Biofilm

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Biofilm Staphylococcus aureus di dalam selang kateter.

Biofilm adalah kumpulan sel mikroorganisme, khususnya bakteri, yang melekat di suatu permukaan dan diselimuti oleh pelekat karbohidrat yang dikeluarkan oleh bakteri.[1] Biofilm terbentuk karena mikroorganisme cenderung menciptakan lingkungan mikro dan relung (niche) mereka sendiri.[2] Biofilm memerangkap nutrisi untuk pertumbuhan populasi mikroorganisme dan membantu mencegah lepasnya sel-sel dari permukaan pada sistem yang mengalir.[1] Permukaan sendiri adalah habitat yang penting bagi mikroorganisme karena nutrisi dapat terjerap pada permukaan sehingga kandungan nutrisinya dapat lebih tinggi daripada di dalam larutan.[1] Konsekuensinya, jumlah dan aktivitas mikrob pada permukaan biasanya lebih tinggi daripada di air.[1]

Hingga tahun 1980-an, mode pertumbuhan dengan biofilm lebih dianggap sebagai sesuatu yang menarik saja dan bukan sebagai suatu studi ilmiah yang serius.[3] Namun, bukti-bukti yang terkumpul kemudian menunjukkan bahwa pembentukan biofilm lebih disukai oleh mikroorganisme, dan hampir semua permukaan yang terkena kontak dengan mikrob dapat mendukung pembentukan biofilm sehingga memengaruhi kehidupan manusia.[3] Atas dasar tersebut, studi mengenai biofilm menjadi lebih intensif.[3] Selain bakteri, mikroorganisme lainnya seperti alga dan khamir (fungi bersel satu) juga dapat membentuk biofilm, tetapi biofilm bakteri adalah yang paling banyak dipelajari dan dirujuk sebagai contoh.[3]

Asal usul

Stromatolit di Sharkbay

Asal usul biofilm dapat ditelusuri hingga 3,5 miliar tahun yang lalu berdasarkan fosil biofilm yang ditemukan di Afrika bagian selatan dan Australia Barat.[4] Fosil biofilm tersebut berbentuk stromatolit (Bahasa Yunani stroma, "tempat tidur", dan lithos, "batu") yaitu kubah bergaris-garis yang tersusun dari batuan sedimen yang sangat mirip dengan kerak berlapis-lapis, yang sekarang ini terbentuk pada dasar rawa berair asin dan beberapa laguna laut hangat oleh koloni bakteri dan sianobakteri.[4] Biofilm terbentuk karena prakarsa koloni bakteri dan sianobakteri yang melekat pada batuan tersebut.[4] Sampai saat ini, fosil tersebut adalah fosil organisme hidup tertua yang diketahui sehingga biofilm diperkirakan sudah ada pada awal mula kehidupan di bumi.[4]

Komposisi dan struktur

Struktur kimia xanthan gum, EPS yang dihasilkan Xanthomonas campestris untuk membentuk biofilm

Komposisi biofilm terdiri dari sel-sel mikroorganisme, produk ekstraseluler, detritus, polisakarida sebagai bahan pelekat, dan air yang adalah bahan penyusun utama biofilm dengan kandungan hingga 97%.[5][6]Polisakarida (polimer dari monosakarida atau gula sederhana) yang diproduksi oleh mikrob untuk membentuk biofilm termasuk eksopolisakarida (EPS) yaitu polisakarida yang dikeluarkan dari dalam sel.[7] EPS yang disintesis oleh sel mikrob berbeda-beda komposisi dan sifat kimiawi dan fisikanya.[8] Beberapa adalah makromolekul yang bersifat netral, tetapi mayoritas bermuatan karena keberadaan asam uronat (Asam D-glukuronat), Asam D-galakturonat, dan Asam D- manuroniat.[8] Ada biofilm yang bersifat kaku karena EPS-nya terdiri dari ikatan ß-1,4 atau ß-1,3 glikosida (ikatan monosakarida monomer penyusun polisakarida) seperti EPS xanthan gum yang dihasilkan oleh Xanthomonas campestris tetapi ada juga yang bersifat fleksibel karena memiliki ikatan α-1,2 atau α-1,6 glikosida yang banyak ditemukan pada dekstran[8] Beberapa contoh EPS selain xanthan gum adalah asam kolanat yang diproduksi oleh Escherichia coli, alginat oleh P. aeruginosa, dan galaktoglukan oleh Vibrio cholerae.[9][10][11] Bahan-bahan penyusun biofilm yang lain contohnya adalah protein, lipid, dan lektin.[7]

Struktur dari suatu biofilm adalah unik tergantung dari lingkungan tempatnya berada, contohnya adalah kandungan nutrisi dan keadaan fisik.[7][12] Selain itu, di alam, sangat jarang terdapat biofilm yang hanya terdiri dari satu spesies, biasanya biofilm tersusun dari beberapa spesies dalam lapisan-lapisan yang berbeda.[2][8]

Biasanya mikroorganisme fotosintetik ada di permukaan paling atas, mikroorganisme kemoorganotrof anaerob fakultatif di bagian tengah, sedangkan di bagian dasar adalah mikroorganisme anaerob pereduksi sulfat.[2] Pada bagian atas, cahaya matahari lebih mudah didapat sehingga dapat digunakan untuk fotosintesis, sedangkan bagian tengah dapat dihuni oleh mikrob kemoorganotrof fakultatif anaerob karena dapat mentolerir kandungan udara yang sedikit serta banyak dapat mengakses bahan organik sebagai sumber energinya.[13]

Pada bagian dasar, tidak terdapat kandungan udara sehingga mikrob anaerob pereduksi sulfat dapat tumbuh dan energi dengan cara mereduksi sulfat.[13] Pemodelan habitat mikrob-mikrob tersebut dapat diamati menggunakan Kolom Winogradsky.[13] Struktur biofilm yang lebih kompleks dapat berbentuk empat dimensi (x,y,z, dan waktu) dengan agregat sel, pori-pori, dan saluran penghubung.[2] Tergantung dari kondisi lingkungannya, biofilm dapat menjadi sangat besar dan tebal sehingga dapat dilihat dengan mata telanjang contohnya pada lingkungan air laut dapat terbentuk stromatolit.[2] Struktur dan ukuran biofilm sangat bergantung pada konsentrasi substrat.[14]

Pembentukan

Pembentukan biofilm yang meliputi 5 tahap

Komunikasi antarsel penting bagi perkembangan dan pemeliharaan biofilm.[1] Pelekatan suatu sel pada suatu permukaan adalah hasil dari sinyal untuk mengekspresikan gen-gen pembentuk biofilm.[1] Gen-gen ini mengkodekan protein-protein untuk mensitensis sinyal komunikasi antarsel dan memulai pembentukan polisakarida.[1] Pada bakteri gram negatif seperti Pseudomonas aeruginosa, molekul sinyal yang utama adalah komponen yang disebut homoserin lakton yang berfungsi sebagai agen kemostatik untuk mengumpulkan sel-sel P. aeruginosa yang berdekatan (melalui mekanisme quorum sensing) dan membentuk biofilm.[1]

Ada 5 tahap pembentukan biofilm yaitu:

  1. Pelekatan awal: mikrob melekat pada permukaan suatu benda dan dapat diperantarai oleh fili (rambut halus sel) contohnya pada P.aeruginosa.[15]
  2. Pelekatan permanen: mikrob melekat dengan bantuan eksopolisakarida (EPS).[16]
  3. Maturasi I: proses pematangan biofilm tahap awal.[16]
  4. Maturasi II: proses pematangan biofilm tahap akhir, mikrob siap untuk menyebar.[16]
  5. Dispersi: Sebagian bakteri akan menyebar dan berkolonisasi di tempat lain.[16]

Pemicu pembentukkan biofilm salah satunya adalah kondisi lingkungan yang kurang menguntungkan atau mencekam.[17] Contohnya adalah produksi EPS oleh Escherichia coli berupa asam dan P. aeruginosa saat ketersediaan nutrisi menipis.[17]

Quorum sensing

Selain keterbatasan nutrisi, faktor lain yang memicu pembentukan biofilm adalah quorum sensing, yaitu mekanisme untuk memastikan jumlah sel mencukupi sebelum suatu spesies melakukan respon biologi khusus.[1][18] Jadi, setiap sel mikrob akan menghasilkan molekul sinyal untuk berkomunikasi dengan sel yang lain, bila jumlah sel mikrob tersebut cukup banyak, maka molekul sinyal terseut juga cukup banyak untuk memicu pembentukkan biofilm oleh keseluruhan bakteri tersebut.[19] Molekul-molekul sinyal tersebut berbeda untuk tiap jenis mikrob dan memiliki peranannya masing-masing.[19] Berikut ini adalah tabel daftar molekul sinyal yang berperan dalam quorum sensing untuk membentuk biofilm dan akibatnya bila molekul sinyal tersebut tidak ada:[19]

Diagram quorum sensing. Pada densitas sel rendah (kiri), konsentrasi autoinduser (titik biru) relatif rendah sehingga ekspresi gen (titik merah). Pada densitas sel tinggi (kanan), konsentrasi autoinduser tinggi sehingga ekspresi gen terjadi
Dampak tidak adanya molekul sinyal untuk quorum sensing pada mikroorganisme pembentuk biofilm
Mikroorganisme Molekul sinyal yang dihilangkan Dampak
Candida albicans Farnesol Dispersi biofilm terganggu
Pseudomonas aeruginosa AHL Biofilm tak berstruktur
Klebsiella pneumoniae AI-2 Perkembangan biofilm terhambat
Staphylococcus aureus peptida Dampak tergantung kondisi pertumbuhan

Fungsi bagi bakteri

Alasan bakteri membentuk biofilm adalah karena daya tahan hidup/sintasan (survival) meningkat dan pertumbuhan menjadi lebih baik.[1] Setidaknya ada empat alasan yang mendasari hal tersebut:

Pertahanan

Biofilm berfungsi sebagai mekanisme pertahanan bagi bakteri dengan cara meningkatkan resistensi terhadap gaya fisik yang dapat menyapu berssih sel-sel yang tidak menempel, fagositosis oleh sel-sel sistem imun (kekebalan) tubuh, dan penetrasi dari senyawa beracun seperti antibiotik.[1] Bakteri di dalam biofilm lebih resisten 10-1.000 kali dibandingkan bila tidak di dalam biofilm.[16]

Pelekatan pada relung

Dengan menggunakan biofilm, bakteri dapat melekat pada permukaan yang kaya akan nutrisi seperti jaringan sel hewan, atau permukaan substrat pada sistem yang mengalir contohnya permukaan batu di dalam aliran air.[1]

Kolonisasi

Pembentukan biofilm membantu sel-sel bakteri untuk hidup berdekatan dan membentuk koloni.[1] Contohnya adalah Pseudomonas aeruginosa yang berkoloni dengan biofilm sehingga memfasilitasi komunikasi antar sel dengan molekul sinyal, dan meningkatkan peluang pertukaran materi genetik.[1]

Cara hidup alami bakteri

Di alam, biofilm adalah cara hidup alami bagi beberapa bakteri tertentu dengan alasan terbatasnya nutrisi, tidak seperti medium buatan yang kaya akan nutrisi bagi bakteri.[1]

Pengaruh negatif terhadap manusia

Penyakit

Karies gigi

Karies gigi dapat disebabkan oleh biofilm dari matriks glukan yang dibentuk Streptococcus mutans.[20] Biofilm tersebut melapisi enamel sehingga bakteri lain juga dapat melekat pada matriks tersebut dan membentuk plak gigi.[20] Tingkat aktivitas karies gigi dapat ditentukan menggunakan S. mutans sebagai indikator, caranya adalah menumbuhkan S. mutans dari sampel air liur (dari kelenjar saliva di mulut) pada medium buatan lalu dihitung jumlah koloni yang tumbuh.[21] Bila jumlah S. mutans>106/ml maka tingkat aktivitas karies gigi tinggi, sedangkan S. mutans<105/ml maka aktivitas karies gigi termasuk rendah.[21]

Fibrosis sistik

Penyakit ini disebabkan oleh P. aeruginosa yang membentuk biofilm pada paru-paru sehingga menimbulkan gejala pneumonia.[1][22]

Biofilm pada peralatan medis

Peralatan medis yang diimplantasikan (dimasukkan) ke dalam tubuh manusia seperti selang kateter dan sendi buatan sangat rentan terhadap pembentukan biofilm.[19] Contoh mikrob yang sering ditemui membentuk biofilm pada selang kateter adalah Candida albicans.[19] Mikroorganisme ini adalah khamir patogen yang menyebabkan infeksi dan penyakit yang membahayakan jiwa pada orang-orang dengan sistem imun yang kurang baik, tetapi dalam keadaan sistem imun yang normal, C. albicans adalah mikroflora normal pada manusia yang tinggal di dalam mulut, saluran pencernaan, dan saluran alat kelamin.[23]

Biofilm C. albicans merugikan manusia saat terbentuk pada peralatan medis yang diimplantasikan (dimasukkan) ke dalam tubuh manusia seperti selang kateter, dan sendi buatan yang kemudian dapat menyebabkan infeksi sistemik.[23] Komponen utama penyusun biofilm adalah matriks ekstraseluler (di luar sel) berupa β-1,3 glukan yang pembentukkannya dikodekan oleh gen (susunan DNA yang menyandikan protein) ZAP1.[23] Penanganan biofilm C. albicans tidak mudah karena resisten terhadap berbagai macam obat antifungi.[23] Berikut ini adalah daftar mikroorganisme yang dapat membentuk biofilm pada selang kateter:[19]

Gambar kateter yang dipasang pada jantung
Daftar mikroorganisme pembentuk biofilm pada selang kateter
Bakteri gram positifBakteri gram negatifMikroorganisme lain
Corynebacterium spp. Acinetobacter spp. Candida spp.
Enterococcus spp. Escherichia coli Candida albicans
Staphylococcus aureus Pseudomonas aeruginosa Candida tropicalis
Streptococcus pneumoniae Serratia marcescens Mycobacterium chelonae

Pengaruh positif terhadap manusia

Pengolahan limbah

Pemanfaatan biofilm untuk mengolah limbah sudah diaplikasikan saat ini contohnya untuk mengolah limbah cair.[24] Pada biofilm di fasilitas pengolahan limbah cair, terdapat berbagai macam mikrob yang dapat menguraikan senyawa-senyawa baik organik maupun inorganik pada limbah[24] Misalnya saja bakteri pengoksidasi sulfur (S) yang berperan untuk mendaur ulang sulfur, lalu bakteri pengikat Uranium (U) yaitu Desulfovibrio desulfuricans.[24][25] Alat yang digunakan untuk mengolah limbah dengan biofilm berupa bioreaktor yang memiliki biofilm contohnya sequencing batch biofilm reactor (SBBR).[26]

Kontrol biofilm

Kontrol biofilm adalah bisnis yang besar dengan miliaran dollar digunakan oleh industri-industri di seluruh dunia untuk merawat pipa-pipa dan permukaan-permukaan yang lain supaya terbebas dari biofilm.[1] Beberapa bahan yang sedang dikembangkan untuk mencegah pembentukan biofilm adalah antibiotik dan obat untuk mengganggu komunikasi antar sel yang membentuk biofilm.[1] Salah satu bahan kimia golongan furanon telah menunjukkan hasil positif untuk mencegah biofilm pada permukaan abiotik.[1] Furanon kemungkinan dapat digunakan sebagai agen antibiofilm pada obat manusia karena sifatnya yang stabil dan nontoksik.[1]

Pada peralatan medis seperti selang kateter, telah dicoba berbagai cara untuk mencegah pelekatan awal oleh bakteri, contohnya dengan mengubah sifat kimia atau fisika dari permukaan seperti dibuat menjadi hidrofobik (menolak molekul air) sehingga membran sel yang hidrofilik (mengikat molekul air) lebih susah menempel.[16] Sayangnya, metode ini tidak menunjukkan hasil yang baik karena peralatan medis yang terkena cairan tubuh akan menjadi tempat yang baik bagi bakteri untuk melekat.[16]

Pseudomonas aeruginosa dilihat dengan mikroskop elektron
Biofilm yang dibentuk oleh sianobakteria berwarna biru

Lihat pula

Referensi

  1. ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q r s t (Inggris) Madigan MT, Martinko JM, Brock TD. 2006. Brock Biology of Microorganisms. 11th Ed. New Jersey: Pearson Prentice Hall. Hal: 617-619.
  2. ^ a b c d e (Inggris) Prescott LM, Harley JP, Klein DA. 2002. Microbiology. Boston: McGraw-Hill. Hal:620-622
  3. ^ a b c d (Inggris) Lerner KL, Lerner BW. 2003. World of Microbiology and Immunology. Farmington Hills, MI: The Gale Group, Inc. Hal: 67-68.
  4. ^ a b c d Campbell NA, Reece JB. 2003. Biologi Jilid 2. Ed. V. Terjemahan: Manalu W. Jakarta:Erlangga. Hal 92
  5. ^ (Inggris) Zhang XQ, Bishop PL, Kupferle MJ. 1998. Measurement of polysaccharides and proteins in biofilm extracellular polymers. Water Sci Technol 37, 345-348.
  6. ^ (Inggris) Christensen BE. 1989. The role of extracellular polysaccharides in biofilms. J Biotechnol 10, 181-202.
  7. ^ a b c (Inggris) Sutherland IW. 2001. Biofilm exopolysaccharides: a strong and sticky framework. Microb 147:3-9
  8. ^ a b c d Sutherland, I. W. (1990). Biotechnology of Exopolysaccharides. Cambridge: Cambridge University Press. Kesalahan pengutipan: Tanda <ref> tidak sah; nama "Sutherland2" didefinisikan berulang dengan isi berbeda
  9. ^ (Inggris) Prigent-Combaret C, Vidal O, Dorel C, Lejeune P. 1999. Abiotic surface sensing and biofilm-dependent regulation of gene expression in Escherichia coli. J Bacteriol 181, 5993-6002.
  10. ^ (Inggris) Davies D G, Geesey G G. 1995. Regulation of the alginate biosynthesis gene algC in Pseudomonas aeruginosa during biofilm development in continuous culture. Appl Environ Microbiol 61, 860-867
  11. ^ (Inggris) Watnick P I, Kolter R. 1999. Steps in the development of a Vibrio cholerae El Tor biofilm. Mol Microbiol 34, 586-595
  12. ^ (Inggris) Stoodley P, Dodds I, Boyle JD, Lappin-Scott HM. 1999. Influence of hydrodynamics and nutrients on biofilm structure. J Appl Microbiol 85: S19-S28.
  13. ^ a b c (Inggris) Hogg S. 2005. Essential Microbiology. West Sussex: John Wiley & Sons Ltd. Hal:82.
  14. ^ (Inggris) Wimpenny JWT, Colasanti R. 1997. A unifying hypothesis for the structure of microbial biofilms based on cellular automaton models. FEMS Microbiol Ecol 22, 1-16.
  15. ^ Kus JV, Tullis E, Cvitkovitch DG, Burrows LL. 2004. Significant differences in type IV pilin allele distribution among Pseudomonas aeruginosa isolates from cystic fibrosis (CF) versus non-CF patients. Microbiology 150:1315-1326.
  16. ^ a b c d e f g (Inggris) Monroe D (2007) Looking for Chinks in the Armor of Bacterial Biofilms. PLoS Biol 5(11): 307
  17. ^ a b (Inggris) Wrangstadh M, Szewzyk U, Ostling J, Kjellenberg S. 1990. Starvation specific formation of a peripheral exopolysaccharide by a marine Pseudomonas sp. Appl Environ Microbiol 56, 2065-72
  18. ^ (Inggris) Stanley NR, et al. 2004. Environmental signals and regulatory pathways that influence biofilm formation. Mol Microbiol 52(4): 917 - 24.
  19. ^ a b c d e f (Inggris) Romeo T. 2008. Bacterial Biofilms Berlin: Springer. Hal: 73, 136.
  20. ^ a b (Inggris) Kayser FH, Bienz KA, Eckert J, Zinkernagel RM. 2005. Medical Microbiology. New York: Thieme Stuttgart.Hal:158-159.
  21. ^ a b (Inggris) Samaranayake LP. 2006. Essential Microbiology for Dentistry. Edinburgh: Churchill Livinstone. Hal:271
  22. ^ (Inggris) Moskowitz, et al.2004. Clinically feasible biofilm susceptibility assay for isolates of Pseudomonas aeruginosa from patients with cystic fibrosis. J Clin Microbiol 42(5): 1915 - 22
  23. ^ a b c d (Inggris) Heller K. 2009. Zap1 Sticks It to Candida Biofilms. PLoS Biol 7(6): e1000117.
  24. ^ a b c (Inggris) Ito T, et al. 2004. Isolation, characterization, and in situ detection of a novel chemolithoautotrophic sulfur-oxidizing bacterium in wastewater biofilms growing under microaerophilic conditions. Appl Environ Microbiol 70(5): 3122-9.
  25. ^ (Inggris) Beyenal H, et al. 2004. Uranium immobilization by sulfate-reducing biofilms. Environ Sci Technol 38(7): 2067 - 74.
  26. ^ (Inggris) Rodgers M, et al. 2004. Nutrient removal in a sequencing batch biofilm reactor (SBBR) using a vertically moving biofilm system. Environ Technol 25(2):211-8.

Bacaan lanjut

  • (Inggris) Allison D. 2000. Community Structure and Co-Operation in Biofilms. Cambridge: Cambridge University Press.
  • (Inggris) Lappin-Scott, Hilary. 2003. Microbial Biofilms. Cambridge: Cambridge University Press.

Pranala luar