Di Bawah Lindungan Ka'bah (novel)

Dengarkan artikel ini
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Di Bawah Lindungan Ka'bah
Sampul cetakan terakhir
PengarangHamka
NegaraIndonesia
BahasaIndonesia
GenreNovel
PenerbitBalai Pustaka (I–VI)
Bulan Bintang (VII–sekarang)
Tanggal terbit
1938
Jenis mediaCetak (kulit keras & lunak)
Halaman52
OCLC63981241
Artikel ini tersedia dalam versi lisan
Dengarkan versi lisan dari artikel ini
(3 bagian, 14 menit)



Ikon Wikipedia Lisan
Berkas-berkas suara berikut dibuat berdasarkan revisi dari artikel ini per tanggal 1 Juli 2022 (2022-07-01), sehingga isinya tidak mengacu pada revisi terkini.

Di Bawah Lindungan Ka'bah adalah novel sekaligus karya sastra klasik Indonesia yang ditulis oleh Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau lebih dikenal dengan Hamka. Novel ini diterbitkan pada tahun 1938 oleh Balai Pustaka, penerbit nasional Hindia Belanda.

Novel ini menceritakan kisah antara Hamid dan Zainab yang sama-sama jatuh cinta, tetapi terpisah mulai dikarenakan perbedaan latar belakang sosial, hingga Zainab yang dihadapkan oleh permintaan ibunya agar menikah dengan laki-laki yang telah dipilihkan. Pada akhir cerita, Hamid memutuskan pergi ke Mekkah, kemudian fokus beribadah hingga akhirnya meninggal di hadapan Ka'bah setelah mengetahui Zainab meninggal.

Novel ini disambut baik dari berbagai kalangan, bahkan hingga saat ini telah diadaptasikan menjadi film sebanyak dua kali, masing-masing dengan judul yang sama, yaitu pada tahun 1981 dan 2011.

Latar belakang

Haji Abdul Malik Karim Amrullah yang lebih dikenal dengan singkatan Hamka, adalah muslim asal Minangkabau yang dibesarkan dalam kalangan keluarga yang taat beragama. Ia memandang tradisi yang ada dalam masyarakat di sekitarnya sebagai penghambat kemajuan agama, sebagaimana pandangan ayahnya, Abdul Karim Amrullah.[1][2] Setelah melakukan perjalanan ke Jawa dan Mekkah sejak berusia 16 tahun untuk menimba ilmu. Ia mulai bekerja sebagai guru agama di Deli, Sumatera Utara, lalu di Makassar, Sulawesi Selatan.[3] Dalam perjalanan itu, terutama saat di Timur Tengah, Hamka banyak membaca karya dari ahli dan penulis Islam, termasuk karya penulis asal Mesir Mustafa Lutfi al-Manfaluti hingga karya sastrawan Eropa yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Arab.[4][5] Pada tahun 1935, Hamka meninggalkan Makassar untuk kembali ke Medan. Di Medan, Hamka mulai menulis Di Bawah Lindungan Ka'bah ketika menjadi editor untuk majalah Islam mingguan Pedoman Masyarakat, yang dalam majalah tersebut untuk pertama kalinya nama pena Hamka diperkenalkan.[2][6]

Alur

Masjidil Haram, Mekkah pada tahun 1900-an.

Hamid merupakan muslim kelahiran Minangkabau, Sumatra yang hanya dibesarkan oleh ibunya sejak berusia empat tahun, karena pada saat itu ayahnya telah meninggal. Ketika berusia enam tahun Hamid disekolahkan oleh Haji Ja'far bersama anak perempuannya yang bernama Zainab di sekolah yang sama. Setelah menamatkan pendidikan masing-masing di sekolah Hindia Belanda, Hamid dan Zainab mulai jatuh cinta tetapi sama-sama tidak mengutarakannya hingga kemudian terpisah karena Hamid memutuskan pindah dari Padang ke Padang Panjang untuk melanjutkan pendidikan ke sekolah agama. Namun, sejak ayah Zainab meninggal, yang disusul dengan meninggalnya ibu Hamid, mereka telah jarang bertemu. Dalam suatu pertemuan, Hamid dihadapkan oleh permintaan ibu Zainab, Asiah untuk membujuk anaknya menikah dengan sepupunya. Permintaan ibu Zainab itu dijalankan oleh Hamid mengingat ibunya semasa hidup juga tidak mengizinkannya menikahi Zainab karena perbedaan kelas sosial. Hamid kemudian mengalami patah hati akibat keputusan yang diambilnya, lalu memutuskan pergi ke Mekkah.

Setelah setahun berada di Mekkah, Hamid yang mulai menderita penyakit bertemu dengan Saleh. Istri Saleh, Rosna, adalah teman dekat Zainab sehingga Hamid dapat mendengar kabar tentang Zainab, termasuk kenyataan bahwa Zainab mencintai dirinya dan Zainab tidak jadi menikah dengan laki-laki pilihan ibunya. Setelah mengetahui hal tersebut, Hamid berniat untuk kembali ke Padang usai menunaikan ibadah haji. Pada saat bersamaan Saleh melalui istrinya mengirimkan surat untuk diberikan kepada Zainab yang isinya menggambarkan pertemuannya dengan Hamid. Namun Saleh mendapat balasan dari istrinya bahwa Zainab telah meninggal dunia; Saleh tidak memberikan kabar tersebut kepada Hamid sebelum akhirnya Hamid mendesaknya. Kenyataan itu disusul dengan meninggalnya Hamid di hadapan Ka'bah.

Gaya penulisan dan tema

Di Bawah Lindungan Ka'bah ditulis dalam bentuk singkat dengan gaya bahasa yang sederhana. Kritikus sastra Indonesia, Bakri Siregar, beranggapan bahwa ini mungkin terjadi karena Hamka mengikuti gaya penulisan yang diwajibkan Balai Pustaka.[3] Sementara ahli dokumentasi sastra Indonesia, H.B. Jassin, mencatat bahwa Hamka memiliki gaya bahasa yang "sederhana, tapi berjiwa".[5] Kritikus sastra lainnya, Maman S. Mahayana, Oyon Sofyan, dan Achmad Dian menyebutnya mirip dengan gaya bahasa dari penulis asal Mesir, Mustafa Lutfi al-Manfaluti.[7]

Di Bawah Lindungan Ka'bah memiliki gaya penceritaan yang bersifat didaktis, yang bertujuan untuk mendidik pembaca berdasarkan sudut pandang penulis. Menurut Jassin, Hamka lebih mengedepankan ajaran tentang dasar-dasar Islam dibanding menyinggung tema kemodernan, seperti kebanyakan penulis saat itu, dan mengkritik beberapa tradisi yang menentang Islam.[4]

Rilis dan penerimaan

Di Bawah Lindungan Ka'bah diterbitkan oleh Balai Pustaka pada tahun 1938. Balai Pustaka umumnya menolak karya bertema agama karena melakukan resistensi terhadap praktik penindasan kolonial Belanda di Indonesia. Meskipun begitu, novel ini bisa lulus sensor dari Balai Pustaka karena hanya dianggap melukiskan tentang Islam semata.[5] Hamka kemudian menerbitkan empat novel lain selama berada di Medan,[2] termasuk Tenggelamnya Kapal Van der Wijck yang dianggap sebagai karya terbaiknya.[6] Setelah cetakan ketujuh, novel ini diterbitkan oleh Bulan Bintang.[7]

Sampul buku versi 1975 terbitan Penerbit - Distributor Bulan Bintang.

H.B. Jassin mencatat bahwa Di Bawah Lindungan Ka'bah ditulis dengan menarik dan indah.[8] Bakri Siregar menganggap novel ini menjadi cerita yang dikarang dengan baik dan gaya penulisannya yang kuat.[3] Kritikus sastra Indonesia asal Belanda, A. Teeuw, menyebut bahwa karya Hamka terlalu mementingkan nilai moral dan plotnya bersifat sentimental, ia merasa bahwa novel ini akan mempermudah pembaca Barat mengerti tentang kebudayaan Indonesia pada tahun 1930-an.[9]

Adaptasi

Di Bawah Lindungan Ka'bah telah dua kali diadaptasi menjadi film layar lebar. Pertama, film yang dirilis pada 1977 dan disutradarai oleh Asrul Sani berjudul Para Perintis Kemerdekaan dan dibintangi oleh penyanyi dangdut Camelia Malik sebagai Zainab. Adaptasi ini menampilkan perjuangan cinta dua tokoh dengan latar belakang perjuangan menghadapi kekuatan kolonial Belanda.[10] Film ini meraih kesuksesan, memenangi dua Piala Citra dari enam nominasi pada Festival Film Indonesia 1977.[11]

Adaptasi kedua, dirilis pada 2011 dengan judul Di Bawah Lindungan Ka'bah, disutradarai oleh Hanny R. Saputra dan dibintangi oleh Herjunot Ali sebagai Hamid dan Laudya Cynthia Bella sebagai Zainab. Adaptasi ini berfokus pada cerita percintaan. Meskipun dikritik karena penempatan produk dan perampasan kebebasan artistik yang mencolok,[10] film ini diajukan sebagai perwakilan Indonesia pada Academy Awards ke-84 untuk Film Berbahasa Asing Terbaik,[12] tetapi tidak berhasil masuk nominasi akhir.[13]

Rujukan

Catatan kaki
Daftar pustaka