Mangkuk merah

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Mangkuk merah merupakan sebuah tradisi dalam adat Dayak yang berfungsi sebagai alat komunikasi antar sesama rumpun Dayak serta sebagai penghubung dengan roh nenek moyang. Hanya Panglima Adat yang berwenang untuk memanggil dan berhubungan dengan para roh suci atau dewa.[1]

Pada mulanya adat ini bernama mangkok jaranang karena menggunakan mangkuk yang diwarnai dengan jaranang. Jaranang adalah sejenis tanaman akar yang mempunyai getah berwarna merah dan digunakan sebagai pewarna sebelum masyarakat Dayak mengenal cat. Akar jaranang yang berwarna merah dioleskan pada dasar mangkuk bagian dalam sehingga kini dikenal dengan nama Mangkuk Merah. Adat ini dilangsungkan apabila pada suatu kasus, misalnya parakng (bunuh) atau pelecehan seksual, pihak pelaku tidak bersedia menyelesaikan secara adat. Pihak ahli waris korban yang merasa terhina akan bersepakat, dan mungkin berakhir dengan melakukan aksi belas dendam melalui pengerah masa secara adat yang disebut Mangkok Merah.

Mangkuk Merah hanya digunakan jika benar-benar terpaksa. Segala macam akibat yang akan ditimbulkan akan dipertimbangkan masak-masak karena korban jiwa dalam jumlah besar sudah pasti akan berjatuhan.[1]

Ritual[sunting | sunting sumber]

Perlengkapan[sunting | sunting sumber]

Panglima adat perlu mempersiapkan sejumlah perangkat dalam upacara memanggil roh dewa:[1]

  1. Mangkuk dari teras bambu atau tanah liat yang berbentuk bundar, sebagai wadah untuk meletakkan peralatan yang lain. Dasar mangkuk diolesi getah jaranang berwarna merah yang mengandung pengertian pertumpahan darah. Perlengkapan lain nantinya dikemas dalam mangkuk kemudian dibungkus kain merah.
  2. Bulu atau sayap ayam yang mengandung pengertian cepat, segera, kilat seperti terbang.
  3. Daun rumbia (Metroxylon sagus) mengandung pengertian bahwa pembawa berita tidak boleh terhambat oleh hujan karena sudah dipayungi.
  4. Longkot api (bara api kayu bakar yang sudah dipakai untuk memasak di dapur) yang mempunyai pengertian bahwa pembawa berita tidak boleh terhambat oleh petang (gelap) malam hari karena sudah disediakan penerangan.
  5. Tali simpul dari kulit kepuak sebagai lambang persatuan.
  6. Umbi jerangau merah (Acorus calamus) yang melambangkan keberanian.

Upacara[sunting | sunting sumber]

Panglima Adat membawa mangkuk merah ke panyugu (tempat suci yang dianggap keramat) pada saat matahari terbenam. Di sana, ia meminta petunjuk dewa. Diyakini bahwa roh suci akan menjawab melalui tanda-tanda alam yang kemudian diterjemahkan oleh panglima apakah mangkuk merah sudah saatnya diedarkan atau belum. Jika dianggap layak, tubuh palingma akan dirasuki oleh roh dewa.[1]

Mengedarkan mangkuk merah[sunting | sunting sumber]

Panglima yang sudah dirasuki roh dewa akan pulang ke desanya dengan meneriakan kata-kata magis tertentu. Penduduk desa mengerti maksudnya dan berkumpul di lapangan sambil membawa mandau, perisai, dan senjata lantak dengan kain merah di kepala. Panglima Adat kemudian menularkan roh dewa kepada semua penduduk kemudian mengutus kurir untuk mengantarkan mangkuk merah ke desa lain.[1]

Beberapa orang yang ditunjuk untuk menyampaikan berita telah diberi arahan mengenai maksud dan tujuan mangkuk merah, siapa saja yang harus ditemui (para ahli waris), kapan berkumpul, tempat berkumpul, dan sebagainya. Mereka tidak boleh menginap atau singgah terlalu lama. Meskipun hujan lebat atau hari sudah petang, mereka harus meneruskan perjalanan.

Panglima Adat dari desa lain dipercaya mengetahui kedatangan kurir dengan kekuatan supernaturalnya dan menjemputnya bersama dengan penduduk desanya. Setelah mengetahui siapa musuh yang akan dihadapi, Panglima Adat desa tersebut akan menularkan roh dewa kepada seluruh penduduk desa. Upacara mengedarkan mangkuk merah berlangsung di seluruh wilayah yang bisa dijangkau hingga dianggap cukup untuk menghadapi musuh.[1]

Masyarakat Dayak yang berada di bawah pengaruh magis serta dikomando panglima perang konon kebal senjata, tahan tidak makan hingga sebulan, dan bisa bergerak cepat di dalam hutan. Panglima perang biasanya menggunakan sebutan seperti Panglima Burung, Panglima Halilintar, atau Panglima Angin.[1]

Nyaru sumangat[sunting | sunting sumber]

Nyaru sumangat adalah upacara pemanggilan kembali roh masing-masing yang sebelumnya sempat di gantikan oleh roh para leluhur/dewa sekaligus pengembalian roh dewa setelah perang dianggap selesai.[1]

Peristiwa mangkuk merah dalam sejarah[sunting | sunting sumber]

Perang Dayak Desa[sunting | sunting sumber]

Syarif Muhammad Alkadri (Sultan Pontianak; duduk, kanan) dibunuh oleh pihak Jepang sehingga menyebabkan terjadinya Peristiwa Mandor. Ini merupakan salah satu sebab terjadinya Perang Dayak Desa

Perang Dayak Desa terjadi pada 1944–1945 untuk membalas dendam pihak Jepang yang kejam terhadap mereka. Pada masa awal perang, para pemuka adat Dayak mengumpulkan kaum-kaum mereka di Sekadau, dengan salah satu caranya adalah dengan Mangkuk Merah. Sesudahnya, rakyat dikumpulkan untuk bermusyawarah bersiasat untuk mengalahkan Jepang. Perang Dayak Desa berakhir degan kemenangan di tangan Suku Dayak setelah pemuka adat betul-betul tertekan setelah kematian panglima perang. Kemenangan dicapai melalui konsolidasai dan bersatunya Kesultanan Sintang dengan Suku Dayak. Lambatnya kemenangan Suku Dayak ini dikarenakan lambatnya proklamasi ke pedalaman Dayak, dan persatuan yang hampir hilang.[2]

Peristiwa PARAKU/PGRS[sunting | sunting sumber]

Tentara Nasional Indonesia memperoleh bantuan dari masyarakat Dayak dalam peristiwa pemberantasan pasukan komunis di Kalimantan pada tahun 1967an.[1] Peristiwa tersebut juga dianggap sebagai tragedi pembunuhan dan pengusiran ribuan warga etnis Tionghoa di Kalimantan Barat pada akhir 1967.[3] Soemadi, salah satu mantan gubernur Kalimantan Barat dan mantan Pangdam XII/Tanjungpura dalam bukunya yang terkenal, Peranan Kalimantan Barat dalam Menghadapi Subversi Komunis Asia Tenggara terbitan Yayasan Tanjungpura menyebut bahwa praktik Ngayau dan Mangkuk Merah menjadi salah satu kebanggaan tersendiri bagi Pangdam dalam penumpasan Paraku/PGRS dan mesti diberi penghargaan dari Pangdam. Para pelaku Pengayauan ini kemudian dibawa ke Jakarta pada tahun 1972 untuk menemui Soeharto, Presiden Republik Indonesia yang kedua. Praktik Ngayau ini dihidupkan lagi setelah Indonesia merdeka oleh TNI. Di antara tokoh-tokoh Ngayau diberi penghargaan dengan pangkat militer Pembantu Letnan Satu Tituler. Para pemuka adat Dayak ini bertemu dengan Presiden Soeharto pada November 1972 dan diberi tunjangan seumur hidup. Di antaranya, ada Aziz, Jimbau, Burung, Nayau, Dangih, dan Sinau.[4]

Konflik Sampit[sunting | sunting sumber]

Ritual mangkuk merah terjadi dalam pertikaian antara etnis Dayak dengan suku Madura di Kota Sampit sepanjang tahun 2001. Konflik Sampit tahun 2001 diawali beberapa insiden antara warga Dayak dan Madura. Konflik besar terakhir terjadi antara Desember 1996 dan Januari 1997 yang mengakibatkan 600 korban tewas. Ada sejumlah cerita yang menjelaskan insiden kerusuhan tahun 2001, salah satunya mengklaim bahwa peristiwa ini disebabkan oleh serangan pembakaran sebuah rumah Dayak. Rumor mengatakan bahwa kebakaran ini disebabkan oleh warga Madura dan kemudian sekelompok anggota suku Dayak mulai membakar rumah-rumah di permukiman Madura.[5]

Lihat pula[sunting | sunting sumber]

Referensi[sunting | sunting sumber]

  1. ^ a b c d e f g h i John MacDougall. Kisah Mangkok Merah di Pedalaman Kalbar[pranala nonaktif permanen].
  2. ^ Usman, Syafaruddin; Din, Isnawita (2009). Peristiwa Mandor Berdarah. Yogyakarta: Media Pressindo. hal.87. ISBN 979-788-109-1.
  3. ^ Hiski Darmayana. 20 Januari 2013. Peristiwa Mangkok Merah, Ketika Imperialisme ‘Mengawini’ Rasialisme Diarsipkan 2013-05-11 di Wayback Machine..
  4. ^ Aju; Isman, Zainudin (Desember 2013). Kalimantan Barat:Lintasan Sejarah & Pembangunan. Pontianak: LPS-AIR. hlm. 118–20. ISBN 978-602-18483-1-9. 
  5. ^ "Indonesia: The Violence in Central Kalimantan (Borneo)". Human Rights Watch. February 28, 2001. Diakses tanggal 2008-08-13.