Jinayah

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
(Dialihkan dari Jinayat)
Hukuman pukulan rotan yang ditetapkan melalui hukum jinayah di Aceh.

Jinayah adalah sebuah kajian ilmu hukum Islam yang berbicara tentang kejahatan.[1] Dalam istilah yang lebih populer, hukum jinayah disebut juga dengan hukum pidana Islam.[1] Adapun ruang lingkup kajian hukum pidana Islam ini meliputi tindak pidana qisas, hudud, dan takzir.[1]

Asas-asas Jinayah[sunting | sunting sumber]

Asas Legalitas[sunting | sunting sumber]

Kata asas berasal dari bahasa Arab asasun yang berarti dasar atau prinsip, sedangkan kata legalitas berasal dari bahasa latin yaitu lex (kata benda) yang berarti undang-undang, atau dari kata jadian legalis yang berarti sah atau sesuai dengan ketentuan undang-undang. Dengan demikian legalitas adalah “keabsahan sesuatu menurut undang undang”. Adapun istilah legalitas dalam syari’at Islam tidak ditentukan secara jelas sebagaimana yang terdapat dalam kitab undang-undang hukum positif. Kendati demikian, bukan berarti syari’at Islam tidak mengenal asas legalitas. Asas legalitas dipopulerkan melalui ungkapan dalam bahasa latin:

Nullum Deliktum Nulla Poena Sine Pravia Lege Poenali (tiada delik tiada hukuman sebelum ada ketentuan terlebih dahulu). Asas ini merupakan suatu jaminan dasar bagi kebebasan individu dengan memberi batas aktivitas apa yang dilarang secara tepat dan jelas. Asas ini melindungi dari penyalahgunaan kekuasaan atau kesewenang-wenangan hakim, menjamin keamanan individu dengan informasi yang boleh dan yang dilarang. Dasar hukum asas legalitas dalam Islam antara lain:

Al-Qur’an surat Al-Isra’: 15

مَّنِ ٱهْتَدَىٰ فَإِنَّمَا يَهْتَدِى لِنَفْسِهِۦ ۖ وَمَن ضَلَّ فَإِنَّمَا يَضِلُّ عَلَيْهَا ۚ وَلَا تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرَىٰ ۗ وَمَا كُنَّا مُعَذِّبِينَ حَتَّىٰ نَبْعَثَ رَسُولًا

Barangsiapa yang berbuat sesuai dengan hidayah (Allah), Maka Sesungguhnya Dia berbuat itu untuk (keselamatan) dirinya sendiri; dan Barangsiapa yang sesat Maka Sesungguhnya Dia tersesat bagi (kerugian) dirinya sendiri. dan seorang yang berdosa tidak dapat memikul dosa orang lain, dan Kami tidak akan mengazab sebelum Kami mengutus seorang Rasul.

Berdasarkan Asas legalitas dan kaidah “tidak ada hukuman bagi perbuatan mukallaf sebelum adanya ketentuan nas, maka perbuatan mukalaf tidak bisa dikenai tuntutan atau pertanggung jawaban pidana. Dengan demikian nas-nas dalam syari’at Islam belum berlaku sebelum diundangkan dan diketahui oleh orang banyak. Ketentuan ini memberi pengertian hukum pidana Islam baru berlaku setelah adanya nas yang mengundangkan. Hukum pidana Islam tidak mengenal sistem berlaku surut yang dalam perkembangannya melahirkan kaidah:

اﻟﺟﻧﺎﺋﻲ اﻟﺗﺷرﯾﻊ ﻓﻲ اﻟرﺟﻌﯾﺔ

Tidak berlaku surut pada pidana Islam.

Asas Amar Makruf Nahi Munkar[sunting | sunting sumber]

Menurut bahasa, amar makruf nahi munkar adalah menyuruh kepada kebaikan, mencegah dari kejahatan. Amr: menyuruh, ma’rûf: kebaikan, nahyi: mencegah, munkar: kejahatan. Abul A’la al-Maududi menjelaskan bahwa tujuan utama dari syariat ialah membangun kehidupan manusia di atas dasar ma’rifat (kebaikan) dan membersihkannya dari hal-hal yang maksiat dankejahatan.

Dalam filsafat hukum Islam dikenal istilah amar makruf sebagai fungsi social engineering, sedang nahi munkar sebagai social control dalam kehidupan penegakan hukum. Berdasar prinsip inilah di dalam hukum Islam dikenal adanya istilah perintah dan larangan.


Asas Material[sunting | sunting sumber]

Asas material hukum pidana Islam menyatakan bahwa tindak pidana ialah segala yang dilarang oleh hukum, baik dalam bentuk tindakan yang dilarang maupun tidak melakukan tindakan yang diperintahkan, yang diancam hukum (had atau ta’zir). Berdasarkan atas asas material ini, sanksi hukum pidana Islam mengenal dua macam: hudud dan ta’zir. Hudud adalah sanksi hukum yang kadarnya telah ditetapkan secara jelas berdasarkan teks atau nash, baik al-Qur’an maupun hadits. Sementara ta’zir adalah sanksi hukum yang ketetapannya tidak ditentukan, atau tidak jelas ketentuannya, baik dalam al-Qur’an maupun hadits. Oleh karena itu, dalam pelaksanaan asas material ini lahirlah kaidah hukum pidana yang berbunyi:

"Hindarkanlah pelaksanaan hudud jika ada kesamaran atau syubhat." Asas material pun mengenal asas pemaafan dan asas taubat. Bentuk tobat dapat mengambil bentuk pembayaran denda yang disebut diyat, kafarat, atau bentuk lain, yakni langsung bertaubat kepada Allah SWT. Oleh karena itu, lahirlah kaidah yang menyatakan bahwa: “Orang yang bertobat dari dosa seperti orang yang tidak berdosa.

Asas Moralitas[sunting | sunting sumber]

Ada beberapa asas moral hukum pidana Islam:

  1. Asas Adamul Uzri yang menyatakan bahwa seseorang tidak diterima pernyataannya bahwa ia tidak tahu hukum
  2. Asas Rufiul Qalam yang menyatakan bahwa sanksi atas suatu tindak pidana dapat dihapuskan karena alasan-alasan tertentu, yaitu karena pelakunya di bawah umur, orang yang tertidur dan orang gila.
  3. Asas al-Khath wa Nis-yan yang secara harfiah berarti kesalahan dan kelupaan. Asas ini menyatakan bahwa seseorang tidak dapat dituntut pertanggungan jawab atas tindakan pidananya jika ia dalam melakukan tindakannya itu karena kesalahan atau karena kelupaan. Asas ini didasarkan atas surat al-Baqarah: 286.

Asas Suquth al- ‘Uqubah yang secara harfiah berarti gugurnya hukuman. Asas ini menyatakan bahwa sanksi hukum dapat gugur karena dua hal: pertama, karena si pelaku dalam melaksanakan tindakannya melaksanakan tuga; kedua, karena terpaksa. Pelaksanaan tugas dimaksud adalah seperti: petugas eksekusi qishash (algojo), dokter yang melakukan operasi atau pembedahan. Keadaan terpaksa yang dapat menghapuskan sanksi hukum seperti: membunuh orang dengan alasan membela diri, dan sebagainya.

Konsep Pemberlakuan Jinayah[sunting | sunting sumber]

Menurut al-Syathibi, salah satu pendukung Mazhab Maliki yang terkenal, lima unsur pokok dalam mewujudkan kemaslahatan manusia adalah agama, jiwa, keturunan, akal, dan harta. al- Syathibi pada akhirnya berkesimpulan bahwa adanya lima kebutuhan pokok bagi manusia tersebut menempati suatu yang qath’iy (niscaya) dalam arti dapat di pertanggung jawabkan dan oleh karena itu dapat dijadikan sebagai dasar menetapkan hukum.

Dalam usaha mewujudkan dan memelihara lima unsur pokok itu al-Syathibi mengemukakan tiga peringkat maqashid alsyari’ah (tujuan syariat), yaitu pertama adalah tujuan primer (maqashid aldaruriyyah), kedua adalah tujuan sekunder (maqashid al-hajjiyyah), dan ketiga tujuan tertier (maqashid al-tahsiniyyah). Atas dasar inilah maka hukum Islam dikembangkan, baik hukum pidana, perdata, ketatanegaraan, politik hukum, maupun yang lainnya.

Dengan mengacu kepada lima kebutuhan pokok manusia dan tiga peringkat tujuan syariat tersebut, dapatlah dipahami bahwa tujuan utama pemberlakuan hukum pidana Islam adalah untuk kemaslahatan manusia. Abdul Wahhhab Khallaf memberikan perincian yang sederhana mengenai pemberlakuan hukum pidana Islam yang dikaitkan dengan pemeliharaan lima kebutuhan pokok manusia dalam bukunya ‘Ilmu Ushul alFiqh:

  • Memelihara agama (hifzh al-din)

Agama di sini maksudnya adalah sekumpulan akidah, ibadah, hukum, dan undang-undang yang dibuat oleh Allah untuk mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya dan juga mengatur hubungan antar manusia. Untuk menjaga dan memelihara kebutuhan agama ini dari ancaman musuh maka Allah mensyariatkan hukum berjihad untuk memerangi orang yang menghalangi dakwah agama. Untuk menjaga agama ini Allah juga mensyariatkan shalat dan melarang murtad dan syirik. Jika ketentuan ini diabaikan, maka akan terancamlaheksistensi agama tersebut, dan Allah menyuruh memerangi orang yang murtad dan musyrik.

  • Memelihara jiwa (hifzh al-nafs)

Untuk memelihara jiwa ini Allah mewajibkan berusaha untuk mendapatkan kebutuhan makanan, minuman, pakaian, dan tempat tinggal. Tanpa kebutuhan tersebut maka akan terancamlah jiwa manusia. Allah juga akan mengancam dengan hukuman qishash (hukum bunuh) atau diyat (denda) bagi siapa saja yang menghilangkan jiwa. Begitu juga Allah melarang menceburkan diri ke jurang kebinasaan (bunuh diri).

  • Memelihara akal (hifzh al-‘aql)

Untuk menjaga dan memelihara akal ini Allah mengharuskan manusia mengkonsumsi makanan yang baik dan halal serta mempertinggi kualitas akal dengan menuntut ilmu. Sebaliknya, Allah mengharamkan minuman keras yang memabukkan. Kalau larangan ini diabaikan, maka akan terancam eksistensi akal. Di samping itu, ditetapkan adanya ancaman (hukuman dera 40 kali) bagi orang yang meminum minuman keras.

  • Memelihara keturunan (hifzh al-nasl)

Untuk memelihara keturunan Allah mensyariatkan pernikahan dan sebaliknya mengharamkan perzinaan. Orang yang mengabaikan ketentuan ini, akan terancam eksistensi keturunannya. Bahkan kalau larangan perzinaan ini dilanggar, maka Allah mengancam dengan hukuman rajam atau hukuman cambuk seratus kali.

  • Memelihara harta (hifzh al-mal)

Untuk memelihara harta ini disyariatkanlah tata cara pemilikan harta, misalnya dengan muamalah, perdagangan, dan kerja sama. Di samping itu, Allah mengharamkan mencuri atau merampas hak milik orang lain dengan cara yang tidak benar. Jika larangan mencuri diabaikan, maka pelakunya akan diancam dengan hukuman potong tangan.

Dari uraian di atas jelaslah bahwa kelima kebutuhan pokok tersebut merupakan hal yang mutlak harus ada pada manusia. Karenanya Allah menyuruh untuk melakukan segala upaya bagi keberadaan dan kesempurnaannya. Sebaliknya, Allah melarang melakukan perbuatan yang dapat menghilangkan atau mengurangi salah satu dari kelima kebutuhan pokok itu. Hukuman atau sanksi atas larangan itu bersifat tegas dan mutlak. Hal ini ditetapkan hukuman-hukuman itu disyariatkan semata-mata untuk kemaslahatan manusia. Dengan ancaman hukuman yang berat itu orang akan takut melakukan perbuatan terlarang yang diancam dengan hukuman tersebut. Dengan demikian, pemberlakuan hukum pidana Islam itu juga untuk menciptakan kemaslahatan di antara umat manusia seluruhnya.

Jinayah dalam Perspektif Filsafat Hukum Islam[sunting | sunting sumber]

Kajian Ontologi Hukum Pidana Islam[sunting | sunting sumber]

Istilah hukum Islam berasal dari tiga kata dasar, yaitu ‘hukum’, ‘pidana’, dan ‘Islam’. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kata ‘hukum’ diartikan dengan peraturan atau adat yang secara resmi dianggap mengikat, yang dikukuhkan oleh penguasa, pemerintah, atau otoritas; undang- undang, peraturan, dsb. Untuk mengatur pergaulan hidup masyarakat; patokan (kaidah, ketentuan) mengenai peristiwa (alam dsb.) yang tertentu; dan keputusan (pertimbangan) yang ditetapkan oleh hakim (dalam pengadilan); vonis.

Secara sederhana hukum dapat dipahami sebagai peraturan-peraturan atau norma-norma yang mengatur tingkah laku manusia dalam suatu masyarakat, baik peraturan atau norma itu berupa kenyataan yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat maupun peraturan atau norma yang dibuat dengan cara tertentu dan ditegakkan oleh penguasa. Dalam wujudnya, hukum ada yang tertulis dalam bentuk undang-undang seperti hukum modern (hukum Barat) dan ada yang tidak tertulis seperti hukum adat dan hukum Islam.

Kata yang kedua, yaitu ‘pidana’, berarti kejahatan, (tentang pembunuhan, perampokan, korupsi, dan lain sebagainya); kriminal. Adapun kata yang ketiga, yaitu ‘Islam’, oleh Mahmud Syaltut didefinisikan sebagai agama Allah yang diamanatkan kepada Nabi Muhammad Saw. untuk mengajarkan dasar-dasar dan syariatnya dan juga mendakwahkannya kepada semua manusia serta mengajak mereka untuk memeluknya. Dengan pengertian yang sederhana, Islam berarti agama Allah yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw. untuk disampaikan kepada umat manusia untuk mencapai kesejahteraan hidupnya baik di dunia maupun di akhirat kelak.

Dari gabungan ketiga kata di atas muncul istilah hukum pidana Islam. Dengan memahami arti dari ketiga kata itu, dapatlah dipahami bahwa hukum pidana Islam merupakan seperangkat norma atau peraturan yang bersumber dari Allah dan Nabi Muhammad Saw. untuk mengatur kejahatan manusia di tengah-tengah masyarakatnya. Dengan kalimat yang lebih singkat, hukum pidana Islam dapat diartikan sebagai hukum tentang kejahatan yang bersumber dari ajaran Islam.

Hukum Pidana Islam (HPI) dalam khazanah literatur Islam biasa disebut al- ahkam al-jinaiyyah, yang mengatur pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh orang mukallaf dan hukuman-hukuman baginya. Para ulama menggunakan istilah jinayah bisa dalam dua arti, yakni arti luas dan arti sempit. Dalam arti luas, jinayah merupkan perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh Syara’ dan dapat mengakibatkan hukuman had (hukuman yang ada ketentuan nash-nya seperti hukuman bagi pencuri, pembunuh, dll), atau ta’zir (hukuman yang tidak ada ketentuan nash-nya seperti pelanggaran lalu lintas, percobaan melakukan tindak pidana, dll).

Kisas[sunting | sunting sumber]

Kisas adalah penjatuhan coba sanksi yang sama dengan yang telah pelaku lakukan terhadap korbannya, misalnya pelaku menghilangkan nyawa korbannya, maka ia wajib dibunuh.[1] Kecuali, keluarga korban memaafkan si pelaku, maka pelaku hanya akan dikenakan denda yang dinamakan dengan diat atau denda sebagai pengganti dari hukuman.[2]

Syarat[sunting | sunting sumber]

  1. Si pelaku adalah orang yang sudah dewasa, maka tidak akan terjadi kisas atas anak kecil.[1]
  2. Si pelaku adalah orang yang tidak gila atau memiliki akal yang sehat.[1]
  3. Si pelaku bukanlah orang tua.[1]
  4. Orang yang terbunuh memiliki derajat yang sama, misalnya seorang budak membunuh budak yang lain, maka budak tersebut boleh dikisas.[1]

Hudud[sunting | sunting sumber]

Hudud adalah penjatuhan sanksi yang berat atas sesorang yang telah ditentukan oleh Al-Qur'an dan Hadis, seperti zina, mabuk dan keluar dari agama Islam atau murtad.[1]

Takzir[sunting | sunting sumber]

Takzir adalah hukum yang selain hukum hudud, yang berfungsi mencegah pelaku tindak pidana dari melakukan kejahatan dan menghalanginya dari melakukan maksiat.[1]

Rujukan[sunting | sunting sumber]

  1. ^ a b c d e f g h i j Dr.H.M. Nurul Irfan, M.Ag. (2013). fIqh Jinayah. AMZAH. ISBN 978-602-8689-76-2. 
  2. ^ Drs.H.Imron Abu Umar (1983). Terj. Fat-hul Qarib Jilid 2. Menara Kudus.