Budi daya perairan

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Pemanenan ikan lele di sungai Mississipi.

Budi daya perairan (juga disebut akuakultur) merupakan bentuk pemeliharaan dan penangkaran berbagai macam hewan atau tumbuhan perairan yang menggunakan air sebagai komponen pokoknya. Kegiatan-kegiatan yang umum termasuk di dalamnya adalah budi daya ikan, budi daya udang, budi daya tiram, budi daya rumput laut (alga). Dengan batasan di atas, sebenarnya cakupan budi daya perairan sangat luas namun penguasaan teknologi membatasi komoditas tertentu yang dapat diterapkan.

Budi daya perairan adalah bentuk perikanan budi daya, untuk dipertentangkan dengan perikanan tangkap.

Di Indonesia, budi daya perairan dilakukan melalui berbagai sarana. Kegiatan budi daya yang paling umum dilakukan di kolam/empang, tambak, tangki, karamba, serta karamba apung.

Sejarah[sunting | sunting sumber]

Masyarakat pribumi Gunditjmara di Australia kemungkinan telah memelihara belut pada 6000 tahun SM. Terdapat bukti bahwa mereka telah mengubah dataran seluas 100 km2 di dekat danau Condah menjadi sekumpulan selat dan bendungan menggunakan anyaman yang digunakan sebagai jebakan ikan dan menjaga populasi belut agar dapat dimakan sepanjang tahun.[1][2]

Akuakultur di China telah beroperasi sejak 2500 tahun SM.[3] Pasca peluapan musiman sungai, beberapa jenis ikan, umumnya ikan mas terperangkap di kolam. Pembudidaya memberi makan ikan-ikan tersebut dengan larva dan kotoran ulat sutra. Seleksi telah menciptakan ikan koi dan ikan hias lainnya sejak Dinasti Tang.

Bangsa Romawi telah membudidayakan ikan di kolam.[4] Di Eropa tengah, berbagai biara umat kristiani mengadopsi praktik akuakultur bangsa Romawi.[5] Akuakultur di Eropa menyebar pada Abad Pertengahan karena ikan dan produk ikan harus diasinkan supaya awet sebelum didistribusikan ke tempat yang jauh dari perairan dan ketika itu transportasi cukup mahal.[6]

Di Amerika Serikat, pengembangan ikan spesies Salvelinus fontinalis dimulai pada tahun 1859 dan perbenihan ikan komersial dimulai pada tahun 1864.[7] Warga California memanen kelp pada tahun 1900 dan berusaha untuk menjaga suplainya agar tetap lestari. Kelp yang dipanen disuplai untuk Perang Dunia I.[8]

Hingga tahun 2007, sekitar 430 spesies ikan telah dibudidayakan oleh manusia, dengan 106 spesies baru dimulai di dekade tersebut. Berbeda dengan budi daya tanaman di mana saat ini hanya 0.08% tumbuhan yang telah didomestikasi dan budi daya hewan darat yang baru mendomestikasikan 0.0002% spesies hewan darat, spesies hewan laut yang telah didomestikasikan elah mencapai 0.13% dan tumbuhan laut 0.17%. Domestikasi umumnya dilakukan setelah puluhan tahun penelitian dan pengamatan.[9] Domestikasi spesies perairan memiliki risiko yang lebih rendah karena tidak menularkan penyakit ke manusia dan cenderung tidak membahayakan.[10] Tertahannya volume perikanan tangkap yang diakibatkan oleh eksploitasi berlebih dari spesies laut membuat para pelaku budi daya perikanan mulai mendomestikasikan hewan laut.[11][12]

Spesies yang dibudidayakan[sunting | sunting sumber]

Ikan[sunting | sunting sumber]

Ikan merupakan hewan yang paling umum dibudidayakan dalam akuakultur. Budi daya ikan mengusahakan pemeliharaan ikan secara komersial di kolam, tangki, atau laut dengan pembatas atau pelindung. Budi daya ikan juga membesarkan ikan untuk tujuan pemancingan rekreasi atau suplemen untuk meningkatkan jumlah ikan yang ada di alam liar. Saat ini ikan yang paling banyak dibudidayakan yaitu ikan mas, salmon, nila, dan lele.[13]

Di Mediterania, nelayan menjaring ikan tuna sirip biru Atlantik muda dalam keadaan hidup dan memeliharanya di dekat pantai hingga siap dipanen.[14]

Crustacea[sunting | sunting sumber]

Budi daya udang di Asia Tenggara kini beranjak dari usaha tradisional hingga industri skala besar. Peningkatan teknologi meningkatkan kepadatan udang di dalam kolam, dan bibit udang dijual ke seluruh dunia. Saat ini seluruh jenis udang yang dibudidayakan berasal dari famili Penaeidae dengan 80%-nya berasal dari spesies Penaeus monodon dan Litopenaeus vannamei. Secara umum udang air tawar maupun air laut memiliki karakteristik dan penyakit yang sama.[15]

Praktik monokultur udang sangat rentan terhadap penyebaran penyakit yang mampu membinasakan seluruh udang yang dipelihara serta membahayakan lingkungan sekitar, sehingga praktik pemeliharaan secara lestari dipromosikan oleh berbagai organisasi lingkungan.[16]

Produksi udang secara global (tanpa kepiting dan lobster) pada tahun 2003 adalah 230 ribu ton.[17]

Mollusca[sunting | sunting sumber]

Budi daya abalon

Budi daya kerang mencakup juga tiram dan spesies bivalvia lainnya. Mereka merupakan hewan penyaring dan deposit yang bergantung pada keberadaan plankton sebagai makanannya..[18] Pembudidayaan kerang secara umum amat bergantung pada jenis spesies dan kondisi lingkungan tempat ia hidup. Kerang dapat dipelihara di tambak pantai, menggunakan rawai, atau dikurung di dalam kandang mengapung. Kerang liar juga dapat ditangkap dengan mengambilnya secara manual dengan tangan atau mengeruknya dari dasar laut.

Abalon dipelihara sejak tahun 1950an di Jepang dan Cina.[19] Sejak tahun 1990an industri ini terus berkembang[20] yang disebabkan menurunnya suplai tangkapan abalon akibat penangkapan berlebih.[21]

Spesies lainnya[sunting | sunting sumber]

Rumput laut dan alga juga termasuk spesies yang dipelihara dalam budi daya perairan. Hewan lainnya seperti timun laut, landak laut, ular laut, dan ubur-ubur juga dipelihara meski masih jarang. Di Cina, timun laut telah dipelihara di kolam.[22]

Dampak[sunting | sunting sumber]

Akuakultur dibandingkan perikanan tangkap dapat lebih merusak lingkungan secara lokal namun lebih bersahabat secara global, per kg hasil.[23] Kerusakan lokal mencakup masalah penanganan limbah, penggunaan antibiotik, kompetisi antara hewan budi daya dan hewan liar, dan penggunaan ikan tangkapan dan budi daya untuk membudidayakan ikan karnivora. Spesies budi daya dapat menjadi spesies invasif jika terlepas ke lingkungan karena mereka diseleksi untuk tumbuh dan berkembang biak dengan cepat.Masih dibutuhkan penelitian lebih lanjut untuk mengurangi masalah tersebut.[24]

Limbah dari akuakultur umumnya bersifat organik dan dapat terurai menjadi nutrisi untuk organisme lain. Namun keberadaan limbah organik yang terlalu banyak dapat mempengaruhi kadar oksigen terlarut di dalam air karena proses dekomposisi, sehingga membahayakan hewan yang amat tergantung pada oksigen terlarut.[25]

Dampak terhadap ikan liar[sunting | sunting sumber]

Ikan salmon kini sedang disorot karena praktik budi dayanya. Ikan salmon merupakan karnivora yang membutuhkan ikan hasil tangkapan nelayan sebagai sumber pakannya.[26] Meski dapat diberi makan dari sumber nabati, tetapi hasilnya akan kurang baik karena salmon terkenal dengan kandungan asam lemak omega 3 yang hanya didapatkan dari akumulasi pada rantai makanan. Secara keseluruhan, nutrisi yang dihasilkan dari salmon jauh lebih rendah dari nutrisi yang didapatkan dari ikan yang diberikan kepada salmon. Total kadar minyak ikan dari ikan yang diberikan ke salmon lebih tinggi 50% dibandingkan minyak ikan yang dihasilkan salmon.[27] Dalam massa daging, satu kg daging ikan salmon didapatkan setelah memberikan beberapa kg ikan hasil tangkapan ke salmon. Pengembangan budi daya ikan salmon akan menyerap lebih banyak lagi ikan hasil tangkapan nelayan sehingga penangkapan ikan akan melebih batas kelestarian.[28]

Ikan salmon hasil budi daya juga telah diseleksi dan dimodifikasi secara genetika untuk menghasilkan salmon yang superior[29] sehingga lepasnya ikan salmon ke alam liar dapat mencemari genetika populasi ikan liar jika terjadi perkembangbiakan dengan spesies liar[30] dan menjadi spesies invasif.[31][32] Dalam sebuah percobaan di lab, ikan salmon liar yang bersilangan dengan ikan salmon hasil modifikasi genetika lebih agresif namun pada akhirnya tidak mampu bertahan.[33] Hal ini dapat menyebabkan punahnya salmon di alam liar.

Ekosistem pantai[sunting | sunting sumber]

Akuakultur dapat membahayakan ekosistem perairan dekat pantai. Sekitar 20% dari hutan bakau di seluruh dunia telah dirobohkan sejak tahun 1980an untuk membangun tambak udang.[34] Biaya eksternal pada sistem perekonomian primitif tidak diperhitungkan sehinga secara keseluruhan kerugian jauh lebih besar dibandingkan keuntungan yang didapatkan.[35] Selama empat dekade di Indonesia, 269 ribu hektare hutan mangrove telah diubah menjadi tambak udang dan saat ini telah dibiarkan karena terjadi penumpukan toksin akibat usaha budi daya yang tidak lestari..[36][37]

Budi daya salmon mampu mencemari perairan setempat dengan fesesnya, yang sering kali mengandung antibiotik dan pestisida sistemik yang diberikan untuk menangkal penyakit dan hama.[28] Akumulasi logam juga terjadi, terutama tembaga dan seng.[38]

Prospek[sunting | sunting sumber]

Perikanan tangkap secara global mengalami penurunan dengan rusaknya berbagai habitat ikan.[39] Budi daya ikan karnivora seperti salmon tidak membantu karena salmon justru memakan ikan lain yang sesungguhnya dapat dikonsumsi manusia.[40][41] Ikan yang berada pada tingkatan trofik yang tinggi pada rantai makanan cenderung tidak efisien sebagai produsen pangan.

Beberapa jenis akuakultur fotosintetik (alga dan rumput laut) dan hewan penyaring seperti kerang dan tiram cenderung lebih ramah lingkungan.[12] Mereka juga menyerap polusi dan nutrisi berlebih di perairan sehingga meningkatkan kualitas air.[42] Rumput laut menyerap nutrisi anorganik secara langsung dari air,[43] dan hewan penyaring menyerap fitoplankton dan partikel organik sehingga berperan sebagai detritivora.[44]

Berbagai organisasi akuakultur mempromosikan praktik usaha yang menguntungkan secara lestari dan berkelanjutan.[45] Metode ini mengurangi risiko pencemaran dan meminimalisasi stres pada ikan, mengistirahatkan kolam, dan menerapkan manajemen hama terpadu. Penggunaan vaksin diutamakan untuk mengurangi antibiotik.[46]

Sistem resirkulasi mendaur ulang air dengan menyaring kotoran ikan dan sisa makanan dan mengembalikan air yang telah bersih ke dalam tangki pemeliharaan. Sistem ini menghemat penggunaan air, dan limbah yang terkumpul dapat digunakan sebagai kompos. Sistem ini dapat diterapkan pada air tawar maupun air laut.[47]

Beberapa negara kini menggunakan energi terbarukan untuk akuakultur.[48] Di California, berbagai usaha budi daya ikan yang memproduksi ikan nilai, bass, dan lele mengambil air dari sumber geotermal sehingga mengurangi energi yang diperlukan untuk menghangatkan air. Dengan terjaganya temperatur air, ikan dapat tumbuh secara optimal sepanjang tahun dan menjadi dewasa lebih cepat. Secara kolektif, perikanan budi daya di California menghasilkan 4.5 juta kilogram ikan per tahun.[48]

Lihat pula[sunting | sunting sumber]

Referensi[sunting | sunting sumber]

  1. ^ Aborigines may have farmed eels, built huts ABC Science News, 13 March 2003.
  2. ^ Lake Condah Sustainability Project Diarsipkan 2013-01-03 di Archive.is. Retrieved 18 February 2010.
  3. ^ "History of Aquaculture". Food and Agriculture Organization, United Nations. Diakses tanggal 23 Agustus 2009. 
  4. ^ McCann, Anna Marguerite (1979). "The Harbor and Fishery Remains at Cosa, Italy, by Anna Marguerite McCann". Journal of Field Archaeology. 6 (4): 391–411. JSTOR 529424. 
  5. ^ Jhingran, V.G., Introduction to aquaculture. 1987, United Nations Development Programme, Food and Agriculture Organization of the United Nations, Nigerian Institute for Oceanography and Marine Research.
  6. ^ Salt: A world History Mark Kurlansky
  7. ^ Milner, James W. (1874). "The Progress of Fish-culture in the United States". United States Commission of Fish and Fisheries Report of the Commissioner for 1872 and 1873. 535 – 544 <http://penbay.org/cof/cof_1872_1873.html>
  8. ^ Peter Neushul, Seaweed for War: California's World War I kelp industry, Technology and Culture 30 (July 1989), 561-583.
  9. ^ [1]
  10. ^ Guns, Germs, and Steel. New York, New York: W.W. Norton & Company, Inc. 2005. ISBN 978-0-393-06131-4. 
  11. ^ "'FAO: 'Fish farming is the way forward.'(Big Picture)(Food and Agriculture Administration's 'State of Fisheries and Aquaculture' report)." The Ecologist 39.4 (2009): 8-9. Gale Expanded Academic ASAP. Web. 1 October 2009. <http://find.galegroup.com/gtx/start.do?prodId=EAIM.>.
  12. ^ a b "The Case for Fish and Oyster Farming Diarsipkan 2009-05-12 di Wayback Machine.," Carl Marziali, University of Southern California Trojan Family Magazine, May 17, 2009.
  13. ^ Based on data sourced from the FishStat database
  14. ^ Volpe, J. (2005). "Dollars without sense: The bait for big-money tuna ranching around the world". BioScience. 55 (4): 301–302. doi:10.1641/0006-3568(2005)055[0301:DWSTBF]2.0.CO;2. ISSN 0006-3568. 
  15. ^ New, M. B.: Farming Freshwater Prawns; FAO Fisheries Technical Paper 428, 2002. ISSN 0429-9345.
  16. ^ "About Seafood Watch". Monterey Bay Aquarium. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2013-05-11. Diakses tanggal 2014-01-26. 
  17. ^ Data extracted from the FAO Fisheries Global Aquaculture Production Database Diarsipkan 2005-09-27 di Wayback Machine. for freshwater crustaceans. The most recent data sets are for 2003 and sometimes contain estimates. Retrieved June 28, 2005.
  18. ^ Burkholder, J.M. and S.E. Shumway. 2011. Bivalve shellfish aquaculture and eutrophication. In, Shellfish Aquaculture and the Environment. Ed. S.E. Shumway. John Wiley & Sons.
  19. ^ "Abalone Farming Information". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2007-11-13. Diakses tanggal 2007-11-08. 
  20. ^ "Abalone Farming on a Boat". Wired. 25 January 2002. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2007-01-04. Diakses tanggal 2007-01-27. 
  21. ^ World Wildlife Fund. "Sustainable Seafood, Farmed Seafood". Diakses tanggal May 30, 2013. 
  22. ^ Ess, Charlie. "Wild product's versatility could push price beyond $2 for Alaska dive fleet". National Fisherman. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2009-01-22. Diakses tanggal 2008-08-01. 
  23. ^ Diamond, Jared, Collapse: How societies choose to fail or succeed, Viking Press, 2005, pp. 479–485
  24. ^ Costa-Pierce, B.A., 2002, Ecological Aquaculture, Blackwell Science, Oxford, UK.
  25. ^ Thacker P, (June 2008) Fish Farms Harm Local Food Supply, Environmental Science and Technology, V. 40, Issue 11, pp 3445–3446
  26. ^ 8 species of wild fish found in aquaculture feed
  27. ^ FAO: World Review of Fisheries and Aquaculture 2008: Highlights of Special Studies Rome.
  28. ^ a b Seafood Choices Alliance (2005) It's all about salmon Diarsipkan 2015-09-24 di Wayback Machine.
  29. ^ Mcleod C, J Grice, H Campbell and T Herleth (2006) Super Salmon: The Industrialisation of Fish Farming and the Drive Towards GM Technologies in Salmon Production Diarsipkan 2013-05-05 di Wayback Machine. CSaFe, Discussion paper 5, University of Otago.
  30. ^ "David Suzuki Foundation: Open-net-cage fish farming". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2016-05-15. Diakses tanggal 2014-01-26. 
  31. ^ "'Aquaculture's growth continuing: improved management techniques can reduce environmental effects of the practice.(UPDATE)." Resource: Engineering & Technology for a Sustainable World 16.5 (2009): 20-22. Gale Expanded Academic ASAP. Web. 1 October 2009. <http://find.galegroup.com/gtx/start.do?prodId=EAIM.>.
  32. ^ < http://www.scielo.br/scielo.php?script=sci_arttext&pid=S1679-62252011000400024>
  33. ^ Devlin RH, D'Andrade M, Uh M and Biagi CA (2004). "Population effects of growth hormone transgenic coho salmon depend on food availability and genotype by environment interactions". Proceedings of the National Academy of Sciences. 101 (25): 9303–9308. doi:10.1073/pnas.0400023101. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2015-09-24. Diakses tanggal 2014-01-26. 
  34. ^ Nickerson, DJ (1999). "Trade-offs of mangrove area development in the Philippines". Ecol. Econ. 28 (2): 279–298. doi:10.1016/S0921-8009(98)00044-5. 
  35. ^ Gunawardena1, M; Rowan, JS (2005). "Economic Valuation of a Mangrove Ecosystem Threatened by Shrimp Aquaculture in Sri Lanka". Journal of Environmental Management. 36 (4): 535–550. doi:10.1007/s00267-003-0286-9. [pranala nonaktif permanen]
  36. ^ Hinrichsen D (1998) Coastal Waters of the World: Trends, Threats, and Strategies Island Press. ISBN 978-1-55963-383-3
  37. ^ Meat and Fish Diarsipkan 2011-06-24 di Wayback Machine. AAAS Atlas of Population and Environment. Retrieved 4 January 2010.
  38. ^ FAO: Cultured Aquatic Species Information Programme: Oncorhynchus kisutch (Walbaum, 1792) Rome. Diakses 8 Mei 2009.
  39. ^ Tietenberg TH (2006) Environmental and Natural Resource Economics: A Contemporary Approach. Page 28. Pearson/Addison Wesley. ISBN 978-0-321-30504-6
  40. ^ Knapp G, Roheim CA and Anderson JL (2007) The Great Salmon Run: Competition Between Wild And Farmed Salmon Diarsipkan 2013-08-05 di Wayback Machine. World Wildlife Fund. ISBN 978-0-89164-175-9
  41. ^ Eilperin, Juliet; Kaufman, Marc (2007-12-14). "Salmon Farming May Doom Wild Populations, Study Says". The Washington Post. 
  42. ^ OSTROUMOV S. A. (2005). "Some aspects of water filtering activity of filter-feeders". Hydrobiologia. 542: 400. Diakses tanggal September 26, 2009. 
  43. ^ Chopin T, Buschmann AH, Halling C, Troell M, Kautsky N, Neori A, Kraemer GP, Zertuche-Gonzalez JA, Yarish C and Neefus C. (2001). "Integrating seaweeds into marine aquaculture systems: a key toward sustainability". Journal of Phycology. 37: 975–986. 
  44. ^ "Environmental impacts of shellfish aquaculture" (PDF). 2008. Diakses tanggal 2009-10-08. [pranala nonaktif permanen]
  45. ^ "Aquaculture: Issues and Opportunities for Sustainable Production and Trade". ITCSD. July 2006. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2008-11-20. Diakses tanggal 2014-01-26. 
  46. ^ ""Pew Oceans Commission report on Aquaculture"" (PDF). Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2005-01-06. Diakses tanggal 2014-01-26. 
  47. ^ "Growing Premium Seafood-Inland!". USDA Agricultural Research Service. February 2009. 
  48. ^ a b "Stabilizing Climate" Diarsipkan 2007-09-26 di Wayback Machine. in Lester R. Brown, Plan B 2.0 Rescuing a Planet Under Stress and a Civilization in Trouble (NY: W.W. Norton & Co., 2006), p. 199.