Demokratisasi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Demokratisasi adalah transisi ke rezim politik yang lebih demokratis. Transisi ini bisa terjadi dari rezim otoriter ke demokrasi menyeluruh, dari sistem politik otoriter ke semi-demokrasi, atau dari sistem politik semi-otoriter ke demokrasi.[1] Hasilnya bisa menguat seperti di Britania Raya atau mundur seperti di Argentina. Berbagai pola demokratisasi digunakan untuk menjelaskan fenomena politik lain, misalnya apakah negara terlibat dalam perang atau ekonominya tumbuh. Demokratisasi dipengaruhi oleh berbagai faktor, termasuk pembangunan ekonomi, sejarah, dan masyarakat madani. Hasil ideal dari demokratisasi adalah menjamin rakyat punya hak memilih dan suara dalam sistem politik negaranya.

Pemicu[sunting | sunting sumber]

Faktor yang memengaruhi atau membatasi demokratisasi masih diperdebatkan. Banyak hal, termasuk ekonomi, budaya, dan sejarah, yang dianggap memengaruhi demokratisasi. Faktor-faktor yang paling umum adalah:

  • Kekayaan - PDB/kapita yang lebih tinggi berkaitan dengan demokrasi. Meski beberapa pihak mengklaim bahwa negara demokrasi terkaya tidak pernah jatuh ke otoritarianisme, bangkitnya Hitler dan Nazi di Jerman Weimar merupakan contoh pembantah yang menjadikan klaim tersebut sekadar truisme belaka.[2] Ada pula pandangan umum bahwa demokrasi sangat jarang sebelum Revolusi Industri. Penelitian empiris mendorong banyak orang percaya bahwa pembangunan ekonomi meningkatkan kemungkinan transisi ke demokrasi (teori modernisasi) atau menguatkan negara demokrasi yang sudah ada.[2] Sebuah penelitian menemukan bahwa pembangunan ekonomi mendorong demokratisasi dalam jangka menengah saja (10-20 tahun). Hal ini dikarenakan pembangunan dapat memperkuat pemimpin petahana, tetapi menyulitkannya mewariskan negara kepada putranya atau orang kepercayannya setelah masa jabatannya berakhir.[3] Namun demikian, perdebatan tentang apakah demokrasi merupakan akibat dari kekayaan, pencipta kekayaan, atau keduanya tidak berhubungan, masih belum dapat disimpulkan.[4]
  • Kesetaraan sosial - Daron Acemoglu dan James A. Robinson berpendapat bahwa hubungan antara kesetaraan sosial dan transisi demokrasi agak rumit. Rakyat tidak memiliki insentif yang cukup untuk memberontak melawan masyarakat egaliter (contohnya Singapura), jadi kemungkinan demokratisasi semakin rendah. Di masyarakat yang senjang (contohnya Afrika Selatan era Apartheid), redistribusi kekayaan dan kekuasaan di dalam demokrasi akan merugikan kaum elit sehingga mereka berupaya mencegah demokratisasi. Demokratisasi lebih mungkin muncul di tengah-tengah, di negara yang kaum elitnya menawarkan konsesi karena (1) mereka menganggap ancaman revolusi bisa terwujud dan (2) biaya konsesi tidak terlalu tinggi.[5] Perkiraan ini sesuai ddengan penelitian empiris yang menunjukkan bahwa demokrasi lebih stabil di negara-negara yang masyarakatnya egaliter (setara).[2]
  • Budaya - Sejumlah pihak mengklaim bahwa beberapa kebudayaan tertentu lebih mudah menerima nilai demokrasi ketimbang kebudayaan lainnya. Pandangan ini mungkin etnosentris. Biasanya budaya Barat yang dinilai "lebih layak" menikmati demokrasi, sedangkan kebudayaan lainnya dinilai memiliki nilai-nilai yang membuat demokrasi sulit terwujud atau tak diinginkan. Pendapat ini kadang dipakai oleh rezim-rezim non-demokrasi untuk membenarkan kegagalannya menerapkan reformasi demokratis. Di era modern, ada banyak negara demokrasi non-Barat, misalnya India, Jepang, Indonesia, Namibia, Botswana, Taiwan, dan Korea Selatan.
  • Intervensi asing - Negara-negara demokrasi umumnya pernah mengalami intervensi militer, contohnya Jepang dan Jerman pasca-Perang Dunia II.[6][7] Pada kasus lain, dekolonisasi kadang mendorong terbentuknya demokrasi yang digantikan oleh rezim otoriter. Di Amerika Serikat Selatan setelah Perang Saudara, mantan budak tidak mendapat hak pilih menurut hukum Jim Crow setelah Era Rekonstruksi Amerika Serikat; setelah sekian puluh tahun, demokrasi di Amerika Serikat dirombak oleh organisasi sipil (gerakan hak sipil Afrika-Amerika) dan militer (militer Amerika Serikat).

Lihat pula[sunting | sunting sumber]

Referensi[sunting | sunting sumber]

  1. ^ Arugay, Aries A. (2020). Romaniuk, Scott; Marton, Péter, ed. Democratic Transitions (dalam bahasa Inggris). Cham: Springer International Publishing. hlm. 1–7. doi:10.1007/978-3-319-74336-3_190-1. ISBN 978-3-319-74336-3. 
  2. ^ a b c Przeworski, Adam; et al. (2000). Democracy and Development: Political Institutions and Well-Being in the World, 1950-1990. Cambridge: Cambridge University Press. 
  3. ^ Treisman, Daniel (2015-10-01). "Income, Democracy, and Leader Turnover". American Journal of Political Science (dalam bahasa Inggris). 59 (4): 927–942. doi:10.1111/ajps.12135. ISSN 1540-5907. 
  4. ^ Traversa, Federico (2014). "Income and the stability of democracy: Pushing beyond the borders of logic to explain a strong correlation?". Constitutional Political Economy, November 2014. doi: 10.1007/s10602-014-9175-x
  5. ^ Acemoglu, Daron; James A. Robinson (2006). Economic Origins of Dictatorship and Democracy. Cambridge: Cambridge University Press. 
  6. ^ Therborn, Göran (1977). "The rule of capital and the rise of democracy: Capital and suffrage (cover title)". New Left Review. I. 103 (The advent of bourgeois democracy): 3–41. 
  7. ^ The Independent

Bacaan lanjutan[sunting | sunting sumber]

  • Thomas Carothers. Aiding Democracy Abroad: The Learning Curve. 1999. Washington, DC: Carnegie Endowment for International Peace.
  • Josep M. Colomer. Strategic Transitions. 2000. Baltimore, Md: The Johns Hopkins University Press.
  • Daniele Conversi. ‘Demo-skepticism and genocide’, Political Science Review, September 2006, Vol 4, issue 3, pp. 247–262
  • Haerpfer, Christian; Bernhagen, Patrick; Inglehart, Ronald & Welzel, Christian (2009), Democratization, Oxford: Oxford University Press, ISBN 9780199233021 .
  • Inglehart, Ronald & Welzel, Christian (2005), Modernization, Cultural Change and Democracy: The Human Development Sequence, New York: Cambridge University Press, ISBN 9780521846950 .
  • Frederic C. Schaffer. Democracy in Translation: Understanding Politics in an Unfamiliar Culture. 1998. Ithaca, NY: Cornell University Press.
  • Fareed Zakaria. The Future of Freedom: Illiberal Democracy at Home and Abroad. 2003. New York: W.W. Norton.
  • Christian Welzel. Freedom Rising: Human Empowerment and the Quest for Emancipation. 2013. New York: Cambridge University Press. ISBN 978-1-107-66483-8.
  • Tatu Vanhanen. Democratization: A Comparative Analysis of 170 Countries. 2003. Routledge. ISBN 0-415-31860-2

Pranala luar[sunting | sunting sumber]