Tomus Leo

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Revisi sejak 14 Mei 2021 17.43 oleh Stephanus Victor (bicara | kontrib) (←Membuat halaman berisi ''''Tomus Leo''' adalah sebutan bagi surat dari Paus Leo I kepada Batrik Flavianus<ref>[http://www.newadvent.org/cathen/09154b.htm Catholic Encycloped...')
(beda) ← Revisi sebelumnya | Revisi terkini (beda) | Revisi selanjutnya → (beda)

Tomus Leo adalah sebutan bagi surat dari Paus Leo I kepada Batrik Flavianus[1] yang berisi pernyataan sikap lembaga kepausan perihal Kristologi. Di dalam suratnya, Sri Paus menandaskan bahwa Kristus memiliki dua kodrat dan bukan berasal atau terwujud dari dua kodrat.[2] Isi surat tersebut menjadi pokok perdebatan Konsili Kalsedon tahun 451, karena pada akhirnya diterima sebagai penjelasan doktrinal mengenai kodrat dari pribadi Kristus. Tomus Leo sesungguhnya merupakan balasan Sri Paus atas surat dari Flavianus, Batrik Konstantinopel yang mengekskomunikasi Eutikes. Eutikes sendiri juga mengirim surat permohonan banding kepada Sri Paus berkenaan dengan hukuman ekskomunikasi yang dijatuhkan kepadanya.

Rangkuman isi surat

Memaklumi isi surat Batrik Flavianus maupun "sidang para uskup" yang tengah berlangsung, Sri Paus menyatakan bahwa ia kini mafhum akan duduk perkaranya. Ia mengecam Eutikes dalam alinea pertama, menyanggah keras kekeliruan dan kesalahpahaman si presbiter akan isi syahadat. Sri Paus menegaskan bahwa tiga butir pertama dari syahadat saja sudah membuat "muslihat-muslihat hampir semua ahli bidat porak-poranda." Menggaungkan ajaran yang sama, Sri Paus menjabarkan kembali doktrin Gereja perihal kesebayaan kodrat Allah Bapa dan Allah Putra. Sehubungan dengan inkarnasi, Sri Paus mengajukan ayat-ayat Kitab Suci yang membenarkan dogma tersebut sekaligus menyalahkan ajaran Eutikes, dengan menginsyafi bahwa selaku orang yang memiliki pemahaman sendiri mengenai inkarnasi, boleh jadi Eutikes sudah membaca ayat-ayat yang relevan di dalam Injil Matius, surat Santo Paulus kepada jemaat di Roma, maupun kitab Nabi Yesaya. Menurut Sri Paus, Eutikes percaya bahwa Kristus bukan berasal dari kodrat yang sama seperti kita, melainkan merupakan Sang Sabda yang menjadi daging, yakni mengambil raga yang diciptakan secara langsung untuk maksud tersebut, bukan raga yang sungguh-sungguh diturunkan dari ibundanya. Dalam hal ini Eutikes keliru, karena Roh Kudus menjadikan Sang Perawan boleh mengandung, dan dari raga Sang Perawanlah raga sejati Kristus diturunkan.

Sri Paus menegaskan bahwa kedua kodrat Kristus tetap wujud, dan kedua-duanya bertemu di dalam satu pribadi, inilah "penawar yang tepat untuk sakit-penyakit kita," dan Kristus, dari unsur insaninya, dapat mati, tetapi dari unsur ilahinya, tidak dapat mati. Dengan mengambil kodrat kita, dan oleh karena itu mengambil "bagian dalam kelemahan-kelemahan kita," apalagi Yesus tidak menjadi "pengambil bagian dalam pelanggaran-pelanggaran kita...memperkaya apa yang insani, tidak mencederai apa yang ilahi." Wujud Allah tidak menyingkirkan wujud hamba, dan wujud hamba pun tidak mencederai wujud Allah. Allah berkehendak untuk menjadi terbatas oleh daging, "menjadi tunduk kepada hukum-hukum maut." Dengan lahir lewat mukjizat bukan berarti Kristus tidak memiliki kodrat insani. Kedua kodrat tersebut sama-sama berdiam di dalam Kristus, tiap kodrat menjalankan tugasnya masing-masing.

Sri Paus menjelaskan koeksistensi kodrat insani dan kodrat ilahi di dalam diri Yesus dengan kembali mengacu kepada isi syahadat sambil merujuk ayat-ayat Perjanjian Baru, misalnya "kelemahannya selaku bayi dipertontonkan kain lampin yang memalukan: keagungan Yang Mahatinggi dibahanakan suara para malaikat." Satu kodrat, sebagaimana yang dikemukakan Eutikes, tidak mengaku "Aku dan Bapa adalah satu" sambil berkata pula bahwa "Bapa lebih besar daripada aku", dua kodrat berdiam di dalam satu pribadi. Santo Petrus ditampilkan sebagai contoh tertua dari orang beriman yang menafikan segala macam teori lain mengenai kodrat Kristus demi menyatakannya sebagai Anak Allah yang hidup. Karena pernyataan iman inilah Petrus beroleh pahala istimewa dari Yesus.

Kebangkitan Yesus dan selang waktu antara peristiwa tersebut dengan peristiwa kenaikanlah yang membuat "iman utuh dan bersih dari segala bentuk kegelapan". Ketika itulah Yesus berusaha memperlihatkan bahwa kodrat insani dan kodrat ilahi ada di dalam dirinya tanpa terbagi-bagi. Sri Paus beralih ke Injil Yohanes dan menandaskan kembali bahwa memungkiri kodrat insani Kristus sama saja dengan membuyarkan Yesus, memungkiri misteri penebusan dari kebangkitan, dan memungkiri penyaliban yang kenistaannya cuma dapat ditanggung kodrat insani Kristus.

Sri Paus heran mengapa kesintingan Eutikes tidak kunjung dikecam secara lebih tegas. Bagian akhir surat memuat imbauan Sri Paus kepada Batrik Flavianus agar "sigap...memastikan jika dengan ilham belas kasihan Allah perkara ini dapat diselesaikan secara memuaskan, maka orang yang tidak tahu bertenggang rasa dan tidak berpengalaman itu juga dibersihkan dari pandangannya yang berbahaya ini." Sambil mengimbau Batrik Flavianus agar berbelas kasihan seperti Kristus dalam menangani perkara tersebut, Sri Paus menyoroti Eutikes yang dianggap kadang-kadang menampakkan ketidakpedulian akan kesesatannya, dan sepertinya berharap hukuman ekskomunikasi yang menimpa dirinya akan dicabut dalam waktu dekat. Sri Paus menyebut nama orang yang akan menyampaikan pernyataan sikapnya kepada Eutikes, mendoakan Batrik Flavianus supaya senantiasa sehat walafiat, lalu menutup surat dengan pemerian tanggal penulisan.

Referensi

Pranala luar