 km oleh NIS (Nederlands-Indische Spoorweg Maatschappij) dengan lebar jalur 1.435 mm (lebar jalur Staatsspoorwegen adalah 1.067 mm atau yang sekarang dipakai), atas permintaan Raja Willem I untuk keperluan militer di Semarang maupun hasil bumi ke Gudang Semarang. Kemudian dalam melayani kebutuhan akan pengiriman hasil bumi dari Indonesia, maka Pemerintah Kolonial Belanda sejak tahun 1876 telah membangun berbagai jaringan kereta api, dengan muara pada pelabuhan Tanjung Priok Jakarta dan Tanjung Perak Surabaya. Semarang meskipun strategis, tetapi tidak ada pelabuhannya untuk barang, sehingga barang dikirim ke Batavia atau Soerabaja.

Gambaran keadaan kereta api di Indonesia pada masa djaman doeloe perlu dilestarikan, sehingga generasi mendatang bisa menghayati dan betapa pentingnya pembangunan kereta api. Memang pada masa itu nama kereta api sudah tepat, karena kereta dijalankan dengan api dari pembakaran batu bara atau kayu. Sedangkan sekarang sudah memakai diesel atau listrik, sehingga lebih tepat kalau disebut kereta rel, artinya kereta yang berjalan di atas rel dengan diesel ataupun listrik.

Informasi tahun 1875 - 1925 mungkin sudah susah dijumpai di perpustakaan, oleh sebab itu uraian ini sangat tepat dan perlu diinformasikan kepada generasi muda.

Jaringan rel

Pengembangan jaringan rel kereta api 1875 - 1925 dalam 4 tahap, yaitu:

  • 1875 - 1888,
  • 1889 - 1899,
  • 1900 - 1913
  • 1914 - 1925.

Jaringan setelah tahun 1875 hingga tahun 1888

Pembangunan Tahap I terjadi tahun 1876-1888. Awal pembangunan rel adalah 1876, berupa jaringan pertama di Hindia Belanda, antara Tanggung dan Gudang di Semarang pada tahun 1876, sepanjang 26 km. Setelah itu mulai dibangun lintas Semarang - Gudang. Pada tahun 1880 dibangun lintas Batavia (Jakarta) - Buitenzorg (Bogor) sepanjang 59 km, kemudian dilanjutkan ke Cicalengka melalui Cicurug - Sukabumi - Cibeber - Cianjur - Bandung. Pada tahun 1877 dibangun lintas Kediri - Blitar, dan digabungkan dengan lintas Surabaya - Cilacap lewat Kertosono - Madiun - Solo, dan juga lintas Jogya - Magelang.

Hingga tahun 1888 jaringan rel terbangun adalah:

  • Batavia - Buittenzorg - Sukabumi - Bandung - Cicalengka
  • Batavia - Tanjung Priok dan Batavia - Bekasi
  • Cilacap - Kutoarjo - Yogya - Solo - Madiun - Sidoarjo - Surabaya
  • Kertosono - Kediri - Blitar
  • Sidoarjo - Malang dan Bangil - Pasuruan - Probolinggo
  • Solo - Purwodadi - Semarang dan Semarang - Rembang
  • Tegal - Balapulang

Jaringan setelah tahun 1889 hingga tahun 1899

Hingga tahun 1899 jaringan rel terbangun adalah:

  • Djogdja - Tjilatjap
  • Soerabaja - Pasoeroean - Malang
  • Madioen - Solo
  • Sidoardjo - Modjokerto
  • Modjokerto - Kertosono
  • Kertosono - Blitar
  • Kertosono - Madioen - Solo
  • Buitenzorg (Bogor) - Tjitjilengka
  • Batavia - Rangkasbitung
  • Bekasi - Krawang
  • Cicalengka - Cibatu (Garut) - Tasikmalaya - Maos - Banjarnegara
  • Cirebon - Semarang dan Semarang - Blora
  • Yogya - Magelang
  • Blitar - Malang dan Krian - Surabaya
  • Sebagian jalur Madura

Jaringan setelah tahun 1899 hingga tahun 1913

Hingga tahun 1913 jaringan rel terbangun adalah:

  • Rangkasbitung - Labuan dan Rangkasbitung - Anyer
  • Krawang - Cirebon dan Cikampek - Bandung
  • Pasuruan - Banyuwangi
  • Seluruh jaringan Madura
  • Blora - Bojonegoro - Surabaya

Jaringan setelah tahun 1813 hingga tahun 1925

Hingga tahun 1925 jaringan rel terbangun adalah:

  • Sisa jalur Pulau Jawa
  • Elektrifikasi Jatinegara - Tanjung Priok
  • Elektrifikasi Batavia - Bogor:
  • Sumatera Selatan: Panjang - Palembang dan
  • Sumatera Barat: sekitar Sawahlunto dan Padang
  • Sumatera Utara: Tanjung Balai - Medan - Pematangsiantar; dan Medan - Belawan - Pangkalansusu.
  • Sulawesi: Makasar - Takalar dan rencana Makasar - Maros - Sinkang
  • Sulawesi Utara: rencana Manado - Amurang
  • Kalimantan: rencana Banjarmasin - Amuntai; dan rencana Pontianak - Sambas.

Untuk Kalimantan dan Sulawesi tidak terlaksana karena baru akan dimulai dibangun tahun 1941 dan Perang Dunia II meletus.

Masa Pembangunan Stasiun

Berikut daftar stasiun besar:

  1. Stasiun Karanganyar - 1875
  2. Stasiun Jakarta Kota - diresmikan 1929
  3. Stasiun Tanjung Priok - 1914
  4. Stasiun Gambir (dulu Weltevreden) - 1914
  5. Stasiun Jatinegara (dulu Meester Cornelis)
  6. Stasiun Manggarai - 1969
  7. Stasiun Pasar Senen - 1916
  8. Stasiun Cikampek - 1894
  9. Stasiun Bogor - 1880
  10. Stasiun Bandung - 1887
  11. Stasiun Yogyakarta - 1887
  12. Stasiun Solo Balapan - 1876
  13. Stasiun Semarang Tawang - 1873
  14. Stasiun Cirebon - 1920
  15. Stasiun Madiun - 1897
  16. Stasiun Purwokerto - 1922
  17. Stasiun Malang - 1941
  18. Stasiun Surabaya Kota - 1878 dan renovasi 1911
  19. Stasiun Surabaya Gubeng - 1913
  20. Stasiun Pasar Turi - 1938

Jaringan kereta listrik Batavia - Buitenzorg 1918

Stasiun Bogor (Buitenzorg) dibangun tahun 1880 pada waktu membuat lintas Buitenzorg - Soekaboemi - Tjiandjoer - Tjitjalengka. Namun jaringan kereta listrik hanya ada di Batavia (Jakarta) ke Buitenzorg (Bogor) yang dibangun tahun 1918, kemudian tahun 1925 jaringan listrik juga dibuat ke Meester Cornelis (Jatinegara) ke Tandjoeng Priok.

Gambar sketsa lokomotif dan kereta

Lokomotif Uap

Istilah mengenai lokomotif uap perlu dijelaskan, agar pembaca dapat mengikuti uraian selanjutnya. Seperti diketahui bahwa bagian-bagian penting dari lokomotif uap adalah:

  • tungku pembakaran batu bara atau kayu
  • ketel uap air
  • tender atau tempat batu bara dan air
  • roda penggerak
  • piston uap air penggerak roda
  • ruang masinis
  • tender gandengan untuk batu bara dan air
  • roda penggerak
  • roda penunjang
  • cerobong
  • dan lain-lain

Tender dan gandengan tender

Istilah tender untuk lokomotif adalah tempat perbekalan untuk menyalakan lokomotif berupa tempat batu bara atau kayu bakar dan tandon air. Pada umumnya lokomotif kecil dan buatan sebelum tahun 1900 adalah lokomotif tender, sedangkan setelah tahun 1900 dan besar umumnya dengan gandengan tender.

Lokomotif uap mallet, garratt, dan meyer

Sekitar akhir Abad XIX, lokomotif uap mencapai puncaknya dengan berbagai jenis artikulasi roda penggerak, yaitu dengan sebutan mallet, garratt', dan meyer.

  • Jenis Lokomotif Mallet, kalau artikulasi roda penggerak berada di bawah tungku, dan roda penggerak depan mendapat tekanan uap yang tinggi, kemudian disalurkan ke roda penggerak yang di belakangnya, dan juga roda penggerak depan dapat berbelok arah sesuai dengan kurva belokan rel. Penemu sistem ini adalah insinyur Swiss bernama Anatole Mallet pada tahun 18 . Sistem ini banyak dipakai di Eropa, Amerika, dan juga Hindia Belanda.
  • Lokomotif uap jenis Meyer, kalau artikulasi roda penggerak berada di bawah tungku, serta roda penggerak depan dan belakang mendapat tekanan uap yang sama. Penemu sistem ini adalah insinyur Perancis bernama Jean-Jacques Meyer pada tahun 1868. Varian lain adalah Kitson-Meyer. Sistem ini banyak dipakai di Eropa, Amerika, dan juga Hindia Belanda.

Kode Konfigurasi roda penggerak A, B, C, D, dan AA, BB, CC, DD

Kereta uap biasanya terdiri atas roda penggerak dan roda penunjang. Kalau jumlah roda pengerak sebanyak Satu Pasang dengan kode A, kalau roda penggerak ada Dua Pasang dengan kode B, kalau terdapat roda penggerak Tiga Pasang dengan kode C, dan yang Empat Pasang dengan kode D.

Pada tipe Malet, Garratt dan Meyer, yaitu roda penggerak tandem (dua as) dengan kode AA, BB, CC, dan DD.

Jumlah roda penunjang biasanya diberi kode angka: di depan, di tengah, atau di belakang. Misalnya: 1 - CC - 2, artinya: di depan terdapat 1 pasang roda penunjang, 3 pasang tandem roda penggerak, dan di belankang terdapat 2 pasang roda penunjang. Kode di atas seperti 1 - CC - 2 dapat juga ditulis: 2 - 6 - 6 - 4.

Berbagai Lokomotif Uap di Indonesia

Di Indonesia pernah ada lokomotif uap dari berbagai jenis, antara lain:

  • Tipe B
  • Tipe C
  • Tipe BB
  • Tipe DD
  • Tipe D

Foto lokomotif uap yang pernah ada di Indonesia tersebut di atas (seri B, C, BB, CC, DD dan D), dan hal ini tidak akan dapat lagi dilihat di museum maupun di depo lokomotif stasiun seluruh Indonesia, lebih lanjut dapat dilihat di album ini.[2]

Jenis kereta 1876-1925

Kereta adalah sarana untuk mengangkut penumpang, sedangkan untuk mengangkut barang disebut gerobak sedangkan untuk mangangkut barang cair disebut ketel. Sejak dahulu, kereta dibuat secara lokal, dengan casis dan rangka baja sedangkan bodi dibuat dari kayu. Pada waktu itu belum ada pendingin udara, sehingga kelas kereta dibedakan jenis kursi dan jumlah kursi per kereta. Kelas 1 terdapat 3 tempat duduk per baris, kelas 2 terdapat 4 tempat duduk per baris dan kelas 3 terdapat 5 tempat duduk per baris. Sehingga tiap kereta kelas 3 terdapat 60 - 72 tempat duduk, sedangkan tiap kereta kelas 2 terdapat 24 - 32 tempat duduk dan kelas 1 terdapat 12 tempat duduk. Biasanya kelas 1 dan kelas 2 menjadi satu, sedangkan kelas 3 tersendiri. Namun kelas 1, kelas 2 dan kelas 3 dirangkai dalam satu rangkaian.

Jenis kereta dan lokomotif listrik 1918-1925

Referensi

  1. ^ GEDENKBOEK der Staatsspoor en Tramwegen in Nederlandsch Indie (1875-1925), Buku Kenang-kenangan kereta api dan trem di Hindia Belanda untuk masa laporan tahun 1875-1925, oleh S.A. Reitsma (Redaktur), Dinas Informasi Topografi Hindia Belanda - Jatinegara 1925
  2. ^ http://arsip76r.blogspot.com/2012/05/lokomotif-uap-yang-pernah-ada-di.html

Lihat pula

Pranala luar