Kota Kuno Banten

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
(Dialihkan dari Banten Lama)

Kota Kuno Banten atau Banten Lama adalah kawasan situs bersejarah yang merupakan peninggalan dari sisa kejayaan Kesultanan Banten. Secara administratif, letak Banten Lama ini berada di Kelurahan Banten, Kecamatan Kasemen, Kota Serang. Banten Lama relatif tidak jauh dari Jakarta yang dapat ditempuh sekitar 2 jam saja melalui Jalan Tol Jakarta-Merak.

Di tempat ini terdapat banyak situs peninggalan dari Kesultanan Banten, di antaranya Keraton Surosawan, Masjid Agung Banten, Situs Istana Kaibon, Benteng Speelwijk, Danau Tasikardi, Meriam Ki Amuk, Pelabuhan Karangantu dan Vihara Avalokitesvara.

Daftar Situs Sejarah[sunting | sunting sumber]

Keraton Kaibon[sunting | sunting sumber]

Sisa-sisa reruntuhan Keraton Kaibon

Keraton Kaibon didirikan oleh Sultan Syafiuddin yang memerintah Kesultanan Banten pada tahun 1809-1815. Ia membangun Keraton Kaibon sebagai tempat tinggal bagi ibunya. Nama keraton ini sendiri berarti "cinta seorang ibu".[1] Ibu dari Sultan Syafiuddin ialah Ratu Aisyah. Pembangunan Keraton Kaibon memang lebih dikhususkan sebagai kediaman ibunya dengan lokasi yang berdekatan dengan Keraton Surosowan yang menjadi pusat pemerintahan Kesultanan Banten. Tujuannya agar memudahkan pertemuan Sultan Syafiuddin dengan ibunya karena ia masih berusia 5 tahun ketika menjadi Sultan Banten. Keraton Kaibon dibangun menghadap ke arah barat dengan bagian depan berupa kanal penghubung menuju ke utara yang merupakan lokasi Keraton Surosowan.[2]

Keraton Kaibon hanya menyisakan reruntuhan saja. Di sampingnya terdapat sebuah pohon besar dan sebuah kanal. Menurut penduduk sekitar, dulunya ini adalah sebuah istana yang sangat megah. Namun pada tahun 1832, Belanda menghancurkannya saat terjadi peperangan melawan Kesultanan Banten.

Istana Keraton Surosowan[sunting | sunting sumber]

Tidak Jauh dari Istana Keraton Kaibon, terdapat sebuah Situs Istana Surosoan yang merupakan Kediaman para Sultan Banten, dari Sultan Maulana Hasanuddin hingga Sultan Haji yang pernah berkuasa pada tahun 1672-1687, Istana ini dibangun pada tahun 1552. Dibanding Istana Kaibon yang terlihat masih berupa bangunan, Istana Surosoan, hanya tinggal berupa sisa-sisa bangunannya saja. Sisa bangunan megah ini berupa Benteng yang terbuat dari batu merah dan batu karang dengan tinggi 0,5 – 2 meter. Di tengahnya terdapat kolam persegi empat. Konon, kolam tersebut adalah bekas pemandian para putri termasuk Rara Denok. Dengan luas sekitar 4 hektare. Bangunan sejarah ini dihancurkan oleh Belanda pada masa kekuasaan Sultan Ageng Tirtayasa tahun 1680.

Masjid Agung Banten[sunting | sunting sumber]

Masjid Agung Banten pada tahun 2017

Masjid Agung Banten terletak di Kompleks bangunan masjid di Desa Banten Lama, Kecamatan Kasemen, sekitar 10 km sebelah utara Kota Serang. Masjid ini dibangun pertama kali oleh Sultan Maulana Hasanuddin (1552-1570), sultan pertama Kesultanan Banten. Ia adalah putra pertama Sunan Gunung Jati.

Salah satu kekhasan yang tampak dari masjid ini adalah adalah atap bangunan utama yang bertumpuk lima, mirip pagoda Tiongkok. Ini adalah karya arsitektur Tionghoa yang bernama Tjek Ban Tjut. Dua buah serambi yang dibangun kemudian menjadi pelengkap di sisi utara dan selatan bangunan utama.

Di serambi kiri masjid ini terdapat kompleks makam para Sultan Banten dan keluarganya, yaitu Maulana Hasanuddin dengan Permaisurinya, Sultan Ageng Tirtayasa, dan Sultan Abu Nashr Abdul Kahhar atau Sultan Haji. Sementara di serambi kanan, terdapat makam Sultan Maulana Muhammad, Sultan Zainul Abidin, Sultan Abdul Fattah, Pangeran Aria, Sultan Mukhyi, Sultan Abdul Mufakhir, Sultan Zainul Arifin, Sultan Zainul Asikin, Sultan Syarifuddin, Ratu Salamah, Ratu Latifah, dan Ratu Masmudah.

Vihara Avalokitesvara[sunting | sunting sumber]

Vihara ini merupakan salah satu Vihara tertua di Indonesia. Keberadaan Vihara ini diyakini merupakan bukti bahwa pada saat itu penganut Agama yang berbeda dapat hidup berdampingan dengan damai tanpa Konflik yang berarti.

Kondisi di dalam Vihara ini sendiri sejuk karena banyak pepohonan rindang dan terdapat tempat duduk yang nyaman untuk beristirahat. Selasar koridor Vihara yang menghubungkan bangunan satu dengan yang lainnya ini terdapat relief cerita hikayat Ular Putih, yang dilukis dengan berwarna-warni sebagai elemen estetis.

Benteng Speelwijk[sunting | sunting sumber]

Meriam-meriam yang ditinggalkan di Benteng Speelwijk. Foto pada tahun 1933

Lokasi Benteng Speelwijk tidak jauh dari Masjid Agung Banten.[butuh rujukan] Pembangunan benteng selesai pada tahun 1682 dan mengalami perluasan sebanyak dua kali pada tahun 1685 dan 1731.[3] Ada juga sumber lain yang menyatakan bahwa benteng ini dibangun sekitar tahun 1585.[butuh rujukan] Dahulunya Benteng Speelwijk digunakan sebagai Menara Pemantau yang berhadapan langsung ke Selat Sunda dan sekaligus berfungsi sebagai penyimpanan meriam-meriam dan alat pertahanan lainnya. Di tempat ini juga terdapat sebuah Terowongan yang katanya terhubung dengan Keraton Surosowan.

Museum Situs Kepurbakalaan Banten Lama[sunting | sunting sumber]

Museum Situs Kepurbakalaan Banten Lama dibangun pada lahan seluas 10 km2. Luas bangunannya sendiri hanya 778 m2.[4] Museum ini dibangun dengan gaya arsitektur tradisional Jawa Barat seperti yang terlihat pada bentuk atapnya. Museum yang terletak antara Keraton Surosowan dan Masjid Agung Banten Lama ini menyimpan banyak benda-benda purbakala. Dilihat dari bentuk bangunannya Museum Situs Kepurbakalaan lebih mirip seperti sebuah rumah yang kemudian dialihfungsikan menjadi museum.

Dari sekian banyak benda-benda purbakala yang menjadi koleksinya, benda-benda tersebut dibagi menjadi 5 kelompok besar.

Selain menyimpan benda-benda koleksi kepurbakalaannya di dalam ruangan, terdapat dua Artefak yang disimpan di halaman Museum Situs Kepurbakalaan Banten Lama, yaitu artefak Meriam Ki Amuk dan juga alat penggilingan Lada. Yang paling terkenal adalah Meriam Ki Amuk, meriam yang terbuat dari tembaga dengan tulisan arab yang panjangnya sekitar 2,5 meter ini merupakan bantuan dari Ottoman, Turki. Konon Meriam Ki Amuk memiliki kembaran yaitu Meriam Ki Jagur yang saat ini tersimpan di halaman belakang Museum Fatahillah Jakarta. Sedangkan alat penggilingan lada yang terbuat dari batu padas yang sangat keras telah hancur menjadi beberapa bagian. Pada zaman dahulu Banten memang dikenal sebagai penghasil lada, itulah yang menyebabkan Belanda datang ke Banten, salah satunya ingin menguasai produksi lada.

Danau Tasikardi[sunting | sunting sumber]

Danau Tasikardi adalah sebuah danau yang terletak tidak jauh dari Keraton Kaibon. Luas Danau Tasikardi sekitar 5 hektare dan bagian dasarnya dilapisi oleh batu bata.[butuh rujukan] Danau Tasikardi merupakan danau buatan yang dibuat pada masa Sultan Maulana Yusuf sebagai pemasok air bagi persawahan yang terletak dekat dengan ibu kota Kesultanan Banten. Sumber air berasal dari Ci Banten yang dialirkan ke danau melalui saluran air.[5] Danau Tasikardi dikenal dengan nama "Situ Kardi" dan diketahui memiliki fungsi ganda. Selain untuk memenuhi kebutuhan pengairan persawahan, danau ini juga dimanfaatkan sebagai pasokan air bagi keluarga keraton dan masyarakat sekitarnya. Air dialirkan dari pipa-pipa yang terbuat dari terakota berdiameter 2–40 cm. Sebelum digunakan air danau harus disaring dan diendapkan di penyaringan khusus yang dikenal dengan Pengindelan Abang atau Penyaringan Merah, Pengindelan Putih atau Penyeringan Putih, dan Pengeindelan Emas atau Penyaringan Emas.

Sebagai destinasi wisata[sunting | sunting sumber]

Kota Kuno Banten banyak menyimpan tentang perkembangan sejarah Kesultanan Islam di Banten, untuk itu setiap tahunnya selalu ada Penziarah dan Wisatawan datang untuk menikmati keindahan peninggalan Kesultanan Banten, namun sayang banyak bangunannya yang tidak terurus, karena banyaknya Pemukiman dan kadang tempat-tempat tersebut dijadikan tempat berjualan bagi penduduk sekitar, dijadikan lapangan bola, dan sebagainya.

Referensi[sunting | sunting sumber]

  1. ^ Malihatunnajiah, E., dkk. (Desember 2021). Shoheh, Muhamad, ed. Keraton Kaibon: Sejarah, Arsitektur, Fungsi, dan Potensi Cagar Budaya Menurut Analisis SWOT (PDF). Sukabumi: Haura Publishing. hlm. 25. ISBN 978-623-320-629-7. 
  2. ^ Sulaiman, F., dan Ridwan, A. (Agustus 2019). Saputra, Desma Yuliadi, ed. Studi Kebantenan dalam Perspektif Budaya dan Teknologi (PDF). Serang: Untirta Press. hlm. 85. 
  3. ^ Argadia, Yosep Riva (November 2019). Permanawiyat, Widhi, ed. Profil Budaya dan Bahasa Kota Serang Provinsi Banten (PDF). Jakarta: Pusat Data dan Statistik Pendidikan dan Kebudayaan. hlm. 5. ISBN 978-602-8449-19-9. 
  4. ^ Rusmiyati, dkk. (2018). Katalog Museum Indonesia Jilid 1 (PDF). Jakarta: Direktorat Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman. hlm. 176. ISBN 978-979-8250-66-8. 
  5. ^ Argadia, Yosep Riva (November 2019). Permanawiyat, Widhi, ed. Profil Budaya dan Bahasa Kota Serang Provinsi Banten (PDF). Jakarta: Pusat Data dan Statistik Pendidikan dan Kebudayaan. hlm. 2. ISBN 978-602-8449-19-9. 

Pranala luar[sunting | sunting sumber]