Papua

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Revisi sejak 28 September 2022 11.44 oleh RaFaDa20631 (bicara | kontrib) (clean up, typos fixed: 0an → 0-an)
Papua
  • Irian Jaya[a]
  • Tabi Saireri
Bendera Papua
Motto: 
Karya swadaya
(Sanskerta) Bekerja dengan kemandirian
Peta
Peta
Negara Indonesia
Dasar hukum pendirianUU No. 12 Tahun 1969
Hari jadi27 Desember 1949[1]
Ibu kotaKota Jayapura
Jumlah satuan pemerintahan
Daftar
  • Kabupaten: 8
  • Kota: 1
  • Distrik: 104
  • Kelurahan: 51
  • Kampung: 948
Pemerintahan
 • GubernurLukas Enembe[2]
 • Wakil Gubernur-
 • Sekretaris DaerahM. Ridwan Rumasukun
 • Ketua DPRPJhony Banua Rouw
Luas
 • Total81.049,30 km2 (31,293,31 sq mi)
Populasi
 • Total1.000.799
 • Kepadatan12/km2 (30/sq mi)
Demografi
 • AgamaKristen 70,15%
- Protestan 64,68%
- Katolik 5,47%
Islam 29,56%
Hindu 0,14%
Buddha 0,14%
Lainnya 0,01%[3]
 • BahasaIndonesia (resmi), Melayu Papua (lingua franca), dan lain-lain
 • IPMKenaikan 60,62 (2021)
 sedang [4]
Zona waktuUTC+09:00 (WIT)
Kode pos
985xx-99xxx
Kode area telepon
Daftar
  • 0966 - Sarmi
  • 0967 - Jayapura, Abepura
  • 0981 - Biak
  • 0983 - Serui
Kode ISO 3166ID-PA
Pelat kendaraanPA (sebelumnya DS)
Kode Kemendagri91
Kode BPS94
DAURp. 2.625.302.515.000,- (2020)[5]
Lagu daerah"Hai Tanahku Papua"
"Sajojo"
"Yamko Rambe Yamko"
Rumah adatKariwari
Senjata tradisionalPanah
Flora resmiPokem
Fauna resmiCenderawasih mati-kawat
Situs webpapua.go.id
  1. ^ Termasuk wilayah yang sekarang bernama Papua Barat hingga 2003.

Papua (dahulu Irian Jaya) adalah provinsi yang terletak di pesisir utara Tanah Papua, Indonesia, yang berdiri sejak 1 Mei 1963. Provinsi Papua sebelumnya bernama Irian Jaya yang mencakup seluruh Tanah Papua bekas Nugini Belanda. Sejak 30 Juni 2022 provinsi ini dibagi menjadi lima provinsi. Provinsi pecahannya meliputi Papua Tengah, Papua Pegunungan, serta Papua Selatan. Sedangkan bagian baratnya terlebih dahulu dimekarkan menjadi Provinsi Papua Barat. Sebelumnya, Provinsi Papua memiliki luas 312.224,37 km2 dan merupakan provinsi terbesar dan terluas pertama di Indonesia[6][7]

Geografi

Provinsi Papua memiliki luas sekitar 81.049,30 km2, pulau Papua berada di ujung timur dari wilayah Indonesia, dengan potensi sumber daya alam yang bernilai ekonomis dan strategis, dan telah mendorong bangsa-bangsa asing untuk menguasai pulau Papua.[6]

Batas wilayah

Utara Samudera Pasifik
Timur Provinsi Sandaun, Papua Nugini
Selatan Provinsi Papua Pegunungan, Papua Tengah
Barat Provinsi Papua Tengah

Etimologi

Perkembangan asal usul nama pulau Papua memiliki perjalanan yang panjang seiring dengan sejarah interaksi antara bangsa asing dengan masyarakat Papua, termasuk pula dengan bahasa-bahasa lokal dalam memaknai nama Papua.

Asal nama Papua berasal dari Papo Ua yang dalam bahasa Tidore artinya "tidak bergabung", "tidak bersatu", atau "tidak bergandengan". Maksudnya wilayah Papua itu jauh sehingga tidak masuk dalam daerah induk Kesultanan Tidore. Akan tetapi wilayah-wilayah tersebut tetap tunduk dan berada dibawah persekutuan dagang Tidore bernama Uli Siwa. Dalam pembagiannya wilayah di Papua dibagi menjadi Korano Ngaruha atau Kepulauan Raja Ampat, Papo Ua Gamsio (Papua sembilan negeri), dan Mafor Soa Raha (Mafor Empat Soa).[8] Teori lain nama Papua berasal dari Bahasa Melayu papuwah, artinya "rambut keriting". Akan tetapi kata ini masuk pada kamus bahasa melayu tahun 1812 ciptaan William Marsden yang tidak ditemukan dalam kamus yang lebih awal.[9] Pada catatan abad ke-16 Portugis dan Spanyol, kata Papua merujuk kepada penduduk Kepulauan Raja Ampat dan pesisir Kepala Burung.[10] Berdasarkan teori lain ini menurut F.C. Kamma nama ini bisa saja berasal dari Bahasa Biak 'Sup i Babwa' yang digunakan untuk menyebut Kepulauan Raja Ampat berarti tanah di-bawah (matahari terbenam), yang kemudian menjadi 'Papwa' lalu 'Papua'.[9]

Selain itu nama Irian Jaya, berasal dari pertemuan di Tobati, Jayapura yang diinisiasi Atmoprasojo, kepala sekolah bestuur (pegawai negeri) tahun 1940-an. Frans Kaisiepo, pemimpin komite mencetuskan nama dari legenda Mansren Koreri, Iri-an dari Bahasa Biak yang berarti "tanah panas" karena cuaca lokal yang panas, dan juga dari Iryan yang berarti "proses memanas" sebagai metafora bagi wilayah yang memasuki zaman baru. Kemudian ditemukan dalam Bahasa Serui, Iri artinya "tanah" dan An artinya "bangsa", sehingga arti keseluruhannya "tiang bangsa". Sedangkan dalam Bahasa Merauke, Iri artinya "ditempatkan" atau "diangkat tinggi", dan an artinya "bangsa". Sehingga artinya "bangsa yang diangkat tinggi".[8][11]

Provinsi Papua, sebelumnya mencakup seluruh wilayah Indonesia di Pulau Papua. Pada masa pemerintahan kolonial Hindia Belanda, wilayah ini dikenal sebagai Nugini Belanda (Nederlands Nieuw-Guinea atau Dutch New Guinea). Setelah berada bergabung dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia, wilayah ini dikenal sebagai Provinsi Irian Barat sejak tahun 1963 hingga 1973. Namanya kemudian diganti menjadi Irian Jaya oleh Soeharto pada saat meresmikan tambang tembaga dan emas Freeport, nama yang tetap digunakan secara resmi sampai terbitnya Undang-Undang No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua mengamanatkan nama provinsi ini untuk diganti menjadi Papua.

Pada tahun 2003, disertai oleh berbagai protes (penggabungan Papua Tengah dan Papua Timur), Papua dibagi menjadi dua provinsi oleh pemerintah Indonesia; bagian timur tetap memakai nama Papua sedangkan bagian baratnya menjadi Provinsi Irian Jaya Barat (kemudian menjadi Papua Barat). Bagian timur inilah yang menjadi wilayah Provinsi Papua pada saat ini.

Nama Papua Barat (West Papua) masih sering digunakan oleh Organisasi Papua Merdeka (OPM), suatu gerakan separatis yang ingin memisahkan diri dari Indonesia dan membentuk negara sendiri.

Latar belakang

Papua adalah sebuah pulau yang terletak di sebelah utara Australia dan merupakan bagian dari wilayah timur Indonesia. Sebagian besar daratan Papua masih berupa hutan belantara. Papua merupakan pulau terbesar kedua di dunia setelah Greenland. Sekitar 47% wilayah pulau Papua merupakan bagian dari Indonesia, yaitu yang dikenal sebagai Netherland New Guinea, Irian Barat, West Irian, serta Irian Jaya, dan akhir-akhir ini dikenal sebagai Papua. Sebagian lainnya dari wilayah pulau ini adalah wilayah negara Papua New Guinea (Papua Nugini), yaitu bekas koloni Inggris. Populasi penduduk di antara kedua negara sebetulnya memiliki kekerabatan etnis, tetapi kemudian dipisahkan oleh sebuah garis perbatasan.

Papua memiliki luas area sekitar 421.981 kilometer persegi dengan jumlah populasi penduduk hanya sekitar 2,3 juta. Lebih dari 71% wilayah Papua merupakan hamparan hutan hujan tropis yang sulit ditembus karena terdiri atas lembah-lembah yang curam dan pegunungan tinggi, dan sebagian dari pegunungan tersebut diliputi oleh salju. Perbatasan antara Indonesia dengan Papua Nugini ditandai dengan 141 garis Bujur Timur yang memotong pulau Papua dari utara ke selatan.

Seperti juga sebagian besar pulau-pulau di Pasifik Selatan lainnya, penduduk Papua berasal dari daratan Asia yang bermigrasi dengan menggunakan kapal laut. Migrasi itu dimulai sejak 30.000 hingga 50.000 tahun yang lalu, dan mengakibatkan mereka berada di luar peradaban Indonesia yang modern, karena mereka tidak mungkin untuk melakukan pelayaran ke pulau-pulau lainnya yang lebih jauh.

Para penjelajah Eropa yang pertama kali datang ke Papua, menyebut penduduk setempat sebagai orang Melanesia. Asal kata Melanesia berasal dari kata Yunani, ‘Mela’ yang artinya ‘hitam’, karena kulit mereka berwarna gelap. Kemudian bangsa-bangsa di Asia Tenggara dan juga bangsa Portugis yang berinteraksi secara dekat dengan penduduk Papua, menyebut mereka sebagai orang Papua.

Papua sendiri menggambarkan sejarah masa lalu Indonesia, karena tercatat bahwa selama abad ke-18 Masehi, para penguasa dari kerajaan Sriwijaya, yang berpusat di wilayah yang sekarang dikenal sebagai Palembang, Sumatra Selatan, mengirimkan persembahan kepada kerajaan Tiongkok. Di dalam persembahan itu terdapat beberapa ekor burung Cenderawasih, yang dipercaya sebagai burung dari taman surga yang merupakan hewan asli dari Papua, yang pada waktu itu dikenal sebagai ‘Janggi’.

Dalam catatan yang tertulis di dalam kitab Nagarakretagama, Papua juga termasuk kedalam wilayah kerajaan Majapahit (1293–1520). Selain tertulis dalam kitab yang merupakan himpunan sejarah yang dibuat oleh pemerintahan Kerajaan Majapahit tersebut, masuknya Papua kedalam wilayah kekuasaan Majapahit juga tercantum di dalam kitab Prapanca yang disusun pada tahun 1365.

Walaupun terdapat kontroversi seputar catatan sejarah tersebut, hal itu menegaskan bahwa Papua adalah sebagai bagian yang tidak terlepas dari jaringan kerajaan-kerajaan di Asia Tenggara yang berada di bawah kontrol kekuasaan kerajaan Majapahit. Selama berabad-abad dalam paruh pertama milenium kedua, telah terjalin hubungan yang intensif antara Papua dengan pulau-pulau lainnya di Indonesia, yang hubungan tersebut bukan hanya sekadar kontak perdagangan yang bersifat sporadis antara penduduk Papua dengan orang-orang yang berasal dari pulau-pulau terdekat.

Selama kurun waktu tersebut, orang-orang dari pulau terdekat yang kemudian datang dan menjadi bagian dari Indonesia yang modern, menyatukan berbagai keragaman yang terserak di dalam kawasan Papua. Hal ini tentunya membutuhkan interaksi yang cukup intens dan waktu yang tidak sebentar agar para penduduk di Papua bisa belajar bahasa Melayu sebagai bahasa pengantar, apalagi mengingat keanekaragaman bahasa yang mereka miliki. Pada tahun 1963, dari sekitar 700.000 populasi penduduk yang ada, 500.000 di antara mereka berbicara dalam 200 macam bahasa yang berbeda dan tidak dipahami antara satu dengan yang lainnya.

Beragamnya bahasa di antara sedikitnya populasi penduduk tersebut diakibatkan oleh terbentuknya kelompok-kelompok yang diisolasi oleh perbedaan antara yang satu dengan yang lainnya selama berabad-abad karena kepadatan hutan dan juga jurang yang curam yang sulit untuk dilalui yang memisahkan mereka. Oleh karena itu, sekarang ini ada 234 bahasa pengantar di Papua, dua dari bahasa kedua tanpa pembicara asli. Banyak dari bahasa ini hanya digunakan oleh 50 penutur atau kurang. Beberapa golongan kecil sudah punah, seperti Tandia, yang hanya digunakan oleh dua pembicara dan Mapia yang hanya digunakan oleh satu pembicara.

Sekarang ini bahasa pengantar yang digunakan adalah bahasa Indonesia, yang menjadi bahasa pengantar yang diajarkan di sekolah-sekolah dan merupakan bahasa di dalam melakukan berbagai transaksi. Bahasa Indonesia sendiri berasal dari bahasa melayu, versi pasar.

Sejarah

Papua berada di wilayah paling timur negara Indonesia. Ia merupakan pulau terbesar kedua setelah Pulau Greenland di Denmark. Luasnya mencapai 890.000 km2 (ini jika digabung dengan Papua New Guinea). Besarnya diperkirakan hampir lima kali luas pulau Jawa.[butuh rujukan]

200 M–1500 M

Pada sekitar tahun 200 M, ahli geografi bernama Klaudius Ptolemaeus (Ptolamy) menyebut pulau Papua dengan nama Labadios. Sampai saat ini tak ada yang tahu, kenapa pulau Papua diberi nama Labadios. Sekitar akhir tahun 500 M, oleh bangsa Tiongkok diberi nama Tungki. Hal ini dapat diketahui setelah mereka menemukan sebuah catatan harian seorang pedagang Tiongkok, Ghau Yu Kuan yang menggambarkan bahwa asal rempah-rempah yang mereka peroleh berasal dari Tungki, nama yang digunakan oleh para pedagang Tiongkok saat itu untuk Papua.[12]

Selanjutnya, pada akhir tahun 600 M, Kerajaan Sriwijaya menyebut nama Papua dengan menggunakan nama Janggi. Dalam buku Kertagama 1365 yang dikarang Pujangga Mpu Prapanca “Tungki” atau “Janggi” sesungguhnya adalah salah eja diperoleh dari pihak ketiga yaitu Pedagang Tiongkok Chun Tjok Kwan yang dalam perjalanan dagangnya sempat menyinggahi beberapa tempat di Tidore dan Papua.[12]

Di awal tahun 700 M, pedagang Persia dan Gujarat mulai berdatangan ke Papua, juga termasuk pedagang dari India. Tujuan mereka untuk mencari rempah-rempah di wilayah ini setelah melihat kesuksesan pedangang asal China. Para pedagang ini sebut nama Papua dengan Dwi Panta dan Samudranta, yang artinya Ujung Samudra dan Ujung Lautan.[12]

Pada akhir tahun 1300 M, Kerajaan Majapahit menggunakan dua nama, yakni "Wanin" dan "Sran". Nama Wanin, tentu tidak lain dari semenanjung Onin di daerah Fak-Fak, digunakan dalam beberapa nyanyian dan puisi bahasa lama di Kampung Wersar dan sekitarnya.[13] Sedangkan "Sran" bisa mengacu pada Pulau Seram di Maluku, maupun mengacu kepada kerajaan Sran Eman Muun, kontemporer kerajaan Majapahit.[14] Ada kemungkinan, budak yang dibawa dan dipersembahkan kepada Majapahit berasal dari Onin dan yang membawanya ke sana adalah orang Seram dari Maluku, sehingga dua nama ini disebut.[12]

Pada abad ke-14, kepulauan Papua dikuasai oleh Kerajaan Tidore bermula dari ekspedisi Raja Tidore Ibnu Mansur dengan Gurabesi, Kapitan asal Biak,[8] dan baru pada abad ke-16, Kesultanan Ternate dan Kesultanan Tidore memiliki wilayah dari Sulawesi dan Papua.[15] Nama Papua sendiri berasal dari kata Papa-Ua, yaitu penamaannya oleh Kerajaan Tidore, dimana dalam bahasa Tidore, itu berarti tidak bergabung atau tidak bersatu, yang artinya di pulau ini tidak ada raja yang memerintah.[15][16] Kerajaan Ternate, memiliki wilayah sebelah Barat; pesisir Timur Sulawesi, termasuk Sule dan Kepulauan Banggai, Seram Barat (jazirah Hoamal) dan Kepulauan Ambon. Sedangkan Kerajaan Tidore menguasai bagian Timur, dari Kepulauan Raja Ampat hingga perbatasan Papua dengan Papua Nugini sekarang.[17][15][18] Peranan kedua kerajaan besar ini mulai menurun dikarenakan mulai masuknya para pedagang dari Eropa ke Nusantara yang menjadikan awal kolonialismenya.[15] Tidore mengorganisir wilayahnya tersebut menjadi, Korano Ngaruha artinya Kepulauan Raja Ampat, Papo Ua Gamsio ( Papo Ua sembilan negeri) dan Mafor Soa Raha ( Mafor Empat Soa ).[8]

Kolonialisme di Papua

Peta kabupaten di Provinsi Papua (sebelum 30 Juni 2022)

Pada tahun 1511 M, Antonio d’Arbau pelaut asal Portugis menyebut wilayah Papua dengan nama “Os Papuas” atau llha de Papo. Don Jorge de Menetes, pelaut asal Spanyol juga sempat mampir di Papua beberapa tahun kemudian (1526 – 1527), ia tetap menggunakan nama Papua. Ia sendiri mengetahui nama Papua dalam catatan harian Antonio Figafetta, juru tulis pelayaran Magelhaens yang mengelilingi dunia menyebut dengan nama Papua. Nama Papua ini diketahui Figafetta saat ia singgah di pulau Tidore.

Berikutnya, pada tahun 1528 M, Alvaro de Savedra, seorang pimpinan armada laut Spanyol beri nama pulau Papua Isla de Oro atau Island of Gold yang artinya Pulau Emas. Ia juga merupakan satu-satunya pelaut yang berhasil menancapkan jangkar kapalnya di pantai utara kepulauan Papua. Dengan penyebutan Isla Del Oro membuat tidak sedikit pula para pelaut Eropa yang datang berbondong-bondong untuk mencari emas yang terdapat di pulau emas tersebut.[15]

Pada tahun 1545 M, pelaut asal Spanyol Inigo Ortiz de Retes memberi nama Nueva Guinea atau Gova Guinea (Pulau Guinea Baru). Ia awalnya menyusuri pantai utara pulau ini dan karena melihat ciri-ciri manusianya yang berkulit hitam dan berambut keriting sama seperti manusia yang ia lihat di belahan bumi Afrika bernama Guinea, maka diberi nama pulau ini Nueva Guinee/Pulau Guinea Baru, dan dimulailah era kolonialisme Belanda di Papua[15]

Pada tahun 1606 M, sebuah ekspedisi Duyfken dipimpin oleh komandan Wiliam Jansen dari Belanda mendarat di Papua. Ekspedisi ini terdiri atas 3 kapal, dimana mereka berlayar dari pantai Utara Jawa dan singgah di Kepulauan Kei, Aru pantai Barat Daya Papua, dan mengenalnya sebagai Papua dari Jorge de Menetes. Seiring dengan meluasnya kekuasaan Belanda, maka tahun 1663, Spanyol meninggalkan Papua.[15]

Sebagai usaha untuk memperkuat kedudukannya di Papua, pada tahun 1770, Belanda mengubah nama Papua menjadi Nieuw Guinea yang merupakan terjemahan ke dalam bahasa Belanda atas Gova Guinea atau Nova Guinea dan diterbitkan dalam peta internasional yang diterbitkan oleh Isaac Tiron, seorang pembuat peta berkebangsaan Belanda pada abad ke 18. Dengan dimuatnya ke dalam peta tersebut, maka daerah ini kian terkenal di negara-negara Eropa.[19]

Benteng Fort Du Bus di teluk Trinton oleh A.J. van Delden

Pada tahun 1774, kekuasaan Belanda atas Papua jatuh ke tangan Inggris. Di mana pada tahun 1775, nakhoda kapal La Tartare, Kapten Forrest dari Inggris berlabuh di Manokwari, Teluk Doreri, dan pada tahun 1793, Papua menjadi daerah koloninya yang baru. Berdasarkan perintah Gubernur Inggris berkedudukan di Maluku, mereka mulai membagi garis pulau dan mendirikan Benteng Coronation di Teluk Doreri. Namun Kamaludin Syah, Sultan Tidore yang berkuasa atas seluruh Kesultanan Tidore ( dimana pulau Papua bagian Barat klaim masuk dalam wilayah kekuasaannya milik Belanda) menentang pendiriannya, sehingga pada tahun 1814, Inggris meninggalkan Papua.[16][19]

Pada 24 Agustus 1828 berdirilah benteng Fort Du Bus di Teluk Trinton oleh A.J. van Delden atas nama Raja Willem I, sebagai penanda mulainya kolonialisme Belanda di Papua dengan diwujudkannya kerjasama dalam bentuk penandatanganan surat perjanjian dengan tiga raja yaitu Raja Namatota, Kasa (Raja Lahakia) dan Lutu (orang kaya di Lobo, Mewara dan Sendawan). Mereka mendapatkan pengakuan sebagai kepala daerah dibawah Sultan Tidore dan tongkat kekuasaannya yang berkepala perak dari Belanda, di mana secara bersamaan juga diangkat 28 kepala daerah bawahannya.[20] Belanda mengangkat Sultan Tidore sebagai penguasa atas wilayah Papua karena menanggap potensi ekonomi yang kecil, hingga pada tahun 1849, batas wilayah kekuasaan Tidore sudah sampai ke perbatasan modern Indonesia dan Papua Nugini.[17]

Tahun 1884, Papua New Guinea dikuasai oleh Inggris, dan pada tahun yang sama, Timur Laut Papua dikuasai oleh Jerman. Perebutan kekuasaan ini baru berakhir pada 16 Mei 1895 di Den Haag diadakan pertemuan antara Belanda dan Inggris mengenai penetapan batas wilayahnya, dan dikenal sebagai Perjanjian Den Haag (1895), serta termaktub dalam Staatsblaad van Nederlandsch Indie 1895 No. 220 dan 221 tertanggal 16 Mei 1895, dimana garis batasnya adalah Sungai Bensbach. Sungai ini membagi wilayah Papua Barat menjadi kekuasaan Belanda dan Papua Timur atau dikenal sebagai Papua Nugini sebagai wilayah Inggris. Wilayah kekuasaan Kerajaan Belanda. selanjutnya dikenal sebagai Nederlands Nieuw Guinea.[20]

1900–Sampai Sekarang

Setelah mendeklarasikan kemerdekaan Indonesia, Indonesia mencari dukungan baik secara militer maupun diplomasi. Beberapa usaha perjuangan diplomasi oleh pihak RI dilakukan melalui Perjanjian Linggarjati pada 1946, Perjanjian Renville pada 1948, dan Perjanjian Roem-Royen pada 1949.

Pada sidang BPUPKI 11 Juni 1945, berbeda dengan mayoritas anggota BPUPKI yang menginginkan Indonesia merdeka meliputi seluruh bekas Hindia Belanda, Malaya, Borneo Utara, Mohammad Hatta tidak setuju, “Saya sendiri ingin mengatakan bahwa Papua sama sekali tidak saya pusingkan, bisa diserahkan kepada bangsa Papua sendiri. Bangsa Papua juga berhak menjadi bangsa merdeka,” kata Hatta. Lanjutnya “Kalau sudah ada bukti, bukti bertumpuk-tumpuk yang mengatakan bahwa bangsa Papua sebangsa dengan kita dan bukti-bukti itu nyata betul-betul, barulah saya mau menerimanya. Tetapi buat sementara saya hanya mau mengakui, bahwa bangsa Papua adalah bangsa Melanesia,” yang tercatat dalam Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) 29 Mei 1945—19 Agustus 1945.[21] Walaupun demikian, hingga 1956 Papua berada di dalam lingkup Provinsi Maluku.

Pada tahun 1945, oleh Residen JP Van Eechoud dibentuklah sekolah Bestuur. Di sana ia menunjuk Atmoprasojo, mantan tahanan diguli, menjadi direktur sekolah Bestuur untuk mendidik kaum terpelajar Papua. Sementara itu Admoprasojo menggunakan posisinya untuk membujuk murid-muridnya bahwa pemerintah Belanda adalah penjajah dan upaya Pemerintah Belanda adalah upaya melanjutkan Penjajahan di Papua maka ia meminta kaum terpelajar harus ikuti kemerdekaan Indonesia. Beberapa murid yang setuju[butuh rujukan] melakukan pertemuan tertutup di Tobati, Hollandia. Untuk melawan upaya Dekolonisasi Papua oleh Pemerintah Belanda turut dibicarakan penggantian sebuah nama oleh Frans Kaisiepo selaku ketua panitia kemudian mengambil sebuah nama yaitu Irian dari sebuah mitos Manseren Koreri, sebuah legenda yang dikenal luas oleh masyarakat luas Biak, yaitu Irian. Pada perkembangan selanjutnya nama Irian menjadi akronim untuk "Ikuti Republik Indonesia Anti Nederlands" sebagai kampanye menentang Pemerintah Belanda.[8] Pada Desember 1945, direncanakan pemberontakan terhadap Belanda pada tanggal 25 Desember yang berpusat di Kampung Harapan, yang dipimpin Admoprasojo dan murid-muridnya beserta beberapa anggota KNIL, Batalyon Papua, dan mantan Heiho. Namun pemerintah Belanda mengetahui rencana setelah diberi tahu salah satu anggota Batalyon Papua. Otoritas Belanda memberi isu penyerangan kampung kristen akan dilakukan oleh anggota pemberontak yang beragama muslim, dan mengerahkan pasukan KNIL yang berpusat di Kloofkamp yang berjarak 40 km dari Kampung Harapan untuk mengepungnya pada tanggal 15 Desember. Kemudian menggunakan pasukan asal Rabaul, Papua Nugini, Belanda menangkap 250 calon pemberontak, dan menangkap Atmoprasojo, Corinus Krey, Marthen Indey dan Silas Papare sebagai pemimpin operasi untuk dibawa ke Hollandia.[22]

Pada tanggal 16 Juli 1946, Frans Kaisiepo yang dipilih untuk mewakili Nieuw Guinea hadir untuk konferensi di Malino-Ujung Pandang, sebelum pergi ke Malino pada 9 Juli 1946, atas saran Corinus Krey, Frans Kaisiepo bertemu dengan Admoprasojo di penjara Abepura, Hollandia yang difasilitasi oleh sipir Elly Uyo dan anggota batalyon papua, Johan Aer. Di pertemuan ini mereka setuju untuk menggunakan nama Irian.[23] Di Malino melalui pidatonya dalam penyiaran radio nasional, mengumumkan pergantian nama Papua dan Nieuw Guinea dengan nama Irian dan seharusnya masuk menjadi wilayah Indonesia, nama Irian adalah satu nama yang mengandung arti politik. Frans Kaisepo pernah mengatakan “Perubahan nama Papua menjadi Irian, kecuali mempunyai arti historis, juga mengandung semangat perjuangan: IRIAN artinya Ikut Republik Indonesia Anti Nederland”. (Buku PEPERA 1969 terbitan tahun 1972, hal. 107-108). Di saat yang bersamaan pada tanggal 17 Juli 1946, Panggoncang Alam melancarkan pemberontakan untuk melepaskan Atmoprasojo dengan melucuti pasukan KNIL dan menyerang beberapa lokasi walau akhirnya gagal. Silas Papare dianggap memiliki andil dalam peristiwa tersebut diasingkan dari Hollandia ke Serui, dimana dia bertemu dengan Sam Ratulangi yang sudah lebih dahulu diasingkan disana. Selanjutnya PKII (Partai Kemerdekaan Indonesia Irian) didirikan oleh Papare di Serui bersama Alwi Rachman sebagai wakil, dan Sam Ratulangi sebagai penasihat. Komite Indonesia Merdeka (KIM) organisasi berasal di Melbourne mendirikan cabang Abepura pada Oktober 1946, dipimpin oleh Dr. J.A. Gerungan, yang setelah dipindahkan, dipimpin oleh Marthen Indey. Di Manokwari, Gerakan Merah Putih didirikan oleh Petrus Walebong dan Samuel Damianus Kawab[24], gerakan ini kemudian menyebar ke Babo, Kokas, dan Sorong.[25] Cabang KIM di Biak diubah menjadi Partai Indonesia Merdeka (PIM) oleh Lukas Rumkorem, sedangkan di Sorong, Perintis Kemerdekaan didirikan oleh Sangaji Malan.[26]

Para tanggal 17 Agustus 1947, para pekerja Nederlandsch Nieuw Guinea Petroleum Maatschappij, mendirikan Persatuan Pemuda Indonesia (PPI) yang dipimpin Abraham Koromath. Pada tanggal 19 Maret 1948 terjadi pemberontakan terhadap Belanda di Biak yang dipimpin oleh Stevanus Yoseph dengan Petro Jandi, Terianus Simbiak, Honokh Rambrar, Petrus Kaiwai dan Hermanus Rumere. Para pemimpin pemberontakan ditangkap dan Petro Jandi dihukum mati, dan lainnya dipenjara.[26][27]

Pada tanggal 23 Agustus 1949 Konferensi Meja Bundar (KMB) dilakukan di Deen Hag, Belanda sebagai upaya pengakuan Kemerdekaan Republik Indonesia. Indonesia menuntut Pemerintah Belanda mengakui Kemerdekaan Indonesia dari Sabang sampai Merauke dan permasalahan mengenai status Irian Barat dibicarakan kemudian. Saat itu Kemerdekaan Indonesia diakui Pemerintah Belanda dari Aceh sampai Ambon dengan sistem Pemerintahan Federal yang dikenal dengan Republik Indonesia Serikat. Pemerintah Belanda menginginkan agar daerah masing-masing wilayah Indonesia harus membangun masing-masing wilayah administrasinya dengan pertanggungjawaban kepada pemerintah (RIS) sebagai Negara Bagian.

Untuk wilayah Irian, Pemerintah Belanda menolak digabungkannya wilayah tersebut ke dalam Republik Indonesia Serikat karena telah mendaftarkan Wilayah Non Self Government Territory di PBB yang akan didekolonisasi menjadi sebuah Negara Merdeka.[butuh rujukan] Pada tahun 1946, berdasarkan data resolusi 66(I), Daftar Wilayah Non Self Government Territory di PBB mencakup seluruh wilayah Netherlands Indies.[28]. Belanda kembali mengubah nama Papua dari Nieuw Guinea menjadi Nederlands Nieuw Guinea. Perubahan nama tersebut sejalan dengan upaya pemerintah Belanda untuk Dekolonisasi Nieuw Guinea sesuai dengan Piagam PBB 1945 tentang Penghapusan Wilayah Koloni.[butuh rujukan] Menurut Arend Lijphart, motivasi Belanda memisahkan wilayah Papua didasari oleh letak strategisnya untuk pusat tentara laut kerajaan Belanda di pasifik, memindahkan Indo-eurasian dari wilayah Indonesia lainnya, dan untuk mengontrol kepentingan ekonomisnya di Indonesia.[29] Untuk menghapuskan nasionalisme Indonesia, Van Eechoud melarang PKII dan KIM, dan membuang tokohnya ke Makassar, Jawa, dan Sumatra. Tokoh-tokoh yang dibuang seperti Silas Papare, Albert Karubuy, N.L. Suwages, Machmud Singgirei Rumagesan. Walau beberapa masih pula berada di Papua seperti, Steven Rumbewas, Corinus Krey, Marthen Indey, Abraham Koromath, Samuel Damianus Kawab, Elieser Jan Bonay, dan Elly Uyo.[30]

Di tahun 1956, akibat penangkapan terhadap pemimpin PPI dan OPI di Sorong, Organisasi Pemuda Irian tersebut kemudian dipimpin oleh Bastian Samori, Yulius Worabay, Lodewijk Wosiri, Bob Warinusi, dan Elias Paprindey. Pada tanggal 3 November 1956, mereka berupaya untuk mesabotase tanki minyak di Sorong. Terjadi pemberontakan serupa oleh pemuda di Fakfak, dimana mereka menyerang pos polisi belanda.[24] Pemerintah Belanda kemudian menangkap Elias Paprindey, Elimelek Ayoni, dan Franky Kossa pada tahun 1959.[31]

Pada tanggal 15 Juni 1960, legislasi New Guinea Organic law diadopsi di parlemen Belanda, dengan demikian Dewan Papua yang dikenal dengan nama Nieuw Guinea Rad dibentuk. Di dalam kegiatan dewan ini salah satunya adalah mengkaji sejarah dan budaya Papua dengan membentuk Dewan Adat Papua, termasuk pembentukan Partai Politik Papua, serta mengizinkan Keterlibatan Partai Politik Papua dalam Pemilihan Dewan Papua atau Nieuw Guinea Rad, selanjutnya Nieuw Guinea Rad menciptakan sebuah Simbol Bangsa Papua yaitu nama Bangsa Papua sebagai West Papua atau Papua Barat, Burung Mambruk sebagai simbol Bangsa Papua, Bendera Bintang Kejora sebagai Bendera Papua Barat, lagu Hai Tanahku Papua sebagai Lagu Kebangsaan Papua Barat, uang Gulden Nieuw Guinea sebagai Mata Uang Bangsa Papua Barat mempersiapkan Dekolonisasi Papua atau Kemerdekaan Papua di rencanakan penyerahan kemerdekaan Papua secara de facto tahun 1961. Pada tanggal 19 October 1961, Dewan Nugini mengajukan manifesto untuk permohonan izin mendeklarasikan Simbol Bangsa Papua Barat. Maka pada 1 Desember 1961, Pemerintah Belanda mengizinkan simbol tersebut diadopsi sebelah bendera belanda.[32]

Pada tahun 1958 sampai 1961, sejumlah pemuda papua melintas ke wilayah Indonesia, mereka diterima dan mendapat pelatihan militer dalam rangka upaya perebutan kembali dari pemerintah Belanda, beberapa tokoh terkenal berikut AJ. Dimara, Benny Torey, Marinus Imbury, Zadrack Rumbobiar, Melkianus Torey, dan Metusalim Fimbay.[24][33]

Di Jayapura dan Manokwari melaksanakan Upacara Deklarasi Kemerdekaan Papua Barat secara de facto dan secara de jure dipersiapkan tahun 1969 sesuai dengan rencana Pemerintah Belanda memberikan Kemerdekaan bagi Nederlands Nieuw Guinea[butuh rujukan] dalam Daftar Wilayah Dekolonisasi atau Wilayah Non Self Government Territory di PBB dan ditangani oleh Badan Dekolonisasi PBB yang dikenal Tim 24.[butuh rujukan] Pada tanggal tersebut semua masyarakat Papua dan pegawai Pemerintah Belanda mengikuti Acara Deklarasi Simbol Bangsa Papua sekaligus Deklarasi Kemerdekaan Papua Barat.[butuh rujukan] Saat itu Lagu Kebangsaan Papua Barat dan Lagu Kebangsaan Belanda dinyanyikan saat pengibaran Bendera Papua Barat Bintang Kejora disamping Bendera Belanda sebagai Deklarasi Kemerdekaan Papua Barat.[butuh rujukan]

Tanggal 15 Agustus 1962 dilakukan Perjanjian New York yang dimediasi oleh Amerika Serikat yang berisi penyerahan Papua bagian barat dari Belanda melalui United Nations Temporary Executive Authority (UNTEA) kepada Indonesia. Sedangkan United Nations Temporary Executive Authority (UNTEA), sebuah badan khusus yang dibentuk PBB untuk mengawasi act free choice di Papua yang pada tahun 1969 menggunakan dua nama untuk Papua, yaitu West New Guinea/West Irian. Saat itu delegasi Indonesia dipimpin oleh Subandrio, dengan perwakilan asal Papua meliputi J.A. Dimara, Albert Karubuy, Frits Kirihio, Silas Papare, M. Indey, dan Efraim Somisu.[34]

Pada tanggal 14 Juli–2 Agustus 1969 untuk menentukan status daerah bagian barat Pulau Papua, antara milik Belanda atau Indonesia. 1.025 laki-laki dan perempuan dipilih menjadi delegasi wilayahnya dan secara aklamasi memilih bergabung dengan Indonesia, kritik menyebutkan militer Indonesia lah yang memilih dengan paksaan.[butuh rujukan] Berikutnya, nama Papua atau Nederlands Nieuw Guinea diganti menjadi Irian Barat sejak 5 Mei 1963 saat wilayah diserahkan dari Belanda ke dalam Negara Republik Indonesia. Pada tahun 1967, kontrak kerja sama PT Freeport Mc Morran dengan pemerintah Indonesia dilangsungkan oleh Suharto setelah ditolak Sukarno. Dalam kontrak ini Freeport gunakan nama Irian Barat, walau secara resmi Papua belum menjadi Provinsi di Indonesia.[35]

Dalam Sidang Umum PBB 1969 Agenda Pembahasan Pelaksanaan PEPERA menjadi masalah sengit antara dua kubu dengan pembahasan menjadi tiga hari dari biasanya satu jam.[butuh rujukan] Kelompok Pan African yang terdiri dari Negara-negara Afrika dan Amerika dan Amerika Latin menolak dan menuntut Pelaksanaan Ulang dengan One Man One Vote bukan dengan cara Musyawarah Indonesia yang dipake dalam PEPERA sedangkan Negara-negara Asia mendukung Indonesia.[butuh rujukan] Sidang diskor 1 Minggu dan Indonesia memperoleh dukungan 53% Papua adalah bagian Negara Indonesia setelah dilakukannya Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) tahun 1969.[butuh rujukan] Kemudian pada tanggal 1 Maret 1973 sesuai dengan peraturan Nomor 5 tahun 1973 nama Irian Barat resmi diganti oleh Presiden Soeharto menjadi nama Irian Jaya.

Memasuki era reformasi sebagian masyarakat menuntut penggantian nama Irian Jaya menjadi Papua. Presiden Abdurrahman Wahid memenuhi permintaan sebagian masyarakat tersebut. Dalam acara kunjungan resmi kenegaraan Presiden, sekaligus menyambut pergantian tahun baru 1999 ke 2000, pagi hari tanggal 1 Januari 2000, dia memaklumkan bahwa nama Irian Jaya saat itu diubah namanya menjadi Papua seperti yang diberikan oleh Kesultanan Tidore pada tahun 1800-an.

Pemerintahan

Gubernur

Gubernur Papua bertanggungjawab atas wilayah provinsi Papua. Kepala daerah atau gubernur yang menjabat di provinsi Papua ialah Lukas Enembe, dengan wakil gubernur Klemen Tinal. Mereka menang dua periode, yakni pada Pemilihan umum Gubernur Papua 2012 dan Pemilihan umum Gubernur Papua 2018. Secara kepemimpinan, Lukas Enembe merupakan gubernur Papua ke-13 untuk periode kedua, sejak provinsi ini masih bernama Irian Barat. Lukas dan Klemen dilantik pertama kali atau periode pertama 2013-2018, oleh Menteri Dalam Negeri saat itu, Gunawan Fauzi, pada 9 April 2013 di Stadion Mandala Jayapura.[36] Kemudian, mereka juga menang untuk periode kedua tahun 2018-2023, dan dilantik oleh presiden Joko Widodo pada 5 September 2018 di Istana Negara Jakarta Pusat.[37]

Namun, wakil gubernur Papua Klemen Tinal meninggal dunia pada 21 Mei 2021 di RS Abdi Waluyo Menteng, Jakarta, sekitar pukul 4.00 WIB. Hal tersebut dibenarkan oleh Direktur Jenderal Bina Administrasi Kewilayahan Kementerian Dalam Negeri, Safrizal, kepada awak media.[38] Pasca meninggalnya Klemen Tinal, posisi wakil gubernur masih kosong, terjadi perebutan jabatan oleh koalisi partai.[39]

No. Foto Gubernur Mulai jabatan Akhir Jabatan Foto Wakil Gubernur R
13 Lukas Enembe 9 April 2013 9 April 2018 Klemen Tinal
(9 April 2013–21 Mei 2021)
[40]
5 September 2018 Petahana [38][41]
lowong

Dewan Perwakilan

Dewan Perwakilan Rakyat Papua
Periode 2019-2024
Jenis
Jenis
Jangka waktu
5 tahun
Sejarah
Didirikan1963
Sesi baru dimulai
31 Oktober 2019
Pimpinan
Ketua
Johny Banua Rouw (NasDem)
sejak 17 Desember 2019
Wakil Ketua I
Yunus Wonda (Demokrat)
sejak 17 Desember 2019
Wakil Ketua II
Edoardus Kaize (PDI-P)
sejak 17 Desember 2019
Wakil Ketua III
Yulianus Rumbairusy (PAN)
sejak 17 Desember 2019
Komposisi
Anggota69
Partai & kursi
Pemerintah (40)
  NasDem (8)
  PDI-P (7)
  PAN (6)
  Golkar (6)
  Gerindra (5)
  Hanura (3)
  PKB (3)
  PPP (1)
  Perindo (1)

Oposisi (15)

  Demokrat (8)
  PKS (3)
  Berkarya (3)
  Garuda (1)

Lainnya (14)

  Otsus (14)
Pemilihan
Proporsional-Terbuka dan Pengangkatan
Pemilihan terakhir
17 April 2019
Pemilihan berikutnya
14 Februari 2024
Tempat bersidang
Gedung DPR Papua
Jalan DR. Sam Ratulangi No. 2
Kode Pos 99111
Jayapura Utara, Kota Jayapura
Papua, Indonesia
Situs web
dpr-papua.go.id
L • B
Info templat
Bantuan penggunaan templat ini

Dewan Perwakilan Rakyat Papua (disingkat DPR Papua atau DPRP) adalah lembaga perwakilan rakyat daerah yang berkedudukan sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah di Provinsi Papua, Indonesia. Sejak tahun 2014, DPRP beranggotakan 55 orang yang dipilih melalui pemilihan umum setiap lima tahun sekali dan 14 orang yang diangkat melalui jalur otonomi khusus sehingga total anggota DPRP berjumlah 69 orang. Pimpinan DPRP terdiri dari 1 Ketua dan 3 Wakil Ketua yang berasal dari partai politik pemilik jumlah kursi dan suara terbanyak. Anggota DPRP yang sedang menjabat saat ini adalah hasil Pemilu 2019 yang dilantik pada 31 Oktober 2019 oleh Ketua Pengadilan Tinggi Jayapura di Gedung DPR Papua.[42] Komposisi anggota DPRP periode 2019-2024 terdiri dari 13 partai politik di mana Partai NasDem adalah partai politik pemilik kursi terbanyak yaitu 8 kursi disusul oleh Partai Demokrat yang juga meraih 8 kursi dan PDI Perjuangan yang meraih 7 kursi. Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP) memiliki 52 orang anggota. Sedangkan untuk melindungi hak politik adat orang Papua dibentuklah Majelis Rakyat Papua (MRP).

Daftar kabupaten dan kota

No. Kabupaten/kota Ibu kota Bupati/wali kota Luas wilayah (km²)[43] Jumlah penduduk (2020)[44] Distrik Kelurahan/kampung Lambang
Peta lokasi
1 Kabupaten Biak Numfor Biak Herry Ario Naap 2.602,00 134.650 19 14/254
2 Kabupaten Jayapura Sentani Triwarno Purnomo (Pj.) 11.157,15 166.171 19 5/139
3 Kabupaten Keerom Arso (de facto)
Waris (de jure)
Piter Gusbager 8.390,00 61.623 11 -/91
4 Kabupaten Kepulauan Yapen Serui Kota Welliam Robert Manderi (Pj.) 2.050,00 112.676 16 5/160
5 Kabupaten Mamberamo Raya Burmeso John Tabo 23.813,91 36.483 8 -/60
6 Kabupaten Sarmi Sarmi Markus Oktovianus Mansnembra (Pj.) 17.742,00 41.515 10 2/92
7 Kabupaten Supiori Sorendiweri Yan Imbab 678,32 22.547 5 -/38
8 Kabupaten Waropen Oudate Yeremias Bisay 10.977,09 33.943 11 -/100
9 Kota Jayapura - Frans Pekey (Pj.) 935,92 398.478 5 25/14


Pendidikan

Apresiasi peningkatan dan pemerataan pendidikan untuk masyarakat Nusantara dilakukan di antaranya melalui program Afirmasi Pendidikan Menengah (Adem). Dalam program beasiswa ini Anak asli Papua berkesempatan melanjutkan studinya untuk tahun ajaran 2015 ke jenjang setingkat sekolah menengah atas di sejumlah daerah Tanah Pasundan, Jawa Barat. Pemerintah Kota Bandung akan mendorong program pendidikan bagi para siswa asal Papua dan berencana akan meningkatkan jumlah siswa Papua yang akan bersekolah di Bandung.[45][46][47][48]

Program Adem bergulir sejak 2013. Memasuki tahun ketiga atau 2015 ini sudah 1.304 anak Papua menimba ilmu ke tingkat SMA atau SMK di Yogyakarta, Jawa Timur, Jawa Barat, Jawa Tengah, Banten dan Bali. Untuk program ADEM 2015 tercatat 505 anak Papua menempuh pendidikan SMA dan SMK di enam provinsi tersebut.[49]

Infrastruktur

Provinsi Papua merupakan salah satu provinsi terkaya di Indonesia dengan luas wilayahnya lebih tiga kali luas pulau Jawa, ditambah jumlah penduduk yang masih sedikit dengan kekayaan alam begitu kaya dan belum digali seperti hasil hutan, perkebunan, pertanian, perikanan pertambangan.

Hal ini disebabkan karena belum adanya jaringan jalan yang memadai yang dapat menghubungkan wilayah-wilayah sentra produksi untuk itu Dinas Pekerjaan umum berupaya melakukan pembangunan infrastruktur jalan yang baik. seperti Pembangunan jalan JayapuraWamena yang merupakan status jalan Nasional sebagai kegiatan investasi yang besar bagi Pemerintah Provinsi Papua dan Kabupaten Jayawijaya yang dibangun dengan tujuan:

  • Sebagai Sarana untuk mengintegrasikan Pengembangan Potensi daerah dan Perubahan Struktur masyarakat.
  • Membentuk suatu sistem Jaringan Jalan Nasional, Provinsi, Kabupaten dan Kota guna mendukung sistem produksi dan distribusi.
  • Membentuk manfaat secara langsung kepada masyarakat dalam hal kemudahan kegiatan Sosial, ekonomi, arus barang dan jasa, kesempatan kerja dan ketrampilan masyarakat.

Ekonomi

Peta menunjukkan kota-kota penting di Papua Barat dan Papua
Mall di Jayapura

Potensi ekonomi di Papua sangatlah tinggi, Kekayaan alam papua begitu kaya dan itu semua belum digali. meskipun papua kaya akan sumber daya alamnya, papua masih bergantung pada Freeport.[50]

Menurut badan pusat statistik (BPS) ekonomi Papua triwulan pertama terhadap triwulan sebelumnya mengalami kontraksi pertumbuhan sebesar minus 13,64 persen. Aktivitas ekonomi pada triwulan pertama 2019 yang tidak sepadat triwulan keempat 2018 menyebabkan hampir seluruh lapangan usaha mengalami pertumbuhan negatif pada lapangan usaha pertambangan dan penggalian merupakan kategori berkontraksi paling dalam yaitu sebesar minus 25,04 persen,[50] turunnya produksi tambang Freeport. Produksi bijih logam PT Freeport pada triwulan pertama mengalami penurunan produksi diakibatkan masa transisi penambangan dari tambang terbuka (open pit) ke tambang bawah tanah Grasberg Block Cave (GBC).

Pemerintah mencanangkan pada 2020 akan meningkatkan infrastruktur di Papua, mulai dari pembangunan jalur transportasi seperti, pembangunan pelabuhan, bandara, dan pembuatan akses jalan ke daerah terpencil, hal ini diharapkan bisa meningkatkan kesejahteran masyarakat di daerah tersebut [51]

Demografi

Suku bangsa

Penduduk asli Papua dari Lembah Baliem.
Penari Tifa Papua

Penduduk provinsi Papua terdiri dari bermacam-macam suku bangsa. Berdasarkan Sensus Penduduk Indonesia 2010 dari 2.780.144 jiwa penduduk 2010 (sebelum dimekarkan 3 provinsi baru yakni Papua Selatan, Papua Tengah, dan Papua Pegunungan, pada tahun 2022), jumlah penduduk provinsi Papua dari suku asli Papua sebanyak 2.121.436 jiwa (76,32%). Penduduk dari luar Papua terbanyak yaitu suku Jawa sebanyak 233.145 jiwa (8,39%), kemudian asal Sulawesi 102.157 jiwa (3,67%), Bugis 88.679 jiwa (3,19%), asal Maluku 82.597 jiwa (2,97%), Makassar 41.239 jiwa (1,48%), asal NTT 26.285 jiwa (0,95%), Minahasa 21.394 jiwa (0,77%), Batak 16.243 jiwa (0,58%), Sunda 13.376 jiwa (0,48%), Madura 3.681 jiwa (0,13%), Tionghoa 3.405 jiwa (0,12%) dan lainnya 0,95%.[52]

Berikut ini merupakan komposisi suku bangsa di Papua menurut Sensus Penduduk 2010:[52]

Seorang laki-laki dari Papua dengan pakaian adat Papua.
No Suku Jumlah 2010 %
1 Asli Papua * 2.121.436 76,32%
2 Jawa 233.145 8,39%
3 Asal Sulawesi 102.157 3,67%
4 Bugis 88.679 3,19%
5 Asal Maluku 82.597 2,97%
6 Makassar 41.239 1,48%
7 Asal NTT 26.285 0,95%
8 Minahasa 21.394 0,77%
9 Batak 16.243 0,58%
10 Sunda 13.376 0,48%
11 Madura 3.681 0,13%
12 Tionghoa 3.405 0,12%
13 Suku Lainnya 26.507 0,95%
Provinsi Papua 2.780.144 100%

Kelompok suku asli di Papua termasuk kelompok suku terbanyak di Indonesia, terdapat ratusan suku di Papua. Berikut 25 suku yang lebih diketahui masyarakat Indonesia, suku-suku tersebut antara lain yakni Suku Ansus, Amungme, Asmat, Ayamaru, mendiami daerah Sorong. Kemudian suku Bauzi, Biak, Dani, Damal, Empur, mendiami daerah Kebar dan Amberbaken. Kemudian suku Enggros, Fayu, Hatam, mendiami daerah Ransiki dan Oransbari, Iha, Kamoro, Korowai, Mandobo atau Wambon, Mee, mendiami daerah pegunungan Paniai. Selanjutnya suku Meyakh, mendiami Kota Manokwari, Moskona, mendiami daerah Merdei, Muyu, Nafri, Sentani, mendiami sekitar danau Sentani, Serui, Souk, mendiami daerah Anggi dan Menyambouw, Tobati, Waropen, Wamesa dsn suku lainnya.[52]

Tradisi dan budaya

Tifa

Alat musik tifa

Tifa merupakan alat musik khas Indonesia bagian Timur, khususnya Maluku dan Papua. Alat musik ini bentuknya menyerupai kendang dan terbuat dari kayu yang di lubangi tengahnya. Ada beberapa macam jenis alat musik Tifa seperti Tifa Jekir, Tifa Dasar, Tifa Potong, Tifa Jekir Potong dan Tifa Bas.

Tifa mirip dengan alat musik gendang yang dimainkan dengan cara dipukul. Alat musik ini terbuat dari sebatang kayu yang dikosongi atau dihilangi isinya dan pada salah satu sisi ujungnya ditutupi, dan biasanya penutupnya digunakan kulit rusa yang telah dikeringkan untuk menghasilkan suara yang bagus dan indah. Bentuknya biasanya dibuat dengan ukiran. Setiap suku di Maluku dan Papua memiliki tifa dengan ciri khas nya masing-masing.

Tifa

Tifa biasanya digunakan untuk mengiringi tarian perang dan beberapa tarian daerah lainnya seperti tari Lenso dari Maluku yang diiringi juga dengan alat musik totobuang, tarian tradisional suku Asmat dan tari Gatsi.

Titir

Alat musik tifa dari Maluku memiliki nama lain, seperti tahito atau tihal yang digunakan di wilayah-wilayah Maluku Tengah. Sedangkan, di pulau Aru, tifa memiliki nama lain yaitu titir. Jenisnya ada yang berbentuk seperti drum dengan tongkat seperti yang digunakan di Masjid . Badan kerangkanya terbuat dari kayu dilapisi rotan sebagai pengikatnya dan bentuknya berbeda-beda berdasarkan daerah asalnya.

Noken

Noken merupakan tas tradisional khas asli Papua. Noken berbentuk jaring-jaring yang terbuat dari akar kayu pohon atau daun yang dikeringkan berupa tali-tali yang kuat dan dirajut menjadi tas jaring. Keberadaan Noken Papua telah diakui Dunia dengan ditetapkan sebagai warisan budaya tak benda atau warisan dunia oleh Lembaga Kebudayaan Dunia di Markas UNESCO Paris, Prancis pada 4 Desember 2012.

Penetapan Noken sebagai warisan dunia ini diinisasi oleh seorang pemerhati budaya Papua asal Paniai, Titus Pikei yang menyatakan tujuannya untuk menjaga tradisi budaya Papua agar tidak punah. Ia kemudian mendirikan Yayasan Noken Papua guna menjaring semua komponen pengrajin noken dari berbagai komunitas pengrajin noken di Provinsi Papua dan Papua Barat untuk selalu menjaga kekhasannya.

Ia mengajak agar budidaya bahan baku noken dari hutan dan lingkungan dapat dilestarikan melalui pendataan bersama para tetua adat atau kepala suku dengan Pemda setempat, sehingga budidaya bahan baku noken dapat terus terjaga.[53]

Kuliner khas

Papeda

Papeda adalah makanan berupa bubur sagu khas Maluku dan papua yang biasanya disajikan dengan ikan tongkol atau mubara yang dibumbui dengan kunyit.[54] Papeda berwarna putih dan bertekstur lengket menyerupai lem dengan rasa yang tawar.[54] Papeda merupakan makanan yang kaya serat, rendah kolesterol dan cukup bernutrisi.[55]

Di berbagai wilayah pesisir dan dataran rendah di Papua, sagu merupakan bahan dasar dalam berbagai makanan.[56] Sagu bakar, sagu lempeng, dan sagu bola, menjadi sajian yang paling banyak dikenal di berbagai pelosok Papua, khususnya dalam tradisi kuliner masyarakat adat di Kabupaten Mappi, Asmat, hingga Mimika.[56] Papeda merupakan salah satu sajian khas sagu yang jarang ditemukan.[56] Antropolog sekaligus Ketua Lembaga Riset Papua, Johszua Robert Mansoben, menyatakan bahwa papeda dikenal lebih luas dalam tradisi masyarakat adat Sentani dan Abrab di Danau Sentani dan Arso, serta Manokwari.[56]

Pada umumnya, papeda dikonsumsi bersama dengan ikan tongkol.[57] Namun, papeda dapat juga dikombinasikan dengan ikan gabus, kakap merah, bubara, hingga ikan kue.[57] Selain kuah kuning dan ikan, bubur papeda juga dapat dinikmati dengan sayur ganemo yang diolah dari daun melinjo muda yang ditumis dengan bunga pepaya muda dan cabai merah.[57]

Papeda disajikan dengan kuah kuning dan ikan tude bakar.

Lihat pula

Referensi

  1. ^ "PERDA Provinsi Papua No 6 Tahun 2016" (PDF). peraturan.bpk.go.id. Diakses tanggal 22 April 2021. 
  2. ^ "Lukas-Klemen, Gubernur dan Wakil Gubernur Papua Terpilih". 13-02-2013. 
  3. ^ a b "Visualisasi Data Kependudukan - Kementerian Dalam Negeri 2022" (Visual). www.dukcapil.kemendagri.go.id. Diakses tanggal 31 Juli 2022. 
  4. ^ "Indeks Pembangunan Manusia Menurut Provinsi 2019-2021". www.bps.go.id. Diakses tanggal 26 November 2021. 
  5. ^ "Rincian Alokasi Dana Alokasi Umum Provinsi/Kabupaten Kota Dalam APBN T.A 2020" (PDF). www.djpk.kemenkeu.go.id. 2020. Diakses tanggal 18 April 2021. 
  6. ^ a b "Provinsi Papua Dalam Angka 2021" (pdf). www.papua.bps.go.id. hlm. 17, 202. Diakses tanggal 18 April 2021. 
  7. ^ Wiranata, Rhuuzi (Senin, 03 Agustus 2020.). "Tujuh Provinsi Terluas di RI, Papua Urutan Pertama". detik.com. Diakses tanggal 6 September 2010. 
  8. ^ a b c d e Wanggai, Tony V.M. (2008) (dalam bahasa id). Rekonstruksi Sejarah Islam di Tanah Papua (Tesis). UIN Syarif Hidayatullah. https://repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7292/1/Toni%20Victor%20M.%20Wanggai_Rekonstruksi%20Sejarah%20Umat%20Islam%20di%20Tanah%20Papua.pdf. Diakses pada 2022-01-30. 
  9. ^ a b Sollewijn Gelpke, J.H.F. (1993). "On the origin of the name Papua". Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde / Journal of the Humanities and Social Sciences of Southeast Asia. Brill. 149 (2): 318–332. doi:10.1163/22134379-90003129. ISSN 0006-2294. 
  10. ^ Kustiani, Rini (29 October 2020). "Asal Usul Nama Papua, Ada di Catatan Pelaut Portugis dan Spanyol". Tempo (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 25 February 2021. 
  11. ^ Bilveer Singh (2008). Papua: geopolitics and the quest for nationhood. Transaction Publishers. hlm. 26. ISBN 978-1-4128-1206-1. 
  12. ^ a b c d Saragih 2019, hlm. 7.
  13. ^ Martin Slama and Jenny Munro, ed. (2015). From 'Stone Age' to 'Real Time' Exploring Papuan Temporalities, Mobilities, and Religiosities. Canberra: Australian National University Press. hlm. 110. ISBN 978-1-925022-43-8. 
  14. ^ Usmany, Dessy Pola (2017-06-03). "SEJARAH RAT SRAN RAJA KOMISI KAIMANA (History of Rat Sran King of Kaimana)". Jurnal Penelitian Arkeologi Papua Dan Papua Barat. 6 (1): 85–92. doi:10.24832/papua.v6i1.45alt=Dapat diakses gratis. ISSN 2580-9237. Diakses tanggal 2021-04-24. 
  15. ^ a b c d e f g Saragih 2019, hlm. 8.
  16. ^ a b "Citra Kabupaten Sorong Dalam Arsip". Jakarta: ANRI. 2012-10. hlm. 10. 
  17. ^ a b Swadling, Pamela; Wagner, Roy; Laba, Billai (2019-12-01). Plumes from Paradise. Sydney University Press. hlm. 17. doi:10.30722/sup.9781743325445. ISBN 978-1-74332-544-5. 
  18. ^ ANRI (Oktober 2009). Citra Papua Barat dalam arsip. Jakarta: ANRI. hlm. 9. 
  19. ^ a b Saragih 2019, hlm. 9.
  20. ^ a b Saragih 2019, hlm. 11.
  21. ^ Sitompul, Martin (2019-05-17). "Ketika Hatta Menolak Papua". Historia. Diakses tanggal 2022-01-30. 
  22. ^ Lumintang, Onnie; Haryono, P. Suryo; Gunawan, Restu; Nurhajarini, Dwi Ratna (1997). Biografi Pahlawan Nasional Marthin Indey dan Silas Papare (PDF). Indonesia: Ministry of Education and Culture. Diakses tanggal 2022-02-10. 
  23. ^ Patiara, John; Renwarin, Herman; Soedharto, Bondan; Palangan, M. (1983). "Sejarah Perlawanan Terhadap Imperialis dan Kolonialisme di Daerah Irian Jaya" (PDF). Kemdikbud. hlm. 72–73. Diakses tanggal 2021-11-03. 
  24. ^ a b c 25 tahun Trikora. Google Play Books (dalam bahasa Kinyarwanda). Yayasan Badan Kontak Keluarga Besar Perintis Irian Barat. 1988. Diakses tanggal 2021-11-01. 
  25. ^ Irian Jaya (Indonesia) (1987). Irian Jaya, the Land of Challenges and Promises. Alpha Zenith. hlm. 9. Diakses tanggal 2021-11-01. 
  26. ^ a b Sulindo, Redaksi (2019-11-24). "Meluruskan Sejarah (Bagian 3, Selesai)". Koran Sulindo. Diakses tanggal 2022-02-10. 
  27. ^ Lumintang, Onie M. (2018-07-27). "THE RESISTANCE OF PEOPLE IN PAPUA (1945-1962)". Historia: Jurnal Pendidik Dan Peneliti Sejarah. 10 (2): 47–60. doi:10.17509/historia.v10i2.12221 (tidak aktif 4 November 2021). ISSN 2615-7993. Diakses tanggal 2021-11-01. 
  28. ^ Nations, United. "Transmission of Information under Article 73 of the Chapter" (PDF). ny.un.org (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2022-02-02. 
  29. ^ Arend Lijphart, Trauma of Decolonization, pp. 25–35, 39–66
  30. ^ Politik Hukum. CV. AZKA PUSTAKA. 2021. hlm. 115. ISBN 978-623-5832-05-0. Diakses tanggal 2022-02-16. 
  31. ^ Nurhabsyah (2005). "Gerakan Bawah Tanah Cara Rakyat Irian Jaya Menentang Kekuasaan Pemerintahan Kolonial Belanda" (PDF). Fakultas Sastra Jurusan Sejarah Universitas Sumatera Utara. hlm. 5. Diakses tanggal 4 March 2021. 
  32. ^ Veur, Paul W. van der (1963). "Political Awakening in West New Guinea". Pacific Affairs. Pacific Affairs, University of British Columbia. 36 (1): 54–73. doi:10.2307/2754774. ISSN 0030-851X. JSTOR 2754774. Diakses tanggal 2021-11-03. 
  33. ^ Politik Hukum. CV. AZKA PUSTAKA. 2021. hlm. 118. ISBN 978-623-5832-05-0. Diakses tanggal 2022-02-16. 
  34. ^ 25 tahun Trikora. Google Play Books. 1988. hlm. 156. Diakses tanggal 2021-11-01. 
  35. ^ Budiartie, Gustidha (2018-07-12). "Freeport: Sukarno Tolak, Soeharto Teken Kontrak, Jokowi Rebut". CNBC Indonesia. Diakses tanggal 2022-02-02. 
  36. ^ Priliawito, Eko; Ambarita, Banjir (9 April 2013). "Lukas Enembe Resmi Dilantik Jadi Gubernur Papua". Diakses tanggal 27 Januari 2022. 
  37. ^ "Lukas Enember Diarak Usai Dilantik Jokowi". www.papua.go.id. 9 September 2018. Diakses tanggal 27 Januari 2022. 
  38. ^ a b Komara, Indra (21 Mei 2021). "Wakil Gubernur Papua Klemen Tinal Meninggal Dunia". news.detik.com. Diakses tanggal 27 Januari 2022. 
  39. ^ Muhsidin (21 November 2021). "Berebut Kursi Wakil Gubernur Papua". www.antaranews.com. Diakses tanggal 27 Januari 2022. 
  40. ^ Hayati, Istiqomatul (2013-04-09). "Gubernur Papua Dilantik di Lapangan Sepak Bola". Tempo (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2020-09-13. 
  41. ^ haipapua (2018-09-05). "Dilantik Presiden, Lukas Enembe dan Klemen Tinal Kembali Pimpin Provinsi Papua". Berita Papua. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2020-09-25. Diakses tanggal 2020-09-13. 
  42. ^ James Aisoki dan Charles Maniani (02-10-2019). "55 Anggota DPR Papua Resmi Dilantik". arfaknews.com. Diakses tanggal 10-10-2019. 
  43. ^ "Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 137 Tahun 2017 tentang Kode dan Data Wilayah Administrasi Pemerintahan". Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia. Diakses tanggal 3 Oktober 2019. 
  44. ^ "Hasil Sensus Penduduk 2020 di Provinsi Papua". Badan Pusat Statistik. Diakses tanggal 29 Agustus 2021. 
  45. ^ Dendi Ramdhani, Caroline Damanik (ed.) (14 Agustus 2015 19:30 WIB). "Ridwan Kamil: Bandung Punya Hubungan Batin dengan Papua". Regional.kompas.com. Diakses tanggal 15 Agustus 2015 19:30 WIB. 
  46. ^ Rida Widara (14 Agustus 2015, 20:55 WIB). "Siswa Papua Lanjutkan Sekolah di Bandung Tanpa Biaya". Bandung.bisnis.com. Diakses tanggal 15 Agustus 2015. 
  47. ^ "Wali Kota Bandung akan Menjadi Wali Murid 70 Siswa asal Papua". Infobandung.co.id. 14 Agustus 2015. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2017-05-20. Diakses tanggal 15 Agustus 2015. 
  48. ^ Nasri (2 Januari 2015). "Forum Kepala Sekolah Program ADEM Bandung-Cimahi Gelar Kegiatan Penguatan Motivasi". suarapapua.org. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2015-09-19. Diakses tanggal 15 Agustus 2015. 
  49. ^ Baban Gandapurnama (Jumat 14 Aug 2015, 13:28 WIB). "96 Anak Papua Melanjutkan Sekolah di Jabar Lewat Program Adem". detikNews. Diakses tanggal 15 Agustus 2015. 
  50. ^ a b Indonesia.go.id, Redaksi. "Ekonomi Papua Masih Bergantung pada Freeport". Indonesia.go.id (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2020-01-21. 
  51. ^ Okezone (2019-11-03). "Fakta Pembangunan Infrastruktur Papua, dari 10 Bandara Baru hingga Pegunungan Arfak : Okezone Economy". www.economy.okezone.com/. Diakses tanggal 2020-01-21. 
  52. ^ a b c "Kewarganegaraan Suku Bangsa, Agama dan Bahasa Sehari-hari Penduduk Indonesia" (pdf). www.bps.go.id. hlm. 36–41. Diakses tanggal 9 September 2021. 
  53. ^ "Yayasan Noken Papua Beri Penghargaan Unesco Award ke Pemkot Sorong". Lelemuku.com. 2019. Diakses tanggal 11 April 2019. 
  54. ^ a b Prasasti, Rati (2013). "Papeda Makanan Khas Dari Timur Indonesia". Media Publica. Diakses tanggal 9 Mei 2014. 
  55. ^ Santoso, Agung B. (2013). "Papeda, Makanan Sehat Khas Papua". Diakses tanggal 9 Mei 2014. 
  56. ^ a b c d Wisanggeni, Aryo (2013). "Belanga dan Papeda". National Geographic Indonesia. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2013-12-25. Diakses tanggal 9 Mei 2014. 
  57. ^ a b c "Papeda, Maluku: Bubur 'Lem' Segar Bergizi". Femina. Diakses tanggal 14 April 2014. 

Daftar pustaka

Saragih, Maylina (2019). Heroisme PGT Dalam Operasi Serigala. Subdisjarah Dispenau. 

Pranala luar

Koordinat: 4°46′S 137°48′E / 4.767°S 137.800°E / -4.767; 137.800