Ihsan

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Ihsan (Arab: إحسان; "kesempurnaan" atau "terbaik") adalah seorang manusia yang mencurahkan kebaikan dan menahan diri untuk tidak mengganggu orang lain. Mencurahkan kebaikan kepada hamba-hamba Allah dengan harta, ilmu, kedudukan, dan badannya.[1]

Redaksi hadis[sunting | sunting sumber]

Hadis yang berkenaan tentang ihsan dikeluarkan di dalam Shahih Muslim dari Umar bin Khattab dan dua riwayat dari Abu Hurairah pada Shahihain. Bunyi teks berdasarkan hadist riwayat Muslim dari Abu Hurairah adalah:

Dari Abu Hurairah, ia berkata: "Pada suatu hari, rasulullah ﷺ muncul di antara kaum muslimin. Lalu datang seseorang dan berkata: 'Wahai rasulullah, apakah Iman itu?' Rasulullah ﷺ bersabda: 'Yaitu engkau beriman kepada Allah, kepada malaikat-Nya, kitab-Nya, pertemuan dengan-Nya, para utusan-Nya, dan beriman kepada Hari Kebangkitan akhir'.

Orang itu bertanya lagi: 'Wahai rasulullah, apakah Islam itu?' Rasulullah ﷺ bersabda: 'Islam, yaitu engkau beribadah kepada Allah dan tidak menyekutukan-Nya dengan apapun, mendirikan salat fardhu, memberikan zakat wajib dan berpuasa di bulan Ramadhan'.
Orang itu kembali bertanya: 'Wahai rasulullah, apakah Ihsan itu?' Rasulullah ﷺ bersabda: 'Yaitu engkau beribadah kepada Allah seolah-olah engkau melihat-Nya. Jika engkau tidak mampu melihat-Nya, maka ketahuilah bahwa Dia selalu melihatmu'.
Orang itu bertanya lagi: 'Wahai rasulullah, kapankah Hari Kiamat itu?' Rasulullah ﷺ bersabda: 'Orang yang ditanya tidak lebih tahu daripada yang menanya. Apabila ada budak perempuan melahirkan majikannya, maka itulah satu di antara tandanya. Apabila ada orang yang semula miskin menjadi pimpinan manusia, maka itu termasuk di antara tandanya. Apabila orang-orang yang tadinya menggembalakan ternak saling berlomba memperindah bangunan, maka itu termasuk di antara tandanya. Ada lima hal yang hanya diketahui oleh Allah'.
Kemudian rasulullah ﷺ membaca surat Luqman ayat 34: "Sesungguhnya Allah, hanya pada sisi-Nya saja lah pengetahuan tentang Hari Kiamat dan Dia lah yang menurunkan hujan, dan mengetahui apa yang ada di dalam rahim, dan tiada seorang pun dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan diusahakannya besok, dan tiada seorang pun dapat mengetahui di bumi mana dia akan mati. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal".
Kemudian orang itu berlalu. Lalu rasulullah ﷺ bersabda: 'Panggillah orang itu kembali!'. Para sahabat beranjak hendak memanggilnya, tetapi mereka tidak melihat sesuatu pun. Maka rasulullah ﷺ bersabda: 'Itu tadi adalah Jibril, yang datang untuk mengajarkan kepada manusia tentang agama mereka'."

Ruang lingkup[sunting | sunting sumber]

Ihsan terbagi menjadi dua macam:

  1. Ihsan di dalam beribadah kepada Sang Pencipta (Al-Khaliq)
  2. Ihsan kepada makhluk ciptaan Allah

Ihsan di dalam beribadah kepada Allah[sunting | sunting sumber]

Ihsan di dalam beribadah kepada Al-khaliq memiliki dua tingkatan:[2]

  1. Kamu beribadah kepada Allah seakan-akan kamu melihat-Nya, ini adalah ibadah dari seseorang yang mengharapkan rahmat dan ampunan-Nya. Nama lain dari perbuatan ini disebut Maqam al-Musyahadah (مقام المشاهدة).[3] Dan keadaan ini merupakan tingkatan ihsan yang paling tinggi, karena dia berangkat dari sikap membutuhkan, harapan dan kerinduan. Dia menuju dan berupaya mendekatkan diri kepada-Nya. Sikap seperti ini membuat hatinya terang-benderang dengan cahaya iman dan merefleksikan pengetahuan hati menjadi ilmu pengetahuan, sehingga yang abstrak menjadi nyata.[3]
  1. Jika kamu tidak mampu beribadah seakan-akan kamu melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia melihatmu, dan ini ibadah dari seseorang yang lari dari adzab dan siksanya. Dan hal ini lebih rendah tingkatannya daripada tingkatan yang pertama, karena sikap ihsannya didorong dari rasa diawasi, takut akan hukuman. Sehingga, dari sini, ulama salaf berpendapat bahwa, "Barangsiaa yang beramal atas dasar melihat Allah Subhanahu wa Ta'ala, maka dia seorang yang arif, sedang siapapun yang bermal karena merasa diawasi Allah Subhanahu wa Ta'ala, maka dia seorang yang ikhlas (mukhlis)."[3]

Maka suatu ibadah dibangun atas dua hal ini, puncak kecintaan dan kerendahan, maka pelakunya akan menjadi orang yang ikhlas kepada Allah. Dengan ibadah yang seperti itu seseorang tidak akan bermaksud supaya di lihat orang (riya'), di dengar orang (sum'ah) maupun menginginkan pujian dari orang atas ibadahnya tersebut. Tidak peduli ibadahnya itu tampak oleh orang maupun tidak diketahui orang, sama saja kualitas kebagusan ibadahnya. Muhsinin (seseorang yang berbuat ihsan) akan selalu membaguskan ibadahnya disetiap keadaan.

Ihsan kepada makhluk ciptaan Allah[sunting | sunting sumber]

Berbuat ihsan kepada makhluk ciptaan Allah dalam empat hal, yaitu:[1]

  • Harta

Yaitu dengan cara berinfak, bersedekah dan mengeluarkan zakat. Jenis perbuatan ihsan dengan harta yang paling mulia adalah mengeluarkan zakat karena dia termasuk di dalam Rukun Islam. Kemudian juga nafkah yang wajib diberikan kepada orang-orang yang menjadi tanggung jawabnya seperti istri, anak, orang-tua, dll. Kemudian sedekah bagi orang miskin dan orang yang membutuhkan lainnya.

  • Kedudukan

Manusia itu bertingkat-tingkat jabatannya. Sehingga apabila dia memiliki kedudukan yang berwenang maka digunakannya untuk membantu orang lain dalam hal menolak bahaya ataupun memberikan manfaat kepada orang lain dengan kekusaannya tersebut.

  • Ilmu

Yakni menerapkan ilmu yang diketahuinya untuk kebaikan orang banyak atau orang-orang di sekelilingnya, memberikan ilmu bermanfaat yang diketahuinya kepada orang lain, dengan cara mengajarkannya.

  • Badan

Yakni menolong seseorang dengan tenaganya. membawakan barang-barang orang yang keberatan, mengantarkan orang untuk menunjukan jalan, dan ini termasuk bentuk sedekah dan bentuk ihsan kepada makhluk Tuhan.

Sebagai kata serapan[sunting | sunting sumber]

Dalam bahasa Indonesia, kata ihsan telah diserap dan memiliki turunan kata. Dalam bahasa Indonesia ihsan memiliki arti:[4]

  • Ihsan /ih·san/ Ar 1 a baik; 2 n derma dsb yg tidak diwajibkan.
  • Ihsanat /ih·sa·nat/ n kebaikan; kebajikan
  • Istihsan /is·tih·san/ n pendapat yg berpegang pd kebaikan sesuatu bagi umat manusia sehingga apa yg dipandang baik boleh dikerjakan atau dipedomani

Lihat juga[sunting | sunting sumber]

Referensi[sunting | sunting sumber]

Catatan kaki

  1. ^ a b Majmu fatawa (3/216-219); Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin.
  2. ^ Al-Qoulul Mufid Penjelasan tentang Tauhid; Muhammad Al-Wushobiy Al-Yamani Al-Abdali.
  3. ^ a b c an-Najar (2014), hal.41-43
  4. ^ https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/Ihsan

Bibliografi

  • An-Najar, Khalid Sa'ad (2014). "Berbuat Baik, Ibadahnya Orang-orang Shaleh". Qiblati. Malang: CV Media Citra Qiblati. 9 (3): 40 – 44. ISSN 1907-0039. 
  • Sunarto, Ahmad. Terjemah Hadits Shahih Muslim (Kitab Iman: Iman, Islam dan Ihsan). Penerbit Husaini, Bandung, 2002.