Pakubuwana X

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Revisi sejak 25 Januari 2021 08.52 oleh Maulana.AN (bicara | kontrib) (Penambahan referensi dan perbaikan penulisan)
Sri Susuhunan Pakubuwana X
Pakubuwana X dalam foto sebelum ulang tahunnya yang ke-40 dengan seragam KNIL
Susuhunan Surakarta
Berkuasa18931939
PendahuluSusuhunan Pakubuwana IX
PenerusSusuhunan Pakubuwana XI
Gubernur JenderalCornelis Pijnacker Hordijk
Carel Herman Aart van der Wijck
Willem Rooseboom
Johannes Benedictus van Heutsz
A.W.F. Idenburg
Johan Paul van Limburg Stirum
Dirk Fock
Andries Cornelis Dirk de Graeff
Bonifacius Cornelis de Jonge
A.W.L. Tjarda van Starkenborgh Stachouwer
Informasi pribadi
Kelahiran(1866-11-29)29 November 1866
Hindia Belanda Surakarta, Hindia Belanda
Kematian22 Februari 1939(1939-02-22) (umur 72)
Hindia Belanda Surakarta, Hindia Belanda
WangsaWangsa Mataram
Nama lengkap
Raden Mas Sayyidin Malikul Kusno
AyahSusuhunan Pakubuwana IX
IbuKRAy. Kustiyah
PasanganGKR. Pakubuwana
GKR. Hemas
Dan 39 Istri Selir[1]
AgamaIslam

Sri Susuhunan Pakubuwana X (Bahasa Jawa: Sampeyandalem Ingkang Sinuhun Kangjeng Susuhunan Pakubuwono X) 29 November 1866 – 22 Februari 1939, adalah raja Kasunanan Surakarta yang memerintah pada tahun 18931939.

Kelahiran

Nama lahirnya (asma timur) adalah Raden Mas Sayyidin Malikul Kusna (Bahasa Jawa: Raden Mas Sayyidin Malikul Kusno), putra Pakubuwana IX yang lahir dari permaisuri KRAy. Kustiyah, pada tanggal 29 November 1866.[2] Pada usia 3 tahun ia telah ditetapkan sebagai putra mahkota bergelar Kangjeng Gusti Pangeran Adipati Anom Hamangkunegara Sudibya Rajaputra Narendra ing Mataram VI.[3]

Konon, kisah kelahirannya menjadi cermin ketidakharmonisan hubungan antara ayahnya dengan pujangga Ranggawarsita. Dikisahkan, pada saat KRAy. Kustiyah baru mengandung, Pakubuwana IX bertanya apakah anaknya kelak lahir laki-laki atau perempuan. Ranggawarsita menjawab kelak akan lahir hayu. Pakubuwana IX kecewa mengira anaknya akan lahir cantik alias perempuan. Padahal ia berharap mendapat bisa putra mahkota dari KRAy. Kustiyah. Selama berbulan-bulan Pakubuwana IX menjalani puasa atau tapa brata berharap anaknya tidak lahir perempuan. Akhirnya, KRAy. Kustiyah melahirkan Sayyidin Malikul Kusno. Pakubuwana IX dengan bangga menuduh ramalan Ranggawarsita meleset.[4]

Ranggawarsita menjelaskan bahwa istilah hayu bukan berarti ayu atau "cantik", tetapi singkatan dari rahayu, yang berarti "selamat". Mendengar jawaban Ranggawarsita ini, Pakubuwana IX merasa dipermainkan, karena selama berbulan-bulan ia terpaksa menjalani puasa berat. Ketidakharmonisan hubungan Pakubuwana IX dengan Ranggawarsita sebenarnya dipicu oleh fitnah pihak Belanda yang sengaja mengadu domba keturunan Pakubuwana VI dengan keluarga Yasadipura.[4]

Masa Pemerintahan

Potret studio Pakubuwana X

Sayyidin Malikul Kusno naik tahta sebagai Pakubuwana X pada tanggal 30 Maret 1893 menggantikan ayahnya yang meninggal dua minggu sebelumnya. Pakubuwana X memiliki dua permaisuri, yang pertama adalah GKR. Pakubuwana, putri KGPAA. Mangkunegara IV, dan yang kedua adalah GKR. Hemas, putri dari Sultan Hamengkubuwana VII. Dari dua permaisurinya Pakubuwana X tidak memiliki putra laki-laki, pernikahannya dengan GKR. Hemas ia hanya dikaruniai seorang putri yang bernama GRAj. Sekar Kedaton yang kelak bergelar GKR. Pembayun.

Pakubuwana X juga memiliki 39 orang istri selir, dan dengan keseluruhan istrinya baik selir maupun permaisuri, Pakubuwana X memiliki 63 orang putra dan putri. Banyak dari putra-putri Pakubuwana X nantinya yang berpengaruh dan berperan dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia, antara lain GPH. Jatikusumo, Kepala Staf TNI Angkatan Darat pertama, KGPH. Hangabehi, yang pernah menjabat sebagai pelindung Sarekat Islam[5], dan KGPH. Suryohamijoyo, yang menjadi anggota BPUPKI dan PPKI serta ketua Pekan Olahraga Nasional saat diselenggarakan di Surakarta pada tahun 1948.

Masa pemerintahan Pakubuwana X ditandai dengan kemegahan tradisi dan suasana politik kerajaan yang stabil. Pada masa pemerintahannya yang cukup panjang, Kasunanan Surakarta mengalami transisi, dari kerajaan tradisional menuju era modern, sejalan dengan perubahan politik di Hindia Belanda.

Pada masa pemerintahannya, Pakubuwana X melakukan pemberdayaan masyarakat baik bidang ekonomi, kesehatan dan keterampilan. Pada bidang ekonomi Pakubuwana X membangun Pasar Gede Harjonagoro dan mendirikan bank Bandhalumakso yang berperan memberi pinjaman kepada abdi dalem untuk perbaikan rumah ketika wabah pes melanda Surakarta. Di bidang pendidikan, ia mendirikan sekolah Pamardi Putri dan Kasatriyan untuk kepentingan kerabat keraton serta mendirikan rijksstudiefond, sebuah lembaga yang memberi beasiswa bagi sentana dan abdi dalem. Di bidang kesehatan Pakubuwana X membangun klinik kesehatan Panti Rogo (kelak berkembang menjadi rumah sakit Kadipolo) dan apotik Pantihusodo yang berada di bawah pengelolaan dinas Kridha Nirmolo.[2] Infrastruktur modern kota Surakarta banyak dibangun pada masa pemerintahannya, seperti bangunan Stasiun Solo Jebres, Stasiun Solo-Kota (Sangkrah), Stadion Sriwedari, Kebun Binatang Jurug, Jembatan Jurug yang melintasi Bengawan Solo di timur kota, gapura-gapura di batas Kota Surakarta, rumah pemotongan hewan ternak di Jagalan, rumah singgah bagi tunawisma, dan rumah perabuan (pembakaran jenazah) bagi warga Tionghoa.

Pada tanggal 21 Januari 1932, Pakubuwana X mendapatkan bintang kehormatan Sri Maharaja dari Ratu Wilhelmina dari Belanda berupa Grootkruis in de Orde van de Nederlandse Leeuw dengan sebutan raja dalam Bahasa Belanda, Zijne Vorstelijke Hoogheid.

Meskipun berada dalam tekanan politik pemerintah kolonial Hindia Belanda, Pakubuwana X memberikan kebebasan berorganisasi dan penerbitan media massa. Ia mendukung pendirian organisasi Sarekat Dagang Islam, salah satu organisasi pergerakan nasional pertama di Indonesia. Kongres Bahasa Indonesia I di Surakarta (1938) diadakan pada masa pemerintahannya.

Peran Politik

Susuhunan Pakubuwana X bersama Raja Rama V (Chulalongkorn) dari Thailand di Keraton Surakarta (sekitar tahun 1895-1910).
Susuhunan Pakubuwana X bersama Sultan Hamengkubuwana VII, KGPAA. Pakualam VII, dan putra mahkota Kesultanan Yogyakarta di Keraton Surakarta (sekitar tahun 1910-1921).
Berkas:Bezoek-van-pakoe-boewono-x-aan-gouverneur-generaal-jhr-mr-a-w-l-tjarda-van-starkenborgh-stachouwer-te-buitenzorg-de-soesoehoenan.jpg
Susuhunan Pakubuwana X seusai mengadakan pertemuan dengan Gubernur Jenderal A.W.L. Tjarda van Starkenborgh Stachouwer di Istana Buitenzorg (sekitar tahun 1936-1939).

Selama pemerintahannya yang panjang, dalam menghadapi 10 orang gubernur jenderal dan 13 residen secara silih berganti, Pakubuwana X mampu menjauhkan pertentangan yang serius, bahkan tampil seolah sebagai teman pemerintah Hindia Belanda. Tetapi kewibawaannya sebagai raja Jawa di mata rakyat semakin meningkat. Loyalitasnya kepada Hindia Belanda memang tidak meragukan Kontrak Politik yang ditandatanganinya ketika naik tahta sebagai Susuhunan pada tahun 1893. Pakubuwana X sadar sebagai cucu Pakubuwana VI yang pada tahun 1831 dibuang Belanda ke Ambon, ia merasa harus meneruskan perjuangan pendahulunya dalam mengusir penjajah.

Petunjuk bahwa Pakubuwana X mempunyai kecenderungan terlibat dalam aktivitas politik dilaporkan oleh Residen Sollewijn Gelpke (1914-1918) kepada atasannya. Secara teratur ia mendapati Pakubuwana X memerlukan terjemahan berita-berita penting dari De Locomotief, surat kabar berbahasa Belanda yang terbit di Semarang. Khususnya berita mengenai Perang Dunia I, Gelpke mendapati Pakubuwana X bersimpati pada Jerman sebagaimana banyak orang Indonesia saat itu, termasuk orang-orang Sarekat Islam. Peranan Pakubuwana X sebagai imam bagi masyarakat Muslim di Surakarta, juga sangat diperhitungkan Belanda.

Sementara itu, Residen L.Th. Schneider (1905-1908) berpendapat bahwa potensi subversif Pakubuwana X patut diperhitungkan. Schneider merupakan salah seorang yang pertama kali mencurigai pengaruh perjalanan Pakubuwana X ke luar daerah. Walaupun perjalanan dan kunjungan itu secara teoretis bersifat incognito, kunjungannya ke Semarang, Surabaya, Ambarawa, dan Salatiga (antara tahun 1903 dan 1906) benar-benar dapat disebut sebagai kunjungan resmi. Kunjungan itu dapat dianggap sebagai pencerminan tujuan politik Pakubuwana X yang hendak memperluas pengaruhnya sebagai raja Jawa. Di luar Jawa, ia juga melawat ke Bali dan Lombok, serta Lampung.

Pada bulan Desember 1921, Pakubuwana X melakukan perjalanan ke daerah Priangan, diiringi oleh 52 bangsawan dan abdi dalem. Setelah singgah di Semarang, Pekalongan, dan Cirebon, Pakubuwana X menetap cukup lama di Garut dan Tasikmalaya. Di Garut, ratusan orang berkumpul menanti kehadiran Pakubuwana X, sehingga merepotkan polisi Belanda. Pada bulan Februari 1922, Pakubuwana X mengadakan perjalanan lagi ke Madiun, disertai oleh 58 bangsawan dan abdi dalem. Perjalanan itu resminya sekali lagi disebut incognito, tetapi justru benar-benar membuat citra Pakubuwana X semakin meningkat. Ia mengobral banyak hadiah tanda mata dengan lambang monogram PB X. Bupati-bupati menerima keris dengan hiasan permata, serta para wedana dan asisten wedana memperoleh berbagai arloji emas.

Demi mendukung dan membangkitkan semangat nasionalisme masyarakat (Jawa), Pakubuwana X terus mengadakan perjalanan ke daerah-daerah. Belanda keberatan, dengan alasan biaya. Padahal, sebenarnya Belanda hendak membatasi popularitas Pakubuwana X. Sekalipun perjalanannya bersifat incognito, tetapi Pakubuwana X selalu mengesankan di mata rakyat sebagai Kaisar Tanah Jawa. Setelah perjalanannya ke Jawa Barat dan Jawa Timur pada tahun 1922, yang bersamaan dengan meningkatnya semangat radikalisme Budi Utomo, Pakubuwana X tidak mengadakan perjalanan lagi pada tahun 1923. Baru pada tahun berikutnya, ia mengadakan kunjungan besar ke Malang. Penampilannya yang mengalihkan perhatian rakyat disana menyebabkan Gubernur Jenderal Dirk Fock bahkan menyuruh Residen Nieuwenhuys mempersilahkan Pakubuwana X untuk segera pulang. Alasannya, persyaratan incognito telah dilanggar.

Setelah Nieuwenhuys pindah dari Surakarta, Pakubuwana X mengadakan perjalanan lagi pada tahun 1927. Diiringi 44 orang bangsawan dan abdi dalem, ia mengadakan kunjungan ke Gresik, Surabaya, dan Bangkalan selama seminggu. Jumlah pengiringnya kala itu bahkan mencapai tiga kali lipat dari jumlah dalam persyaratan yang dibuat oleh Belanda.

Akhir Pemerintahan

Pakubuwana X meninggal dunia pada tanggal 22 Februari 1939. Ia disebut sebagai Sinuhun Wicaksana atau raja besar dan bijaksana. Pemerintahannya kemudian digantikan oleh putranya, GRM. Antasena (KGPH. Hangabehi), yang kemudian bergelar Pakubuwana XI. Pakubuwana X mendapat anugerah gelar Pahlawan Nasional dari pemerintah Indonesia pada tahun 2011 atas jasa-jasanya dalam mendukung perjuangan organisasi pergerakan nasional.[6]

Referensi

  1. ^ Pakoeboewono X dan Keluarganya.
  2. ^ a b Hermanu Joebagjo (2015). "Politik Simbolis Kasunanan". Jurnal Sejarah dan Budaya. Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Malang. 9 (2): 185-187. ISSN 1979-9993. 
  3. ^ Kuntowijoyo (2003). "Lari Dari Kenyataan: Raja, Priyayi, dan Wong Cilik Biasa di Kasunanan Surakarta, 1900-1915". Humaniora. Faklutas Ilmu Budaya, Universitas Gajah Mada. 15 (2): 200. ISSN 0852-0801. 
  4. ^ a b Iswara N Raditya (2017). "Strategi Dua Muka Pakubuwana X Menghadapi Belanda". Tirto.id. Diakses tanggal 25 Januari 2021. 
  5. ^ Biografi Sri Susuhunan Pakubuwono X (1866-1939).
  6. ^ Paku Buwono X Ditetapkan Sebagai Pahlawan Nasional.

Bacaan lanjutan

  • Andjar Any. 1980. Raden Ngabehi Ronggowarsito, Apa yang Terjadi? Semarang: Aneka Ilmu
  • Purwadi. 2007. Sejarah Raja-Raja Jawa. Yogyakarta: Media Ilmu

Pranala luar

  • (Indonesia) Raja Jawa Mengantar Revolusi [1]

Lihat Pula

Gelar kebangsawanan
Didahului oleh:
Pakubuwana IX
Susuhunan Surakarta
1893-1939
Diteruskan oleh:
Pakubuwana XI