Layang Ijo: Perbedaan antara revisi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Konten dihapus Konten ditambahkan
Adist Robbi (bicara | kontrib)
←Membuat halaman berisi '{{DISPLAYTITLE:Layang Ijo}} '''Layang Ijo''' atau '''Risalah Hijau''' atau '''Kitab Ijo''' merupakan sebuah kitab tasawuf kuno yang berisi tentang tuntunan agama islam dari segi Syariat, Toriqoh, Hakikat, dan Ma'rifat. ''Layang'' dalam bahasa Jawa memiliki arti Surat. Hal ini senada dengan sebagia isi dari kitab tersebut yaitu merupakan kabar tentang bagaimana menjalani hidup dengan Agama Islam sehingga dapat lebih jauh memahami tentang Islam dan Hidup itu s...'
 
Adist Robbi (bicara | kontrib)
kTidak ada ringkasan suntingan
Baris 43: Baris 43:


Bisa disimpulkan bahwa Layang Ijo di Sragen dan Sidoarjo adalah berbeda karena tidak diajarkan langsung dari pemilik naskah asli sehingga salah dalam mengartikan isi dari Layang Ijo.
Bisa disimpulkan bahwa Layang Ijo di Sragen dan Sidoarjo adalah berbeda karena tidak diajarkan langsung dari pemilik naskah asli sehingga salah dalam mengartikan isi dari Layang Ijo.
[[Berkas:KITAB LAYANG IJO ALLUWUNG.png|jmpl]]


== Pranala luar ==
== Pranala luar ==

Revisi per 18 Mei 2022 06.28


Layang Ijo atau Risalah Hijau atau Kitab Ijo merupakan sebuah kitab tasawuf kuno yang berisi tentang tuntunan agama islam dari segi Syariat, Toriqoh, Hakikat, dan Ma'rifat. Layang dalam bahasa Jawa memiliki arti Surat. Hal ini senada dengan sebagia isi dari kitab tersebut yaitu merupakan kabar tentang bagaimana menjalani hidup dengan Agama Islam sehingga dapat lebih jauh memahami tentang Islam dan Hidup itu sendiri. Sedangkan Ijo memiliki arti Hijau yang berarti bahwa kitab ini ditulis pada lembar kertas berwarna hijau

Sejarah dan Definisi

Kitab ini bertuliskan aksara arab dengan lafal Bahasa Jawa Kuno (Kawi dan Sanskrit/Sansekerta) atau yang lebih dikenal dengan aksara pego dan ditulis pada lembaran kertas berwarna hijau (telor asin). Kertas yang digunakan merupakan kertas keluaran Eropa[1]. Pada halaman sampul tidak ditemukan judul maupun penulis kitab ini. Kitab ini ada sejak jaman penjajahan kolonial Belanda yaitu sekitar akhir abad ke-18M. Saat itu, penyair/pujangga memiliki posisi yang sangat rawan karena kolonial Belanda sedang gencar-gencarnya mencari tokoh keagamaan yang menyebarkan wawasan pencerahaan maupun gerakan yang dianggap mengancam kedudukan kolonial Belanda saat itu. Kitab Layang Ijo adalah sebagai penanda atas gerakan intelektual yang datang dari masyarakat bawah dan pinggiran tersebut [2].

Menurut KH Mohammad Thohari (Yai Thoha), kitab ini didapatkan dari Kyai Jaelani (K. Jaelani) yang berasal dari desa Watu Tulis, Kecamatan Prambon, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur. K. Jaelani mendapatkan koleksi kitab itu dari seorang kerabatnya (Si Fulan) dengan imbalan 2 pasang sapi yang apabila dikonversikan saat ini setara kurang lebih Rp 130.000.000,- (seratus tiga puluh juta rupiah). Pada masa itu, sapi merupakan sebuah komoditi yang sangat berharga bahkan nyaris lebih berharga dari logam emas. K. Jaelani tidak memiliki putra selain putra angkat yang menurut beliau tidak cocok untuk menyimpan Layang Ijo. Disini terdapat 2 versi yang mengatakan bahwa:

  1. Layang Ijo hanya diberikan saja kepada K. Jaelani tanpa imbalan, dan
  2. K. Jaelani memberikan 2 pasang sapi kepada si Fulan sebagai imbalan

K. Jaelani akhirnya menyimpannya sebagai koleksi. Berselang beberapa bulan, K. Jaelani bermimpi bertemu dengan seseorang yang lain dan berkata "Berikanlah kitab ini kepada orang yang bisa merasakan isinya!". Hingga akhirnya, diputuskan untuk memberikan kitab tersebut kepada seorang Kyai bernama Kyai Khasan Ma'lum (M. Fadel) yang berasal dari desa Bendotretek, Kecamatan Prambon, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur[1].

Sepeninggalnya K. Jaelani, kitab ini sempat diminta kembali oleh anaknya karena mereka merasa kitab tersebut merupakan peninggalan paling berharga milik ayahnya dan langsung deberian bergitu saja oleh M. Fadel kepada mereka. Tapi beberapa waktu kemudian, anak-anak K. Jaelani mengalami mimpi yang sama yang dialami oleh Ayahnya semasa hidupnya. Oleh karena itu, kitab ini kembali ke tangan Kyai Khasan Ma'lum dan dipelajarinya secara utuh. Kyai Khasan Ma'lum adalah seorang ulama di desanya yang sangat berpegang teguh terhadap ajaran Agama Islam.

Era Kyai Khasan Ma'lum

Kyai Khasan Ma'lum memiliki 4 putri dan putra:

  1. (...)
  2. (...)
  3. KH Mohammad Thohari
  4. (...)

Selama mempelajari kitab ini Kyai Khasan Ma'lum juga sekaligus mempraktekannya dalam kehidupan sehari-hari sehingga kitab yang "berat" ini dapat diajarkan kepada anak-anaknya dengan bahasa yang lugas. Pada masa itu, isi kitab ini disebarluaskan secara sembunyi-sembunyi. Bahkan pengajiannya dihadiri oleh kerabat-kerabat terdekat saja atau kepada mereka yang benar-benar ingin belajar.

Diantara ke-empat anaknya, Yai Thoha dianggap yang paling mampu menjelaskan isi kitab ini kepada khalayak umum dan dapat membawakannya sedikit lebih "ringan" serta mudah dipahami. Oleh karena itu, pengajian sepeninggalnya Kyai Khasan Ma'lum dipimpin oleh Yai Thoha.

Era Kyai Mohammad Tohari

Layang Ijo Sidoarjo vs Layang Ijo Sragen

Sekitar tahun 2013 tersebar berita tentang pembubaran Padepokan Santri Luwung (Al Luwung), Bedowo, Sragen, Jawa Tengah yang dinilai meresahkan masyarakat pada saat itu. Keresahan masyarakat bermula karena ritual yang dilakukan oleh penganut pondok tersebut. Hal ini terdengar oleh MUI setempat yang akhirnya melakukan klarifikasi dan selidik terhadap hal tersebut. Dalam penyelidikannya, MUI menemukan kitab Layang Ijo yang dianggap sebagai dasar ritual yang mereka lakukan. Sehingga MUI melalui Komisi Fatwa, mengeluarkan Surat Rekomendasi bahwa ajaran yang dikembangkan oleh Padepokan Santri Aluwung termasuk ajaran yang sesat, maksiat, dan menyimpang[3] dan meminta Kajari melarang peredaran dan penyebarluasan Kitab Layang Ijo. Menurut penelusuran, Padepokan Santri Luwung mendapatkan Layang Ijo dari pihak ketiga dan bukan langsung dari Yai Thoha.

MUI bersama dengan Aparatur Negara (TNI dan POLRI) melakukan penyelidikan lebih lanjut tentang Layang Ijo. Buah penyelidikan akhirnya membawa mereka ke desa Wates Sari (bukan Kriyan seperti yang diberitakan), Kecamatan Balong Bendo, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur. Satuan Tim yang beranggotakan 7-8 orang dipimpin oleh Pak Andi sebagai penanggung jawab penyelidikan menemui Yai Thoha dikediamannya dan melakukan investigasi secara lisan. Mereka juga sempat ditunjukkan bentuk kitabnya yang sedikit berbeda dengan yang mereka bawa. Sepulangya tim tersebut, Yai Thoha menceritakannya kepada murid-muridnya. Mengetahui hal itu murid-muridnya lantas mendatangi Pak Andi di kantornya untuk melakukan klarifikasi.

Salah satu muridnya, Nuradi, menjelaskan tentang apa dan bagaimana Layang Ijo diajarkan kepada santri-santrinya di Wates Sari dan Doplang Tretek. Pembicaraan mereka berakhir pada sebuah dialog.

Pak Andi: "Apakah kitab ini menimbulkan keresahan di masyarakat Anda?".

Nuradi: "Selama berpuluh tahun diajarkan, kitab ini tidak pernah menimbulkan masalah sekalipun."

Pak Andi: "Saya yang bertanggung jawab atas pembubaran oknum-oknum yang dinilai sesat oleh MUI dan masyarakat. Apabila memang kitab ini tidak meresahkan masyarakat sekitar Anda, silahkan dilanjutkan. Serta mereka yang menilai sesat adalah mereka yang tidak sampai (tidak bisa memahami isi kitab secara menyeluruh)."

Bisa disimpulkan bahwa Layang Ijo di Sragen dan Sidoarjo adalah berbeda karena tidak diajarkan langsung dari pemilik naskah asli sehingga salah dalam mengartikan isi dari Layang Ijo.

Pranala luar

  1. ^ a b Said, Nur (20 Desember 2015). "Jalan Tasawuf dalam Naskah Layang Ijo Koleksi Kyai Mohammad Thohari Sidoarjo, Jawa Timur". Deskripsi data dan Pembahasan. 
  2. ^ "Jalan Tasawuf dalam Naskah Layang IjoKoleksi Kyai Mohammad Thohari Sidoarjo, Jawa Timur". 20 Desember 2015. Diakses tanggal 18 Mei 2022. 
  3. ^ Said, Nur (20 Desember 2015). "Jalan Tasawuf dalam Naskah Layang Ijo Koleksi Kyai Mohammad Thohari Sidoarjo, Jawa Timur". Pendahuluan.