Deklarasi Kairo tentang Hak Asasi Manusia dalam Islam

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Logo Konferensi HAM Islam di Kairo

Deklarasi Kairo tentang Hak Asasi Manusia dalam Islam adalah deklarasi hak asasi manusia yang diadakan di Kairo, Ibu kota Mesir pada 1990 oleh Organisasi Konferensi Islam (OKI) dan diakui oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Deklarasi ini merumuskan poin-poin hak asasi manusia dalam perspektif nilai-nilai ajaran Islam. Dalam deklarasi ini, terdapat sekitar 25 pasal yang sebagian besar mengutip dari Al-Qur’an, sebagai dasar acuan dan sumber ajaran nilai-nilai Islam.[1][2][3][4]

Latar Belakang[sunting | sunting sumber]

Deklarasi ini memiliki inti pembahasan pada isu-isu hak asasi manusia yang masih menjadi polemik di negara-negara Islam. Misalkan tentang hukum keluarga, kesetaraan (equality) kedudukan perempuan dan laki-laki dalam martabat manusia, negara menjamin hak atas hidup rakyatnya, seperti pendidikan, fasilitas kesehatan, pekerjaan, dan berkeyakinan. Oleh Karena itu, OKI sebagai organisasi Negara Islam dan Negara yang memiliki mayoritas penduduk Muslim menggagas Cairo Declaration on Human Rights in Islam untuk merumuskan jaminan negara atas perlindungan hak asasi bagi rakyatnya.[2][4][5]

Poin-Poin[sunting | sunting sumber]

Ini adalah beberapa topik yang diangkat dalam Deklarasi Kairo tentang Hak Asasi Manusia dalam Islam, yang sebenarnya jauh sebelum diadakannya deklarasi telah pernah ditulis oleh Khalid M. Ishaque dalam tulisannya yang berjudul "Hak Asasi Manusia dalam Hukum Islam" yang diterbitkan oleh Jurnal The Review dari International Commission on Jurists pada Juni 1974,[6] yang isinya adalah tentang hak asasi manusia dalam Al-Qur’an. Poin-poin yang ditulis Khalid M. Ishaque itu antara lain:

Hak Untuk Hidup[sunting | sunting sumber]

Menurut Al-Qur’an, nyawa seseorang itu adalah fitrah atau suci. “Kamu jangan membunuh jiwa yang telah dimuliakan Allah, kecuali dengan sesuatu ebab yang adil.” – Al-Qur’an surat 17, ayat 33 “Barangsiapa membunuh seseorang – selain karena membunuh orang lain atau karena membuat kekacauan di atas bumi – ia seolah-olah telah membunuh seluruh umat manusia; barang siapa memberikan kehidupan kepada satu jiwa, ia seakan-akan telah menghidupkan seluruh manusia.” – Al-Qur’an surat 5 ayat 32[6]

Hak Untuk Memperoleh Keadilan[sunting | sunting sumber]

Seperti halnya yang telah dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW saat ditugaskan menjadi seorang Rasul, menegakkan keadilan adalah salah satu tugas utamanya, dan ini pula yang harus menjadi tanggungjawab negara, khususnya negara anggota OKI yang mayoritas penduduknya adalah Muslim dalam badan-badan pemerintahan dan kebijakan publik. “Hai orang-orang yang beriman, berdiri teguhlah untuk Allah, sebagai saksi dalam keadilan dan jangan sampai rasa permusuhan suatu golongan terhadap kamu menjadikan kamu bertindak tidak adil. Selalu bertindak adil, karena hal itu lebih dekat kepada taqwa. Dan takutlah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui tentang apa yang mereka lakukan” – Al-Qur’an surat 5, ayat 8[6]

Hak Persamaan[sunting | sunting sumber]

Seperti halnya Al-Qur’an yang hanya mengenal satu criteria yang menjadikan seseorang lebih tinggi derajatnya, yaitu dengan ketaqwaan. Perbedaan atas dasar etnis, ras, bangsa, dan negara tidak relevan. “Hai manusia! Telah kami ciptakan kalian dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, dan telah Kami jadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku, agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia dalam pandangan Allah adalah yang paling bertaqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui dan Maha Sadar.” – Al-Qur’an surat 49, ayat 13[7]

Hak dan Kewajiban Kepatuhan Atas Hukum[sunting | sunting sumber]

Manusia harus mengikuti apa yang sesuai dengan hukum dan menjauhi apa yang telah dilarang dalam hukum. Hal ini kemudian menjadi acuan bagi negara-negara OKI untuk menjalankan azas rule of law terhadap seluruh warga negara, baik rakyat biasa maupun pejabat negara. “… dan saling tolong menolonglah dalam kebaikan dan ketaqwaan, dan jangan saling tolong menolong dalam dosa dan permusuhan.” – Al-Qur’an surat 5, ayat 2[8]

Hak Memperoleh Kebebasan dan Perlindungan[sunting | sunting sumber]

Hal ini menjadi acuan bagi negara-negara OKI untuk menjamin kebebasan bagi rakyatnya, tanpa terkecuali, khususnya dalam kebebasan beragama, karena tidak ada kekuasaan yang bisa memaksa ataupun memperbudak orang lain atas dasar apapun. (lihat Al-Qur’an surat 3, ayat 79) Begitupun dalam hal keyakinan beragama, rakyat harus dibebaskan, bahkan termasuk dibebaskan dalam memilih pembimbing spiritual. “Tidak boleh ada paksaan dalam hal agama. Sesungguhnya itu telah nyata bedanya dari yang tidak benar…” – Al-Qur’an surat 2, ayat 256 Konsekuensi langsung dari kebebasan beragama adalah negara harus menjamin keselamatan dan memberikan perlindungan kepada setiap pemeluk agama. (lihat Al-Qur’an surat 6, ayat 108 dan surat 5, ayat 48)[8]

Hak Berbicara dan Menyatakan Kebenaran[sunting | sunting sumber]

Keberanian untuk mengungkapkan pendapat dan kebenaran dalam adalah sebuah pembuktian dalam keimanan, oleh karena itu demokrasi yang menjami kebebasan seseroang untuk berbicara dan berpendapat selayaknya selaras dengan Islam. (lihat Al-Qur’an surat 4, ayat 135)[8]

Hak Mendapatkan Kehormatan[sunting | sunting sumber]

Menurut Al-Qur’an, perlindungan terhadap nama baik dan kehormatan seseorang sebagai anggota masyarakat merupakan prioritas utama dalam nilai-nilai sosial yang harus dijaga oleh seluruh warga negara, terutama para penyelenggara pemerintahan harus bersedia dan membuka peluang bagi warga negara yang ingin maju dan menaikan derajat dalam hidupnya. (lihat Al-Qur’an surat 33, ayat 60 -61, surat 49, ayat 1, dan surat 49, ayat 12)[9]

Hak Dalam Ekonomi dan Hak Milik[sunting | sunting sumber]

Setiap orang Islam berkewajiban memperoleh pendapatan dan penghasilan secara legal, juga memebrikan sumbangan dana umum yang disediakan bagi orang-orang yang membutuhkan secara ekonomi. Setiap orang Islam harus mendapat kesempatan kerja dan mendapat imbalan yang adil atas pekerjaan yang dilakukannya itu. (lihat Al-Qur’an surat 51, surat 19, surat 76, ayat 58, surat 2, ayat 188, surat 46, ayat 19, surat 39, ayat 70, surat 7, ayat 32, surat 53, ayat 39)[9]

Dalam Islam pun juga ditaur mengenai setiap orang berhak memiliki sesuatu, dan negara berkewajiban untuk menjamin keselamatan kepemilikan orang tersebut, cara membelanjakannya, dan sebagian dari hak yang harus disumbangkan dalam zakat.

Referensi[sunting | sunting sumber]

  1. ^ Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia, 2008) hal. 239
  2. ^ a b http://repository.umy.ac.id/bitstream/handle/123456789/3914/Martinus%20Sardi_Mengenal%20HAM%20dalam%20Islam%20Berdasarkan%20Deklarasi%20Kairo.pdf?sequence=1
  3. ^ "2. The Cairo Declaration on Human Rights in Islam (1990)". www.ohchr.org (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2017-11-20. 
  4. ^ a b Kayaoğlu, Turan (-001-11-30T00:00:00+00:00). "It's Time to Revise The Cairo Declaration of Human Rights in Islam". Brookings (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2017-11-20. 
  5. ^ Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia, 2008) hal. 239 - 240
  6. ^ a b c Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia, 2008) hal. 240
  7. ^ Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia, 2008) hal. 240 - 241
  8. ^ a b c Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia, 2008) hal. 241
  9. ^ a b Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia, 2008) hal. 242