Kampanye Sulawesi Selatan

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Kampanye Sulawesi Selatan
Bagian dari Revolusi Nasional Indonesia
Tanggal10 Desember 1946–21 Februari 1947
LokasiSulawesi
Pihak terlibat
Indonesia
Tentara Republik Indonesia (TRI)
Kebaktian Rakyat Indonesia Sulawesi (KRIS)
Pasukan ireguler setempat
Belanda
Depot Special Forces (DST)
Koninklijk Nederlandsch-Indisch Leger (KNIL)
Kepolisian
Garda desa
Tokoh dan pemimpin

Sam Ratulangi
Andi Abdullah Bau Massepe  
Andi Mattalata

Lieutenant Latief
Kapten Westerling
Kolonel De Vries
Kekuatan
Tidak diketahui 123 tentara DST
Korban
Kira-kira 5.000 tewas; sebagian besar di antaranya non-kombatan 3 tentara DST tewas
Beberapa tentara KNIL, anggota garda desa, dan polisi tewas

Kampanye Sulawesi Selatan (10 Desember 1946 – 21 Februari 1947) adalah bagian dari Revolusi Nasional Indonesia. Kampanye ini mempertemukan kaum Republikan Indonesia setempat di Sulawesi dengan tentara Belanda yang datang untuk merebut kembali kekuasaannya. Serangan kontrapemberontak Belanda dipimpin oleh Raymond Westerling, seorang kapten kontroversial di KNIL (Koninklijk Nederlandsch-Indisch Leger). Operasi Westerling, yang dimulai bulan Desember 1946 sampai Februari 1947, berhasil meredam pemberontakan dan menghapus dukungan warga lokal terhadap kaum Republik dengan menjalankan eksekusi mati langsung terhadap orang-orang yang diduga musuh.

Latar belakang[sunting | sunting sumber]

Antara 1816 sampai 1905, Belanda memperkuat kendalinya atas negara Sulawesi Selatan. Pada tahun 1911, Belanda telah mengintegrasikan wilayah tersebut ke dalam Hindia Belanda.[1] Kekuasaan Belanda diserobot oleh invasi Jepang ke Hindia Belanda pada Perang Dunia II. Waktu itu, Sulawesi dan sebagian besar Indonesia timur berada di bawah pemerintahan Angkatan Laut Kekaisaran Jepang yang berusaha meredam gerakan republik dan nasionalis setempat, berbeda dengan pemerintahan Angkatan Darat di Jawa dan Sumatra.[2] Setelah penyerahan diri Jepang bulan Agustus 1945, gerakan nasionalis di Sulawesi membangun hubungan dengan pemerintahan republik Soekarno di Jawa.[2]

Akan tetapi, karena struktur pasukan nasionalis di Sulawesi lemah, mereka tidak mampu menahan laju pasukan pendudukan Australia dan Belanda yang dengan cepat menguasai seluruh Indonesia Timur tanpa perlawanan. Pada tanggal 5 April 1946, sebagian besar pejabat pemerintahan republik lokal, termasuk Gubernur Sam Ratulangi, ditahan oleh pasukan Belanda. Belanda juga menahan bangsawan pro-republik dan para pendukungnya. Meski begitu, perlawanan terus dilanjutkan oleh kaum intelektual dan gerilya pro-republik, bangsawan, dan militan yang berbasis di Jawa.[2] Belanda mencap pemberontakan lokal sebagai perwujudan komunisme internasional dan dominasi Jawa.[3] Mereka menganggap penduduk pribumi senang dan resisten terhadap perubahan revolusioner.[4]

Meski Konferensi Malino Juli 1946 mewujudkan negara-negara federal lokal di wilayah Indonesia milik Belanda, efektivitas pemerintah di Sulawesi melemah akibat memburuknya ekonomi, gagal panen, dan tidak adanya pemerintahan sipil.[5] Republik Indonesia di Jawa memberikan latihan untuk para gerilyawan Sulawesi dan mengirimkan pasukan dan persediaan ke pelabuhan Polongbangkeng dan Barru.[3] Per Desember 1946, pemerintahan Belanda di pulau ini hanya mencakup Makassar dan berada di ambang pembubaran. Ratusan pejabat pemerintahan dan anggota masyarakat Eurasia dan Tionghoa pro-Belanda diserang dan dibunuh. Garnisun KNIL di pulau ini tidak mampu melindungi mereka.[6]

"Metode Westerling"[sunting | sunting sumber]

Kegagalan taktik konvensional memaksa pemerintah Hindia Belanda mengutus pakar kontrapemberontakan Raymond Westerling untuk memulai kampanye pendamaian (pasifikasi) selama tiga bulan sejak Desember 1946 sampai Februari 1947. Taktik-taktik Belanda sebelumnya berfokus pada penahanan sementara dan pembebasan para terduga pemberontak.[7] Bulan November 1946, Westerling yang dilatih Britania ini mengembangkan kontingen komando di dalam KNIL yang dikenal dengan sebutan Depot Special Forces (DST). DST dibentuk khusus untuk peperangan dan interogasi kontrapemberontakan.[8]

Menurut Westerling, mendamaikan Sulawesi tanpa memakan ribuan korban jiwa tak bersalah hanya bisa dicapai dengan memberlakukan pengadilan di tempat terhadap para terduga pejuang musuh yang kemudian dieksekusi. Cara ini dikenal dengan nama "Metode Wsterling". Westerling memeirntahkan pendaftaran semua penduduk suku Jawa yang tiba di Makassar dikarenakan banyaknya warga Jawa yang terlibat dalam pemberontakan Sulawesi. Ia juga mengirim mata-mata ke desa setempat untuk mengidentifikasi para anggota pemberontak.[9]

Berdasarkan informasi dari mereka dan dinas intelijen militer Belanda, DST mengepung satu atau beberapa desa terduga pada malam hari, kemudian menggiring para penduduknya ke lokasi terpusat. Pada pagi hari, operasi dimulai dan biasanya dipimpin langsung oleh Westerling. Para pria dipisahkan dari wanita dan anak-anak. Dari informasi yang berhasil dikumpulkan, Westerling mengungkap orang-orang yang dicap teroris dan pembunuh. Mereka langsung ditembak tanpa penyelidikan lebih lanjut. Setelah itu, Westerling memaksa masyarakat setempat berhenti mendukung pemberontak dengan bersumpah menggunakan Quran[8] dan membentuk pasukan pertahanan lokal yang anggota-anggotanya adalah mantan pemberontak.[10]

Westerling memimpin sebelas operasi pada kampanye ini. Ia berhasil meredam pemberontakan dan mengurangi dukungan masyarakat terhadap kaum Republik. Aksi-aksinya memperkuat kekuasaan Belanda di Sulawesi selatan. Akan tetapi, pemerintah Hindia Belanda dan komando angkatan darat Belanda menyadari bahwa kekejaman Westerling menuai kritik keras dari masyarakat. Pada bulan April 1947, pemerintah Belanda melakukan penyelidikan resmi terhadap metode-metodenya yang kontroversial. Raymond Westerling dianggap tidak terlibat aktif dan ia dibebastugaskan pada November 1948.[11]

Kontroversi[sunting | sunting sumber]

Pemerintah Republik mengklaim bahwa Westerling bertanggung jawab atas kematian puluhan ribu orang. Awalnya perkiraan korban hanya 15.000 jiwa, kemudian naik menjadi 40.000 jiwa. Monumen bernama "Monumen Korban 40.000 Jiwa" dibangun di kota Makassar untuk mengenang para korban kampanye ini. Sejarawan Belanda Jaap de Moor mengatakan jumlah korban jiwa yang besar ini adalah propaganda Republik untuk menarik perhatian dunia terhadap perjuangan diplomatik dan bersenjatanya melawan Belanda. Mohammed Natzir dari Komisi Sejarah Angkatan Bersenjata Republik Indonesia juga menyebut angka 40.000 ini dibuat-buat dan merupakan propaganda pemerintah Republik terhadap pendudukan Belanda waktu itu.

Dalam buku "De Zuid-Celebes Affaire: Kapitein Westerling en de standrechtelijke executies", sejarawan Belanda Willem IJzereef memperkirakan aksi DST memakan korban sebanyak 1.500 jiwa. Sekitar 400 di antaranya dieksekusi dalam aksi yang dipimpin Westerling, sedangkan 1.100 sisanya tewas dalam aksi yang dipimpin wakilnya. Aksi oleh unit KNIL lainnya kemungkinan menewaskan 1.500 jiwa lagi. Sekitar 900 warga Indonesia tewas di tangan polisi dan pasukan keamanan desa pro-Belanda. IJzereef percaya bahwa pemberontakan Indonesia menewaskan kurang lebih 1.500 orang.[12]

Tuduhan kejahatan perang[sunting | sunting sumber]

Westerling selalu membela aksi-aksinya dan menolak tuduhan kejahatan perang. Memoarnya yang diterbitkan tahun 1952 memiliki bab khusus berisi pembelaan dirinya: "Mereka menggambarkanku sebagai monster yang haus darah, yang menyerang rakyat Celebes dengan senjata api dan pedang, dan yang memulai kampanye penindasan tanpa ampun terhadap semua orang yang melawan pemerintah Belanda demi meraih kemerdekaan nasional Indonesia". Westerling menyatakan taktik-taktiknya didasarkan pada tugasnya sebagai polisi yang melawan teror: "Aku menangkap teroris bukan karena mereka bertindak sebagai pendukung pemerintah Indonesia... melainkan karena mereka sendiri melakukan kejahatan terbuka... Aku tidak pernah menyuruh mereka [tentara] membombardir desa. Aku pun tidak pernah menembaki rumah orang-orang bersalah. Aku pernah mengeksekusi orang-orang jahat, tetapi tidak ada yang meninggal sia-sia atau tanpa alasan karena tindakan saya.[13]

Pada tahun 1949, perjanjian pengalihan kekuasaan Belanda–Indonesia menegaskan kedua pihak tidak akan menuntut tanggung jawab semasa perang, sehingga otomatis membatalkan semua upaya Indonesia untuk mengekstradisi Westerling.

Lihat pula[sunting | sunting sumber]

Catatan kaki[sunting | sunting sumber]

  1. ^ Tol (2001), p. 136
  2. ^ a b c Kahin (1952), p. 355
  3. ^ a b Westerling (1952), p. 92
  4. ^ Westerling (1952), p. 89
  5. ^ Westerling (1952), p. 90
  6. ^ Westerling (1952), p. 93
  7. ^ Westerling (1952), p. 95
  8. ^ a b "Westerling's War". Jakarta Post. 19 May 2010. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2010-05-20. Diakses tanggal 25 November 2010. 
  9. ^ Westerling (1952), p. 96
  10. ^ Westerling (1952), pp. 101–105
  11. ^ Westerling (1952), pp. 98–99
  12. ^ IJzereef (1984), p. 172
  13. ^ Westerling (1952), p. 150

Referensi[sunting | sunting sumber]

Bacaan lanjutan[sunting | sunting sumber]

  • Said, Mohammed Natzir (1985). Korban 40.000 jiwa di Sulawesi Selatan. SOB 11 Desember 1946 penyebab banjir darah dan lautan api. Bandung: Alumni. 
  • Reid, Anthony (1974). The Indonesian National Revolution 1945–1950. Melbourne: Longman Pty Ltd. ISBN 0-582-71046-4.