Abdul Chamid Usman

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

K. H. 'Abdul Chamid 'Utsman (wafat 1989) adalah seorang Kyai Kharismatik dari Banjaragung, Kajoran, Magelang. Beliau adalah salah satu sesepuh yang disowani K. H. Chamim Thohari Djazuli ketika hendak mendirikan pengajian Al Qur'an Dzikrul Ghofilin Jantiko Mantab.

Kyai Haji
'Abdul Chamid
'Utsman
Nama asalعبد الحميد
Lahir'Abdul Chamid
Indonesia Temanggung, Jawa Tengah
Meninggal1989
MakamKompleks Makam Situgur
Tempat tinggalNdalem PP. Bodho Nahdlatut Tullab, Banjaragung, Kajoran, Magelang
KebangsaanIndonesia
Nama lainYai Chamid Kajoran, Mbah Chamid
Pendidikan
  1. KH. Abdullah Dimyathi Temanggung
  2. KH. Dimyathi Abdullah Abdul Manan Termas
AlmamaterPesantren Termas Arjosari, Pacitan
PekerjaanKyai, Ulama, Waliyullah
OrganisasiNahdlatul Ulama
PenggantiKH. Muhammad Amin Chamid
Anak
  1. KH. Muhammad Amin Chamid
  2. KH. 'Abdullah Su'adi Wijaya Chamid
  3. KH. Raden Rahmat Bangun Chamid
  4. KH. Baqoh 'Arifin Chamid
  5. KH. Gumiwang Chamid
  6. Ny. Hj. Qo'idah Chamid
Orang tuaKyai Haji 'Utsman (Ayah)

Biografi[sunting | sunting sumber]

Beliau berdakwah dengan hikmah, sehingga tidak banyak bicara namun langsung dengan perbuatan.

Mulai dari masyrakat awam, santri bahkan juga kegiatan diskusi-diskusi informal bersama kiai-kiai sepuh untuk mencari solusi permasalahan umat pun dilakukan oleh ulama kharismatik asal Banjaragung Kajoran Magelang ini. Dalam sebuah cerita juga dikisahkan bahwa setiap Mbah Hamid akan pergi berdakwah, sering kali beliau berpamit dengan kalimat kinayah “Nyong arak lungo ngileake banyu (saya hendak pergi mengalirkan air)”.

Yai Chamid dan Lambang NU[sunting | sunting sumber]

Beliau ikut mengambil peran penting dalam sejarah kiprah organisasi Islam terbesar di dunia itu. Dipaparkan oleh Gus Rosyid dalam sebuah FGD bersama pengurus PAC IPNU & IPPNU Kecamatan Kajoran di Pondok Pesantren Bodho Nahdlatut Tullab Banjaragung, bahwa Mbah Hamid ini adalah seorang ulama yang kategorinya menjadi kunci di kalangan para kiai Nahdlatul Ulama pada waktu itu. “Kalau anda lihat di logo NU ada tali yang diikat longgar. Ikatan tali yang dilonggarkan itu adalah salahsatu usulan Mbah Hamid yang sangat dipertimbangkan para kiai-kiai NU saat itu” tegas Gus Rosyid. Ikatan longgar pada tali ini mempunyai arti toleransi, dalam menjalankan misi organisasi sebagai media dakwah islami Mbah Hamid menyumbangkan pemikiran bahwa NU harus selalu melihat situasi dan kondisi. Usulan Mbah Hamid itu yang menjadi salahsatu dasar bagi NU untuk hadir memberi solusi permasalahan umat dengan tidak hanya mengkaji secara tekstual saja tetapi juga mempertimbangkan kontekstualnya, “Ini salah satu usulan sederhana Mbah Hamid yang saat menjadi ciri khas pergerakan jam’iyyah kita” tambah Gus Rosyid.[1]

Yai Chamid dan Pancasila[sunting | sunting sumber]

Diceritakan oleh Gus Amin, pada suatu hari ada beberapa kyai yang sowan menghadap Kyai Hamid Kajoran diantaranya Kyai Ali Maksum, Krapyak, Yogyakarta; Kyai Mujib Ridwan, Surabaya dan Kyai Imron Hamzah, Surabaya. Ada juga waktu itu Kyai Fauzi Bandung yang disopiri oleh Kyai Saeful Mujab, Yogyakarta. Kyai Ali Maksum adalah salah satu anggota tim bentukan PBNU yang ditugasi untuk melakukan kajian mengenai azas tunggal Pancasila. Tim ini diketuai KH. Ahmad Shiddiq dengan anggota Kyai Mahrus Aly Lirboyo, Kyai As’ad Syamsul Arifin Situbondo, Kyai Masykur Malang dan Kyai Ali Maksum Krapyak.

Para kyai ini menyampaikan kepada Kyai Hamid Kajoran bahwa ada upaya pemaksaan dari pemerintahan Soeharto untuk menerapkan Pancasila sebagai azas tunggal. Mendengar pernyataan ini Kyai Khamid langsung menjawab, “Lho, koq pemaksaan? Pancasila itu kan milik kita, hasil ijtihad-nya para ulama dan kyai kita, terutama Hadratusysyekh KH Hasyim Asy’ari. Lha, kalo sekarang mau dijadikan azas tunggal ya Alhamdulillah. Itu artinya dikembalikan ke kita, koq malah kita merasa dipaksa.”

Mendengar jawaban kyai Hamid ini semua tertegun. Kemudian Kyai Ali bertanya, “Ini tafsirnya bagaimana?”

Atas pertanyaan ini kemudian Kyai Hamid menjelaskan soal sejarah dan tafsir Pancasila menurut ulama NU. Dijelaskan banwa Pancasila merupakan penjelmaan (sublimasi) ajaran Islam yang mentautkan syariah, aqidah dan tasawwuf.

“Oleh karenanya kita bisa menjalankan dua sila saja dari Pancasila secara konsisten dan benar Insya Allah kita bisa menjadi wali,” demikian Kyai Hamid menjelaskan Dua sila tersebut adalah sila Ketuhanan dan Kemanusiaan. Mengamalkan sila Ketuhanan artinya kita memahami dan mengerti Tuhan dengan segala kekuasaan-Nya, perintah dan laranganNya. Sedangkan mengamalkan sila kemanusiaan artinya kita harus “mengerti manusia”, “memanusiakan manusia” dan “merasa sebagai manusia”.

Kemudian Mbah Hamid menjelas tafsirnya secara detail dengan perspektif syariah dan tasawwuf . Ketika penafsiran sampai pada pengertian “merasa manusia”, Kyai Ali Maksum menangis.[2]

Wafat beliau dan Muktamar NU[sunting | sunting sumber]

Dekat-dekat menjelang Muktamar NU ke-28 tahun 1989 di Krapyak Yogyakarta, Mbah Kyai Hamid Kajoran jatuh sakit. Mbah Lim (Kyai Muslim Rifa'i Imampuro, Klaten) mengajak Gus Dur menengok ke kediaman beliau.

“Aku tak mati yo, Lim…” (Aku mau mati nih, Lim), kata Mbah Hamid.

“Ndak bisa ndak bisa ndak bisa….”, Mbah Lim dengan gayanya yang khas, “Mau Muktamar kok mati… enak aja…”

“Lha gimana…?”

“Mati ya mati tapi nunggu Muktamar dulu!”

Tepat empat puluh hari sesudah hari itu, beberapa minggu sesudah Muktamar, Mbah Hamid Kajoran wafat.[2]

Referensi[sunting | sunting sumber]

  1. ^ Nandcbp. "Dawuh Keramat Mbah Hamid Kajoran: Sopo Ngaji Bakal Aji". PELAJAR TELADAN MAGELANG. Diakses tanggal 2021-04-04. 
  2. ^ a b "Mengenal Kyai Abdul Hamid Kajoran". Diakses tanggal 2021-04-04. [pranala nonaktif permanen]