Empat Kebenaran Mulia

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Empat Kebenaran Mulia (Pali: cattāri ariyasaccāni) adalah kebenaran yang berlaku bagi siapa saja tanpa membeda-bedakan suku, ras, budaya, maupun agama. Mengakui atau tidak mengakui, suka atau tidak suka, setiap manusia mengalami dan diliputi oleh hukum kebenaran ini. Kebenaran ini berlaku secara universal.

Empat Kebenaran Mulia ditemukan oleh Pertapa Siddhartha yang bermeditasi di bawah Pohon Bodhi hingga memperoleh Penerangan Sempurna dan menjadi Buddha. Empat Kebenaran Mulia yang ditemukan itu diajarkan oleh Buddha Gautama kepada umat manusia di Bumi ini. Muncul ataupun tidak muncul seorang Buddha di dunia ini, kebenaran itu akan tetap ada dan berlaku secara universal.

Empat Kebenaran:

  1. Kebenaran tentang adanya Dukkha (Dukkha)
  2. Kebenaran tentang sebab Dukkha (Dukkha Samudaya)
  3. Kebenaran tentang lenyapnya Dukkha (Dukkha Niroda)
  4. Kebenaran tentang jalan berunsur delapan menuju akhir Dukkha (Dukkha Nirodha Gamini Patipada Magga)

Dukkha[sunting | sunting sumber]

Berbagai bentuk penderitaan yang ada di dunia ini dapat dirangkum ke dalam tiga bagian utama atau kategori:

  1. Penderitaan Biasa (Dukkha-Dukkha), penderitaan yang sering dialami dalam kehidupan sehari-hari baik yang bersifat batin ataupun jasmani misalnya sakit gigi, sakit perut, cidera, sedih karena ada orang atau sahabat yang dicintai meninggal dunia, sedih karena tidak tercapai yang diinginkan, dan sebagainya.
  2. Penderitaan karena Perubahan (Viparinama-Dukkha), ketidakpuasan atau penderitaan karena perubahan. Penderitaan yang disebabkan karena adanya perubahan tidak dapat kita hindari oleh siapa pun. Misalnya keadaan sehat, secara umum hal ini tidak dapat disebut sebagai duka atau penderitaan. Namun, menurut ajaran Buddha, kondisi sehat tersebut tidaklah kekal, saat ini kita sehat, tapi di lain waktu kita bisa tiba-tiba sakit. Jadi, karena kondisi sehat itu tidak kekal, sewaktu-waktu dapat berubah menjadi sakit, dan tidak ada yang menjamin bahwa kita bisa sehat terus, maka kondisi sehat tersebut berarti masih tidak memuaskan.
  3. Penderitaan karena memiliki Badan Jasmani (Sankhara-Dukkha), yaitu ketidakpuasan atau penderitaan sebagai akibat dari keadaan yang berkondisi atau bersyarat, yaitu pañcakkhandha. Menurut ajaran Buddha,manusia atau makhluk terdiri dari lima perpaduan yang bersyarat atau berkondisi. Artinya, kalau syarat-syarat atau kondisi-kondisi yang membentuknya itu tidak lengkap, maka hal itu tidak dapat terjadi atau terbentuk sebagai makhluk. Lima kondisi tersebut adalah jasmani, perasaan, pencerahan, faktor-faktor batin, dan kesadaran. Kelima kondisi ini disebut pancakkhandha yang berpadu menjadi satu dan membentuk makhluk.
  4. Lebih lanjut tentang Dukkha, dijelaskan di dalam Patticasamupada (Hukum sebab musabab yang saling berkaitan)

Dukkha Samudaya[sunting | sunting sumber]

Ketiga macam penderitaan di atas tentu tidak muncul begitu saja, tetapi karena ada sebab yang mendahului, BUKAN asal mula. Karena disebut dengan SEBAB, maka hal itu tidak dapat diketahui awal dan akhirnya. Sebab penderitaan itu adalah karena manusia diliputi Keserakahan, Kebencian dan Kegelapan Batin, sehingga mengakibatkan kelahiran yang berulang-ulang dari masa ke masa dari satu alam ke alam berikutnya.

Manusia banyak yang tidak menyadari bahwa ada kebebasan dari semua bentuk penderitaan yang dapat dicapai ketika masih hidup. Mereka kebanyakan melekat pada kesenangan-kesenangan nafsu indra, menghancurkan kehidupan makhluk lain, menganut pandangan salah yang menyesatkan banyak orang dan menjanjikan kebahagiaan semu dan sementara, hidupnya tidak diarahkan dengan baik, tidak membuka diri untuk belajar lebih dalam tentang kebenaran universal, menjadi orang dungu yang hanya tahu tetapi tidak mempraktikkan apa yang ia ketahui, menjadi orang bodoh yang tidak mampu membedakan kebaikan dan kejahatan. Inilah sebab penderitaan yang menyelimuti kebanyakan umat manusia, yaitu Nafsu yang tiada henti (Tanha), dan kegelapan batin (Avijja) yang menjadi sebab kelahiran berulang-ulang bagi dirinya.

Dukkha Nirodha[sunting | sunting sumber]

Sebagaimana kesakitan akan sembuh manakala sebabnya telah diketahui dan diberikan obat yang tepat, demikian pula penderitaan seseorang juga dapat ditransformasikan dengan mempraktikkan cara-cara yang benar dan berlaku secara universal. Kebahagiaan akan dicapai manakala ia terbebas dari penderitaan itu. Kebahagiaan ini adalah kebahagiaan sejati, yang mana tidak akan diketahui ke mana perginya seseorang yang telah bebas dari derita batin dan jasmani. Inilah kebahagiaan Nirwana (Nibbana). Kebahagiaan yang dapat dicapai BUKAN setelah meninggal dunia saja, tetapi juga ketika masih hidup di dunia ini.

Nirwana bukanlah suatu tempat, melainkan keadaan di mana seseorang mempunyai pikiran yang sangat jernih yang telah terbebas dari sifat serakah, benci, dan gelap batin. Ia dapat mencapainya ketika masih memiliki badan jasmani. Sebagaimana perjuangan Pangeran Siddhartha untuk mencari jalan keluar dari fenomena usia tua, sakit dan kematian hingga menjadi Buddha, maka seperti itulah seseorang dengan sekuat tenaganya sendiri berusaha mengikis habis sifat-sifat jahat yang ada dalam dirinya, mengikis habis ego dalam dirinya, mengikis habis nafsu-nafsu indra, dan memunculkan kebijaksanaan paling tinggi dalam kehidupannya dan menjadikan dirinya sendiri sebagai Orang Suci meskipun masih bergaul dengan banyak orang dan berpenghidupan di masyarakat luas. Kelak ketika ia meninggal dunia, maka tidak akan ada lagi orang yang mengetahui ke mana ia pergi, karena Nirwana bukanlah suatu tempat. Sebagaimana api itu ada, namun tidak seorang pun yang dapat mengetahui ke mana perginya api setelah padam.

Jika diibaratkan sebuah lilin yang menyala, apinya adalah kebencian, keserakahan, dan kegelapan batin dan batang lilin adalah badan jasmani, maka ketika nyala lilin padam bersamaan dengan habisnya batang lilin yang terbakar, saat itulah fenomena-fenomena selanjutnya dari lilin tersebut tidak dapat diketahui oleh siapa pun.

Inilah gambaran Nirwana secara sederhana.

Jadi sangat mungkin Kebahagiaan Sejati dapat dicapai bukan setelah meninggal dunia, tetapi juga ketika masih hidup.

Dukkha Nirodha Gamini Patipada Magga[sunting | sunting sumber]

Cara melenyapkan Dukkha adalah dengan mempraktikan Jalan Mulia Berunsur Delapan yang terdiri dari:

  1. Pengertian Benar (sammä-ditthi)
  2. Pikiran Benar (sammä-sankappa)
  1. Ucapan Benar (sammä-väcä)
  2. Perbuatan Benar (sammä-kammanta)
  3. Pencaharian Benar (sammä-ajiva)
  • Konsentrasi (Pali: Samädhi)
  1. Daya-upaya Benar (sammä-väyäma)
  2. Perhatian Benar (sammä-sati)
  3. Konsentrasi Benar (sammä-samädhi)

[1]

Sejarah Perkembangan[sunting | sunting sumber]

Menurut Anderson, "empat kebenaran mungkin diakui sebagai ajaran yang paling penting dari Sang Buddha".[2] Namun, sejak tahun 1935, Caroline Rhys Davids mengemukakan bahwa ajaran yang menjadi pusat bagi Buddhisme Theravada tersebut tidak ada dalam bagian-bagian paling penting dalam kanon Pali.[3] Menurut Gethin, empat kebenaran dan delapan jalan menuju nirwana hanyalah dua daftar dari "ratusan daftar serupa yang secara harfiah mencakup seluruh rentang teori dan praktik Buddhisme kuno".[4] Posisi empat kebenaran dalam kanon menimbulkan pertanyaan dan telah diselidiki sepanjang abad ke-19 dan ke-20.[5]

Analisis ilmiah terhadap naskah kuno[sunting | sunting sumber]

Menurut para sarjana akademik, inkonsistensi dalam naskah-naskah kuno dapat mengungkap perkembangan dalam ajaran-ajaran terdahulu.[6] Sementara itu, tradisi Theravada berpendapat bahwa Sutta Pitaka adalah "penyampaian definitif dari kata-kata Sang Buddha"[7] dan penganut Theravada berpendapat bahwa sutra-sutra tersebut kemungkinan berasal langsung dari Sang Buddha sendiri melalui transmisi lisan yang tidak terputus[8][9], para sarjana akademik telah mengidentifikasi banyak inkonsistensi dan mencoba untuk menjelaskannya. Informasi tentang ajaran-ajaran terdahulu dalam Buddhisme, seperti Empat Kebenaran Mulia, diperoleh melalui analisis terhadap naskah-naskah kuno dan inkonsistensi yang ditemukan tersebut serta masih menjadi subyek pembahasan dan penelitian.[10][11][12][13]

Menurut Schmithausen, dapat dibedakan tiga posisi yang dipegang oleh para sarjana Buddhisme mengenai kemungkinan mempertahankan pengetahuan tentang Buddhisme kuno:[10]

  1. "Mengedepankan homogenitas fundamental dan otentisitas substansial setidaknya untuk sebagian besar materi Nikayik",
  2. "Skeptisisme terkait kemungkinan mengembalikan ajaran Buddhisme awal",
  3. "Optimisme yang cermat dalam hal tersebut".

Perkembangan[sunting | sunting sumber]

Menjadi semakin penting[sunting | sunting sumber]

Peneliti Agama Buddha, Eviatar Shulman, mengusulkan bahwa dalam bentuk aslinya, Empat Kebenaran Mulia berakar dalam persepsi meditatif tentang peristiwa mental, berdasarkan analisisnya terhadap kata "ayam" dalam Bahasa Pali. Menurutnya, kata tersebut bermakna persepsi langsung sebagaimana seseorang mengalami sendiri suatu peristiwa yang berlangsung tepat di depan matanya.[14]

Menurut Bronkhorst, Empat Kebenaran Mulia mungkin telah dirumuskan dalam Buddhisme awal tetapi tidak menjadi ajaran inti seperti dalam ajaran Buddhisme setelahnya. Menurut Anderson, baru pada masa komentari pada abad kelima Masehi, Empat Kebenaran Mulia mulai diidentifikasi dalam tradisi Theravada sebagai ajaran inti Buddha.

Menurut Feer dan Anderson, Empat Kebenaran Mulia kemungkinan masuk ke dalam Sutta Pitaka berasal dari Vinaya, yaitu aturan untuk tatanan kehidupan monastik.[15] Awalnya, ajaran tersebut ditambahkan ke dalam cerita-cerita pencerahan yang mengandung Empat Jhana menggantikan istilah "paham pembebasan".[16] Setelah itu, ditambahkan ke dalam kisah-kisah biografi Sang Buddha.[17]

Referensi[sunting | sunting sumber]

  1. ^ Sutrisno, SJ, FX. Mudji (1993). Buddhisme : Pengaruhnya dalam abad modern. Kanisus. ISBN 979-413-985-8. 
  2. ^ Anderson, Carol S. (1999). Pain and Its Ending: The Four Noble Truths in the Theravada Buddhist Canon. Routledge. hlm. 55. 
  3. ^ Anderson, Carol S. (1999). Pain and Its Ending: The Four Noble Truths in the Theravada Buddhist Canon. Routledge. hlm. ix. 
  4. ^ Gethin, R. M. (2003). The Buddhist Path to Awakening. OneWorld Publications. hlm. 20. 
  5. ^ Anderson, Carol S. (2001). Pain and Its Ending: The Four Noble Truths in the Theravada Buddhist Canon. Motilall Banarsidas. hlm. 168–211. 
  6. ^ Vetter, Tilmann (1988). The Ideas and Meditative Practices of Early Buddhism. BRILL. hlm. ix. 
  7. ^ Bhikku Bodhi (1995). The Middle Length Discourses of the Buddha. A New Translation of the Majjhima Nikaya. Wisdom Publications. hlm. 13. 
  8. ^ Payutto, P. A. (2002). "What a True Buddidst Should Know about the Pali Canon". MANUSYA. 5 (4): 93–132. doi:10.1163/26659077-00504007. ISSN 0859-9920. 
  9. ^ Sujato, Bhante (2015). The Authenticity of the Early Buddhist Texts (PDF). ISBN 9781312911505. 
  10. ^ a b Bronkhorst, Johannes (1993). The Two Traditions of Meditation in Ancient India. Motilal Banarsidass Publ. 
  11. ^ Vetter, Tilmann (1988). The Ideas and Meditative Practices of Early Buddhism. BRILL. 
  12. ^ Schmithausen, Lambert (1981). On some Aspects of Descriptions or Theories of 'Liberating Insight' and 'Enlightenment' in Early Buddhism". In: Studien zum Jainismus und Buddhismus (Gedenkschrift für Ludwig Alsdorf), hrsg. von Klaus Bruhn und Albrecht Wezler. Wiesbaden. 
  13. ^ Gombrich, Richard F. (1997). How Buddhism Began: The Conditioned Genesis of the Early Teachings. Routledge. ISBN 978-1-134-19639-5. 
  14. ^ Shulman, Eviatar (2017). Rethinking the Buddha. Cambridge University Press. hlm. 140. 
  15. ^ Anderson, Carol S. (1999). Pain and Its Ending: The Four Noble Truths in the Theravada Buddhist Canon. Routledge. hlm. 74, 77. 
  16. ^ Anderson, Carol S. (1999). Pain and Its Ending: The Four Noble Truths in the Theravada Buddhist Canon. Routledge. hlm. 148. 
  17. ^ Anderson, Carol S. (1999). Pain and Its Ending: The Four Noble Truths in the Theravada Buddhist Canon. Routledge. hlm. 17.